Boy Sitter [12] : Aku…… Boysitter
Jumat, pukul dua siang……
SALTUM! Salah kostum! Aku salah memakai pakaian siang ini. Oke,
cuaca memang panas. Tapi Rio mengajakku
main ke daerah Lembang. Pliss deh panas gitu, lho!
Masalahnya, aku tuh Cuma pake t-shirt yang sleevenya pendek banget.
Ditambah jins selutut. Sumpah. Aku
nggak nyangka bakal ke sana.
Kukira Rio akan mengajakku ke mal lagi seperti dua hari yang lalu.
“Rio, kenapa kamu nggak bilang
mau ajak aku kesini?”
“Ngngng… emang harus bilang,
ya?”
“Yaiyalah. Jadi, kalo aku diculik aku bisa SMS mamaku
dulu bahwa aku diculik.”
“hahaha.. ngapain sih, Rio
nyulik kamu?”
“kali aja.” Aku menenggelamkan
diri di kehangatan jok depan. Sedikit
berbeda dari semalam. Sekarang aku duduk di sedan sport yang udah banyak dimodifikasi. Aku pun baru melihat mobil ini terparkir di
tempat tersembunyi kediaman Bu Nira.
Siang ini, Rio mengajakku main
dengan alasan bosen di rumah. Ya,
begitulah. Dan itu membuat pekerjaanku, semakin hari, semakin enteng. Perbedaan
yang kurasakan antara Senin dan Jumat sungguh di luar dugaan. Kalo hari Senin aku harus jogging di rumah
hanya untuk membuatnya mandi. Di hari
Jumat, aku hanya menepuk bahunya, tersenyum manis, maka dia mengerti bahwa aku menginginkannya
untuk mandi. Easy, huh?
Tidur? Sama-sama mudah. Senin
malam, aku harus bertengkar dengannya.
Kamis malam? Aku hanya duduk tak jauh darinya sambil membaca novel anonymous, dan kudapati
dia sudah tertidur puas tiga menit kemudian.
Bahkan, Jumat pagi ini, Mbok
Jess dan Nince tiba-tiba memberiku medali aneh terbuat dari uang logam Rp
1000,- yang dilubangi dan diberi tali.
Medali itu dikalungkan untukku, memberikan penghargaan atas “keberhasilan
sedikit membuat perubahan di diri tuan muda”. Penting ,ya? Emangnya Rio menderita suatu penyakit?
Kok, sampe ada medali segala gara-gara
Rio mandinya lebih nurut hari ini?
“Ify……?” Tanya Rio pelan, masih fokus menyetir mobilnya, melaju kencang di belokan jalanan yang kanan
kirinya dipenuhi tetumbuhan.
“Ya, Rio? Kenapa?” aku
mengambil tisu dan mengelapkannya di muka Rio yang keringatan.
“kamu… kamu kenapa jadi babysitter? Kamu lagi nyari duit?”
Aku tersenyum, membuang tisu
karena keringat Rio keluar jendela. “Emang. Aku jadi babysitter buat apalagi? Hobi?
Aku tentunya jadi babysitter buat
nyari duit. Seandainya aku gak nabrak
Angel waktu itu, mungkin aku gak akan jadi babysitter.”
“notebook ya? Emang kenapa sama notebook
Angel?”
“Heh, kamu tau darimana aku
punya masalah notebook ama dia? aku kan, belum cerita?!”
“Ng… dari pas kita ketemu
Angel di BIP. Terus…. Sori ya. Rio semalem baca inbox HP kamu.”
“Ih, gak sopan!” aku menjewer
kupingnya sebentar, menariknya ke samping. Kemudian dilanjutkan dengan serangan
di pundak, memukulnya pelan.
“Sori, sori. Nggak sengaja.
Rio Cuma heran aja, kamu kan, lumayan
makmur hidupnya. Papa-mama kamu gak punya masalah dalam finansial. Dan, hidup
kamu juga kayaknya seneng-seneng aja.
Tapi kok, tibatiba jadi babysitter,
sih?”
“Hm.. ya, oke. Aku mesti
jujur. Waktu ulum kemarin,hari pertama,
aku lari mau ke kelas. Tapi di belokan kantin ke lapangan, belokan laboratorium itu tuh, dekat
perpustakaan, aku nabrak Angel.
Kebetulan, Angel lagi megang notebook,.
Dan ya… jatuhlah benda mahal itu. Angel
marah-marah dan minta ganti. Karna itulah, aku akhirnya nyari kerjaan.”
“Tapi kalo kamu minta ke ortu
kamu, Rio yakin pasti dibeliin notebook buat
ngegantiin.”
“Iya, aku tau. Aku sebenernya
bisa aja dibeliin notebook. Apalagi ama sodara-sodaraku yang di luar
Bandung. Aku minta satu notebook,
bisa-bisa dikasih sepuluh.
Alhamdulillah, keluargaku lumayan tajir semua. Tapi, ternyata mamaku lebih mendukung kalo
aku bisa bertanggung jawab sendiri.”
“Maksudnya?”
“Ya.. segala hal, apapun itu,
harus bisa dipertanggungjawabkan. Mama ngajarin tepat ketika aku sebenarnya
bingung ‘harus cari kerja atau tinggal minta beliin notebook sama om-omku’. Aku emang bisa dibeliin. Tapi aku nggak akan pernah terdidik jadi anak yang bertanggung jawab. Aku pasti jadi
anak manja. Maka, apa salahnya sih ngeganti pake hasil keringat sendiri? Lebih mengasyikkan, lho! Meski ternyata,
semua hasil yang kita dapatkan harus diberikan pada orang lain.”
“Kalo gitu, Tuhan sayang
banget ya, sama kamu? Dia ngasih sifat
tanggung jawab besar dalam diri kamu.
Nggak kayak Rio. Mungkin karena Rio manja, dan sering ngerepotin mama,
Rio nggak pernah bisa tanggung jawab.”
“Ah, nggak ada hubungannya
sama Tuhan ngasih sifat tanggung jawab ke semua orang. Tanggung jawab tentu aja
tergantung sama orangnya sendiri. Sebaik-baiknya orang, kalo niatnya emang gak
mau tanggung jawab, ya… nggak akan
pernah tanggung jawab.”
Rio gak merespons lagi kali ini. Dia kembali
menyibukkan diri dengan kemudinya, dan
meluncurkan mobil ini lebih tenang. Ya. Lebih tenang. Entahlah, entah apa yang sebenarnya terjadi. Something weird happen to Rio. Is he going to change?
Cara mengemudi Rio yang sering kulihat dari angkot sepulang sekolah, sungguh sangat berbeda dengan hari ini. Ketenangannya, kesopanannya, membuatku terus
menerus heran dan memikirkannya. Kalo biasanya dia tertantang buat menyusul
semua mobil yang ada di depannya, siang ini Rio lebih menenangkan deru mesin
mobilnya. Rio mulai sering disalip, juga
lebih sabar menunggu antrean di belakang
angkot yang sedang menaikkan penumpang.
Hm, sudahlah, aku jangan terlalu cepat menyimpulkan. Kali aja Rio lagi pemanasan, terus ntar
di Lembang kebut-kebutan di
jalanan. Yah, cowok sulit banget diduga. Keinginannya aneh, dan terkadang
“menjijikkan”.
Aku menoleh menatap Rio yang dengan ceria
mengemudikan mobil. Siang ini dia terlihat ganteng dari biasanya. Tapi aura gantengnya lain daripada
biasanya. Serasa, gantengnya…ya, beda gitu, deh. Padahal nggak ada yang aneh dengan
penampilannya. Rio hanya memakai topi
yang diputar ke belakang, kaus sleeveless
tipis, jaket, dan celana parasut yang
kelihatannya ngepas. Kalung perak di lehernya, mempermacho penampilannya siang
ini.
Entahlah, entah apa yang
istimewa dari pakaian ini. Tapi, feeling-ku mengatakan Rio memiliki suatu
hal yang lain. Entah apa itu.
Sepertinya……. a little event would be happen in
the next minutes.
Jumat, pukul enam petang…..
“UDAH aku bilangin cepet
pulang. Kamu sih, nggak nurut. Jadinya
kan, kita pulang malem sekarang.” Protesku sewot, memeluk udara di depan dada.
“Biarin aja kenapa, sih? Kamu kan babysitter Rio. Mama nggak akan marah kok, kalo Rio maen
keluar bareng babysitter .”
“Bisa ganti babysitter dengan kata lain gak,
sih? Jujur aja, aku tuh risih dengar
kata itu, soalnya yang aku asuh tuh cowok tujuh belas tahun. Aku tuh nggak enak kalo mau curhat sama
temenku tentang bayi-bayi yang aku urus
sekarang. Masa sih, mau bilang ‘hey,
bayiku udah gede, lho! Udah bisa jalan lagi’nanti kan yang malu kita
berdua!” ucapku panjang lebar, asal.
“O-okay!” Rio kembali
menyetir, meskipun sem-pat tertawa kecil.
Dia nggak merespon kalimatku barusan,
apalagi memberikan ide nama untuk
“cewek pengasuh anak seperti dia”.
Sudahlah, nggak terlalu
penting. Aku bisa menyebut diriku dengan monstersitter,
Riositter, Cuteguysitter, atau…… Boysitter?
“Oh-my-God!” seru Rio tiba-tiba.
Mobil pun mendadak bergetar kencang.
Rio menepikannya, dan mendapatkan ban belakang kanan sudah kempes. “ argh. Kenapa bannya kempes, sih?!”
Ih, dasar sial. Kenapa nggak kempes tepat di depan bengkel aja?
“Rio cek dulu.” Dia keluar, mengutak-atik
sesuatu, kemudian kembali lagi membuka
bagasi dan mengambil peralatan pengganti ban. Rio membungkuk di depan ban
kempes itu. Beberapa detik kemudian,
kudengar dia berteriak, “Sialan! Ada yang ngejahilin nih. Ada yang naro paku empat
biji, di ban.”
Aku menoleh kaget dan celingak-celinguk
melihat rumah penduduk yang jarang-jarang,
lalu menghempaskan sabuk pengaman.
Kuhampiri Rio yang sedang memeriksa ban itu, “Kenapa, Yo?”
“bannya bocor. Ada yang
sengaja naro paku di tengah jalan. Jadinya, ban bagian sini kempes berat. Untung yang laen nggak ada yang kena.”
Aku jongkok menemaninya. “ya
udah, minta kirim mobil Derek aja kesini.
Sekarang, kita tungguinnya di dalem. Dingin di luar mah,” aku menggosok-gosok
lenganku sendiri, mencoba mencari kehangatan dari dalam tubuh.
“Nggah ah. Rio mah ngegantiin
ban sendiri aja. Ngapain panggil tukang Derek?”
“Y-ya udah..” aku
tersenyum,mencoba menenangkannya.
Kemudian, aku memeluk tubuhku semakin erat, menahan rasa dingin yang menusuk kulit.
“Kamu kedinginan?” Tanya Rio,
melihat tersiksanya aku dalam suhu serendah ini.
“ya iyalah. Pliss deh, ini tuh
masih di daerah Lembang, Yo. Aku Cuma pake….”
Belum selesai aku
berbicara, Rio tiba-tiba membuka jaketnya. Kemudian, dia memberikan jaket itu padaku,
memintaku untuk memakainya. Sedangkan
dia sendiri hanya memakai kaus sleeveless
yang tipis.
“Nggak usah, Yo. Kamu pake
aja.” Tolakku.
“Alaaaa.. udah pake aja. Nggak
usah malu-malu, daripada ntar kedinginan!”
“Rio, aku nggak apa-apa
kedinginan juga. Nggak masalah. Kamu
kan, sekarang tanggung jawabku. Aku gakmau terjadi apa-apa sama kamu. Aku gak
mau kamu sakit, Yo. Udah, kamu pake aja!
Aku baik-baik aja kok.”
“Eh, kamu yang jadi tanggung
jawab Rio sekarang. Yang ngajak kamu
kesini kan, Rio.jadi, Rio yang tanggung jawab.”
“Nggak usah, Yo.akuu nggak
apa-apa. Udah kamu pake aja. Kaus kamu
lebih tipis dari kausku. Kamu pake aja jaketnya.”
“Kamu tuh, ngewalan aja sih?
Kalo Rio pengin kamu pake ini, ya pake ini!
Turutin. Nggak apa-apa kan?!”
Meskipun sempat kesal, heran, dan canggung,
aku memakai juga jaket Rio. Sedikit kebesaran, namun cukup membuatku hangat.
Tetapi, aku mendadak khawatir dengan keadaaan Rio yang hanya memakai kaus sleeveless tipis itu, dan celana parasut yang sama-sama tipis. Aku
khawatir Rio masuk angin dan ujung-ujungnya demam. Anak bandel dan manja seperti dia
kelihatannya sih, sangat rentan kena
demam. Rio tuh sebetulnya terlalu lincah dan banyak bicara.
Aku gak langsung masuk begitu aja ketika Rio
sibuk mengutak-atik ban. Aku jongkok
menemanin, dan terkadang membantunya mengambil barang yang dia butuhkan.
Lalu beberapa detik kemudian, kutemukan sebuah
sosok aneh, berjalan ke arah kami.
Semula kupikir itu hantu, namun kupastikan segera bahwa sosok itu adalah
manusia asli. Dan sosok itu semakin dekat berjalan kearah sini. Sehingga aku bisa melihat dengan jelas bentuk
sosok itu. Mukanya sih, belum terlihat jelas karena gelapnya malam. Tapi, dapat kupastikan lagi bahwa sosok itu
adalah seorang wanita, ibu-ibu maksudku, dengan jilbab yang senada dengan
pakaian yang dikenakannya, hijau muda.
Jalannya agak aneh, dan sepertinya aku kenal.
Ketika jaraknya hanya tinggal beberapa meter
dari kami, wanita itu kelihatannya kegirangan.
Dan begitu lampu belakang mobil Rio menyorotnya, akhirnya aku menyadari bahwa sosok itu
adalah…..
“Kalian..pacaran aja disini teh? kenapa kalian teh? Dingin-dingin begini
diem di sisi jalan? Emangnya kalian gak takut? Sedang apa kalian teh?”
Bu Lina! wali kelas kami.
“Eh, Ibu!” Aku dan Rio kaget,
menolehnya, berdiri, mencoba bersalaman dengannya.
“Kalian teh sedang apa saja disini?
Malem-malem begini,dingin lagi, ih berbahaya. Kalian teh
habis pacaran?”
“Bukan, Ibu!” jawabku
cepat-cepat.
“Kita ya.. lagi maen aja. Tapi, ada yang jahil Bu. Ada yang ngempesin
ban mobil Rio.” Lanjut Rio sebelum akhirnya membetulkan bannya.
“Oh, begitu?” Bu Lina
manggut-manggut sambil menatap ban kempes yang berhasil dilepas. “Emangnya
kalian kemana? Malem-malem begini masih di Lembang. Nggak takut kalian teh? Gak takut dimarahi orangtua kalian?”
“Nggak apa-apa kok, Bu. Kita
habis jalan-jalan ke Tangkuban Perahu,
ke perkebunan yang di atas sana.”
“Asyik atuh. Kenapa nggak ngajak-ngajak Ibu?!”
“Ya, masalahnya kita ngedadak,
Bu. Baru ngerencanainnya siang tadi. Gak ada persiapan. Ibu sendiri dari mana?”
“Ibu teh, abis dari rumah temen, di sana tuh, yang rumahnya ijo disana, abis kumpul-kumpul gitu. Dari tadi nyari angkot gak ketemu juga. Ke mana angkot-angkot teh? Kok, ibu nggak dapet satupun ini teh. Padahal, Ibu udah nungguin dari jam lima. Penuh semua.”
“Ibu teh, abis dari rumah temen, di sana tuh, yang rumahnya ijo disana, abis kumpul-kumpul gitu. Dari tadi nyari angkot gak ketemu juga. Ke mana angkot-angkot teh? Kok, ibu nggak dapet satupun ini teh. Padahal, Ibu udah nungguin dari jam lima. Penuh semua.”
“Oh…” aku mengangguk-angguk.
“Ibu mau bareng ama kita, nggak?” tawarku kemudian.
“Ah, gak usah. Ibu mah jalan aja ke sana. Kali aja ada yang
kosong. ibu mah gak mau ganggu kalian
yang sedang berpacaran. Ibu mah jalan
aja. Kalian mah silahkan aja malam mingguan lagi. Silahkan aja.”
“Eh, Ibu. Udah tungguin aja.
Tinggal nungguin Rio ganti ban,
kok! Bentar, nggak akan lama.”
Aku menarik tangannya agar nggak pergi.
“Ah, ngga usah. Nanti kalian
terganggu. Ntar malem mingguannya gak berkesan lagi.”
“Ya ampun, kita nggak lagi
malem mingguan, Bu. Kita lagi
jalan-jalan aja. Nggak ada acara pacar-pacaran. Lagipula sekarang hari Jumat.
Bu. Malam sabtu. Nggak mungkin buat
malem mingguan.”
“Boong Bu! Boong!” seru Rio
mempermainkanku.
“Tuh, bohong. kasian pacar
kamu nggak diakuin.”
“Ya ampun, Ibu. Aku tuh nggak pacaran ama dia. kita Cuma temenan.
Nggak lebih, Bu.” Aku mencubit Rio yang sedang jongkok, Rio tertawa kecil.
“Ah, nanti Ibu takut
mengganggu.” Bu Lina mencoba pergi dari kami.
“Ih, Ibu disini aja. Bareng
sama kita ke Bandungnya. Bahaya kalo
sendirian.lama lagi nungguin angkot.
Udah, Ibu di sini aja.”pintaku.
“Tapi, nggak apa-apa ini teh?”
“Nggak apa-apa!”
“Ya udah atuh. Ibu bareng kalian ya.” Bu Lina akhirnya menepi ke
belakang mobil. Sementara Rio, udah berhasil memasang ban
baru dan tinggal memasang bolt-nya.
“Eh, kamu, Sumarni. Kamu masuk
mana, IPA atau IPS?”
“Ibu! Aku tuh Alyssa. Bukan
Sumarni.”
“Oh, Alyssa.. kirain Ibu, kamu
Sumarni. Mirip sih, kelihatannya gitu.”
“Apanya yang mirip? Sumarni
tuh, pake kerudung, Bu. Sedangkan aku nggak pake kerudung.”
Lanjut dong...
ReplyDeletekeren,, sifat Rio dibuat lain dari cerita yang lainnya. hahahahha....
Di tunggu part 13-nya..
salam kenal :)
haha iyaa. udah di post kok :) salam kenal juga:) eh iya, ini aku copast dari novel:D
Delete