Friday, 29 June 2012

Summer In Seoul [9 & 10]


Sembilan

JAM dinding menunjukkan pukul 00:52 ketika Tae-Rio tiba di rumah. Ia melemparkan kunci mobil ke meja dan mengempaskan tubuh ke sofa. Ia mengusap wajahnya dan melepaskan jaket. Hari ini benar-benar melelahkan. Setelah mengantar Ify pulang siang tadi, ia dan Park Hyun-Shik langsung mengantar ibunya ke bandara. Setelah itu Tae-Rio kembali disibukkan dengan jadwal kerjanya yang padat. Tentu saja sepanjang hari itu ia terus dikejar-kejar wartawan yang tidak henti-hentinya bertanya tentang Ify, tapi Park Hyun-Shik menyuruhnya tidak berkomentar dulu. Mereka harus membicarakan langkah selanjutnya dengan Ify.
Sejak sore tadi Tae-Rio ingin menelepon Ify. Ia ingin tahu apakah gadis itu baik-baik saja, tapi ia tidak punya waktu. Sekarang ia mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka flap-nya. Apakah sekarang sudah terlalu malam untuk menelepon?
Sepertinya tidak ada salahnya mencoba.
Tae-Rio menekan angka sembilan dan menempelkan ponsel ke telinga. Keningnya agak berkerut ketika mendengar suara operator telepon yang memberitahunya telepon yang dihubungi sedang tidak aktif. Tae-Rio menutup kembali ponselnya dan menimbang-nimbang.
Baiklah, hari ini tidak perlu diperpanjang lagi. Besok ia akan langsung pergi menemui gadis itu.
Setelah mandi dan kembali berpakaian—kaus longgar jingga dan celana panjang putih, Tae-Rio merasa lebih nyaman. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia berjalan ke ruang duduk dan menyalakan televisi. Kemudian ia berjalan ke dapur yang terletak tidak jauh dari ruang duduk dan membuka-buka lemari.
“Tidak ada makanan. Kenapa Ibu cuma beli mi instan?” gerutunya sambil mengeluarkan sebungkus mi instan. Ia berbalik, memandang sekilas televisi, lalu membungkuk untuk membuka pintu lemari bagian bawah. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan dengan sekali sentakan ia kembali menegakkan tubuh. Matanya terbelalak menatap layar televisi.
Layar televisi menampilkan reporter wanita yang melaporkan berita di lokasi kejadian. Di latar belakangnya terlihat gedung yang dilalap api. Para petugas pemadam kebakaran berlalu-lalang dan para polisi berusaha menertibkan orang-orang yang berkerumun di tempat kejadian. Suasana sepertinya hiruk pikuk, terdengar teriakan dan tangisan orang-orang.
Tae-Rio menyambar remote control dan mengeraskan volume televisinya untuk mendengar kata-kata si reporter.
“…sampai sekarang pemadam kebakaran sedang berusaha memadamkan api. Kami belum mendapat konfirmasi apakah gedung apartemen itu sudah kosong atau belum. Api begitu besar, kami berharap semua penghuni sudah berhasil keluar…”
Mata Tae-Rio terpaku pada layar televisi. Tubuhnya menegang, jantungnya berdebar begitu keras. Ini tidak mungkin. Mustahil itu gedung apartemen Ify. Siang tadi ia baru saja dari sana. Tuhan, katakan ini tidak benar. Namun si reporter kini menyebutkan nama dan lokasi gedung yang sedang terbakar. Darah Tae-Rio langsung terasa membeku.
Tanpa berpikir lagi, Tae-Rio melemparkan handuk ke lantai, menyambar kunci mobil, dan keluar dari rumah.
Ia melajukan mobil dengan kecepatan penuh, tangannya mencengkeram kemudi erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih. Perasaannya kacau… gelisah… takut. Jantungnya masih terus berdebar keras dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Ia mencoba menghubungi ponsel Ify tapi hasilnya masih tetap sama. Ponselnya tidak aktif. Sepanjang perjalanan ia terus berdoa semoga Ify tidak apa-apa. Semoga Ify sudah keluar dan tidak terluka. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana keadaan Ify? Bagaimana kalau…
Astaga, ia bisa gila!
Ketika ia hampir sampai di tempat kejadian, jalanan sudah ditutup sehingga tidak ada mobil yang bisa lewat. Tae-Rio langsung melompat keluar dari mobil dan berlari menerobos kerumunan orang. Suasana yang kacau dan udara yang begitu panas karena asap dari kobaran api terasa begitu menyesakkan. Tae-Rio berlari ke sana kemari dan melihat ke sekeliling, mencari sosok Ify. Ia berjalan cepat di antara orang-orang sambil berteriak-teriak memanggil nama Ify. Di mana gadis itu?
Tae-Rio bolak-balik memutar kepala dan terus mencari. Tiba-tiba matanya terpaku pada sosok yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Orang itu hanya mengenakan piama, berdiri menatap gedung yang dilalap api dengan pandangan kosong.
“Ify!” Tae-Rio berseru namun gadis itu tetap bergeming.
Rasa lega membanjiri dirinya ketika ia berlari menghampiri gadis itu.
“Ify…” Kini Tae-Rio sudah berdiri di samping Ify dan menyentuh lengannya.
Gadis itu menoleh dengan linglung dan Tae-Rio melihat wajahnya kotor karena asap. Ada sinar ketakutan di mata besarnya. Ketika Tae-Rio memegang lengan Ify, ia baru menyadari tubuh gadis itu gemetaran.
“Kau tidak apa-apa? Ada yang luka?” tanya Tae-Rio dengan nada khawatir sambil mengamati Ify dari atas ke bawah. Gadis itu hanya mengenakan piama tanpa alas kaki. Rambutnya tergerai kusut di bahu dan kedua tangannya meremas syal basah bermotif kotak-kotak hitam dan putih. Syal yang diberikan Tae-Rio kepadanya sewaktu acara jumpa penggemar dulu.
Ify mengangguk masih dengan raut wajah linglung. “Ya, aku tidak apa-apa,” sahutnya pelan. Tae-Rio mendengar suaranya juga bergetar.
Tae-Rio mengembuskan napas lega dan langsung memeluk gadis itu. “Syukurlah kau tidak apa-apa.”
“Aku tidak sempat membawa apa-apa,” gumam Ify.
Tae-Rio merenggangkan pelukannya dan menatap Ify yang sepertinya masih terguncang. “Tidak apa-apa. Asalkan kau selamat, itu sudah cukup. Ayo, ikut aku.”
Ify menurut dan membiarkan Tae-Rio menuntunnya ke tempat mobilnya ditinggalkan. Mata Ify terus terpaku pada api yang berkobar dan asap yang bergulung-gulung.
Sepanjang perjalanan Ify tidak berbicara dan Tae-Rio juga tidak mengajaknya bicara. Ketika akhirnya mereka tiba di rumahnya, Tae-Rio baru menyadari rumahnya terang benderang, pintu rumahnya lupa dikunci, dan televisinya lupa dimatikan karena ia begitu terburu-buru keluar rumah tadi.
“Kau duduk dulu di sini,” katanya sambil mendudukkan Ify di sofa. “Aku akan mengambil minuman untukmu.”
Ketika kembali membawa secangkir teh hangat, ia melihat Ify menangis. Sepertinya kesadaran gadis itu sudah kembali sepenuhnya dan akibat guncangan tadi mulai terasa olehnya.
Tae-Ri meletakkan cangkir di meja, duduk berhadapan dengan Ify, lalu memandang khawatir gadis itu. “Ada yang sakit?”
Ify menggeleng-geleng sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya. Lalu ia berbicara sambil terisak-isak. Dengan agak susah payah, Tae-Rio mendengarkan kata-kata yang tidak terlalu jelas karena diucapkan sambil menangis, tapi ia bisa menarik kesimpulan dari kalimat Ify yang kacau-balau.
Ify bercerita api itu berasal dari apartemen sebelah. Saat itu ia sedang menonton televisi lalu tiba-tiba merasa panas dan susah bernapas. Kemudian segalanya menjadi kacau. Alarm tanda kebakaran berbunyi nyaring dan orang-orang berteriak. Ia panik dan hanya sempat berpikir harus mengambil sesuatu untuk menutupi hidung dan mulutnya. Ia pun menyambar syal pemberian Tae-Rio yang tergeletak di samping tempat tidurnya dan langsung berlari keluar dari apartemen.
Tae-Rio menyodorkan sekotak tisu kepada Ify dan gadis itu menerimanya. “Baiklah, aku sudah mengerti. Sudah, tidak apa-apa.”
Ify terlihat lebih tenang. Ia mengeringkan air mata dan membersihkan hidung. Lalu ia memandang Tae-Rio dengan cemas. “Sekarang bagaimana?”
“Di sini banyak kamar kosong. Sebaiknya malam ini kau tinggal di sini dulu.” Tae-Rio menunjuk cangkir teh di meja. “Minumlah. Masalah lainnya kita pikirkan besok saja.”
Ify mengangkat cangkir itu dengan kedua tangannya. Walaupun Ify masih agak tegang, Tae-Rio melihat tangan gadis itu sudah tidak gemetar lagi. Ify meminum tehnya pelan-pelan, lalu memandang piamanya yang kotor.
Tae-Rio berdeham. “Ibuku tidak meninggalkan pakaiannya di sini, tapi kalau kau tidak keberatan, aku bisa meminjamkan bajuku.”
Sementara Ify membersihkan diri dan berganti pakaian, Tae-Rio menelepon manajernya dan menceritakan apa yang terjadi.
“Baiklah, aku akan ke sana besok pagi,” kata Park Hyun-Shik sebelum menutup telepon. “Syukurlah dia tidak apa-apa.”
Ify kembali ke ruang duduk ketika Tae-Rio menutup telepon. Tae-Rio tersenyum kecil ketika melihat penampilan gadis itu. Ify mengenakan kaus lengan panjang yang kebesaran untuknya, dan celana panjang yang ujungnya harus dilipat berkali-kali. Wajahnya sudah dibersihkan dan rambutnya basah karena baru keramas.
“Boleh aku pinjam teleponmu?” tanya Ify. “Aku ingin menelepon temanku, Young-Via. Aku tidak tahu dia sudah dengar tentang kejadian ini atau belum. Kalaupun sudah, aku hanya ingin memberitahunya aku baik-baik saja.”
“Tentu saja,” sahut Tae-Rio sambil menyodorkan telepon kepada Ify. Ia berjalan ke dapur untuk memberikan sedikit privasi, walaupun tentu saja dari sana ia masih bisa mendengar ucapan gadis itu.
“Young-Via. Ini aku,” kata Ify. “Oh, kau sudah tahu? … Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Kau tidak usah cemas… Sekarang?”
Tae-Rio menyadari Ify meliriknya sekilas.
“Emm… aku di rumah teman,” gumam Ify, lalu cepat-cepat menambahkan, “begini, Young-Via, aku mau minta tolong. Aku boleh pinjam pakaianmu? Aku tidak sempat membawa apa-apa. Bahkan ponselku tidak sempat kuselamatkan… Besok pagi? Terima kasih banyak… Oh, alamatnya?”
Ify menyebutkan alamat rumah Tae-Rio dan setelah itu menutup telepon.
“Apa kata temanmu?” tanya Tae-Rio.
“Dia sudah tahu tentang kebakaran itu dan sudah berusaha menghubungiku sejak tadi. Katanya dia bisa meminjamkan pakaiannya untukku. Tadi dia menawarkan diri untuk mengantarkan pakaiannya ke sini. Kuharap kau tidak keberatan karena aku sudah memberikan alamat rumahmu kepadanya.”
Tae-Rio hanya mengangkat bahu. “Dia temanmu yang kauceritakan itu, kan? Yang sudah tahu segalanya tentang kita? Kurasa tidak masalah.”
Ify mengangguk dan mengangsurkan pesawat telepon yang dipegangnya kepada Tae-Rio. “Jung Tae-Rio ssi, bagaimana kau bisa tahu tentang kebakaran itu?”
Tae-Rio menerima teleponnya dan menunjuk ke arah televisi. “Dari televisi.”
Ify menatap Tae-Rio sambil tersenyum. “Kenapa rambutmu begitu?”
Tangan Tae-Rio langsung menyentuh kepalanya. Ia baru menyadari rambutnya acak-acakan. Ia baru ingat ia tadi sedang mengeringkan rambut ketika melihat berita kebakaran itu di televisi. Saking paniknya, ia langsung melesat keluar tanpa memikirkan penampilan.
Tae-Rio berdeham dan menyisir rambut dengan jari-jari tangannya. “Tadi baru keramas,” gumamnya tidak jelas, lalu kembali menyodorkan pesawat telepon yang dipegangnya kepada Ify. “Masih ada yang ingin kau telepon? Orangtuamu?”
Ify berpikir sejenak. “Orangtuaku ada di Jakarta. Kurasa mereka tidak akan tahu tentang gedung apartemen yang terbakar di Korea. Aku juga tidak ingin membuat mereka khawatir. Lagi pula sekarang sudah larut sekali. Lain kali saja baru kuceritakan kepada mereka.”
“Baiklah, terserah kamu,” kata Tae-Rio. “Sebaiknya sekarang kau istirahat. Ayo, kuantar kau ke kamarmu.”
Ia membawa Ify ke kamar tamu di lantai dua. “Silakan,” kata Tae-Rio setelah membuka pintu kamar itu.
Ify mengangguk dan melangkah masuk. Ketika berbalik, Tae-Rio mendengar ify memanggilnya. Ia pun menoleh.
Ify berdiri di sana dengan tangan memegang pintu kamar yang terbuka. “Terima kasih,” katanya sambil tersenyum kecil. “Untuk semuanya.”
Tae-Rio membalas senyumnya. “Selamat malam.”

Ketika membuka mata keesokan harinya, Ify tertegun sejenak sebelum menyadari ia sedang berada di rumah Jung Tae-Rio. Ia bangun dan duduk bersila di tempat tidur. Otaknya memutar kembali kejadian semalam. Ia tidak bisa melukiskan perasaannya ketika kebakaran itu terjadi. Sepertinya saat itu ia dalam keadaan setengah sadar karena entah bagaimana ia sudah keluar dari gedung dan berdiri di tepi jalan. Semuanya terjadi begitu cepat dan samar. Dalam sekejap ia sudah tidak punya apa-apa lagi.
Sejak menyadari gedungnya terbakar, hati Ify diserang rasa panik, namun ia tahu ia harus tetap kuat dan tenang karena ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Namun ketika ia berdiri kebingungan di tepi jalan sambil memandang apartemennya yang terbakar, Jung Tae-Rio datang. Ify merasa begitu lega melihat pria itu. Tiba-tiba ia tahu ia tidak perlu memasang sikap tegar dan tidak perlu berpura-pura takut. Ia bisa melepaskan sedikit ketegangan dalam dirinya. Ia tidak sendirian lagi.
Apa yang sedang kupikirkan? Ify menggeleng-geleng. Sudah jam berapa sekarang? Ia melihat jam kecil yang terletak di meja kecil di samping tempat tidurnya. Ternyata sudah pukul 09.25
Ify turun dari tempat tidur dan memandang ke sekelilingnya. Kira-kira pintu apa di situ? Kamar mandi?

Ketika Ify memutar kenopnya, ternyata memang benar itu pintu kamar mandi. Kamar mandinya cukup besar, ada bak mandi dan pancuran. Di sana juga sudah tersedia keperluan dasar seperti sabun, sikat gigi, pasta gigi, dan handuk. Ternyata mereka sudah mempersiapkan semuanya bagi tamu yang mungkin datang menginap. Kemarin Ify tidak memakai kamar mandi yang ini, tapi kamar mandi lain di lantai bawah, jadi ia cukup terkesan.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia turun ke lantai bawah. Ia menuruni tangga dengan perlahan sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
“Sudah bangun?”
Ify terlompat kaget mendengar suara Jung Tae-Rio. Ternyata laki-laki itu sedang duduk di meja makan sambil tersenyum kepadanya. Ia tidak sendirian. Park Hyun-Shik juga duduk di sana sambil memegang surat kabar pagi.
“Oh, Paman sudah datang?” Ify menghampiri mereka berdua. “Maaf, aku terlambat bangun.”
Ia agak risi karena Park Hyun-Shik terus menatapnya dengan pandangan penuh arti. Meski bisa menduga paman yang satu itu sedang memandangi pakaiannya, ia bertanya juga, “Paman, kenapa melihatku seperti itu?”
Park Hyun-Shik tersenyum dan menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku lega kau tidak terluka. Ayo duduk. Mau sarapan? Ini ada roti.”
“Terima kasih.”
Park Hyun-Shik melipat koran dan meletakkannya di meja. “Tadi pagi aku mampir ke gedung apartemenmu. Kelihatannya buruk. Kurasa tidak ada yang tersisa. Aku dengar dari Tae-Rio apinya berasal dari apartemen di sebelah apartemenmu?”
Ify mengangguk.
“Kalau begitu, kurasa tidak ada lagi yang bisa diharapkan.”
Ify mendesah dan mengerutkan kening dengan cemas.
“Apa rencanamu selanjutnya?” Park Hyun-Shik bertanya.
Ify memandangnya. “Belum tahu. Mencari tempat tinggal baru mungkin. Aku masih punya uang di bank, tapi…”
“Kau akan tinggal di mana? Bisa tinggal bersama teman?”
Ify berpikir-pikir. “Temanku hanya Kang Young-Via dan dia pasti akan mengizinkan aku tinggal di rumahnya untuk sementara. Masalahnya, rumahnya tidak besar dan selain dia dan orangtuanya, masih ada dua adik laki-laki. Kalau aku tinggal di sana, kurasa aku hanya akan merepotkan mereka.”
Park Hyun-Shik menatap Jung Tae-Rio, lalu kembali menatap Ify. “Bagaimana kalau kau tinggal di sini saja dulu untuk sementara?”
Ify tersentak kaget. Ia langsung menoleh ke arah Jung Tae-Rio dan buru-buru menjawab, “Oh, itu tidak perlu. Itu—“
“Kenapa tidak di rumah Hyong saja?” sela Jung Tae-Ruo.
Park Hyun-Shik tertawa kecil. “Kau tahu sendiri di apartemenku hanya ada satu kamar tidur. Kau mau dia tidur sekamar denganku? Di rumahmu ini ada banyak kamar, jadi seharusnya tidak ada masalah.”
Ify merasa wajahnya panas. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Tidak, itu tidak perlu,” katanya. “Aku akan segera mencari tempat tinggal baru.”
Jung Tae-Rio mengerutkan dahi dan memandangnya. “Kau kira kau bisa mendapatkan tempat tinggal yang cocok dalam satu hari?”
“Soal itu…” Ify tidak tahu harus berkata apa.
Jung Tae-Rio akhirnya mengangguk dan mendesah. “Kurasa yang dikatakan Hyong benar.”
Park Hyun-Shik menyandarkan punggung ke kursi dan melipat tangan di depan dada. “Baiklah, kita putuskan begitu saja. Untuk sementara Ify akan tinggal di sini sambil mencari tempat tinggal baru. Tentu saja aku juga akan membantumu mencari. Katakan saja padaku tempat seperti apa yang kauinginkan.”
 “Ini…,” Ify memandang Jung Tae-Rio. “Tapi aku… Apakah tidak apa-apa?”
Jung Tae-Rio mengangkat bahu. “Kurasa kau tidak punya pilihan lain, kan? Atau kau mau pulang ke Indonesia?”
“Aku masih harus kuliah.”
“Kalau begitu, kau memang tidak punya pilihan,” kata Jung Tae-Rio.
“Tapi…”
Jung Tae-Rio menatapnya. “Kenapa? Kau takut padaku?”
Ify membelalakkan mata. “Ah, tidak. Bukan begitu.”
Park Hyun-Shik tertawa dan berkata pada Ify, “Kau boleh tenang, Ufy. Kau pastinya juga sudah tahu Tae-Rio digosipkan sebagai gay, bukan playboy.”
Sontak wajah Tae-Rio menampilkan ekspresi kesal. Ify ikut tertawa melihat raut wajahnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi bel pintu. Jung Tae-Rio bangkit dari kursi dan berjalan ke pintu. Lalu, “Oi, Ify,” panggilnya.
“Ada apa?” Ify berdiri dan menyusulnya ke pintu.
Jung Tae-Rio menunjuk ke monitor kecil di samping pintu. Ternyata monitor itu menunjukkan siapa yang sedang berada di depan pintu rumah. Ify melihat wajah gadis bermata sipit dengan rambut dikucir dan tangan memeluk kantong kertas.
“Itu temanmu?” tanya Jung Tae-Rio memastikan.
“Ya. Itu Young-Vua,” kata Ify.
Ify bisa melihat temannya nyaris pingsan karena sesak napas begitu mendapati Jung Tae-Rio yang membukakan pintu untuknya. Mata Young-Viayang sipit melebar dan salah satu tangannya langsung naik ke dada seakan untuk menahan jantungnya supaya tidak jatuh.
“Young-Viai, kau tidak apa-apa?” tegur Ify sambil menyentuh lengan Young-Via yang tiba-tiba kaku.
Dengan agak tergagap-gagap, Young-Via mengucapkan selamat pagi kepada Jung Tae-Rio sambil membungkukkan badan. Jung Tae-Rio membalas salamnya dan mempersilakannya masuk.
“Astaga, aku tidak percaya ini,” bisik Young-Via ketika ia duduk di sofa panjang ruang duduk dan melihat ke sekeliling. Saat itu Jung Tae-Rio sudah berjalan kembali ke ruang makan, meninggalkan mereka berdua di ruang duduk.
“Kenapa kau ini?” goda Ify sambil menyikut lengan temannya.
Young-Via menatap Ify dengan mata berbinar-binar. “Aku tidak percaya aku baru saja bertemu Jung Tae-Rio dan sekarang berada di dalam rumahnya. Aku duduk di sofanya. Aku menginjak lantai rumahnya. Astaga! Hei, kenapa kemarin kau tidak bilang kau berada di rumah Jung Tae-Rio?”
Ify meringis melihat tingkah temannya. “Hei, temanmu ini baru mengalami bencana.”
Young-Via berpaling dengan cepat ke arah Ify. “Oh, ya, maaf. Aku lega kau tidak apa-apa. Ini kubawakan beberapa pakaian. Pakaian dalam juga. Pakaian dalamnya baru kubeli tadi pagi. Baju-baju itu punyaku. Ukurannya pasti cocok untukmu.”
Ify menerima kantong kertas yang disodorkan Young-Via. “Terima kasih banyak. Aku pasti akan mengembalikannya nanti.”
Young-Via mengibaskan tangan. “Tidak usah dipikirkan. Lalu selanjutnya bagaimana?”
Alis Ify terangkat. “Mm?”
“Kau tahu kau bisa tinggal di rumah kami. Kami tidak akan keberatan sama sekali.”
Ify tersenyum. “Aku tahu. Terima kasih banyak. Tapi kurasa tidak perlu. Aku pasti hanya akan merepotkan kalian.”
Mata Young-Via melebar. “Merepotkan bagaimana? Kau boleh tidur denganku Young-Joon dan Young-Ho bisa pindah tidur di ruang tengah—“
“Mana mungkin aku membiarkan adik-adikmu tidur di ruang tengah?” sela Ify. “Aku tahu kalian akan dengan senang hati menerimaku, tapi aku sendiri akan merasa tidak enak kalau begitu.”
Young-Via terdiam sesaat, lalu berkata, “Kalau begitu kau akan tinggal di mana?”
Ify berdehem. “Aku akan mencari tempat tinggal baru.”
“Hei, kau kira kau bisa mendapatkan tempat tinggal baru dalam satu hari? Selama kau mencari kau akan tinggal di mana?”
Nah, kenapa kata-kata temannya ini persis seperti kata-kata Jung Tae-Rio? Ify memiringkan kepala dan berkata ragu, “Kurasa aku akan tinggal di… sini…”
Ify melihat Young-Via menahan napas dan menatapnya kaget. Lalu Young-Via mengerjapkan mata. “Di sini? Di rumah Jung Tae-Rio?”
“Di sini banyak kamar kosong,”Ify mengulangi kata-kata Paman Park Hyun-Shik tadi. “Jadi kurasa… Ah, lagi pula Jung Tae-Rio ssi yang menawarkan.”
Tidak, sebenarnya tidak persis begitu, tapi kira-kira seperti itulah.
“Kau yakin?” tanya Young-Via ragu.
“Aku tidak punya pilihan lain.” Kali ini giliran kata-kata Jung Tae-Rio yang Ify pinjam.
Tepat pada saat itu Park Hyun-Shik masuk ke ruang duduk bersama Jung Tae-Rio. Young-Via yang melihat kedatang mereka langsung melompat berdiri seperti disengat lebah. Park Hyun-Shik pun menyunggingkan senyumnya yang menawan.
“Kau teman Ify?” tanyanya ramah. “Apa kabar? Namaku Park Hyun-Shik.”
Sandy agak geli melihat temannya yang biasanya begitu cerdas tiba-tiba berubah menjadi agar-agar di depan dua pria tampan.
“Ehm… Apa kabar? … N-nama saya Kang Young-Via.”
“Tidak usah bersikap resmi seperti itu,” kata Park Hyun-Shik. “Kau teman Ify, itu artinya kau teman kami juga. Oh ya, apakah Ify sudah mengatakan padamu dia akan tinggal di sini untuk sementara?”
Young-Via melirik Ify dan menjawab, “Sudah, tentu saja sudah. Tenang saja, aku tidak akan mengatakannya pada siapa-siapa.”
“Terima kasih banyak. Kami sangat menghargainya.”
Jung Tae-Rio juga ikut tersenyum kepada Young-Via dan Ify merasa temannya sudah hampir ambruk ke lantai. “Maaf, tidak bisa mengobrol denganmu. Kami harus pergi sekarang, tapi kau bisa menemani Ify  di sini. Pasti kalian ingin mengobrol banyak. Anggap saja rumah sendiri.”
“Ooh… tentu saja. Terima kasih,” bisik Young-Via sambil tersenyum lebar.
Jung Tae-Rio berpaling kepada Ify. “Apa yang akan kaulakukan hari ini?”
“Nanti aku akan keluar sebentar. Ada yang harus kubeli,” kata Ify. “Aku juga ingin mampir dan melihat kondisi apartemenku.”
“Sendiri?”
“Oh, Young-Via akan menemaniku. Ya, kan?”
Young-Via cepat-cepat mengangguk dan memasang senyum termanisnya ketika Jung Tae-Rio berpaling memandangnya.
Jung Tae-Rio mengangguk dan kembali menatap Ify. “Baiklah, kunci cadangan ada di laci sebelah sana. Jangan lupa mengunci pintu kalau kau keluar. Aku akan meneleponmu nanti. Aku pergi dulu.”
Keempat orang itu saling bertukar kalimat “selamat jalan dan sampai nanti”. Lalu setelah kedua laki-laki itu pergi dengan mobil masing-masing, seperti air bah, Young-Via menumpahkan semua kata yang dipendamnya sejak tadi, “Wah, mereka berdua tampan sekali. Yang satu lagi itu siapa? Artis juga?”
Ify tertawa. “Bukan, paman itu manajer Jung Tae-Ifo.”
Young-Via mengangguk-angguk. “Manajernya? Namanya Park Hyun-Shik, ya? Tapi kenapa kau memanggilnya ‘paman’? Dia masih muda begitu.”
Ify hanya menggeleng dan tersenyum.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Ify ketika melihat Young-Via menatapnya dengan mata disipitkan.
“Aku ingin tanya, kau yakin tidak ada hubungan istimewa antara kau dan Jung Tae-Rio? Kau hanya menjadi pacarnya dalam foto? Hanya itu?”
“Begitulah. Kenapa?”
“Kau yakin? Lalu kenapa aku merasa kalian terlihat seperti suami-istri. Dan—astaga, aku baru sadar kau memakai pakaian laki-laki. Pakaiannya?”
Ify menunduk memandang baju Tae-Rio yang kebesaran untuknya. Bingung harus berkata apa. Untungnya Ify tidak perlu menjawab karena Young-Via tiba-tiba berkata, “Oh ya, aku hampir lupa memberitahumu Lee Jeong-Iel meneleponku kemarin malam.”
Ify mengangkat wajahnya. “Oh?”
Young-Via melanjutkan, “Karena tidak bisa menghubungimu, dia meneleponku untuk menanyakan kabarmu. Kukatakan padanya kau tidak apa-apa, tapi kemudian dia ingin tahu kau berada di mana.”
“Kau bilang apa?”
“Tidak bilang apa-apa. Kemarin malam kupikir kau bermalam di rumah salah seorang temanmu atau semacamnya. Itu yang kukatakan pada Lee Jeong-Iel. Hari ini aku baru tahu kau ada di rumah Jung Tae-Rio.”
“Kau tidak akan memberitahunya, kan?”
“Memangnya aku bodoh? Tentu saja tidak,” sahut Young-Via tegas. “Sudahlah, jangan bicarakan Lee Jeong-Iel lagi. Ayo, sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi kemarin malam. Tentang kebakaran itu dan bagaimana kau bisa berakhir di sini. Ada lagi, apa yang harus kukatakan pada ibuku? Ibu menyuruhku memintamu tinggal di rumah kami.”


Sepuluh

ENTAH sudah yang keberapa kalinya Park Hyun-Shik melihat Tae-Rio sedang menelepon. Jadwal kerja Tae-Rio hari ini cukup padat, tapi ia selalu telihat menelepon setiap kali ada waktu luang. Tanpa perlu bertanya, Park Hyun-Shik tahu siapa yang sedang dihubunginya.
“Tae-Rio, kau mau terus menelepon sampai kapan? Kau harus tampil sebentar lagi,” tegur Park Hyun-Shik sambil menepuk punggung temannya.
Tae-Woo yang sedang duduk di kursi putar dengan kaki terjulur tersentak dan menutup ponselnya. “Oh, Hyong.”
“Ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?”
“Tidak ada di rumah.” Tae-Rio seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Park Hyun-Shik pura-pura tidak tahu siapa yang dimaksud Tae-Rio. “Siapa?”
Tae-Rio mendesah. “Sudah. Lupakan, tidak ada apa-apa.”
“Sebaiknya kau bersiap-siap,” ia mengingatkan Tae-Rio sekali lagi.
Kali ini Tae-Rio menoleh ke arahnya dan bertanya, “Hyong, setelah ini aku tidak punya jadwal kerja lagi, kan?”

Ify baru saja masuk ke rumah ketika ia mendengar telepon rumah berdering. Ia menutup pintu dan meletakkan kunci di meja. Harus diangkat atau tidak? Bagaimanapun ini rumah Jung Tae-Rio dan ia tidak bisa sembarangan menjawab teleponnya. Akhirnya ia membiarkan mesin penjawab telepon yang menerima.
“Kalau kau ada di rumah, angkat teleponnya.”
Ify kaget mendengar suara Jung Tae-Rio di mesin. Ia cepat-cepat mengangkat telepon. “Halo?”
“Akhirnya kau menjawab juga. Aku sudah mencoba menghubungimu sejak tadi.” Suara Jung Tae-Rio terdengar agak jengkel.
Ify melirik jam tangannya. “Oh, aku tidak sadar sudah sore. Ada apa mencariku? Ada yang harus kulakukan?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
“Hanya ingin tahu keadaanmu.”
Ify tersenyum sendiri. “Aku baik-baik saja. Sekarang kau di mana?”
“Di jalan. Aku akan pulang sebentar lagi.”
“Mmm, kau mau kubuatkan makan malam?” tanya Ify sambil menimbang-nimbang. “Aku memang tidak bisa memasak, tapi aku bisa membuat bibimbab* atau…”
Ia mendengar Jung Tae-Rio tertawa di ujung sana. “Aku belum seberani itu untuk mencoba masakan orang yang mengaku tidak bisa memasak.”
“Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” protes Ify.
“Sudahlah, tidak usah. Hari ini kita makan di luar saja. Aku yang traktir.”
“Makan di luar? Kau ini bagaimana? Kau ingin orang-orang melihat kita?”
“Kalau dilihat pun kenapa? Bukankah kemarin wartawan sudah terlanjur tahu siapa dirimu?”
Ify tepekur. Benarkah hal itu baru terjadi kemarin? Kenapa sepertinya sudah lama sekali?
“Sebentar lagi wajahmu akan terpampang jelas di tabloid. Apa lagi yang bisa disembunyikan? Seluruh Korea akan tahu kau kekasihku. Apakah aku tidak boleh makan malam dengan kekasihku sendiri?”
Ify merasa jantungnya seakan berhenti berdegap dan napasnya tertahan. Apa yang terjadi pada dirinya?
“Halo? Ify, kau masih di sana?”
Ify tersentak. “Ya… ya.”
“Ya sudah, aku tutup dulu.”
Perlahan Ify meletakkan telepon. Ada apa dengannya? Ketika tadi Jung Tae-Rio berkata…
Sandy menepuk pipi dengan kedua tangannya. “Ify, sadarlah,” katanya pada dirinya sendiri. “Banyak hal yang lebih penting yang harus kaupikirkan.”
*Nasi campur khas Korea dengan berbagai macam sayuran dan bumbu lada merah kental.

“Jung Tae-Rio ssi, kau serius mau makan di sini?” Ify tahu suaranya terdengar khawatir.
Ia dan Jung Tae-Rio sedang berada di dalam lift yang membawa mereka ke lantai teratas gedung hotel itu. Setelah tahu Jung Tae-Rio akan mengajaknya makan malam di restoran hotel mewah, ia tidak bisa menekan rasa cemas di hatinya.
“Memangnya kenapa?” tanya Jung Tae-Rio tanpa menatap Ify.
Ify merentangkan tangan. “Lihat pakaianku. Aku tidak bisa masuk ke restoran itu. Bisa-bisa aku diusir.” Ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang jins milik Young-Via.
“Siapa yang berani mengusirmu?” tukas Jung Tae-Rio. “Tidak ada yang salah dengan pakaianmu. Ayo, masuk.”
Pintu lift terbuka dan tanpa menunggu komentar Ify lebih lanjut, Jung Tae-Rio berjalan sambil menarik tangan gadis itu. Mereka masuk ke restoran dan segera disambut salah satu pelayan yang langsung mengantarkan mereka ke meja untuk berdua di dekat jendela kaca besar. Restoran itu cukup sepi, lampu-lampunya menyala redup menciptakan suasana remang-remang. Selain suara percakapan yang sepertinya dilakukan dengan berisik, terdengar alunan lembut musik jazz. Tidak banyak tamu yang terlihat dan itu bukan hal yang mengherankan. Tentunya hanya orang-orang dari kalangan kelas ataslah yang bisa makan di tempat seperti ini.
“Wah, bagus sekali,” Ify bergumam senang ketika melihat ke luar jendela. Pemandangan malam kota Seoul dari ketinggian memang menakjubkan. “Kita ada di lantai berapa ya? Tinggi sekali.”
“Ah, aku lupa,” kata Jung Tae-Rio tiba-tiba.
Ify menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Kau tunggu di sini sebentar. Aku harus mengambil sesuatu,” kata Jung Tae-Rio sambil bangkit dari kursi.
“Oke. Jangan lama-lama,” sahut Ify. Lalu ia kembali mengagumi kerlap-kerlip cahaya lampu kota Seoul di bawah sana.
Beberapa menit berlalu dan Jung Tae-Rio belum kembali. Ify mendesah dan memandang ke sekeliling ruangan. Akhirnya ia bangkit dan berjalan ke toilet. Ketika Ify keluar dari toilet dan sedang berjalan kembali ke mejanya, ia mendengar seseorang memanggil namanya. Ify berbalik mengikuti sumber suara dan melihat wanita cantik bertubuh langsing dan tinggi sedang melambai ke arahnya sambil tersenyum lebar. Perasaan Ify langsung tidak enak begitu melihat wanita itu. Perasaannya pun bertambah berat seiring langkah yang diambil wanita itu untuk mendekati dirinya.
“Wah, Han Soon-Alyssa. Apa kabar? Aku tidak menyangka bisa berjumpa denganmu di sini,” sapa wanita itu dengan ramah, tapi bagi telinga Ify keramahan itu terdengar dibuat-buat, sama seperti senyumnya.
Sandy hanya tersenyum samar. “Apa kabar, son-bae*? Lama tidak bertemu.”
Jin Shilla-Rae mengibaskan rambut panjangnya dan berkata, “Jeong-Iel ssi akan ke sini sebentar lagi. Kau sendirian?” Namun tanpa menunggu jawaban Ify, Jin Shilla-Rae meneruskan, “Kebetulan aku bertemu denganmu, ada yang ingin kubicarakan.”
Ify diam saja, berdiri bergeming, dan menunggu kata-kata selanjutnya.
Jin Shilla-Rae menatap Ify dalam-dalam. “Aku sudah mendengar tentang apartemenmu yang terbakar dari Jeong-Iel ssi. Aku senang kau selamat. Tapi aku agak mengkhawatirkan Jeong-Iel ssi.”
Alis Ify terangkat kaget. Apa yang sedang dia bicarakan?
“Aku tidak suka berputar-putar, jadi aku akan bicara langsung saja. Aku melihat Jeong-Iel ssi ikut cemas karena kejadian yang kaualami. Padahal seharusnya ia tidak perlu repot-repot seperti itu karena kau baik-baik saja. Ya, kan? Bagaimanapun juga hubungan kalian sudah lama berakhir. Masalahmu sudah bukan masalahnya lagi.”
Ify tersenyum pahit. “Son-bae—“
“Oh, Soon-Alyssa.”
Ify menoleh dan melihat Lee Jeong-Iel menghampiri mereka. Ia mendesah dan berpikir kenapa kedua orang itu bisa datang ke tempat ini pada saat yang sama dengan dirinya.
“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Lee Jeong-Iel sambil menatap Ify dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Ify merasa risi diamati seperti itu, apalagi Jin Shilla-Rae juga sedang menatapnya tajam.
“Kau lihat sendiri, dia tidak apa-apa,” sela Jin Shilla-Rae sambil menyelipkan lengannya ke lengan Lee Jeong-Iel. “Benar, bukan, Soon-Alyssa?”
Ify meringis. “Ya, seperti yang bisa kalian lihat.”
“Kau sekarang tinggal di mana?” tanya Lee Jeong-Iel lagi dan Ify melihat air muka Jin Shilla-Rae langsung berubah.
“Di rumah teman,” jawab Ify pendek.
“Oh ya, kau sendirian? Bagaimana kalau bergabung dengan kami?” tanya Jeong-Iel mengalihkan pembicaraan.
Astaga. Apakah kedua orang itu sungguh-sungguh berpikir ia sudah begitu putus asanya sampai memutuskan untuk datang ke restoran semewah ini sendirian?
* kakak kelas.

Jin Shilla-Rae menarik lengan Lee Jeong-Iel dan cepat-cepat menyela, “Tadi Soon-Alyssa bilang dia sedang menunggu temannya. Nanti temannya malah merasa tidak enak kalau diajak bergabung karena tidak kenal dengan kita.”
Ify ingin sekali tertawa keras-keras melihat sikap kakak kelasnya yang seperti anak berumur lima tahun yang tidak mau melepaskan boneka beruang kesukaannya. Kapan ia pernah memberitahu Jin Shilla-Rae ia sedang menunggu seseorang? Tapi herannya tebakan wanita itu benar. Ia memang sedang menunggu Jung Tae-Rio.
“Maaf, sudah menunggu lama?”
Ify dan dua orang yang berdiri di hadapannya itu serentak menoleh ke arah sumber suara. Jung Tae-Rio menghampiri Ify sambil tersenyum lebar dan dengan kedua tangan di belakang punggung. Ify mendengar sentakan napas Jin Shilla-Rae. Ada sedikit rasa puas di hati Ify ketika melihat Jung Tae-Rio muncul, apalagi didukung kenyataan bahwa Jung Tae-Rio artis terkenal.
“Sudah menunggu lama?” tanya Jung Tae-Rio sekali lagi sambil menatap lurus ke arah Ify, mengabaikan dua orang yang ada di dekatnya.
“Oh, tidak. Tidak lama,” sahut Ify agak linglung.
“Tadi aku pergi membeli ini,” kata Jung Tae-Rio.
Ify tercengang melihat seikat besar mawar merah yang disodorkan Jung Tae-Rio ke arahnya.
Setelah Ify menerima bunga yang disodorkan Jung Tae-Ri, laki-laki itu seakan baru menyadari kehadiran dua orang lain yang melongo memerhatikan mereka. “Oh, maafkan saya. Saya tidak melihat Anda tadi. Apa kabar? Anda teman-teman Ify, ah, maksudku Soon-Alyssa?”
Ify melihat mata Jin Shilla-Rae berkilat-kilat, tatapannya tertuju lekat pada Jung Tae-Rio. “Anda Jung Tae-Rio ssi, bukan?” tanyanya bersemangat.
“Benar,” kata Jung Tae-Rio ramah. “Dan hari ini saya berencana menikmati makan malam yang romantis.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan merangkul bahu Ify.
Ify menatap Jung Tae-Rio dengan pandangan terkejut, kemudian matanya ganti memandang dua orang di hadapannya yang juga sedang menatapnya bingung.
“Sepertinya Anda berdua juga ingin menikmati makan malam yang romantis,” Jung Tae-Rio melanjutkan dengan nada ramah seperti tadi. “Kami tidak akan mengganggu acara Anda lebih lama lagi. Senang berjumpa Anda berdua.”
Selesai berkata begitu, dengan masih merangkul bahu Ify, Jung Tae-Rio menuntunnya kembali ke meja mereka.
“Terima kasih atas mawarnya,” kata Ify ketika mereka sudah duduk kembali. Ia memandang bunga pemberian Jung Tae-Rio dengan gembira.
“Kau suka?”
“Mm, suka sekali.” Ify menatap Jung Tae-Rio sambil tersenyum. “Kau sering memberikan bunga untuk wanita?”
Laki-laki itu hanya meringis. “Menurutmu begitu?”
“Ngomong-ngomong, memangnya hari ini hari apa?”
“Kenapa?”
“Kita makan di restoran mewah. Lalu mawar ini.” Ify menatap Jung Tae-Rio sambil berusaha mengingat. “Hari ini hari ulang tahunmu?”
Jung Tae-Rio tertawa. “Kalau aku yang berulang tahun, kenapa aku yang memberimu bunga? Bukankah seharusnya aku yang menerima hadiah?”
Ify berpikir-pikir lagi. “Kau baru tanda tangan kontrak baru atau semacamnya?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa?”
Jung Tae-Rio tersenyum lebar. “Nanti kau akan tahu sendiri.”
Ify memiringkan kepala, lalu mengangkat bahu.
“Laki-laki yang tadi itu mantan pacarmu?” tanya Jung Tae-Rio dengan hati-hati.
Ify mendesah. “Mm, dan wanita yang bersamanya itu kakak kelasku yang sekarang menjadi pacarnya.”
Jung Tae-Rio menatapnya. “Kau ingin kita pergi ke tempat lain?”
Ify tertawa. “Untuk apa?”
Jung Tae-Rio masih terlihat kurang yakin.
“Tidak apa-apa,” kata Ify menenangkan. “Bukankah ada kau yang menemaniku di sini?”
Jung Tae-Rio tersenyum. “Benar, ada aku di sini. Nah, sekarang kau mau makan apa?”

Lee Jeong-Iel tidak menikmati makan malamnya. Ia terus-menerus melirik ke arah meja Soon-Alyssa dan Jung Tae-Rio. Ia berharap gadis itu menoleh ke arahnya, tapi kenyataannya Soon-Alyssa tidak meliriknya sama sekali. Gadis itu mengobrol dan tertawa gembira dengan Jung Tae-Rio. Tentu saja Jeong-Iel sudah pernah membaca tentang hubungan Jung Tae-Rio dengan Soon-Alyssa, tapi waktu itu ia masih tidak ingin percaya. Hari ini Jeong-Iel benar-benar melihat mereka berdua dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata memang seperti yang ditulis di tabloid. Ia harus mengakui ia sama sekali tidak ingin melihat mereka berdua bersama.
“Jeong-Iel ssi, aku sedang bicara padamu.”
Jeong-Iel tersentak dan menatap wanita yang duduk di hadapannya. Jin Shilla-Rae memang wanita yang cantik dan menawan. Wanita itulah alasannya meninggalkan Soon-Alyssa dulu. Tapi sekarang sepertinya ada sedikit penyesalan dalam hatinya.
“Aku tidak menyangka Soon-Alyssa punya teman yang terkenal seperti Jung Tae-Woo. Bagaimana bisa?” kata Jin Shilla-Rae sambil mengerutkan kening. “Aku memang pernah membaca di majalah tentang hubungan Jung Tae-Rio dengan wanita yang bernama Han Soon-Alyssa, tapi aku tidak menyangka berita itu benar dan wanita yang dimaksud adalah Han Soon-Alyssa yang ini.”
Jeong-Su hanya bergumam tidak jelas menanggapi perkataannya.
“Nah, kau sudah tidak perlu mengkhawatirkannya karena sekarang dia sudah punya pacar yang terkenal,” Jin Shilla-Rae melanjutkan tanpa memandang Jeong-Iel.
Jeong-Iel bergumam sekali lagi dan melirik ke arah Soon-Alyssa. Gadis itu tertawa sambil menutup mulut dengan sebelah tangan, sedangkan Jung Tae-Rio menatapnya sambil tertawa kecil. Apa yang mereka tertawakan? Apa yang mereka bicarakan? Kapan terakhir kalinya ia melihat Soon-Alyssa tertawa seperti itu? Ia sudah lupa. Tiba-tiba saja ia merasa rindu pada tawa gadis itu.
“Lee Jeong-Iel ssi!”
Jeong-Iel tersentak sekali lagi mendengar namanya disebut dengan nada tinggi.
Jin Shilla-Rae sedang menatapnya kesal. “Kau sama sekali tidak mendengarkan apa yang baru saja kukatakan, kan?”
“Tentu saja aku mendengarkan,” Jeong-Iel mencoba membantah.
“Bagaimana kau bisa mendengarku kalau kau terus memerhatikan Han Soon-Alyssa?”
“Aku tidak memerhatikannya.”
Jin Shilla-Rae mengangkat kedua tangan. “Sudah cukup. Sekarang juga aku ingin pergi dari sini. Kita pergi ke tempat lain saja.”
Jeong-Iel mengerutkan kening. “shilla-Rae, kau sendiri yang bilang kau ingin makan malam di sini. Kenapa sekarang kau ingin pergi?”
Jin Shila-Rae melipat tangan di depan dada dan mendengus kesal. “Aku berubah pikiran. Aku ingin pergi ke tempat lain. Ayo, kita pergi.”
Tanpa menunggu lagi, Jin Shilla-Rae meraih tas tangannya dan bangkit dari kursi. Jeong-Iel berusaha menahannya, tapi tidak berhasil. Ia mendesah dan menoleh ke arah Soon-Alyssa sekali lagi. Tentu saja gadis itu tidak sedang melihat ke arahnya. Jeong-Iel menarik napas, membayar makanan, dan menyusul Jin Shilla-Rae.
Ify menyadari kepergian Jin Shilla-Rae dan Lee Jeong-Iel dari restoran itu. Jung Tae-Rio juga.
“Mereka pergi,” kata Tae-Rio sambil melihat ke arah pintu restoran.
Ify hanya berdehem dan menatap piringnya yang sudah hampir kosong. Ia kesal. Kenapa perasaannya masih tidak enak ketika melihat Lee Jeong-Iel dan Jin Shilla-Rae bersama? Kenapa ia masih belum bisa melupakan masalah delapan bulan yang lalu? Tidak mungkin ia masih mengharapkan Lee Jeong-Iel, kan?
“Lagi-lagi ekspresi itu.”
Ify mengangkat wajahnya dan memandang Jung Tae-Rio. Laki-laki itu sedang mengamati wajahnya. “Apa?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio menyandarkan punggung ke kursi dan tersenyum kecil. “Setiap kali menyebut nama mantan pacarmu dan setiap kali kau menerima telepon darinya, ekspresi wajahmu pasti jadi seperti itu. Ekspresi wajah yang tertekan, seakan-akan kau harus menyelesaikan semua masalah yang ada di dunia.”
Ify menunduk. “Maaf.”
Jung Tae-Woo memandang ke luar jendela. “Nah, apa yang bisa kita lakukan agar kau tidak memasang wajah seperti itu lagi? Mmm… Ah, aku tahu!”
Ify menatap Jung Tae-Rio dengan penuh rasa ingin tahu.
Jung Tae-Rio berpaling kembali ke arahnya sambil tersenyum lebar. “Tunggu sebentar.”
Ify bertambah bingung ketika Jung Tae-Rio bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari restoran. Apa yang akan dilakukannya?
Tidak lama kemudian Jung Tae-Rio kembali dan berkata kepada Ify, “Setelah makan, aku akan membawamu ke suatu tempat.”
Ketika mereka sudah menyelesaikan makan malam mereka, Jung Tae-Rio membawa Ify turun ke lantai dasar gedung hotel itu.
“Jung Tae-Rio ssi, kita mau ke mana?” tanya Ify ketika mereka menyeberangi lobi utama hotel.
“Kau akan tahu,” Jung Tae-Rio menjawab pendek.
Ternyata Jung Tae-Rio membawanya ke taman belakang hotel. Taman itu luas sekali dengan kolam renang besar di tengah-tengahnya. Lampu-lampu taman dinyalakan sehingga walaupun hari sudah malam, taman itu tidak terlihat gelap. Lampu-lampu di dalam kolam renang juga dinyalakan sehingga mereka bisa melihat dasar kolam renang dengan jelas.
“Ah, menyenangkan sekali berada di udara terbuka,” kata Jung Tae-Rio sambil duduk di salah satu kursi kayu di pinggir kolam renang.
Ify melihat ke kiri dan kanan dengan bingung. Kenapa Jung Tae-Rio membawanya ke sini? Tidak ada orang lain di taman itu. Meski sepi sekali, Ify menikmati kesunyian itu.
“Jung Tae-Rio, kenapa kita ke tempat ini?” tanyanya sambil duduk di kursi di samping laki-laki itu.
“Kalau tidak salah, beberapa hal yang bisa membuatmu bahagia adalah mendengarkan musik, makan keripik kentang, bunga, kembang api, hujan, dan bintang. Aku benar, kan?”
Ify agak kaget mendengar kata-kata Jung Tae-Rio. Ia sendiri tidak ingat kapan ia memberitahu Tae-Rio tentang hal itu.
Jung Tae-Rio melanjutkan, “Sekarang aku tidak punya keripik kentang, aku tidak tahu kau suka musik apa. Bunga, kau sudah memegangnya.”
Ify menatap mawar yang sedang dipeluknya. Ia masih tidak mengerti apa yang ingin dikatakan Jung Tae-Rio.
Jung Tae-Rio mendongak menatap langit yang gelap dan berkata, “Tidak ada bintang malam ini dan sayang sekali aku tidak bisa memanggil hujan.” Ia menoleh ke arah Ify. “Kalau begitu, hanya tinggal satu yang bisa dilakukan.”
Alis Ify terangkat ketika Jung Tae-Rio mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Halo? Ya, Anda bisa memulainya sekarang,” katanya kepada seseorang di ponsel. Setelah itu ia menutup ponsel dan tersenyum kepada Ify. Ia mengangkat sebelah tangan dan menunjuk ke langit. “Coba lihat di sana.”
Ify memandang ke langit yang gelap dengan dahi berkerut. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Jung Tae-Rio. Ia baru saja akan membuka mulut untuk bertanya lagi ketika ia mendengar bunyi desingan lalu letupan. Saat itu juga matanya melihat cahaya warna-warni di langit. Bunyi desingan dan letupan itu terdengar lagi, sambung-menyambung. Langit malam pun tampak semakin semarak dengan cahaya indah warna-warni.
Kembang api! Banyak sekali kembang api!
Tanpa sadar Ify berdiri dari kursinya. Sebelah tangannya terangkat ke mulut. Matanya terpaku pada berkas-berkas sinar yang meluncur ke langit dan meledak menjadi bunga-bunga api. Ini pertama kalinya ia melihat kembang api sebanyak itu secara langsung dan merasa begitu takjub sampai-sampai dadanya terasa sesak.
“Bagaimana?”
Ify menoleh dan melihat Jung Tae-Rio berdiri di sampingnya. Ia kembali menatap langit. “Ini pertama kalinya aku melihat kembang api sungguhan, dan bukan dari televisi.”
“Perasaanmu sudah baikan?”
Ify menoleh kembali ke arah Jung Tae-Rio. Ia tidak menyangka ternyata laki-laki itu sedang berusaha menghiburnya. Ify tersenyum dan berkata, “Jauh lebih baik. Kau tahu kau tidak perlu melakukan semua ini. Tapi, bagaimanapun, terima kasih.”
Jung Tae-Rio balas tersenyum. “Aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tertekan. Kau sudah membantuku. Jadi kalau aku bisa membantu meringankan sedikit bebanmu, kenapa tidak? Aku hanya ingin melihatmu gembira seperti sekarang, itu saja.”

“Haah… malam ini indah sekali,” kata Ify ketika ia dan Jung Tae-Rio tiba di rumah. Ify menciumi mawar yang ada dalam pelukannya dan tersenyum-senyum sendiri.
Sementara itu Jung Tae-Rio sudah berjalan ke arah dapur, membuka lemari es, mengeluarkan sebotol air dingin, dan meminumnya langsung dari botolnya.
“Kau punya vas bunga?” tanya Ify.
“Entahlah, tapi kalau tidak salah ada di dalam lemari yang itu.” Ia menunjuk lemari dapur lalu berjalan ke pianonya.
Ify membuka-buka lemari sambil bersenandung pelan. “Ini dia.” Ia mengeluarkan vas bunga berwarna biru, mengisinya dengan air, dan memasukkan bunga mawarnya ke sana. Ia mendengar Jung Tae-Rio memainkan beberapa nada lagu di pianonya.
Ify menoleh ke arah Tae-Rio. “Jung Tae-Rio ssi, nyanyikan satu lagu,” pintanya. Lalu ia menghampiri laki-laki itu sambil membawa vas bunganya.
“Bukankah aku pernah bilang kau harus membayar kalau mau mendengarkanku menyanyi?”
Ify meletakkan vas bunga di atas piano dan meringis. “Bukankah kau bilang kau mau membuatku gembira?”
Alis Jung Tae-Rio terangkat. “Aku pernah bilang begitu?”
Ify mengangguk. “Kau juga pernah bilang kau akan memberikan apa pun yang kuinginkan kalau aku bersedia berfoto denganmu. Sudah lupa?”
“Aku pernah bilang begitu?” Jung Tae-Rio menengadah dan berusaha mengingat-ingat.
Ify mengangguk dan bersandar pada piano, menunggu Jung Tae-Rio memulai lagunya.
Jung Tae-Rio mendesah. “Baiklah, kau ingin mendengar lagu apa?”
Sandy berpikir sejenak, lalu berkata, “Lagunya Jo Sung-Mo. Piano. Aku suka sekali lagu itu. Amat sangat romantis.”
Jung Tae-Rio menggaruk-garuk kepalanya. “Piano? Kenapa kau meminta lagu yang sedih? Tidak ada lagu lain yang lebih menyenangkan?”
“Tapi lagu itu bagus. Tidak suka? Kalau begitu, terserah kau saja mau menyanyikan lagu apa,” kata Ify cepat-cepat.
Jung Tae-Rio berpikir sebentar, lalu meletakkan jari-jarinya di atas tuts piano dan mulai memainkannya sambil bernyanyi dalam bahasa Inggris.
I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself, what a wonderful world
Sandy bertepuk tangan dengan gembira ketika mengenali lagu What A Wonderful World yang sedang dinyanyikan Jung Tae-Woo itu.
I see skies of blue, and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself, what a wonderful world
The colors of the rainbow so pretty in the sky
Are also on the faces of people going by
I see friends shaking hands saying, “How do you do?”
They‟re really saying, “I love you”
I hear babies crying, I watch them grow
They‟ll learn much more than I‟ll ever know
And I think to myself, “What a wonderful world”
And I think to myself, “What a wonderful world”
Walaupun bahasa Inggris aktif Ify tidak terlalu lancar, ia bisa mengerti bila mendengar orang lain berbicara dalam bahasa itu. Lagu yang dinyanyikan Jung Tae-Rio membuat dirinya seolah terbang ke angkasa, begitu damai, ringan, walaupun ia kembali menginjak bumi setelah lagu itu berakhir.
“Bagus sekali, bagus sekali,” puji Ify sambil bertepuk tangan. “Tidak sia-sia kau tinggal lama di Amerika. Bahasa Inggris-mu sangat bagus.”
Jung Tae-Rio hanya tertawa kecil. “Sudah puas?”
“Mmm, puas dan senang,” ujar Ify.
Jung Tae-Rio merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan kotak berbentuk persegi hijau berhiaskan pita kuning. Ia meletakkan kotak itu di atas piano dan mendorongnya ke arah Ify.
Ify mengangkat alisnya begitu melihat kotak itu. “Apa ini?”
“Buka saja.”
Ify membuka kotak itu dan tercengang ketika melihat di dalamnya ada ponsel yang sama persis seperti ponselnya yang hilang dalam kebakaran.
“Selamat ulang tahun.”
Ify mengangkat wajahnya dan menatap Jung Tae-Rio dengan pandangan bingung dan kaget.
Tanpa menunggu kata-kata Ify, Jung Tae-Rio melanjutkan, “Susah sekali menghubungimu kalau kau tidak punya ponsel. Sebenarnya aku ingin membeli ponsel yang lain sehingga kau tidak akan salah mengambil ponselku lagi, tapi aku berubah pikiran. Bagaimana? Aku juga sudah meminta nomor yang sama, jadi ponsel itu masih menggunakan nomor yang sama seperti ponselmu yang dulu. Bisa langsung digunakan.”
“Ooh… Terima kasih.” Ify masih agak bingung. Ia mengamati ponsel pemberian Jung Tae-Rio, lalu berkata lagi, “Tapi ulang tahun? Jung Tae-Rio ssi, ulang tahunku besok, bukan hari ini.”
Jung Tae-Rio tersenyum lebar dan menunjuk ke arah jam dinding di belakang Ify. Ify berbalik dan melihat jam dinding.
“Sudah lewat tengah malam. Jadi hari ini hari ulang tahunmu,” kata Jung Tae-Rio. “Kau bahkan tidak sadar ya? Berarti kejutan yang sudah kusiapkan bisa dikatakan berhasil?”
Ify tertegun, lalu tertawa. “Astaga, jadi makan malam tadi, bunga, kembang api, dan ponsel ini, semua itu untuk merayakan ulang tahunku?”
Jung Tae-Rio mengangguk. “Jangan lupa, aku juga baru menyanyikan lagu untukmu. Itu juga harus dihitung.”
“Bagaimana kau bisa tahu hari ulang tahunku?”
Jung Tae-Rio hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Ify masih bingung. “Tapi kenapa harus dirayakan malam sebelumnya? Kita bisa merayakannya beramai-ramai besok, maksudku hari ini, eh, besok. Ah, pokoknya bisa dirayakan pada harinya.”
“Sebenarnya pagi-pagi nanti aku harus berangkat ke Jepang, jadi aku tidak bisa ikut merayakan ulang tahunmu pada harinya,” Jung Tae-Rio menjelaskan.
“Ke Jepang?” tanya Ify. “Untuk apa?”
“Kerja,” sahut Jung Tae-Rio. “Kau kira untuk berlibur?”
“Berapa lama kau akan di sana?”
Jung Tae-Rio mengangkat bahu. “Belum tentu, tapi mungkin sekitar tiga hari.”
Ify merenung.
“Oh ya, bagaimana ini? Tidak ada kue ulang tahun,” kata Jung Tae-Rio tiba-tiba.
“Tidak perlu kue segala,” sela Ify. “Sudah banyak yang kaulakukan malam ini. Bagiku itu sudah lebih dari cukup dan aku sangat gembira.”
“Terharu juga?”
“Terharu juga. Aku belum pernah merayakan ulang tahunku di tengah malam.” Ify tertawa.
Jung Tae-Rio bangkit dari kursi piano dan berkata, “Baiklah, sudah malam, kau—“
“Tunggu dulu.” Ify menahannya. “Nyanyikan satu lagu lagi ya?”
“Lagi?”
“Ayolah, sekali lagi saja,” katanya sambil duduk di samping Jung Tae-Rio. “Aku suka melihatmu memainkan piano.”
Jung Tae-Rio menyerah dan duduk kembali. “Baiklah, lagu apa?”
“Terserah kau saja.”
Jung Tae-Rio menatap tuts-tuts pianonya sambil berpikir, lalu ia mengangkat wajahnya dan menoleh menatap Ify. “Ini salah satu lagu favoritku. Judulnya Fly Me to the Moon.”
Kemudian Ify memerhatikan jari-jari panjang Jung Tae-Rio menari-nari di atas tuts-tuts piano sementara bunyi dentingan piano yang lembut dan suara Jung Tae-Rio yang indah menghiasi kesunyian malam.
Poets often use many words to say a simple thing
It takes thought and time and rhyme to make a poem sing
With music and words I’ve been playing
For you I have written a song
To be sure that you know what I’m saying
I’ll translate as I go along
Sambil bernyanyi, Jung Tae-Rio sesekali melihat ke arahnya dan mereka berdua tersenyum. Ify tidak pernah merasa begitu… begitu… istimewa. Ya, istimewa. Makan malam, mawar, kembang api, hadiah yang diberikan Jung Tae-Rio untuknya, dan sekarang ia sedang duduk di sebelah Jung Tae-Rio sambil mendengarkan laki-laki itu menyanyi khusus untuknya. Ia merasa bahagia. Entah sejak kapan ia menyadari jantungnya berdebar dua kali lebih cepat setiap kali ia bertemu pandang dengan Jung Tae-Rio atau bila laki-laki itu tersenyum kepadanya. Entah sejak kapan juga ia mulai suka mendengar Jung Tae-Rio bernyanyi. Matanya kini tidak bisa lepas dari sosok Jung Tae-Rio yang bernyanyi sambil memainkan piano.
Fly me to the moon and let me play among the stars
Let me see whatSpring is like on Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, darling, kiss me
Fill my heart with song and let me sing forever more
You are all I long for, all I worship and adore
In other words, please be true
In other words, I love you
(Hiro, album: Coco d’Or)

No comments:

Post a Comment