Satu
“SEKARANG aku masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga
tahu sekarang sudah jam sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit.
Terserahlah.”
Ify melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang
ditempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas
tangan kecil merah. Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan
mengerutkan kening. Saat ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah
Lee Jeong-Iel, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti
kekasih yang protektif.
“Jeong-Iel, sudah dulu ya? Aku lelah sekali,” Ify menyela ucapan
Lee Jeong-Iel dan langsung menutup telepon. Sekali lagi ia mengembuskan napas
panjang, lalu menatap ponselnya dengan kesal.
Kenapa hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan?
Tadi pagi ia sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian
diomeli atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.
Ify semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah dialaminya
sepanjang hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di
tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir. Lagi-lagi
ia mengembuskan napas panjang.
Ini bukan pertama kalinya Ify harus bekerja sampai larut malam,
tapi hari ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana
itu. Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada
lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.
Ia berhenti melangkah dan mendesah. “Bisa gila aku,” gumamnya pada
diri sendiri.
Ify memandang sekelilingnya. Kota
Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunan di
sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk
orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea
Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Ify
masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan pukul
sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang
berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu
disko terdengar samar-samar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang
yang berbicara, berteriak, dan tertawa.
Tiba-tiba Ify merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti
pada toko makanan kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia
mengangguk dan bergumam, “Baiklah,” seolah menyerah pada perdebatan yang dia
lakukan seorang diri.
Ify menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin
dilakukan sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir,
dan masuk ke toko itu. Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang sudah
lama dikenalnya, Ify langsung berjalan ke rak keripik.
“Nah, Soon-Alyssa, ada masalah apa lagi di kantor?” tanya bibi
pemilik toko setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan
Ify di meja kasir.
Ify tersenyum malu. “Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres.” Ia
membuka tas tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu?
“Sebentar, Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…” Ify
mengaduk-aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir.
Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, buku kecil
yang agak lusuh, bolpoin yang tutupnya sudah hilang, bedak padat, lipgloss,
kunci, payung lipat, tiga keping uang logam, saputangan merah, ponsel, dua
lembar struk belanja yang sudah kusam, bungkus permen kosong, dan jepitan
rambut.
“Kenapa tidak ada?” Ify bergumam sendiri sambil terus mencari.
Ketinggalan di rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa
dompet?
Tiba-tiba ia mendengar dering ponsel. Ify melirik ponselnya yang
tergeletak di meja kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi.
“Kau sudah sampai di rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana.”
Ify menoleh ke arah suara bernada
rendah itu. Suara itu milik pria bersetelan putih yang berdiri di belakangnya.
Rupanya bunyi tadi adalah bunyi ponsel pria tersebut. Sekarang Ify melihat
orang itu menutup ponsel dan memasukkannya ke saku celana panjangnya. Sebelah
tangannya memegang keranjang kecil berisi lima botol soju*. Pria
berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan atau awal
tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi sekali seperti seseorang
yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan besar.
Pria itu memandang Ify, lalu tersenyum ramah. O-oh. Baru pertama
kali Ify melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa lelahnya
seakan menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan, sangat…
Ify menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan
perhatian pada barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.
Tiba-tiba Ify merasa tangannya ditepuk-tepuk. Ia mengangkat
wajahnya dan melihat bibi pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata,
“Soon-Alyssa, bagaimana kalau tuan itu membayar belanjaannya duluan?”
Ify memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang
berdiri di belakangnya. “Oh, ya. Maaf.” Ify menyingkir ke samping dan pria itu
melangkah maju.
“Berapa?” tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang
dipegangnya di meja. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel lagi.
Kepala Ify mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah
sangat lelah dan sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas
kendali.
Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya
sekilas. Lalu ia meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah
lagi. Ia mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah
yang sedang berbunyi nyaring.
Astaga, cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin
pusing, kenapa harus punya dua? pikir Ify sambil memijat-mijat pelipisnya.
Pria itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu
berjalan ke pintu. Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang
tadi diletakkan di meja kasir. “Maaf,” gumamnya sambil tersenyum kepada bibi
pemilik toko dan Ify.
Lagi-lagi senyum itu, senyum yang bisa menghangatkan hati yang
beku sekalipun.
Tunggu, kata-kata apa itu tadi? Ify memejamkan matanya kuat-kuat
dan ketika ia membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk
ke mobil sedan putih yang diparkir di depan toko.
Karena Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik
toko mengizinkannya membayar besok. Sandy mengumpulkan kembali barang-barangnya
yang berserakan di meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan
dalam-dalam sebagai tanda terima kasih sekaligus permintaan maaf.
* Sejenis minuman keras khas Korea.
Begitu keluar dari toko, Ify
langsung membuka sebungkus keripik dan mulai makan. “Sekarang pulang ke rumah,”
katanya pada dirinya sendiri.
Selesai berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia
mengutuk hari ponsel diciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya
karena merasa harus menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak
tahu diri itu terus menjerit minta diangkat. Akhirnya Ify menyerah dan
mengaduk-aduk tasnya dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu sebelum ia
sendiri yang bakal menjerit histeris di tengah jalan.
“Haaloo!” Ify ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus
asa.
Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?
“Halo? Siapa ini? Silakan bicara… Halo? HALOO?”
Ify baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang
pria yang ragu-ragu di seberang sana.
“Maaf… bukankah ini ponsel Tae-Rio?”
Siapa lagi orang ini?
“Anda salah sambung. Ini ponsel Han Soon-Alyssa,” ujar Ify ketus
dan langsung menutup flap ponselnya dengan keras.
Ify menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol.
“Tidak bisakah kaubiarkan aku tenang sedikit?” Ia baru akan mencabut baterai
ponsel itu ketika ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia akan
segera sampai di rumah. Walaupun Ify tinggal di Seoul dan orangtuanya di
Jakarta, mereka sering menelepon dan mengecek keberadaannya. Tadi ibunya malah
sudah sempat menelepon untuk menanyakan kenapa Ify belum sampai di rumah.
Ia membuka ponselnya kembali dan menekan angka satu yang akan
langsung terhubung ke rumah orangtuanya di Jakarta, tapi ia heran ketika
melihat tulisan yang tertera di layar ponselnya setelah ia menekan angka itu.
Bukan tulisan “Rumah Jakarta” yang tertera seperti biasa, tapi nama “Park
Hyun-Shik”. Ify cepat-cepat memutuskan hubungan dan tertegun.
Ify memerhatikan ponsel yang dipegangnya. Memang itu ponsel
miliknya, setidaknya bentuk dan warnanya sama persis dengan ponsel miliknya. Ia
membuka daftar telepon di ponselnya dan melongo melihat nama-nama yang tidak
dikenalnya. Otaknya yang sudah lelah dipaksa berpikir.
Tadi di toko bibi itu, semua barangnya berserakan di meja kasir,
termasuk ponselnya. Ketika ponsel milik pria yang berdiri di belakangnya tadi
berbunyi untuk pertama kali, ia mengira ponselnya sendiri yang berbunyi karena
dering ponsel mereka sama.
Kemudian ponsel kedua pria itu
berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan
ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Ify.
Ify teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang
sama dengan bentuk ponselnya sendiri. Sebelum keluar dari toko, pria itu
berbalik untuk mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Ify
memegang ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.
Otaknya mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya…
artinya… orang itu telah mengambil ponsel yang salah. Pria tadi mengambil
ponsel Ify.
Ify memukul-mukul dadanya dan mengerang putus asa. “Bagaimana ini?
Aduh, bisa gila aku. Gila.” Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mobil pria itu
sudah tidak tampak. Ify merasa tubuhnya nyaris ambruk ke tanah. Rasanya ingin
menangis saja. Ke mana ia harus mencari orang itu?
Tiba-tiba ide muncul di otaknya yang sudah hampir lumpuh.
Ponselnya ada pada pria itu, bukan? Berarti Ify bisa menelepon ke ponselnya dan
pria itu akan menjawab. Sebersit tenaga muncul kembali. Ia menghubungi
ponselnya dengan ponsel pria tadi yang sedang dipegangnya.
Ify berjalan mondar-mandir di tepi jalan dengan gelisah sambil
menunggu hubungannya tersambung. “Cepat angkat… cepat… tolong… ce—Halo?”
“Oh, Hyong*. Kenapa lama sekali?”
Park Hyun-Shik tersenyum meminta maaf kepada laki-laki bertubuh
tinggi yang membuka pintu, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah sering
didatanginya. “Maaf, jalanan agak macet,” katanya sambil berjalan ke ruang
duduk yang luas. “Hei, Tae-Rio. Punya makanan ringan? Aku sudah beli minuman.”
Jung Tae-Rio mengikuti Park Hyun-Shik ke ruang duduk. Ia tidak
menghiraukan pertanyaan temannya dan balik bertanya, “Hyong sudah dengar
gosipnya?”
Park Hyun-Shik memerhatikan temannya mengempaskan diri ke sofa.
Tatapan Jung Tae-Rio terlihat menerawang dan cemas. Sebagai manajer Jung Tae-Rio,
Park Hyun-Shik memahami alasan kekhawatirannya.
“Dari mana asal gosip itu?” kata Tae-Rio, seakan-akan bertanya
pada dirinya sendiri.
Park Hyun Shik hanya tersenyum kecil dan mengulurkan sebotol soju
kepadanya.
*
Kakak, panggilan pria kepada pria yang lebih tua. 10
Tae-Rio membuka tutup botol itu
dan meneguk isinya. “Aku dibilang gay.” Tae-Rio tertawa pahit. “Kenapa
mereka bisa berpikir seperti itu? Memangnya sikapku seperti wanita? Atau aku
pernah terlalu dekat dengan pria? Katakan padaku, Hyong. Jangan-jangan
selama ini Hyong juga berpikir seperti mereka?”
Park Hyun-Shik duduk di kursi di hadapan Tae-Rio, ikut meneguk soju
langsung dari botolnya. “Kau tahu aku tidak pernah berpikir seperti itu,”
ujarnya tenang. “Masalahnya, tabloid dan majalah memang suka mencari berita.
Kau juga tahu mereka sering menulis artikel yang tidak-tidak. Kau tanya padaku
kenapa mereka bisa berpikir kau gay? Mungkin karena selama ini kau tidak
pernah terlihat dekat dengan wanita mana pun di depan publik.”
Jung Tae-Rio mengangkat bahu. “Kalau begitu, terserah mereka mau
berpikir apa. Kalau kita tidak menanggapinya, gosip itu tentu akan mereda
sendiri.”
Park Hyun-Shik menggeleng. “Dua minggu lagi album barumu akan
diluncurkan. Aku takut rumor ini bisa memengaruhi penjualan albummu nantinya.
Satu gosip bisa menimbulkan gosip-gosip lain. Bahkan masalah lama juga bisa
diungkit-ungkit. Produsermu tidak akan senang. Ditambah lagi, bagaimana dengan
para penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan? Kau bisa kehilangan pasar.”
Jung Tae-Rio mendongak menatap langit-langit dan mengembuskan
napas berat. “Lalu bagaimana?”
Park Hyun-Shik meneguk minumannya lagi dan berkata, “Untuk masalah
gosip gay itu, kurasa sudah saatnya bagimu untuk memperkenalkan seorang
wanita kepada publik.”
Kepala Tae-Rio berputar cepat ke arah Park Hyun-Shik. “Apa?”
“Sederhana saja. Kenapa kau tidak mulai pacaran?” usul Park
Hyun-Shik langsung.
“Apa?”
Park Hyun-Shik tidak memandang Jung Tae-Rio dan melanjutkan dengan
nada serius, “Yang penting jangan berpacaran dengan artis. Bisa jadi skandal.
Terlalu berisiko. Kita juga tidak bisa segera membuat pengumuman resmi kepada
wartawan bahwa kau sedang menjalin hubungan dengan wanita karena mereka pasti
curiga dan akan menduga itu hanya sandiwara untuk mengelak dari gosip gay.”
Park Hyun-Shik mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikiran.
Akhirnya ia menoleh dan mendapati Tae-Rio sedang menunggu hasil renungannya.
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum. “Kita misalkan saja bahwa sebenarnya
kau punya kekasih tapi kekasihmu tidak bersedia diekspos, jadi kau terpaksa
merahasiakan hubungan kalian. Dengan begitu, tidak ada yang tahu siapa wanita
itu dan tidak ada yang pernah melihatnya.”
Tae-Rio mengerutkan kening karena
bingung. “Tidak ada yang pernah melihat dan tidak ada yang tahu. Apa untungnya
begitu? Orang-orang tidak akan percaya pada sekadar kata-kata belaka.”
“Tapi kita bisa memberikan bukti.”
“Bukti apa?”
“Foto dirimu bersama wanita itu.”
“Wanita yang mana?”
“Wanita yang menjadi kekasihmu.”
“Kekasih yang mana?”
“Semua bisa diatur kalau memang kau mau.”
“Maksudnya?”
Senyum Park Hyun-Shik bertambah lebar. “Kita cari wanita yang
tidak dikenal siapa pun dan memintanya menjadi kekasihmu selama beberapa saat.
Kau hanya perlu memamerkannya di depan wartawan. Beres, bukan?”
Tae-Rio merenung, lalu berkata, “Bagaimana kalau wartawan mulai
menyelidiki asal-usul wanita itu? Lagi pula di mana kita cari wanita yang
bersedia dan bisa dipercaya untuk diajak bekerja sama? Masa dipilih
sembarangan?”
Park Hyun-Shik meneguk soju-nya lagi dan menatap Tae-Rio.
Temannya itu tampak mempertimbangkan usulnya dengan ekspresi sangat cemas.
Alisnya berkerut, sesekali ia menggigit bibir bawahnya.
Setelah beberapa saat, Tae-Rio mendesah dan melanjutkan, “Wanita
yag seperti apa yang akan kita pilih? Boleh aku pilih sendiri? Atau kita pilih
saja wanita pertama yang berjalan melewati pintu itu?” Ia menunjuk pintu depan
rumahnya dengan dagu.
Tawa Park Hyun-Shik meledak. Tae-Rio menatapnya dengan pandangan
bingung. “Hyong, ada apa?”
Park Hyun-Shik mendorong pelan bahu Tae-Rio. “Astaga, Tae-Rio. Aku
hanya bercanda. Kenapa kau serius begitu?”
“Apa?”
Park Hyun-Shik menggeleng-geleng. “Aku hanya bercanda soal usul
tadi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Pasti ada jalan keluarnya.”
Tae-Rio mendengus, lalu tertawa kecil. “Ah, pusing! Aku mau keluar
jalan-jalan sebentar. Hyong mau ikut?” kata Tae-Rio sambil merebahkan
kepala di sandaran sofa dan memandang langit-langit ruang duduk.
Park Hyun-Shik mengangkat bahu. “Oke.”
Tae-Rio mengayun-ayunkan botol soju yang sedang
dipegangnya, lalu bertanya, “Oh, Hyong, ponselku sudah diperbaiki
belum?”
Park Hyun-Shik mengeluarkan ponsel
dan mengulurkannya kepada Tae-Rio. Tiba-tiba ia teringat pada telepon yang
diterimanya dalam perjalanan ke rumah Tae-Rio tadi. Wanita yang mengaku bernama
Han Soon-Alyssa itu berkata ponsel mereka tertukar. Karena ia sendiri tidak
bisa kembali mengambilnya, Park Hyun-Shik meminta wanita itu datang ke rumah
Jung Tae-Rio. Mungkin permintaannya agak keterlaluan karena bagaimanapun
tertukarnya ponsel mereka bukan salah wanita itu, tapi apa boleh buat. Jung
Tae-Rio sedang uring-uringan dan kalau sedang uring-uringan, ia tidak suka
menunggu lama.
Ia baru akan menceritakan hal ini kepada Tae-Rio ketika bel pintu
berbunyi.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Tae-Rio heran.
Ify benar-benar tidak mengerti kenapa hari ini ia sial sekali.
Mungkin begitu sampai di rumah ia harus cepat-cepat mandi kembang tujuh warna
seperti yang pernah diajarkan ibunya, apa pun untuk mengguyur hingga tak
bersisa segala kesialan. Sekarang ia berdiri di depan pintu rumah besar
berwarna putih. Pria yang katanya bernama Park Hyun-Shik menyuruhnya kemari
untuk mengambil ponselnya yang tertukar. Ify jengkel. Kenapa ia yang harus
datang, bukankah orang itu yang duluan mengambil ponsel yang salah? Ia bahkan
sampai harus meminjam uang dari bibi pemilik toko supaya bisa naik bus,
ditambah harus berjalan kaki untuk sampai di kawasan perumahan elite ini.
Ify kembali menghembuskan napas. Sudahlah, tidak apa-apa. Hal
terpenting sekarang adalah mendapatkan ponselnya kembali. Setelah ini ia bakal
bisa bergegas pulang. Hari sudah semakin larut dan ia sudah menguap empat kali
dalam lima belas menit terakhir.
Pintu terbuka dan Ify mengenali wajah pria yang membuka pintu itu.
Ia pria yang ada di toko tadi. Walaupun agak sulit, Sandy memaksakan seulas
senyum sopan. Pipinya terasa agak kaku, tapi ia berharap senyumnya terlihat
normal.
“Apa kabar? Saya Han Soon-Alyssa yang tadi menelepon. Saya ingin
mengembalikan ponsel Anda. Ini.” Ify mengulurkan tangannya yang memegang
ponsel.
“Oh, terima kasih banyak,” kata pria itu ramah. “Saya benar-benar
minta maaf karena sudah merepotkan. Silakan masuk. Ponsel Anda ada di dalam.”
Sebenarnya Ify tahu ia tidak boleh masuk ke rumah pria yang tidak
ia kenal, apalagi pada jam selarut ini. Tapi otaknya sudah tidak bisa berfungsi
sebagaimana mestinya dan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah
supaya bisa pulang ke rumah dan tidur. Lagi pula pria itu kelihatannya sangat
baik.
Ify melangkah masuk dan membiarkan
dirinya dibawa ke ruang duduk luas dengan perabotan mewah. Di sofa panjang yang
mendominasi ruang tamu itu duduk laki-laki yang sedang berbicara di telepon.
Wajahnya tampan, potongan rambutnya bagus dan rapi, walaupun Ify pribadi tidak
terlalu suka dengan warna rambut yang agak pirang. Ia merasa pernah melihat
laki-laki itu. Tapi di mana ya?
“Mungkin Anda salah sambung,” Ify mendengar pria itu berkata di ponselnya.
“Tidak ada yang namanya Han Soon-Alyssa atau Ify di sini.”
Ifyy menatap Park Hyun-Shik dengan pandangan bertanya sambil
menunjuk ke arah ponsel yang sedang dipegang laki-laki tampan di sofa itu.
“Ya, itu ponsel Anda,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum kecil.
Laki-laki yang duduk di sofa masih sibuk sendiri, tidak menyadari
kedatangan Sandy. Keningnya tampak berkerut sebal. Ia berkata dengan nada agak
marah. “Maaf, Lee Jeong-Iel ssi*, saya benar-benar tidak mengenal Anda.
Saya juga tidak kenal Han Soon-Alyssa. Bagaimana saya bisa meminta dia menjawab
telepon? Anda salah sambung.”
Selesai berkata seperti itu, laki-laki itu menutup flap ponselnya
dengan keras. “Orang aneh,” ia menggerutu sendiri.
“Hei…,” Ify mendengar Park Hyun-Shik memanggil laki-laki itu.
“Ponsel itu milik nona ini.”
Laki-laki di sofa itu berpaling ke arah Park Hyun-Shik, lalu ke
arah Ify. Ketika mata mereka bertemu, Ify baru sadar siapa laki-laki itu.
Jung Tae-Rio agak bingung mendengar penjelasan Park Hyun-Shik.
Pandangannya berpindah-pindah dari sang manajer ke gadis yang berdiri di
hadapannya, lalu kembali ke manajernya lagi. Secara sekilas, ia mengamati orang
asing yang sekarang ada di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan
rambut dikucir dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas tangan.
Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Gadis itu diam tak bersuara
sementara Park Hyun-Shik menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Oh, jadi ini ponsel Anda?” tanya Tae-Rio sambil bangkit dari
sofa. Ia mengulurkan ponsel yang sedang dipegangnya. “Itu… tadi—siapa namanya,
maaf, saya lupa—menelepon mencari Han Soon-Alyssa atau Ify. Anda sendiri Han
Soon-Alyssa atau Ify?”
Gadis itu tersenyum samar dan menjawab, “Dua-duanya nama saya.”
*Partikel
dalam bahasa Korea untuk menyatakan rasa hormat. 14
Tiba-tiba ponsel itu berbunyi dan
membuat Tae-Rio tersentak kaget. “Silakan dijawab,” katanya cepat.
Han Soon-Alyssa menerima ponsel itu dan langsung membuka flap-nya.
“Halo?”
Kemudian Tae-Rio dan Park Hyun-Shik tertegun ketika mendengar
gadis itu berbicara dalam bahasa asing. Tae-Rio yakin percakapan tersebut bukan
dalam bahasa Inggris ataupun Jepang karena ia menguasai kedua bahasa itu. Entah
bahasa apa yang sedang dipakai gadis itu, pokoknya ia berbicara lancar sekali.
Tae-Rio menoleh ke arah manajernya untuk bertanya dan sebagai jawaban Park
Hyun-Shik menggeleng.
Percakapan itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon si
gadis memandang Park Hyun-Shik dan Tae-Rio bergantian dengan sikap serbasalah.
Sambil tersenyum kaku ia berkata, “Ehm, terima kasih banyak. Saya pulang dulu.”
“Tunggu,” Park Hyun-Shik menyela. Gadis itu memandangnya tanpa
ekspresi. “Kalau boleh tahu, yang tadi itu bahasa apa?”
“Bahasa Indonesia,” jawab gadis itu langsung.
“Oh, begitu.” Park Hyun-Shik tersenyum dan mengangguk-angguk
karena sepertinya gadis itu tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. “Anda bisa
berbahasa Indonesia rupanya.”
“Saya permisi,” kata gadis itu lagi sambil beranjak ke pintu.
“Sebentar,” Park Hyun-Shik kembali menahan gadis itu. Ia memandang
Tae-Rio sekilas, lalu kembali memandang gadis itu. “Anda tidak datang dengan
mobil, bukan? Tadi saya lihat tidak ada mobil di luar. Begini saja, kebetulan
kami juga mau keluar. Bagaimana kalau Anda kami antar? Saya merasa tidak enak
karena Anda harus mengantar ponsel itu kemari.”
Gadis itu tersenyum kaku dan menggoyang-goyangkan sebelah
tangannya. “Tidak usah. Saya bisa naik bus.”
“Kami bisa mengantar Anda ke halte bus,” timpal Tae-Rio. Ia tidak
yakin gadis itu bisa pulang sendiri karena bila dilihat dari keadaannya
sekarang, gadis itu sepertinya bisa jatuh pingsan kapan saja. “Anggap saja
sebagai tanda terima kasih sekaligus tanda maaf dari kami.”
Gadis itu memandang mereka berdua bergantian dengan matanya yang
besar. Raut wajahnya tampak bimbang. Sepertinya otaknya sedang berputar,
mencari cara untuk menolak tawaran itu. Tae-Rio bisa memahaminya. Seorang gadis
yang langsung bersedia diantar dua pria tidak dikenal sudah pasti gadis yang
tidak beres.
“Tidak usah khawatir. Kami tidak akan macam-macam. Percayalah,”
kata Tae-Rio sambil tersenyum lebar, walaupun ia tahu pasti kalimat itu
terdengar tidak terlalu meyakinkan.
“Oh, bukan. Saya tidak bermaksud
begitu,” kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tangannya lagi.
“Ayo, biar kami antar sampai ke halte bus,” sela Tae-Rio sambil
meraih kunci mobil manajernya yang ada di meja. Ia menoleh ke arah Park
Hyun-Shik. “Hyong, kita pakai mobilmu saja, ya?”
Sepanjang perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bila diajak
bicara, ia hanya menjawab seperlunya. Tae-Rio melirik manajernya yang sedang
menyetir dan melirik ke kaca spion untuk mencuri pandang ke kursi belakang.
Gadis itu duduk bersandar dan memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.
Tae-Rio ingin tahu apa yang membuat gadis itu terlihat begitu lelah.
Tiba-tiba gadis itu membuka suara, “Saya turun di depan sini
saja.”
Jung Tae-Rio membalikkan tubuhnya sedikit supaya bisa melihat
gadis itu. “Di sini saja? Yakin tidak mau kami antar sampai di rumah?”
“Benar, kami tidak keberatan,” Park Hyun-Shik menambahkan.
Gadis itu menyunggingkan seulas senyum yang terkesan dipaksakan.
“Tidak usah. Berhenti di sini saja.”
Park Hyun-Shik menghentikan mobilnya di tepi jalan, di dekat halte
bus.
“Terima kasih,” kata gadis itu sambil keluar dari mobil. “Selamat
malam.”
Ketika gadis itu membungkuk untuk memberi salam kepada mereka
berdua, Park Hyun-Shik menurunkan kaca mobil dan bertanya, “Nona Han Soon-Alyssa,
ada yang ingin saya tanyakan. Apakah Anda mengenal teman saya ini?”
Tae-Woo menyadari manajernya sedang menunjuk ke arahnya.
Han Soon-Alyssa mengerjapkan matanya sekali, lalu mengangguk.
“Orang ini? Jung Tae-Rio, bukan? Jung Tae-Rio yang penyanyi itu?” Lalu seakan
baru menyadari sesuatu, ia memandang Tae-Rio dan berkata, “Lagu Anda… lagu
Anda… bagus.”
Dua
“’LAGU Anda bagus’?”
Ify yang duduk bersila di tempat tidur dengan selimut membungkus
tubuh menatap bingung Kang Young-Via yang duduk di sampingnya. Temannya yang
bermata sipit dan berambut lurus panjang tergerai melewati bahu itu balas
menatap Ify dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Aku tidak percaya kau hanya bisa berkata begitu. Kenapa tidak
minta tanda tangannya?” Young-Via melanjutkan dengan nada menuduh.
Ify mengerang. “Mungkin karena kemarin aku sedang kesal dan lelah…
dan lumpuh otak.” Ia memegang pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng.
“Betul, sepertinya otakku benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku
masuk ke mobil bersama dua laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah
hampir tengah malam. Astaga, apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti
itu. Tidak, tidak. Aku sudah gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana
kalau sampai terjadi apa-apa kemarin?”
Kang Young-Via mendecakkan lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang
asing. Kau bersama Jung Tae-Rio. Kenapa kau tidak minta tanda tangannya?”
tanyanya sekali lagi, nada penyesalan kental terdengar.
“Jung Tae-Rio orang asing bagiku,” cetus Ify tegas. “Lagi pula kau
tahu sendiri aku bukan penggemarnya, kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun bukan penggemarnya, kau
kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,” tegur Young-Vua lagi sambil
menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu setia menunggu
kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa minta tanda
tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung dengan Jung Tae-Rio,
kau tahu? Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu dengannya, kau
bicara dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil temannya,” sela Ify.
“Temannya juga ada di sana.”
Young-Via tidak mengacuhkan Ify. “Kau naik mobil bersamanya. Haah,
kalau aku jadi kau, aku akan-“
“Hei, Kang Young-Va!”
Sikap Young-Viamelunak. “Aku tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali
kau bertemu dengannya, jangan lupa minta tanda tangan untukku.”
Ify membaringkan diri ke tempat tidur. “Kalau aku bertemu
dengannya lagi,” gumamnya lirih. Pandangannya menerawang. “Kalau aku
bertemu dengannya lagi.”
Young-Via bermain-main dengan salah satu ujung selimut Ify lalu
tiba-tiba menyeletuk, “Oh ya, kudengar Jung Tae-Rio itu sebenarnya gay.
Aku tidak tahu gosip itu benar atau tidak, meski aku bisa mati karena kecewa
kalau dia benar-benar gay. Kemarin kau bertemu langsung dengannya.
Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti apa? Apakah dia kelihatan normal-normal
saja? Terlihat berbeda? Apakah penampilannya berubah setelah bertahun-tahun
menghilang?”
Ifyy mengerutkan kening dan berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa
ada yang aneh pada dirinya. Biasa saja. Aduh, aku kan sudah bilang bahwa
kemarin aku lumpuh otak. Aku bahkan tidak ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Via menatap prihatin temannya. “Kau benar-benar tidak
berguna. Hanya kau yang bisa demam di musim panas seperti ini. Kepalamu masih
sakit? Sudah baikan, belum?”
Ify tidak menjawab pertanyaan itu. Ia sedang memikirkan hal lain.
Kemudian ia menggigit bibir dan bertanya, “Young-Via, sebenarnya apa yang kau
suka dari Jung Tae-Rio? Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?”
Senyum Kang Young-Via mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai
menyanyi—aduh, suaranya bagus sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang
begitu romantis dan menyentuh. Oh ya, album barunya akan diluncurkan sebentar
lagi. Ah, aku sudah tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba Young-Via memekik dan membuat Ify terperanjat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Ify begitu melihat Young-Via meraih
tasnya yang tergeletak di lantai dengan kasar dan mulai mencari-cari sesuatu di
dalamnya.
“Bodohnya aku, bodohnya aku,” gumam Young-Via berulang-ulang.
“Seharusnya aku langsung tahu begitu kau menceritakannya padaku.”
“Apa?” tanya Ify heran.
Young-Via mengeluarkan tabloid dan
membuka-buka halamannya. “Nah, coba kau lihat ini.”
Ify melihat artikel berjudul “Pertemuan Tengah Malam” yang
ditunjukkan Young-Via dan mendadak ia merinding. Artikel itu dilengkapi dua
foto Jung Tae-Rio bersama seorang wanita. Wajah wanita itu tidak terlihat
jelas, tapi Ify sudah tentu bisa mengenali dirinya sendiri. Wanita yang bersama
Jung Tae-Rio di dalam foto itu adalah dirinya. Astaga! Apa-apaan ini?
Foto pertama memperlihatkan Ify dan Jung Tae-Rio yang sedang
keluar dari rumah artis itu. Kepala Ify tertunduk ketika difoto sehingga
wajahnya tidak terlihat. Sandy ingat saat itu teman Jung Tae-Rio masih berada
di dalam rumah sehingga orang itu tidak ikut terfoto.
Foto yang kedua diambil ketika Jung Tae-Rio sedang membuka pintu
mobil untuknya. Sosoknya tidak jelas karena terhalang tubuh Jung Tae-Rio. Ify
merasa bersyukur karena wajahnya tidak terlihat.
“Aku sempat melupakan tabloid ini ketika aku mendengar kau sakit,”
kata Young-Via menjelaskan. “Seharusnya aku sudah bisa menduga ketika kau
menceritakan apa yang kau alami semalam tadi, tapi anehnya hari ini kerja
otakku lambat sekali. Wanita yang di foto itu kau, bukan?”
“Astaga,” gumam Ify tidak percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto
ini?”
“Jung Tae-Rio itu artis terkenal,” kata Young-Via dengan nada
aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku. “Tentu saja banyak wartawan yang sibuk
mencari berita tentang dirinya. Dan yang satu ini benar-benar berita hebat. Di
sini malah ditulis kau kekasih Jung Tae-Rio.”
Ify menggeleng-geleng dan mengembalikan tabloid itu kepada Young-Via.
Ia masih merinding, “Aku tidak berdua saja dengan Jung Tae-Rio. Paman
berkacamata itu, teman Jung Tae-Rio, juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun
yang mengambil foto ini juga tahu, tapi kenapa jadi begini?”
Kang Young-Via menarik napas panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Rio
itu artis terkenal. Tabloid-tabloid harus mencari berita yang bisa menarik
perhatian orang. Kalau kalian bertiga yang ada dalam foto itu, tidak akan ada
berita.”
Ify merasa tubuhnya menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat.
Young-Via, kuharap kau tidak akan memberitahu siapa pun tentang pertemuanku
dengan Jung Tae-Rio.”
Alis Young-Via terangkat. “Kenapa?”
Ify mengerutkan kening dan menggaruk kepala. “Enak saja mereka
membuat gosip sembarangan. Kekasihnya? Aku? Aku tidak mau terlibat dengan
urusan seperti gosip artis…”
“Kepalamu masih sakit?” tanya
Young-Via ketika melihat Ify terdiam sambil memegang dahi.
Ify menggeleng dan tersenyum. “Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya
gara-gara kecapekan ditambah stres, akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah
tidak apa-apa Young-Via, kau pulang saja dan bantu ibumu. Sekarang kan jam
makan siang. Rumah makan ibumu pasti sedang ramai.”
“Ibuku juga mencemaskanmu, jadi aku diizinkan tinggal lebih lama.
Oh ya, ibuku sudah memasak bubur untukmu. Tadi aku taruh di dapur. Kau harus
makan, mengerti?” kata Young-Via sambil mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia
meletakkan tangannya di kening Ify dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap
harus minum obat. Nanti sore aku akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa,
telepon aku.”
“Kau baik sekali, Young-Via,” kata Ify sambil tersenyum.
“Sampaikan terima kasihku pada ibumu karena sudah memasak bubur untukku. Ah,
tidak usah. Sebaiknya aku sendiri yang meneleponnya dan berterima kasih. Oh ya,
kau harus ingat, soal pertemuanku dengan Jung Tae-Rio kemarin malam, jangan
kaukatakan pada siapa pun.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau tenang saja. Istirahat yang banyak ya.
Sampai jumpa,” kata Young-Via sebelum keluar dari kamar Ify.
Jung Tae-Rio berdiri tegak di dekat jendela besar ruangan kantor
manajernya yang berada di lantai 20 gedung pencakar langit. Ia memandang ke
luar jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia tidak sedang
menikmati pemandangan kota Seoul seperti yang sering dilakukannya pada
hari-hari biasa. Pagi ini sebuah tabloid lagi-lagi memuat artikel yang
mengomentari gosip gay-nya. Gosip itu merambat dengan kecepatan tinggi.
Tidak lama lagi ia pasti akan dimintai penjelasan. Wartawan-wartawan akan
mengejarnya… menanyainya… menuntut tanggapannya. Itulah risiko menjadi artis.
Kenangan buruk masa lalu itu muncul lagi. Ketika para wartawan mengajukan
ribuan pertanyaan tanpa henti, ketika ia merasa begitu frustrasi dan harus
bersembunyi untuk menenangkan diri. Kini, dengan adanya gosip baru itu,
hari-hari penuh perjuangan akan kembali dimulai… atau apakah sebenarnya sudah
dimulai?
“Oh, Tae-Rio, sudah datang rupanya.”
Tae-Rio begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai ia
tidak menyadari manajernya sudah masuk ke kantor itu.
Park Hyun-Shik berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan map biru
di meja. “Sudah lama?”
Tae-Rio menggeleng dan menghampiri
kursi di depan meja. “Baru saja sampai. Ada apa menyuruhku kemari pagi-pagi?”
Park Hyun-Shik menyampirkan jasnya di sandaran kursi lalu membuka
map yang tadi diletakkannya di meja. Ia mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan
menyodorkannya kepada Tae-Rio.
Tae-Rio menerima tabloid yang disodorkan dengan bingung, namun
begitu melihat artikel yang ada di sana, raut wajahnya berubah. “Apa-apaan ini?
Bagaimana mereka bisa… Ini—“
Tae-Rio memandang manajernya dan yang ditatap mengangguk. “Benar.
Ini foto yang diambil kemarin malam ketika kita mengantar gadis itu.”
Dengan kesal Tae-Rio melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu
gosip masih tidak cukup rupanya.” Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana
mereka bisa mendapatkan foto-foto ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang
kemarin itu ada hubungannya dengan masalah ini?”
Manajernya menggeleng pelan. “Tidak, kurasa tidak. Meski
kemungkinan seperti itu tetap ada, sekecil apa pun, tapi menurutku tidak
begitu.”
Tae-Rio mengusap-usap dagu sambil merenung. Ia harus mengakui
gadis yang kemarin itu tidak mungkin ada hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis yang kemarin itu, Han Soon-Alyssa… aku sudah
menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan sehelai kertas kepada
Tae-Rio. Ia lalu melanjutkan, “Sedang kuliah tahun ketiga dan bekerja sambilan
di butik seorang perancang busana. Ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang
Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu rumah tangga. Dia
anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di sana sampai usianya sepuluh
tahun, lalu karena kontrak kerja ayahnya sudah selesai, mereka sekeluarga
pindah ke Seoul. Lima tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke Jakarta
karena ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di Seoul.
Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Rio membaca tulisan pada kertas yang dipegangnya dan tertawa
kecil. “Dari mana Hyong mendapatkan semua informasi ini? Sampai tinggi
dan berat badannya ada.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum dan mengeluarkan sehelai kertas
lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca, “Menurut orang-orang yang kenal baik
dengannya, Han Soon-Alyssa wanita baik-baik dan bisa dipercaya. Tidak merokok,
tidak pernah mabuk-mabukan, tidak memakai obat-obat terlarang, dan tidak punya
catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani menyimpulkan dia tidak ada sangkut
pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.” Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Rio menerima kertas yang disodorkan manajernya.
Park Hyun-Shik menghela napas.
“Meski harus diakui… secara tidak langsung, gosip yang satu ini sudah membantu
kita,” katanya.
Tae-Rio mengangkat wajah dari kertas di tangannya dan memandang
Park Hyun-Shik, menunggu si manajer menjelaskan maksud kata-katanya.
“Bukankah gosip ini dengan sendirinya mematahkan gosip gay-mu?
Foto-foto itu memperlihatkan kau bersama seorang wanita di depan rumah
pribadimu pada waktu yang sangat mencurigakan,” kata Park Hyun-Shik sambil
tersenyum lebar.
“Aku tahu kau sudah meminta izin untuk tidak datang bekerja hari
ini karena tidak enak badan, tapi aku sangat membutuhkanmu sekarang, Miss Han.
Saat ini juga. Kami di sini sibuk sekali, apalagi aku, sampai hampir tidak
punya waktu untuk menarik napas. Aku terpaksa memintamu datang, Miss Han.
Tolong datanglah sekarang. Please… Kau pasti tidak sedang sakit berat.
Kalau tidak, saat ini kau pasti sudah diopname di rumah sakit dan bukannya
istirahat di rumah. Okay, Miss Han?”
Ify berbaring di ranjang dengan ponsel menempel di telinga. Ia
mendengarkan kata-kata bosnya yang mengalir seperti air bah di ujung sana
dengan mata terpejam. Seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya hari ini.
Seharusnya bosnya tidak menghubunginya. Seharusnya bosnya tidak bersikap
begini. Orang sakit masa disuruh kerja? Lagi pula ini kan hari Sabtu. Diktator!
“Miss Han? Miss Han? Halooo? Kau mendengarkanku, Miss Han? Aku
tidak bisa berbicara lama-lama, Miss Han. Very very busy. Kau akan
datang, kan?”
“Ya, ya, Mister Kim. Saya mengerti. Saya akan sampai di sana dalam
satu jam,” sahut Ify malas.
“Kau punya waktu setengah jam untuk sampai di studioku, Miss Han,”
kata bosnya sebelum menutup telepon.
Ify menatap ponselnya dengan hati dongkol. “Lihat saja, kau akan
menerima surat pengunduran diriku hari Senin nanti. Drakula! Pengisap darah!
Hhh, bisa gila aku!”
Sambil mengumpat, Ify memaksa dirinya bangkit dan berjalan
terseok-seok ke lemari pakaian.
Empat puluh tiga menit kemudian, Ify sudah berdiri di studio
Mister Kim, salah satu perancang busana paling populer di Korea. Yang disebut studio
oleh bosnya adalah ruang kerja berantakan yang penuh kain berbagai corak, baik
kain perca tak berguna maupun kain yang masih baru. Studio itu terletak di
lantai teratas gedung
berlantai tiga. Butik Mister Kim sendiri terdiri atas dua lantai:
lantai pertama diperuntukkan tamu umum sedangkan lantai duanya untuk tamu VIP.
Ify masuk dan melihat pria setengah baya berpenampilan perlente,
berambut dicat merah, dan berkaca-mata itu sedang memandangi model kurus dengan
tatapan tidak puas. Lalu dengan sekali sentakan tangan, ia menyuruh model itu
pergi dan menyuruh anak buahnya memanggil model lain.
Tepat pada saat model lain masuk ke ruangan, Mister Kim menyadari
keberadaan Sandy dan langsung memekik, “Miss Han! Kau terlambat.
Kenapa—sebentar…” Ia berpaling ke arah si model yang baru masuk dan berkata
ketus, “No, no! Bukan kau. Apa yang harus kulakukan supaya mereka
mengerti model seperti apa yang kubutuhkan? Astaga! Panggilkan Mister Cha ke
sini.”
Ify merasa kasihan melihat ekspresi kaget si model wanita. Harus
diakui Mister Kim ini bukan orang yang mudah. Kadang-kadang orang jenius memang
sulit dibuat senang.
Mister Kim kembali memusatkan perhatian kepada Ify. “Kau lihat
sendiri, Miss Han, kami sedang sibuk sekali untuk fashion show. Tolong
kauantarkan pakaian-pakaian untuk dicoba.”
Apa? Untuk dicoba siapa? Pakaian mana? Mister Kim selalu
mengharapkan orang lain langsung bisa memahami kata-katanya yang tidak selalu
jelas.
“Diantarkan kepada siapa dan dicoba untuk apa, Mister Kim?” tanya Ify.
Mister Kim menatapnya dengan mata dibelalakkan selebar-lebarnya,
setidaknya selebar yang mungkin di lakukan mata yang pada dasarnya sipit.
“Astaga, Miss Han. Kau tentu ingat aku pernah bercerita tentang Jung Tae-Rio,
bukan? Dia sudah setuju akan memakai pakaian rancanganku dalam setiap
penampilannya. Makanya kau cepat-cepatlah pergi ke sana dan pastikan
pakaian-pakaian itu sudah cocok dengan ukuran dan seleranya.”
Lalu, sebelum If bertanya lagi dia sudah menunjuk rak pakaian
beroda yang ada di dekat pintu, “Itu! Pakaian yang di rak itu!”
Tidak, Anda belum pernah menyebut-nyebut tentang masalah ini
kepadaku, gerutu Ify dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya adalah, “Siapa
yang Anda sebut tadi?”
“Jung Tae-Rio. Penyanyi itu. Kau tidak kenal? Sudahlah, kenal atau
tidak bukan masalah penting. Sana cepat pergi! Dia sudah menunggu di butik. Ayo
sana. Go! Cepat!” katanya sambil mendorong punggung Ify ke arah pintu
keluar studionya.
* * *
Ify mendorong rak beroda yang
nyaris terisi penuh pakaian di sepanjang koridor. Masih dengan perasaan sebal,
ia berjalan menuju lift. Di tengah jalan Ify berpapasan dengan penjaga butik
yang sudah kenal baik dengannya dan diberitahu Jung Tae-Rio sudah menunggu di
lantai dua.
Sesampainya di depan pintu ruang peragaan lantai dua yang
memancarkan kesan elite itu, ia berhenti beberapa saat. Ia ragu. Kenapa ia
harus bertemu Jung Tae-Rio lagi? Apa yang harus ia katakan kepadanya? Apa yang
harus ia lakukan? Apakah laki-laki itu sudah tahu tentang foto-foto yang dimuat
di tabloid itu?
Ify mendesah dan menggigit bibir. Mungkin saja Jung Tae-Rio malah
tidak ingat padanya lagi. Ify mengangguk. Benar, Jung Tae-Rio pasti sudah lupa
padanya. Artis-artis pasti sulit mengingat wajah karena setiap hari mereka
harus bertemu begitu banyak orang baru. Pasti begitu. Mana mungkin mereka ingat
setiap orang yang mereka temui dalam waktu singkat, kan?
Dengan keyakinan itu, Ify mendorong pintu kaca besar di hadapannya
dan melangkah masuk. Ia menarik napas dalam-dalam dan memaksa kakinya terus
berjalan.
Ify berdiri di depan pintu putih salah satu kamar peragaan dan
kembali menarik napas. Baiklah, ini saatnya. Lakukan dan selesaikan secepatnya!
Tidak usah cemas. Orang itu tidak akan ingat padamu. Kerjakan saja tugasmu.
Ia meraih pegangan pintu dan membukanya.
“Salah seorang anak buahnya akan mengantarkan pakaian-pakaian itu
ke sini,” kata Park Hyun-Shik sambil menutup flap ponsel.
Tae-Rio mengembuskan napas keras-keras dan mengempaskan diri ke
sofa empuk yang diletakkan di tengah-tengah kamar peragaan. “Sudah kubilang,
seharusnya kita tidak usah datang secepat ini.” Ia melirik jam tangannya. “Ah,
aku salah, ternyata bukan kita yang datang terlalu cepat. Mereka yang terlambat.
Hhh… harus menunggu berapa lama?”
Park Hyun-Shik baru akan menjawab ketika ponselnya berdering untuk
kesekian kalinya dalam dua jam terakhir.
Tae-Rio menatap manajernya yang sedang berbicara dengan bahasa
formal di ponsel. Sepertinya telepon dari produser atau semacamnya. Park
Hyun-Shik memberi isyarat akan keluar sebentar. Tae-Rio mengangguk tak acuh dan
Park Hyun-Shik keluar dari ruangan itu.
Tae-Rio merebahkan kepala ke
sandaran sofa, mencoba mendapatkan kenyamanan. Baru saja ia merasa damai dan
hampir terlelap ketika ia mendengar bunyi pintu dibuka dan suara seorang
wanita.
“Selamat siang. Maaf membuat Anda menunggu lama.”
Tae-Rio membuka mata. Gadis berambut lebih dari sebahu dan bertopi
merah memasuki ruangan sambil mendorong rak pakaian beroda. Gadis itu
membungkuk hormat. Tae-Rio berdiri dan membungkuk sedikit untuk membalas
sapaannya.
“Mister Kim meminta saya membawakan pakaian-pakaian ini untuk
Anda. Silakan dicoba.” Gadis itu mendorong rak hingga ke ujung ruangan, ke
dekat bilik ganti. Ia mengeluarkan salah satu pakaian dari gantungan dan
mengulurkannya kepada Tae-Rio. “Silakan dicoba di sana,” katanya sambil
menunjuk ke arah bilik yang tertutup tirai tebal.
Ada perasaan janggal yang mengusik Tae-Rio, tapi ia tidak tahu apa
yang membuatnya merasa seperti itu. Ia menerima pakaian yang disodorkan dan
beranjak ke bilik ganti.
Selesai mengenakan pakaian, Tae-Rio menyibakkan tirai. Tepat pada
saat itu ia melihat gadis yang membawakan pakaian tadi sedang duduk di kursi
bulat di samping sofa. Topi merahnya dilepas dan gadis itu sedang menyisir
rambutnya yang agak ikal dengan jari-jari tangan. Tae-Rio tertegun dan menatap
gadis itu. Itulah kali pertama ia melihat jelas wajah si gadis sejak ia masuk
bersama rak pakaian.
Tiba-tiba gadis itu menoleh dengan wajah terkejut, sepertinya ia
menyadari sedang diperhatikan. Ia cepat-cepat mengenakan kembali topinya dan
berdiri. “Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?”
Bukankah ia gadis yang kemarin ditemuinya? Tidak salah lagi. Tae-Rio
masih ingat wajah gadis itu. Wajah yang lelah dan pucat. Gadis yang berdiri di
hadapannya ini memang gadis yang kemarin. Wajahnya masih terlihat lelah dan
pucat. Tapi kenapa gadis ini tidak mengatakan apa-apa? Apakah ia tidak
mengenalinya?
“Kita pernah bertemu,” kata Tae-Rio. Ia tidak sedang bertanya. Ia
benar-benar yakin, karena itu ia ingin melihat reaksi si gadis.
Gadis itu tertegun, lalu perlahan-lahan mengangkat kepala dan
memandang Tae-Rio dengan ragu-ragu.
Tatapan yang ragu-ragu itu tidak salah lagi sama dengan tatapan
gadis yang kemarin datang ke rumahnya. Tae-Rio menunggu si gadis mengatakan
sesuatu.
Setelah hening beberapa detik, gadis itu hanya bergumam, “Oh?”
Tae-Rio kecewa karena gadis itu
tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatapnya dengan matanya yang
besar. Gadis itu bodoh atau benar-benar tidak ingat lagi kejadian kemarin
malam? Bukannya sombong, tapi Tae-Rio tidak habis pikir bagaimana seseorang
bisa melupakan artis yang baru ia temui kemarin malam? Tae-Rio kesal karena
justru dirinyalah yang ingat pada si gadis, sementara si gadis tampaknya sama
sekali tidak ingat padanya. Bagaimana bisa? Atau sebenarnya ia tidak sepopuler
yang ia kira? Apakah dunia sudah berubah tanpa sepengetahuannya?
“Kau datang ke rumahku
kemarin malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Tae-Rio datar dan
cepat, berusaha membantu ingatan gadis itu. Demi Tuhan, memangnya gadis ini
menderita amnesia?
Ify memerhatikan Jung Tae-Woo masuk ke bilik ganti dan menarik
tirai. Ia mengembuskan napas lega dan duduk di kursi bulat yang empuk.
Laki-laki itu teryata memang tidak mengenalinya. Ify melepaskan topi dan
memegang pipinya dengan sebelah tangan. Lelah sekali. Semoga saja sampai
pekerjaannya selesai Jung Tae-Rio tidak akan mengenalinya. Ia menyisir rambut
dengan jari-jari tangan sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat Jung Tae-Rio sudah
berdiri di sana sambil memerhatikannya. Ify tersentak dan segera memakai
topinya kembali.
“Bagaimana? Apakah pakaiannya cocok? Anda suka?” tanyanya dengan
nada yang dibuat riang dan sopan.
“Kita pernah bertemu.”
Ify bergeming. Ia menggigit bibir. Ternyata Jung Tae-Rio
mengenalinya. Bagaimana sekarang? Mengaku saja? Tapi kalau baru mengaku sekarang
akan terasa aneh. Akhirnya ia hanya bisa bergumam tidak jelas.
“Kau datang ke rumahku kemarin malam karena ponselku tertukar
dengan ponselmu,” kata Jung Tae-Rio lagi. Nada suaranya datar.
Baiklah, ia tidak bisa mengelak lagi. Ify memaksakan seulas senyum.
“Oh, ya, benar. Apa kabar?”
Hanya itu yang bisa dipikirkannya. Ify memarahi dirinya sendiri
dalam hati.
Jung Tae-Rio memandangnya dengan tatapan aneh, lalu memalingkan
wajah dan mendengus pelan. “Ternyata ingat juga,” gumamnya.
Ify mengangkat alis. “Ya?”
Jung Tae-Rio kembali menatapnya dan berkata, “Jadi kau bekerja di
sini?”
“Ya… bisa dibilang begitu,” jawab Ify. Ia lega sekarang.
Setidaknya ia tidak perlu menundukkan kepala lagi. Tidak perlu menyembunyikan
wajah lagi.
“Foto di tabloid itu… Kau sudah melihatnya?” tanya Jung Tae-Rio.
Ify menelan ludah. Ini dia. Apakah Jung Tae-Rio menyangka ia
berada di balik semua ini?
“Sudah…,” sahutnya ragu, lalu
cepat-cepat menambahkan sambil menggoyang-goyangkan tangan, “tapi bukan aku…
Maksudku, aku tidak ada hubungannya dengan itu. Sungguh.”
Jung Tae-Rio tertawa kecil. “Kami juga berpikir begitu. Lagi pula
sebenarnya foto-foto itu malah membantuku.”
Ify tidak mengerti.
“Kau sering membaca tabloid?” tanya Tae-Rio.
Ify menggeleng. Ia tidak punya waktu untuk itu. Lagi pula ia sama
sekali tidak perlu membaca tabloid untuk tahu gosip seputar artis. Temannya,
Kang Young-Via, adalah tabloid berjalan. Kang Young-Via tahu semua yang terjadi
dalam dunia artis. Apa pun yang ia ketahui pasti akan diceritakannya kepada Ify,
tidak peduli Ify sebenarnya mau tahu atau tidak.
Jung Tae-Rio mengangguk-angguk. “Hm, berarti kau tidak tahu-menahu
soal gosip tentang diriku.”
“Gosip gay itu?” kata-kata itu meluncur begitu saja dari
mulut Ify tanpa diproses di otaknya terlebih dahulu.
Jung Tae-Rio menatapnya. “Bukannya kau tadi bilang kau tidak
membaca tabloid?”
Ify memiringkan kepala dengan salah tingkah. “Temanku yang
menceritakannya padaku.”
“Ternyata banyak orang yang sudah tahu.” Jung Tae-Rio mendesah.
“Bagaimanapun, foto-foto itu sudah membantuku mengatasi gosip.”
Ify hanya mengangguk-angguk tidak acuh, namun ia terkejut ketika
laki-laki di hadapannya itu mendadak berpaling ke arahnya dengan wajah
berseri-seri.
“Han Soon-Alyssa ssi—namamu Han Soon-Alyssa, bukan?” tanyanya
cepat. Tanpa menunggu jawaban Ify, ia meneruskan, “Karena kau sudah membantuku
satu kali, bagaimana kalau kau membantuku lagi?”
Ify mundur selangkah. “Bantu… apa?”
“Jadi pacarku.”
“A-apa?!”
Tae-Rio agak kaget mendengar pekikan gadis itu, tapi ia bisa
memakluminya.
“Begini, biar kuganti kalimat permintaanku,” katanya sambil
berkacak pinggang dan berpikir-pikir. Kemudian ia mengangkat wajah dan menatap Ify.
“Aku hanya ingin memintamu berfoto denganku sebagai pacarku.”
Ify mengerjap-ngerjapkan mata
dengan bingung. Tae-Rio cepat-cepat menjelaskan. Ia sangat menyadari alis gadis
itu terangkat ketika mendengarkan ceritanya.
“Hanya berfoto. Bagaimana?” tanya Tae-Rio di akhir penjelasannya.
Ia menatap Ify yang masih tercengang. Kenapa tiba-tiba ia merasa seolah sedang
disidang di pengadilan? Ia sangat penasaran apa yang akan dikatakan gadis itu,
apa jawabannya.
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Ify adalah, “Kenapa aku?”
Pertanyaan yang bagus. “Tidak ada alasan khusus,” sahut Tae-Rio
santai. “Kupikir kau mungkin mau membantuku. Bagaimanapun kita sudah pernah
difoto bersama walaupun tanpa sengaja.”
Ify masih terlihat bingung, tapi Tae-Rio melihat kening gadis itu
berkerut, tanda sedang mempertimbangkan usul yang ia ajukan. Setidaknya Ify
tidak langsung menolak mentah-mentah.
Tae-Rio cepat-cepat mengambil kesempatan itu untuk menambahkan,
“Kalau kau mau, anggap saja aku menawarkan pekerjaan kepadamu. Tidak akan
mengganggu pekerjaanmu yang sekarang. Kau masih kuliah? Kuliahmu juga tidak
akan terganggu.”
“Memangnya aku terlihat seperti sedang butuh pekerjaan?” tanya Ify
datar. “Atau butuh uang?”
Tae-Rio terdiam. Ia memandang Ify dari kepala sampai ke ujung
kaki. Tidak, gadis ini memang sudah punya pekerjaan dan dilihat dari cara
berpakaiannya, ia tidak tampak seperti gadis yang kekurangan uang.
“Memang tidak,” Tae-Rio mengakui. “Begini saja, aku akan memberimu
apa pun yang kauinginkan kalau kau bersedia membantuku.”
“Hanya untuk berfoto bersama?” tanya Ify memastikan.
“Begitulah rencananya,” jawab Tae-Rio pasti. Ia mulai merasa tidak
percaya diri melihat tanggapan gadis itu. Apa yang sedang dipertimbangkannya?
Yah, mungkin memang karena pada dasarnya Han Soon-Alyssa bukanlah salah satu penggemarnya. Jadi, tidak
aneh kalau gadis itu tidka antusias dengan gagasan ini.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel. Otomatis Tae-Rio merogoh saku
bagian dalam jasnya. Pada saat yang sama Ify juga merogoh tas tangannya yang
terletak di meja. Ternyata yang berdering ponsel milik gadis itu. Tae-Rio baru
ingat ponsel Ify sama dengan ponsel miliknya. Bahkan nada deringnya juga persis
sama. Mungkin salah satu dari mereka harus segera mengganti nada dering.
Ify menatap ponselnya, membuka flap-nya,
tapi langsung menutupnya lagi tanpa dijawab terlebih dulu. Rasa ingin tahu Tae-Rio
bertambah ketika ia melihat gadis itu melepaskan baterai ponselnya kemudian
kembali menyimpan tas beserta baterainya itu ke tas. Siapa yang meneleponnya
tadi? Tidak tampak ekspresi apa pun di wajahnya. Tapi sepertinya Ify tidak
berniat memberikan penjelasan atas tidakannya barusan.
“Mau membantu, kan?” Tae-Rio
akhirnya membuka suara setelah mereka berdua terdiam beberapa saat.
Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Tae-Rio. “Baiklah,
asalkan wajahku tidak terlihat.”
Udara di sekeliling Tae-Rio jadi terasa lebih ringan. Ia
mengembuskan napas pelan dan tersenyum lega. Meminta bantuan Ify ternyata tidak
sesulit dugaannya. Tidak ada syarat yang aneh-aneh. Kalau sekadar merahasiakan
identitas, ia bisa memaklumi itu. Gadis ini tentu saja tidak ingin berurusan
dengan wartawan.
“Terima kasih. Kuharap kau tidak akan memberitahu orang lain
tentang kesepakan kita ini, bahkan orangtuamu sekalipun. Aku tidak ingin
menciptakan skandal yang lebih parah. Aku bisa memercayaimu, kan?”
“Mm, aku mengerti,” kata Ify menyanggupi. Tapi begitu melihat
matanya yang agak menerawang, Tae-Rio jadi kurang yakin apakah gadis itu
benar-benar memahami kata-katanya.
Pada saat itu pintu terbuka dan mereka berdua menoleh. Ternyata
yang masuk Park Hyun-Shik. Sang manajer memandang mereka berdua dengan tatapan
bertanya-tanya, lalu setelah beberapa saat wajahnya menjadi cerah.
“Oh, kau yang kemarin itu?” tanya Park Hyun-Shik sambil
menghampiri Ify.
Tae-Rio tersenyum lebar. “Hyong, dia bersedia menjadi
pacarku.”
Senyum manajernya langsung lenyap. “Maksudmu?”
“Yang Hyong katakan kemarin… soal foto… aku sudah
memikirkannya,” kata Tae-Rio, masih tetap tersenyum. “Kita lakukan saja. Dia
juga sudah bersedia membantu. Memang tidak persis seperti rencana yang Hyong
usulkan kemarin.”
Park Hyun-Shik terlihat bingung. “Soal yang kemarin…?” Ia terdiam
sebentar, lalu, “Astaga, kau serius?”
“Akan kujelaskan lebih lanjut pada Hyong nanti,” kata Tae-Rio
sambil menepuk-nepuk pundak manajernya. “Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu.
Bukankah kita ke sini karena aku harus mencoba semua pakaian ini?”
Ify keluar dari tempatnya bekerja dengan langkah gamang seolah
setengah sadar. Tugasnya mencocokkan pakaian Jung Tae-Rio sudah selesai, tapi
otaknya seakan masih tertinggal sebagian di butik itu. Ia berjalan dengan
langkah lambat, membelok di ujung jalan, lalu langkah kakinya terhenti.
“Apa yang sudah kulakukan?” ia
bertanya pada dirinya sendiri sambil memegang pipi dengan sebelah tangan.
Ify harus berusaha keras menenangkan diri karena jantungnya
berdebar kencang sekali. Sejak tadi ia berjuang supaya rasa gugupnya tidak
terlihat oleh kedua pria itu. Perasaan canggung saat Jung Tae-Rio menjelaskan
rencananya kepada si manajer sementara pria itu mencoba pakaian tadi bahkan
masih bisa ia rasakan hingga kini.
Si manajer agak bimbang. Ia banyak bertanya pada Ify, selain itu
juga berulang kali menekankan bahwa masalah ini tidak boleh sampai diketahui
orang lain. Tentu saja Ify mengerti. Diam-diam, sambil mendengarkan pesan Park
Hyun-Shik, Ify mengamatinya. Pria yang satu itu benar-benar memiliki daya
tarik. Cara bicaranya menyenangkan, senyumnya menawan, dan matanya ramah. Ify
tahu Hyun-Shik bertanya-tanya kenapa ia mau begitu saja membantu Jung Tae-Rio,
tapi ia pura-pura bodoh. Pada awalnya Sandy memang agak ragu dengan tawaran
Tae-Rio, tapi akhirnya rasa penasarannyalah yang menang. Ia meyakinkan dirinya
ini jalan yang tepat. Ini mungkin kesempatan yang telah lama dinantinya untuk
mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama menghantui….
Lagi pula menurutnya pekerjaan yang ditawarkan kepadanya tidak
susah. Ia hanya perlu difoto bersama Jung Tae-Rio. Bukan masalah. Ia pasti
bisamelakukannya. Ia sadar kesepakatan ini akan membuatnya sering bertemu Jung
Tae-Rio, tapi ini bukan masalah, toh ia tidak merasakan apa-apa terhadap artis
itu. Nilai tambah lain, kalau ia sering bersama Jung Tae-Rio, ia akan tahu dan
mengerti kenapa teman dekatnya juga banyak wanita lain bisa tergila-gila pada
pria itu.
“Baiklah,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku pasti bisa
melakukannya. Ah, astaga! Aku lupa minta tanda tangan Jung Tae-Rio untuk Young-Via.”
Ify merogoh tasnya untuk mencari ponsel, tapi kemudian berhenti.
Apakah sebaiknya aku tidak memberitahu Young-Via aku bertemu Tae-Rio tadi? Dia
pasti kesal karena aku lupa meminta tanda tangan lagi. Tapi ia pasti bakal jadi
lebih kesal kalau tahu aku menyembunyikan soal pertemuan ini…
Ify melanjutkan mencari ponselnya di tas tangannya dan menemukan
baterai ponsel yang tadi ia lepas. Mendadak ia jadi teringat Lee Jeong-Iel tadi
meneleponnya. Mudah-mudahan Jeong-Iel bisa mengerti kenapa ia tidak bisa menerima
telepon tadi. Eh… tunggu dulu, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ia harus merasa
bersalah? Mana ada orang yang bisa menjawab telepon kalau sedang berada dalam
situasi seperti tadi? Lagi pula sepanjang pengalamannya, kalau Lee Jeong-Iel
yang menelepon, pasti bukan karena ada hal penting.
Kenapa Lee Jeong-Iel masih terus menghubunginya? Bukankah pria itu
sendiri yang meminta putus hubungan? Orang aneh!
Ify memasang baterai ponselnya
kembali dan baru akan menghubungi Young-Via ketika ia teringat janjinya. Aah…
benar juga, aku sudah berjanji pada Park Hyun-Shik ssi tidak akan
menceritakan masalah ini pada orang lain. Ah, bagaimana ini? Yah… apa boleh
buat…
Ia kembali memasukkan ponsel itu ke tas tangannya, lalu ia
mendongak menatap langit yang biru dan bergumam, “Baiklah, Ify. Semoga
keputusanmu ini ada gunanya. Aja aja, fighting!”
Sekarang ia harus pulang dan tidur dulu untuk mengumpulkan tenaga.
Ia sudah berjanji akan menemui kedua pria itu nanti malam.
No comments:
Post a Comment