Friday, 29 June 2012

Boy Sitter [16]


Boy Sitter [16] : Bukan Lipstik!
MOBIL yang sampai saat ini belum kuketahui mereknya itu, berhenti tepat di depan pagar rumahku. Aku nggak segera membuka sabuk pengaman  dan langsung pergi. Kami berdua terdiam dalam mobil,  memandang kosong objek keluar, dibalik gelapnya malam.
“ngngn.. Yo, makasih ya.” Ujarku pelan.
Kami langsung saling menoleh,dan  kurasakan Rio memandangku dengan cara lain.
“Kamu… kamu lain kali hati-hati, ya.” Pintanya.
Aku tertunduk, memikirkan kalimat Rio barusan dengan dalam, dan setidaknya sedikit rasa… malu. Kuanggukkan kepala, lalu menyunggingkan senyuman terima kasih. Kuraih HP dari dalam tas, dan mendapati sekarang sudah pukul sepuluh malam.
“Aku.. aku pulang dulu.” Pamitku, sedikit canggung.  Entah mengapa rasanya aku dan Rio sepertinya mendapati situasi percakapan yang sedikit berbeda.
“Aku antar kamu,” tawar Rio tiba-tiba,membuka sabuk pengaman, berbarengan denganku.
Aku nggak menolak saat itu. Kubiarkan Rio berjalan membuntutiku di belakang, hingga mencapai pintu depan.
Masih berjalan dengan tertunduk, kubalikkan  badan dan menatap Rio sambil tersenyum manis.  Dia mendapatiku mencoba tersenyum dengannya. Dan dia pun tersenyum juga.
“Oke, sampai jumpa. Selamat malam.” Ucapku melambai padanya.
“Tunggu…!” tahan Rio pelan.
Aku masih bisa mendengarnya. Kubalikkan badan dan menatap Rio penuh arti.
“Kamu..kamu masih babysitter-ku,kan?” Tanya Rio tiba-tiba.
Aku menggeleng. “Emang kenapa?” alisku terangkat.
“Aku… aku.. nggak jadi.”
“Iihh.. kenapa sih?”
“Nggak apa-apa, sori kalo ganggu.”
 Kami berdua terdiam lagi, lalu saling tersenyum manis. Aku melambai lagi,masuk ke rumah. Kututup pintu dengan pelan, dan dapat kulihat Rio masih berdiri di depan pintu.
Hm.. What an amazing night.
Malam yang menegangkan sekaligus malam yang so sweet.  Nggak pernah nyangka kalo yang namanya Dino tuh cakep banget!  Tapi nggak pernah kusangka pula ternyata dia bajingan.! Dasar brengsek. Huh.. body masa kini.. masa kelakuan gitu?!
Hiiiyy.. malam yang menyeramkan tapi ingin kugarisbawahi pula malam ini adalah malam yang manis. Rio, nggak kusangka membuntutiku,  lalu menolongku ketika aku benar-benar dalam “zona berbahaya”.  Alhamdulillah. Untungnya masih ada orang yang menolongku.  Aku nggak tau lagi gimana nasibku selanjutnya seandainya Rio nggak ada di sana tadi.  Mungkin aku.. udah jadi individu baru dengan traumahidup  dan noda hitam besar yang menempel di benakku.
Aku bergegas menuju dapur, dan menemukan mama beres-beres piring makan malam. Huh, kelihatannya banyak banget!
“Hai, gimana nge-datenya?” goda Mama, karena dia  tau petang tadi aku hendak pergi kemana.  Aku jujur dengan mama  kalau aku akan gathering  dengan stranger dari Internet.
“Buruk. Dia berperangai buruk. Untungnya aku berhasil pergi dan… kurasa nomor teleponnya akan kuhapus, atau kalau bisa kuganti nomor HP-ku dengan nomor yang baru.  Setelah itu  sih.. aku jalan-jalan di BIP.” Jawabku dengan sedikit mengubah cerita.
Mama tersenyum kecil, kembali menyibukkan diri dengan piring kotornya.  Aku sempat heran mendapati piring kotor dengan jumlah yang banyak. Layaknya barusan ada..
“banyak banget deh, Ma! Barusan siapa yang makan malem disini?  Orang-orang satu RT ya, Ma?”
Mama cekikikan. “Bukan. Bukan siapa-siapa. Cuma, yah, saudara sepupumu berikutnya. Yuni dan Angel. Dia datang tepat lima menit setelah kamu pergi.  Biasa. Lagi-lagi mereka liburan kesini.”
Hah? Sepupu lagi? Aduh ya, tinggal satu minggu menuju tahun ajaran  baru, kenapa sih, saudara-saudaraku datang di minggu terakhir liburan seperti ini? Udah ada si Ardhya sama Oik. Masa sekarang ada Yung dan Angel juga?! Hiiih..jangan-jangan aku tidur di kolong kasur malam ini?  Tempat tidurku bakalan kelebihan muatan.
Ya ampun… dunia terasa sesak. Penuh manusia di kamarku.
Gdbuugg! Dugh! Dagh! Gdbuggh! Brak! Bruk!
 Huh, lagi-lagi suara orang jatuh dari tangga kudengar malam ini. Kalau bukan si Oik, pasti satu diantara tiga sepupuku lainnya. Aku berbalik perlahan, dan berjalan menuju tangga.  Tuh kan, nggak jauh lagi. Oik yang jatuh lagi-lagi-lagi-malam ini.
“Ya ampun.. sapa sih yang naro tangga di sini?” keluhnya, mengerang.
“Biasa aja, dong. Gak usah pake lari-lari segala. Ada apa sih?” aku membungkuk, membantunya bangkit.
“Itu…itu… itu….” Oik tergagap menunjuk pintu depan.
“Itu kenapa?”
“Ngnng.. itu ah! ya ampun, deh. Ah-ah-ah auww! Muah-muah-muah.. cilukba!”
“Apaan  sih? Jijik banget deh.”
“Itu! Di pintu! Di pintu itu!” seru Oik sangat panik.
“Kenapa, sih?”
Aku berjalan ke pintu depan, lalu perlahan membuka pintunya. Dan…..
Sama kagetnya dengan Oik, aku menemukan Rio masih berdiri di depan pintu rumahku.
“Rio?” aku mengernyitkan dahi.
Buuuggh! Oik jatuh ke lantai.. pingsan.
Aku berlari ke arah Oik.
“Sapa sih.. yang naro Bison.. di sana?” gumamnya kemudian.
Pluuuk! Tengkuknya jatuh ke lantai. Benar-benar pingsan sekarang.
 Aduh, ya. Biasa aja deh. Kayak ngeliat Justin Timberlake mampir ke rumah ini aja. Plis deh. Dia kan Cuma si Rio.
Aku menarik Oik dan membaringkannya disofa. Namun.. ugh! Berat! Ya ampun.. aku tuh lagi narik  orang atau mobil, sih?  Pokonya kalau Oik bangun, ingatkan aku untuk memintanya diet. Ih, meskipun aku tau dia Cuma 48 kg,  tapi tetep aja bo! Nih cewek massanya lebih berat dari massa planet Mars.
Hop! Rio tiba-tiba berada di hadapanku, dan mengangkat Oik dengan mudah ke sofa.  Aku membuntutinya dan langsung mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya.
“Oik.. bangun..” aku menggoyang-goyangkan badannya, tapi tetep nggak bangun.
“K…kenapa dia?” Tanya  Rio.
“Gara-gara kamu ada di sini, tau!  Dia kan,suka sama kamu. Pantes dia pingsan juga. Kamunya sih, ada disini.” Aku kembali mengibaskan  tangan, juga sempat menggoyangkan tubuhnya agar ia bangun.
“Oik…  hello.. bangun woy! Kenapa sih?! Heeyy!  Bangun!” aku menampar-nampar pipinya pelan,  mengguncangkan bahunya, memijit lengannya, menjambak rambutnya, menekan dadanya,  ya ampun! Diapa-apain kok, masih pingsan juga?!
Aku menoleh ke belakang. Dan .. hey! Rio hilang! Dia nggak ada lagi disini! Kemana dia? dia pergi. Oh, cepat sekali dia hilang! Tapi… hmh peduli amat,sih?
Lima menit kemudian, setelah menempuh perjuangan yang mendebarkan, dengan keringat basah mengisi kesabaran, akhirnya.. si Oik bangun juga!
“Aduh.. kenapa sih, sofanya warna putih?” gumamnya begitu pertama kali membuka mata.
“Emang kenapa,sih? Sama aja, kan?”
“Gue pengin yang kembang-kembang di sana.”
“Udah deh, ah. sini. Duduk. Kamu tuh aneh. Pake pingsan segala.”
“tadi Bison. Ada Bison di pintu!”
“Nggak! Nggak ada apa-apa! Cuma halusinasi kamu.” Aku berbohong, berusaha menjaganya agar nggak pingsan lagi.  Karena kemungkinan, Oik akan pingsan lagi kalau aku menyebutkan nama Rio.
Oik duduk dan mencoba bernapas dengan tenang.  Dia menatap karpet, dan kuusap-usap tengkuknya, menenangkannya.
“Yuni sama Angel-nya mana?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ama Ardhya. Luluran lagi di kamar mandi.”
“Luluran lagi? Luluran pake apaan?”
“Yaaaa… pake scrub yang kemarin dipake luluran juga,! Yang botol pink itu.”
“Aduh, ya. Berapa kali sih, harus kukatakan kalau itu buat nyuci muka, bukan buat luluran!  Kalo pengin luluran, kenapa nggak ke salon aja?!!” 


AKU menarik selimut,menutupi dada,dan mencoba memejamkan mata. Pukul dua belas malam. Huh, gara-gara kedatangan saudara sepupuku lagi,  aku harus menemani mereka ngobrol tentang perjalanan mereka ke sini.
Angel, nggak lebih baik dari Ardhya ataupun Oik. Mirip Dora The Explorer ketika memakai ransel, dan mirip Putri Huan Zhu ketika pake kebaya. Agak manja dan cara berbicaranya agak dibuat-buat. Dia bukan Angel di sekolahku. Angel ini adalah saudara sepupuku,  asal Garut.
Yuni?hm, apalagi ini. Sama-sama nggak lebih baik untuk dibicarakan. Bermasalah dengan yang namanya “buncit” dan setiap orang di sekolah selalu mengingatkannya tentang sebuah kata, “perut”.  Dia tinggal  di Bale Endah.  Satu sekolah denganku, tapi beda kelas dan kami nggak terlihat seperti saudara sepupu dii sekolah.  Yuni anggota OSIS,sehingga nggak punya geng yang mendominasi di sekolah. Bahkan, OSIS sendiri mulai meredup,  terinjak oleh Kompilasi, Mozon, Rebonding Galz, RAG, dan Tweenies.
HP-ku bergetar.aku menyingkap selimut dan segera mengambil HP di meja. Bu Nira nelepon.
“Halo.” Sapaku.
Oh, Ify.. taukah kamu Dede ada dimana sekarang?  Katanya dia mau ketemu kamu tadi sore, tapi nggak kembali sampai sekarang. Saya cemas. Setiap ditelepon, selalu direject.  Saya yakin HP-nya aktif,  tapi diia selalu menolak untuk menerima panggilan saya.” Ujar Bu Nira cepat, terdengar sangat panik.
“Tadi sih, ada di sini. Tapi kalo nggak salah dia udah pulang jam sepuluh tadi.”
Oh.. kira-kira Dede ada dimana ya? Saya khawatir. Dede nyetir sendirian malam-malam gini.”
“Saya akan mencoba mencarinya.”
“nggak usah, udah malem. Kamu tidur aja. Biar saya yang nelepon temen-temennya. Maaf udah ganggu,makasih.”
Hubungan telepon pun terputus.  Aku meletakkan lagi HP ke atas meja, dan berjalan pelan menuju kasur lipat.
Hm.. Rio kemana ya? Terakhir aku ngelihatnya sih, pas Oik pingsan tadi. Tapi dia ngilang gitu aja, lenyap.
I thought It’s better for me to go sleeping
But…….
Aku nggak bisa tidur. Rio kupikirkan terus menerus. Ya ampun, dia kemana ya?  Dia nggak ketemu Dino terus ngehajar dia,kan?  Dia nggak sakit haati karena aku usir dia, kan? Dia nggak nyoba buat bunuh diri, kan?  Dia nggak kecelakaan mobil karena mengantuk,kan?  Dia masih baik-baik aja, kan?
Oh.. aku stress!! Sepuluh menit menjelang tidur yang menyiksaku.aku nggak bisa tidur dan mimpi indah kalau Rio terus-terusan ada di pikiranku. Rio.. dimana kamu?
Tiba-tiba……
Kudengarkan hentakkan kaki berirama, sayup-sayup di bawah sana. Aku mengenal irama itu. Irama lagu  yang dimainkan Rio melalui piano beberapa hari lalu.
Aku menyingkap lagi selimutku, dan menuruni tangga dengan cepat. kutemukan mama tertidur di sofa, dengan keadaan tv menyala.
Irama hentakkan kaki itu semakin jelas di bawah sini.  Tapi dimana?darimana asalnya suara itu?
Aku menoleh ke pintu depan yang ternyata belum terkunci dengan tirai yang menyingkap sedikit. Ya ampun mama kok bisa-bisanya lupa nutup pintu.  Papa juga kemana lagi? Akhir-akhir ini kok aku jarang ngeliat papa?!
Suara itu. Ya. Suara itu berasal dari luar. Seseorang menghentakkan kaki, menciptakan irama yang lembut itu. Aku bergegas keluar dan menemukan Rio duduk di kursi teras depan.
“Rio?” aku melongo kaget, sedikit nggak percaya, sedikit heran, sedikit kesal, dan sisanya mengantuk.
 Rio menghentikan  hentakkan kakinya lalu menoleh padaku. Dia tersenyum, lalu bangkit dan menatapku dengan pandangan lain.
“Kamu ngapain disini? Udah malem..tadi mama nyariin kamu.”
“Aku.. aku lagi nungguin kamu.” Ujarnya sedikit tersipu.
“Apa?”
“Boleh kan aku nungguin kamu? Aku pengin ngajak kamu ke rumahku lagi. Ngasuh aku lagi. Kita bisa maen bareng lagi.  Maen PS,maen piano, maen air. Aku janji bakalan nurut sama  kamu dan mama sekarang.” Ujarnya lembut.
“Kamu?” Aku menghembuskan napas. “Rio, dengerin aku, ya. Kemaren aku di rumah kamu tuh, kerja.bukan buat apa-apa.dan masa kerjaku udah abis.  Jadi..kamu harus ngerti dong.. mulai sekarang.. kita jalanin hidup seperti biasanya. Kita sebaiknya musuhan lagi. Maksudku, kita seperti dulu lagi.kamu ngejek aku. Dan aku pun ngejek kamu. Sekolah bakalan gempar kalo tau kita akur-akur aja. Itu tuh.. bagaikan melanggar kodrat yang udah dibuat.”
“jadi.. nggak boleh main sama musuhku?”
“Rio….”
“Oke-oke aku ngerti.” Sela Rio. “aku tau kamu nggak mau kita akur karena,karena aku kayak gini kan? Ya, silahkan aja.aku ngerti kok.  Aku yang salah. Aku nggak berhak ngejar kamu Cuma buat minta kamu jadi temenku.  Oke, sekarang aku ngerti. Aku nggak pantes buat  temenan sama siapapun juga. Aku nggak pantes buat temenan sama siapapun………”
“Maksudku tuh, Ri……..”
“Iya-iya udah.nggak usah dijelasin lagi.  Aku udah cukup ngerti. Mana ada sih, cewek yang mau deket-deket sama cowok kayak aku?  Cewek mana,sih?oke, tiap cewek emang tergila-gila sama aku,  tapi kan… yakin deh, mereka bakal jijik kalo tau aku kayak gimana.”
“Nggak gitu, kok, Yo.”
“udahlah. Aku tau aku nggak pantes lagi buat hidup.”
“Rio! Jaga bic…..”
“Terus, kenapa kamu gak mau temenan sama aku?!” potong Rio membentak. “aku tau aku ini nggak normal. Aku tau aku ini aneh.  Tapi kenapa sih, Cuma minta jadi temen aja nggak boleh?!  Haram, ya?kenapa, sih? Kenapa sih nggak ada yang ngerti kalo aku tuh lagi coba buat berubah.  Kenapa sih,nggak ada yang mau dukung aku buat berubah?!”
Aku menunduk terisak karena melihat Rio mulai berkaca-kaca. Emosinya sedang keluar. Bahkan isakan sakit di dadanya, semakin lama semakin menyesakkan telinga yang mendengarnya.
“Aku…aku tuh punya salah apa, sih?  Sampe punya temen cewek aja gak boleh. Aku tuh semenjijikkan apa, sih?  Aku tuh nggak ngerti. Penjahat aja masih bisa dikasihani,kok. Masih punya temen.kenapa aku nggak?  Aku sadar aku tuh lain. Aku manja, childish, jahil.  Ya semuanya, semua yang buruk yang ada di pikiran kamu, sebutin aja, itu pasti aku. Aku emang nggak pernah jadi yang paling baik, jadi anak yang pinter, nggak pernah jadi anak yang rajin. Tapi,apa karena itu aku nggak punya temen?”
Rio mulai menitikkan air matanya. Aku melihatnya dengan jelas. Begitu aku mendongak, kulihat aura mukanya benar-benar menyedihkan. Rio marah padaku, aku yakin itu.  Tapi kan, aku nggak bermaksud untuk menjadi seperti ini.
“Selama  ini.. aku.. aku selalu menjauhkan diri dari yang namanya cewek. Kamu pasti tau itu. Cewek-cewek yang coba buat deketin aku, biasanya aku  cuekin… atau aku judesin.  Kamu juga pernah, kan? Aku tau. Tapi.. kamu tau gak sih? Aku tuh gitu karena apa? Kenapa aku selama ini gak pernah deket ama cewek? Aku tuh gak mau nyakitin hati mereka.  Aku tuh gak mau mereka nyesel waktu  tau aku kayak gini!”
Aku menunduk, menatap lantai lagi.
“Dan.. kayaknya aku yakin.. nggak ada cewek lagi.. yang mau jalan bareng aku.. apalagi kamu. Kayaknya, huh, sia-sia ya..  aku mimpiin kamu? ngelamunin kamu, berharap kamu mau jalan sama aku.”
Aku mendongak menatapnya.heran. dia bawa-bawa aku?
Rio tersenyum meledek. “Huh, aku emang cengeng. Nggak jantan.”
“Rio….” Lirihku.
Rio mengucek matanya, kemudian merogoh sakunya mengambil kunci mobil seakan hendak pergi. “Ify. Sori ya. Aku udah gangguin kamu selama ini. Aku udah ngejailin kamu. Aku udah ngerepotin kamu. Aku, aku emang bukan cowok yang berguna.”
“Rio….”
Dia tersenyum. “Aku. Aku pulang dulu. Maaf udah ganggu kamu tidur. Selamat malam.”
Aku menatapnya dalam.  Rio mundur perlahan-lahan,mulai meninggalkanku di teras depan.
“RIO!” teriakku.
Dia menolah, melambai riang padaku. “aku, aku pulang dulu, ya! Aku ngantuk.  Eh, Fy, kemaren aku tidur sendiri lho. Nggak usah ditemenin lagi sama mama. Hebat,kan?! Aku juga mandinya dua kali kemaren.  Aku makannya sendiri. Oh iya, harvestmoon  yang di PS udah tamat, Fy. Kuda-nya udah aku kasih ke mama kamu. hhahaaha..nggak apa-apa kan?” serunya senang, berjalan ke mobil.
“RIO! TUNGGU!” pekikku sangat keras.
Akhirnya dia berhenti. Namun diam nggak berbalik. Dari posisinya, dia mendengarkanku.
“Yo, maafin aku ya.sori.aku nggak maksud buat bikin kita harus musuhan. Aku justru pengin temenan ama kamu. Cuma.. butuh sedikit penyesuaian dulu di sekolah.”
Rio menatapku lama. Kemudian dia mengangguk kecil, dan berbalik lagi menuju mobilnya.
Aku berlari menghampiri dia. “Rio! Kalo kamu ngantuk, tidur di sini aja! Bahaya nyetir malem-malem.”
Rio memutar kepala sekilas, namun hanya tersenyum. Kemudian dia menekan alarm mobil. Tiba-tiba aku teringat kata-katanya. “Aku nggak pantes lagi buat hidup.”. dan entah kenapa, aku malah berpikir dia akan bunuh diri mala mini di jalanan.
Hiihi.. sedikit klise dan ironis. Tapi kan,kemungkinan seperti itu sangat ada.
“Rio! Inget, ya! Aku harus masih bisa ngeliat kamu besok pagi.”
“Maksudnya?” Rio mengernyitkan dahi, membuka pintu mobil.
“yaaa.. jangan coba-coba buat bunuh diri malem ini. Inget, kamu harus selamat sampe rumah. Aku harus masih bisa liat kamu besok. Kamu harus tetep hidup, jangan  Cuma gara-gara tadi, kamu coba bunuh diri.  Sumpah, Yo. Aku gak ada maksud buat bikin kita musuhan selamanya.  Yaaa.. seenggaknya, gak terlalu banyak yang tau kalo kita temenan. Masalahnya…….” Aku membungkuk dan berbisik. “Aku nggak mau cewek-cewek seantero jagad raya tiba-tiba deketin aku cuma buat dideketin sama kamu.”
Mudah-mudahan Rio mengerti maksudku selama ini. Kemudian, dia tersenyum dan bertanya dengan manisnya, “Jadi..kamu..mau jadi temenku?”
Aku nyengir-nyengir, berpikir sebentar. “Ngngng.. kayaknya nggak deh.hiihi.. karena aku.. bagusnya jadi babysitter kamu.” Kami  berdua tertawa kecil sekilas.  Hingga Rio akhirnya masuk ke mobil dan menurunkan kacanya untuk melambai padaku.
“Ngomong-Ngomong…  di mana ya, tempat di Bandung jam segini yang sepi banget  dan enak buat bunuh diri?” Tanya Rio tiba-tiba.
“eh-eh-eh. Enak aja!  Hush! Jangan ngomong yang nggak-nggak.  Pokonya, aku harus masih bisa ngeliat kamu besok! Inget! Kamu harus tetep hidup!.”
“Hidup? Yang nentuin hidup itu Tuhan. Kita nggak tau kapan kita mati… bisa aja besok aku.. mati.”
“Iya-iya aku ngerti.” Aku menggeram kesal.
“Pokoknya, seandainya iya kamu mati besok,  kamu cuma mati karena penyakit! Bukan karena kecelakaan akibat bunuh diri. Udah ah, jangan sompral! Jaga diri baik-baik. jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh.”
“Penyakit? Oke, paling juga aku mati karena penyakit….. Cinta.”
Ih, dasar genit!
Rio melambai lagi melajukan mobilnya meninggalkan rumahku. Aku nyengir heran sambil melambai. Setelah kutatap mobilnya hilang di belokan jalan, aku kembali lagi ke dalam rumah.
Rio.. hari ini kamu aneh! Dan kurasa aku…. mulai menyukaimu.
Namun betapa kagetnya aku menemukan lima orang sedang sibuk melakukan sesuatu di ruang tamu. Ada yang mengutak-atik computer, ada yang menyiapkan kamera, ada yang menulis sesuatu, ada yang dandan, dan ada yang membereskan sesuatu.
Layaknya sedang syuting.
“Hey, kalian ngapain?”
“Kita.. kita cuma ngerekam yang barusan aja.” Kata Oik, nyengir.
“Apa-apaan sih, pake direkam segala?! Oik kamu ngapain bawa-bawa kameraku? Yuni, kamu nulis apa sih? Angel.. kamu lagi ngeberesin apa dalam koperku? Mama lagi ngapain ama monitor komputerku? Ngapain juga sih, mama ada disini? Dan Ardhya.. kamu ngapain dandan di situ?  Sudah kubilang kan, itu tuh maskara, bukan lipstik! Masa warnanya hitam?!!”

No comments:

Post a Comment