Boy Sitter [16] :
Bukan Lipstik!
MOBIL yang sampai saat ini belum kuketahui mereknya itu,
berhenti tepat di depan pagar rumahku. Aku nggak segera membuka sabuk
pengaman dan langsung pergi. Kami berdua
terdiam dalam mobil, memandang kosong
objek keluar, dibalik gelapnya malam.
“ngngn.. Yo, makasih ya.” Ujarku pelan.
Kami langsung saling menoleh,dan kurasakan Rio memandangku dengan cara lain.
“Kamu… kamu lain kali hati-hati, ya.” Pintanya.
Aku tertunduk, memikirkan kalimat Rio barusan dengan
dalam, dan setidaknya sedikit rasa… malu. Kuanggukkan kepala, lalu
menyunggingkan senyuman terima kasih. Kuraih HP dari dalam tas, dan mendapati
sekarang sudah pukul sepuluh malam.
“Aku.. aku pulang dulu.” Pamitku, sedikit canggung. Entah mengapa rasanya aku dan Rio sepertinya
mendapati situasi percakapan yang sedikit berbeda.
“Aku antar kamu,” tawar Rio tiba-tiba,membuka sabuk
pengaman, berbarengan denganku.
Aku nggak menolak saat itu. Kubiarkan Rio berjalan
membuntutiku di belakang, hingga mencapai pintu depan.
Masih berjalan dengan tertunduk, kubalikkan badan dan menatap Rio sambil tersenyum
manis. Dia mendapatiku mencoba tersenyum
dengannya. Dan dia pun tersenyum juga.
“Oke, sampai jumpa. Selamat malam.” Ucapku melambai
padanya.
“Tunggu…!” tahan Rio pelan.
Aku masih bisa mendengarnya. Kubalikkan badan dan menatap
Rio penuh arti.
“Kamu..kamu masih babysitter-ku,kan?”
Tanya Rio tiba-tiba.
Aku menggeleng. “Emang kenapa?” alisku terangkat.
“Aku… aku.. nggak jadi.”
“Iihh.. kenapa sih?”
“Nggak apa-apa, sori kalo ganggu.”
Kami berdua
terdiam lagi, lalu saling tersenyum manis. Aku melambai lagi,masuk ke rumah. Kututup
pintu dengan pelan, dan dapat kulihat Rio masih berdiri di depan pintu.
Hm.. What an
amazing night.
Malam yang menegangkan sekaligus malam yang so sweet. Nggak pernah nyangka kalo yang namanya Dino
tuh cakep banget! Tapi nggak pernah
kusangka pula ternyata dia bajingan.! Dasar brengsek. Huh.. body masa kini.. masa kelakuan gitu?!
Hiiiyy.. malam yang menyeramkan tapi ingin kugarisbawahi
pula malam ini adalah malam yang manis. Rio, nggak kusangka membuntutiku, lalu menolongku ketika aku benar-benar dalam
“zona berbahaya”. Alhamdulillah.
Untungnya masih ada orang yang menolongku.
Aku nggak tau lagi gimana nasibku selanjutnya seandainya Rio nggak ada
di sana tadi. Mungkin aku.. udah jadi
individu baru dengan traumahidup dan
noda hitam besar yang menempel di benakku.
Aku bergegas menuju dapur, dan menemukan mama beres-beres
piring makan malam. Huh, kelihatannya banyak banget!
“Hai, gimana nge-datenya?”
goda Mama, karena dia tau petang tadi
aku hendak pergi kemana. Aku jujur
dengan mama kalau aku akan gathering dengan stranger
dari Internet.
“Buruk. Dia berperangai buruk. Untungnya aku berhasil
pergi dan… kurasa nomor teleponnya akan kuhapus, atau kalau bisa kuganti nomor
HP-ku dengan nomor yang baru. Setelah
itu sih.. aku jalan-jalan di BIP.”
Jawabku dengan sedikit mengubah cerita.
Mama tersenyum kecil, kembali menyibukkan diri dengan
piring kotornya. Aku sempat heran
mendapati piring kotor dengan jumlah yang banyak. Layaknya barusan ada..
“banyak banget deh, Ma! Barusan siapa yang makan malem
disini? Orang-orang satu RT ya, Ma?”
Mama cekikikan. “Bukan. Bukan siapa-siapa. Cuma, yah,
saudara sepupumu berikutnya. Yuni dan Angel. Dia datang tepat lima menit
setelah kamu pergi. Biasa. Lagi-lagi
mereka liburan kesini.”
Hah? Sepupu lagi?
Aduh ya, tinggal satu minggu menuju tahun ajaran baru, kenapa sih, saudara-saudaraku datang di
minggu terakhir liburan seperti ini? Udah ada si Ardhya sama Oik. Masa sekarang
ada Yung dan Angel juga?! Hiiih..jangan-jangan aku tidur di kolong kasur malam
ini? Tempat tidurku bakalan kelebihan
muatan.
Ya ampun… dunia terasa sesak. Penuh manusia di kamarku.
Gdbuugg! Dugh!
Dagh! Gdbuggh! Brak! Bruk!
Huh, lagi-lagi
suara orang jatuh dari tangga kudengar malam ini. Kalau bukan si Oik, pasti
satu diantara tiga sepupuku lainnya. Aku berbalik perlahan, dan berjalan menuju
tangga. Tuh kan, nggak jauh lagi. Oik
yang jatuh lagi-lagi-lagi-malam ini.
“Ya ampun.. sapa sih yang naro tangga di sini?” keluhnya,
mengerang.
“Biasa aja, dong. Gak usah pake lari-lari segala. Ada apa
sih?” aku membungkuk, membantunya bangkit.
“Itu…itu… itu….” Oik tergagap menunjuk pintu depan.
“Itu kenapa?”
“Ngnng.. itu ah! ya ampun, deh. Ah-ah-ah auww!
Muah-muah-muah.. cilukba!”
“Apaan sih? Jijik
banget deh.”
“Itu! Di pintu! Di pintu itu!” seru Oik sangat panik.
“Kenapa, sih?”
Aku berjalan ke pintu depan, lalu perlahan membuka
pintunya. Dan…..
Sama kagetnya dengan Oik, aku menemukan Rio masih berdiri
di depan pintu rumahku.
“Rio?” aku mengernyitkan dahi.
Buuuggh! Oik
jatuh ke lantai.. pingsan.
Aku berlari ke arah Oik.
“Sapa sih.. yang naro Bison.. di sana?” gumamnya
kemudian.
Pluuuk!
Tengkuknya jatuh ke lantai. Benar-benar pingsan sekarang.
Aduh, ya. Biasa
aja deh. Kayak ngeliat Justin Timberlake mampir ke rumah ini aja. Plis deh. Dia kan Cuma si Rio.
Aku menarik Oik dan membaringkannya disofa. Namun.. ugh! Berat! Ya ampun.. aku tuh
lagi narik orang atau mobil, sih? Pokonya kalau Oik bangun, ingatkan aku untuk
memintanya diet. Ih, meskipun aku tau dia Cuma 48 kg, tapi tetep aja bo! Nih cewek massanya lebih
berat dari massa planet Mars.
Hop! Rio
tiba-tiba berada di hadapanku, dan mengangkat Oik dengan mudah ke sofa. Aku membuntutinya dan langsung
mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya.
“Oik.. bangun..” aku menggoyang-goyangkan badannya, tapi
tetep nggak bangun.
“K…kenapa dia?” Tanya
Rio.
“Gara-gara kamu ada di sini, tau! Dia kan,suka sama kamu. Pantes dia pingsan
juga. Kamunya sih, ada disini.” Aku kembali mengibaskan tangan, juga sempat menggoyangkan tubuhnya
agar ia bangun.
“Oik… hello..
bangun woy! Kenapa sih?! Heeyy! Bangun!”
aku menampar-nampar pipinya pelan,
mengguncangkan bahunya, memijit lengannya, menjambak rambutnya, menekan
dadanya, ya ampun! Diapa-apain kok,
masih pingsan juga?!
Aku menoleh ke belakang. Dan .. hey! Rio hilang! Dia nggak ada lagi disini! Kemana dia? dia pergi. Oh, cepat
sekali dia hilang! Tapi… hmh peduli amat,sih?
Lima menit kemudian, setelah menempuh perjuangan yang
mendebarkan, dengan keringat basah mengisi kesabaran, akhirnya.. si Oik bangun
juga!
“Aduh.. kenapa sih, sofanya warna putih?” gumamnya begitu
pertama kali membuka mata.
“Emang kenapa,sih? Sama aja, kan?”
“Gue pengin yang kembang-kembang di sana.”
“Udah deh, ah. sini. Duduk. Kamu tuh aneh. Pake pingsan
segala.”
“tadi Bison. Ada Bison di pintu!”
“Nggak! Nggak ada apa-apa! Cuma halusinasi kamu.” Aku
berbohong, berusaha menjaganya agar nggak pingsan lagi. Karena kemungkinan, Oik akan pingsan lagi
kalau aku menyebutkan nama Rio.
Oik duduk dan mencoba bernapas dengan tenang. Dia menatap karpet, dan kuusap-usap
tengkuknya, menenangkannya.
“Yuni sama Angel-nya mana?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Ama Ardhya. Luluran lagi di kamar mandi.”
“Luluran lagi? Luluran pake apaan?”
“Yaaaa… pake scrub
yang kemarin dipake luluran juga,! Yang botol pink itu.”
“Aduh, ya. Berapa kali sih, harus kukatakan kalau itu
buat nyuci muka, bukan buat luluran!
Kalo pengin luluran, kenapa nggak ke salon aja?!!”
AKU menarik selimut,menutupi dada,dan mencoba memejamkan
mata. Pukul dua belas malam. Huh, gara-gara kedatangan saudara sepupuku
lagi, aku harus menemani mereka ngobrol
tentang perjalanan mereka ke sini.
Angel, nggak lebih baik dari Ardhya ataupun Oik. Mirip
Dora The Explorer ketika memakai ransel, dan mirip Putri Huan Zhu ketika pake
kebaya. Agak manja dan cara berbicaranya agak dibuat-buat. Dia bukan Angel di
sekolahku. Angel ini adalah saudara sepupuku,
asal Garut.
Yuni?hm, apalagi ini. Sama-sama nggak lebih baik untuk
dibicarakan. Bermasalah dengan yang namanya “buncit” dan setiap orang di
sekolah selalu mengingatkannya tentang sebuah kata, “perut”. Dia tinggal
di Bale Endah. Satu sekolah
denganku, tapi beda kelas dan kami nggak terlihat seperti saudara sepupu dii
sekolah. Yuni anggota OSIS,sehingga
nggak punya geng yang mendominasi di sekolah. Bahkan, OSIS sendiri mulai
meredup, terinjak oleh Kompilasi, Mozon,
Rebonding Galz, RAG, dan Tweenies.
HP-ku bergetar.aku menyingkap selimut dan segera
mengambil HP di meja. Bu Nira nelepon.
“Halo.” Sapaku.
“Oh, Ify.. taukah
kamu Dede ada dimana sekarang? Katanya
dia mau ketemu kamu tadi sore, tapi nggak kembali sampai sekarang. Saya cemas.
Setiap ditelepon, selalu direject. Saya yakin HP-nya aktif, tapi diia selalu menolak untuk menerima
panggilan saya.” Ujar Bu Nira cepat, terdengar sangat panik.
“Tadi sih, ada di sini. Tapi kalo nggak salah dia udah
pulang jam sepuluh tadi.”
“Oh.. kira-kira
Dede ada dimana ya? Saya khawatir. Dede nyetir sendirian malam-malam gini.”
“Saya akan mencoba mencarinya.”
“nggak usah, udah
malem. Kamu tidur aja. Biar saya yang nelepon temen-temennya. Maaf udah
ganggu,makasih.”
Hubungan telepon pun terputus. Aku meletakkan lagi HP ke atas meja, dan
berjalan pelan menuju kasur lipat.
Hm.. Rio kemana ya?
Terakhir aku ngelihatnya sih, pas Oik pingsan tadi. Tapi dia ngilang gitu aja,
lenyap.
I thought It’s better for me to go sleeping
But…….
Aku nggak bisa tidur. Rio kupikirkan terus menerus. Ya ampun, dia kemana ya? Dia nggak ketemu Dino terus ngehajar
dia,kan? Dia nggak sakit haati karena
aku usir dia, kan? Dia nggak nyoba buat bunuh diri, kan? Dia nggak kecelakaan mobil karena
mengantuk,kan? Dia masih baik-baik aja,
kan?
Oh.. aku stress!! Sepuluh menit menjelang tidur yang
menyiksaku.aku nggak bisa tidur dan mimpi indah kalau Rio terus-terusan ada di
pikiranku. Rio.. dimana kamu?
Tiba-tiba……
Kudengarkan hentakkan kaki berirama, sayup-sayup di bawah
sana. Aku mengenal irama itu. Irama lagu
yang dimainkan Rio melalui piano beberapa hari lalu.
Aku menyingkap lagi selimutku, dan menuruni tangga dengan
cepat. kutemukan mama tertidur di sofa, dengan keadaan tv menyala.
Irama hentakkan kaki itu semakin jelas di bawah sini. Tapi
dimana?darimana asalnya suara itu?
Aku menoleh ke pintu depan yang ternyata belum terkunci
dengan tirai yang menyingkap sedikit. Ya ampun mama kok bisa-bisanya lupa nutup
pintu. Papa juga kemana lagi?
Akhir-akhir ini kok aku jarang ngeliat papa?!
Suara itu. Ya. Suara itu berasal dari luar. Seseorang
menghentakkan kaki, menciptakan irama yang lembut itu. Aku bergegas keluar dan
menemukan Rio duduk di kursi teras depan.
“Rio?” aku melongo kaget, sedikit nggak percaya, sedikit
heran, sedikit kesal, dan sisanya mengantuk.
Rio menghentikan hentakkan kakinya lalu menoleh padaku. Dia
tersenyum, lalu bangkit dan menatapku dengan pandangan lain.
“Kamu ngapain disini? Udah malem..tadi mama nyariin
kamu.”
“Aku.. aku lagi nungguin kamu.” Ujarnya sedikit tersipu.
“Apa?”
“Boleh kan aku nungguin kamu? Aku pengin ngajak kamu ke
rumahku lagi. Ngasuh aku lagi. Kita bisa maen bareng lagi. Maen PS,maen piano, maen air. Aku janji
bakalan nurut sama kamu dan mama sekarang.”
Ujarnya lembut.
“Kamu?” Aku menghembuskan napas. “Rio, dengerin aku, ya. Kemaren
aku di rumah kamu tuh, kerja.bukan buat apa-apa.dan masa kerjaku udah
abis. Jadi..kamu harus ngerti dong..
mulai sekarang.. kita jalanin hidup seperti biasanya. Kita sebaiknya musuhan
lagi. Maksudku, kita seperti dulu lagi.kamu ngejek aku. Dan aku pun ngejek
kamu. Sekolah bakalan gempar kalo tau kita akur-akur aja. Itu tuh.. bagaikan
melanggar kodrat yang udah dibuat.”
“jadi.. nggak boleh main sama musuhku?”
“Rio….”
“Oke-oke aku ngerti.” Sela Rio. “aku tau kamu nggak mau
kita akur karena,karena aku kayak gini kan? Ya, silahkan aja.aku ngerti
kok. Aku yang salah. Aku nggak berhak
ngejar kamu Cuma buat minta kamu jadi temenku.
Oke, sekarang aku ngerti. Aku nggak pantes buat temenan sama siapapun juga. Aku nggak pantes
buat temenan sama siapapun………”
“Maksudku tuh, Ri……..”
“Iya-iya udah.nggak usah dijelasin lagi. Aku udah cukup ngerti. Mana ada sih, cewek
yang mau deket-deket sama cowok kayak aku?
Cewek mana,sih?oke, tiap cewek emang tergila-gila sama aku, tapi kan… yakin deh, mereka bakal jijik kalo
tau aku kayak gimana.”
“Nggak gitu, kok, Yo.”
“udahlah. Aku tau aku nggak pantes lagi buat hidup.”
“Rio! Jaga bic…..”
“Terus, kenapa kamu gak mau temenan sama aku?!” potong
Rio membentak. “aku tau aku ini nggak normal. Aku tau aku ini aneh. Tapi kenapa sih, Cuma minta jadi temen aja
nggak boleh?! Haram, ya?kenapa, sih?
Kenapa sih nggak ada yang ngerti kalo aku tuh lagi coba buat berubah. Kenapa sih,nggak ada yang mau dukung aku buat
berubah?!”
Aku menunduk terisak karena melihat Rio mulai
berkaca-kaca. Emosinya sedang keluar. Bahkan isakan sakit di dadanya, semakin
lama semakin menyesakkan telinga yang mendengarnya.
“Aku…aku tuh punya salah apa, sih? Sampe punya temen cewek aja gak boleh. Aku
tuh semenjijikkan apa, sih? Aku tuh
nggak ngerti. Penjahat aja masih bisa dikasihani,kok. Masih punya temen.kenapa
aku nggak? Aku sadar aku tuh lain. Aku
manja, childish, jahil. Ya semuanya, semua yang buruk yang ada di
pikiran kamu, sebutin aja, itu pasti aku. Aku emang nggak pernah jadi yang
paling baik, jadi anak yang pinter, nggak pernah jadi anak yang rajin. Tapi,apa
karena itu aku nggak punya temen?”
Rio mulai menitikkan air matanya. Aku melihatnya dengan
jelas. Begitu aku mendongak, kulihat aura mukanya benar-benar menyedihkan. Rio
marah padaku, aku yakin itu. Tapi kan,
aku nggak bermaksud untuk menjadi seperti ini.
“Selama ini..
aku.. aku selalu menjauhkan diri dari yang namanya cewek. Kamu pasti tau itu.
Cewek-cewek yang coba buat deketin aku, biasanya aku cuekin… atau aku judesin. Kamu juga pernah, kan? Aku tau. Tapi.. kamu
tau gak sih? Aku tuh gitu karena apa? Kenapa aku selama ini gak pernah deket
ama cewek? Aku tuh gak mau nyakitin hati mereka. Aku tuh gak mau mereka nyesel waktu tau aku kayak gini!”
Aku menunduk, menatap lantai lagi.
“Dan.. kayaknya aku yakin.. nggak ada cewek lagi.. yang
mau jalan bareng aku.. apalagi kamu. Kayaknya, huh, sia-sia ya.. aku mimpiin kamu? ngelamunin kamu, berharap
kamu mau jalan sama aku.”
Aku mendongak menatapnya.heran. dia bawa-bawa aku?
Rio tersenyum meledek. “Huh, aku emang cengeng. Nggak
jantan.”
“Rio….” Lirihku.
Rio mengucek matanya, kemudian merogoh sakunya mengambil
kunci mobil seakan hendak pergi. “Ify. Sori ya. Aku udah gangguin kamu selama
ini. Aku udah ngejailin kamu. Aku udah ngerepotin kamu. Aku, aku emang bukan
cowok yang berguna.”
“Rio….”
Dia tersenyum. “Aku. Aku pulang dulu. Maaf udah ganggu
kamu tidur. Selamat malam.”
Aku menatapnya dalam.
Rio mundur perlahan-lahan,mulai meninggalkanku di teras depan.
“RIO!” teriakku.
Dia menolah, melambai riang padaku. “aku, aku pulang
dulu, ya! Aku ngantuk. Eh, Fy, kemaren
aku tidur sendiri lho. Nggak usah ditemenin lagi sama mama. Hebat,kan?! Aku
juga mandinya dua kali kemaren. Aku
makannya sendiri. Oh iya, harvestmoon yang di PS udah tamat, Fy. Kuda-nya udah aku
kasih ke mama kamu. hhahaaha..nggak apa-apa kan?” serunya senang, berjalan ke
mobil.
“RIO! TUNGGU!” pekikku sangat keras.
Akhirnya dia berhenti. Namun diam nggak berbalik. Dari
posisinya, dia mendengarkanku.
“Yo, maafin aku ya.sori.aku nggak maksud buat bikin kita
harus musuhan. Aku justru pengin temenan ama kamu. Cuma.. butuh sedikit
penyesuaian dulu di sekolah.”
Rio menatapku lama. Kemudian dia mengangguk kecil, dan
berbalik lagi menuju mobilnya.
Aku berlari menghampiri dia. “Rio! Kalo kamu ngantuk,
tidur di sini aja! Bahaya nyetir malem-malem.”
Rio memutar kepala sekilas, namun hanya tersenyum.
Kemudian dia menekan alarm mobil. Tiba-tiba aku teringat kata-katanya. “Aku nggak pantes lagi buat hidup.”. dan
entah kenapa, aku malah berpikir dia akan bunuh diri mala mini di jalanan.
Hiihi.. sedikit klise dan ironis. Tapi kan,kemungkinan
seperti itu sangat ada.
“Rio! Inget, ya! Aku harus masih bisa ngeliat kamu besok
pagi.”
“Maksudnya?” Rio mengernyitkan dahi, membuka pintu mobil.
“yaaa.. jangan coba-coba buat bunuh diri malem ini.
Inget, kamu harus selamat sampe rumah. Aku harus masih bisa liat kamu besok.
Kamu harus tetep hidup, jangan Cuma
gara-gara tadi, kamu coba bunuh diri.
Sumpah, Yo. Aku gak ada maksud buat bikin kita musuhan selamanya. Yaaa.. seenggaknya, gak terlalu banyak yang
tau kalo kita temenan. Masalahnya…….” Aku membungkuk dan berbisik. “Aku nggak
mau cewek-cewek seantero jagad raya tiba-tiba deketin aku cuma buat dideketin
sama kamu.”
Mudah-mudahan Rio mengerti maksudku selama ini. Kemudian,
dia tersenyum dan bertanya dengan manisnya, “Jadi..kamu..mau jadi temenku?”
Aku nyengir-nyengir, berpikir sebentar. “Ngngng..
kayaknya nggak deh.hiihi.. karena aku.. bagusnya jadi babysitter kamu.” Kami
berdua tertawa kecil sekilas.
Hingga Rio akhirnya masuk ke mobil dan menurunkan kacanya untuk melambai
padaku.
“Ngomong-Ngomong…
di mana ya, tempat di Bandung jam segini yang sepi banget dan enak buat bunuh diri?” Tanya Rio
tiba-tiba.
“eh-eh-eh. Enak aja!
Hush! Jangan ngomong yang nggak-nggak.
Pokonya, aku harus masih bisa ngeliat kamu besok! Inget! Kamu harus
tetep hidup!.”
“Hidup? Yang nentuin hidup itu Tuhan. Kita nggak tau
kapan kita mati… bisa aja besok aku.. mati.”
“Iya-iya aku ngerti.” Aku menggeram kesal.
“Pokoknya, seandainya iya kamu mati besok, kamu cuma mati karena penyakit! Bukan karena
kecelakaan akibat bunuh diri. Udah ah, jangan sompral! Jaga diri baik-baik.
jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh.”
“Penyakit? Oke, paling juga aku mati karena penyakit…..
Cinta.”
Ih, dasar genit!
Rio melambai lagi melajukan mobilnya meninggalkan
rumahku. Aku nyengir heran sambil melambai. Setelah kutatap mobilnya hilang di
belokan jalan, aku kembali lagi ke dalam rumah.
Rio.. hari ini kamu
aneh! Dan kurasa aku…. mulai menyukaimu.
Namun betapa kagetnya aku menemukan lima orang sedang
sibuk melakukan sesuatu di ruang tamu. Ada yang mengutak-atik computer, ada
yang menyiapkan kamera, ada yang menulis sesuatu, ada yang dandan, dan ada yang
membereskan sesuatu.
Layaknya sedang
syuting.
“Hey, kalian ngapain?”
“Kita.. kita cuma ngerekam yang barusan aja.” Kata Oik,
nyengir.
“Apa-apaan sih, pake direkam segala?! Oik kamu ngapain
bawa-bawa kameraku? Yuni, kamu nulis apa sih? Angel.. kamu lagi ngeberesin apa
dalam koperku? Mama lagi ngapain ama monitor komputerku? Ngapain juga sih, mama
ada disini? Dan Ardhya.. kamu ngapain dandan di situ? Sudah kubilang kan, itu tuh maskara, bukan
lipstik! Masa warnanya hitam?!!”
No comments:
Post a Comment