Tuesday, 19 June 2012

Boy Sitter [12]


Boy Sitter [12] : Aku…… Boysitter

Jumat, pukul dua siang……
SALTUM! Salah kostum!  Aku salah memakai pakaian siang ini. Oke, cuaca memang panas.  Tapi Rio mengajakku main ke daerah Lembang. Pliss deh panas gitu, lho!
Masalahnya, aku tuh Cuma pake t-shirt yang sleevenya pendek banget.  Ditambah jins selutut. Sumpah. Aku  nggak nyangka bakal ke sana.  Kukira Rio akan mengajakku ke mal lagi seperti dua hari yang lalu.
“Rio, kenapa kamu nggak bilang mau ajak aku kesini?”
“Ngngng… emang harus bilang, ya?”
“Yaiyalah.  Jadi, kalo aku diculik aku bisa SMS mamaku dulu bahwa aku diculik.”
“hahaha.. ngapain sih, Rio nyulik kamu?”
“kali aja.” Aku menenggelamkan diri di kehangatan jok  depan. Sedikit berbeda dari semalam. Sekarang aku duduk di sedan sport yang udah banyak dimodifikasi.  Aku pun baru melihat mobil ini terparkir di tempat tersembunyi kediaman Bu Nira.
Siang ini, Rio mengajakku main dengan alasan bosen di  rumah. Ya, begitulah. Dan itu membuat pekerjaanku, semakin hari, semakin enteng. Perbedaan yang kurasakan antara Senin dan Jumat sungguh di luar dugaan.  Kalo hari Senin aku harus jogging di rumah hanya untuk membuatnya mandi.  Di hari Jumat, aku hanya menepuk bahunya, tersenyum manis,  maka dia mengerti bahwa aku menginginkannya untuk mandi. Easy, huh?
Tidur? Sama-sama mudah. Senin malam, aku harus bertengkar dengannya.  Kamis malam? Aku hanya duduk tak jauh darinya sambil membaca novel anonymous,  dan kudapati  dia sudah tertidur puas tiga menit kemudian.
Bahkan, Jumat pagi ini, Mbok Jess dan Nince tiba-tiba memberiku medali aneh terbuat dari uang logam Rp 1000,-  yang dilubangi dan diberi tali. Medali itu dikalungkan untukku, memberikan penghargaan atas “keberhasilan sedikit membuat perubahan di diri tuan muda”. Penting ,ya?  Emangnya Rio menderita suatu penyakit? Kok,  sampe ada medali segala gara-gara Rio mandinya lebih nurut hari ini?
“Ify……?” Tanya Rio pelan,  masih fokus menyetir mobilnya,  melaju kencang di belokan jalanan yang kanan kirinya dipenuhi tetumbuhan.
“Ya, Rio? Kenapa?” aku mengambil tisu dan mengelapkannya di muka Rio yang keringatan.
“kamu… kamu kenapa jadi babysitter? Kamu lagi nyari duit?”
Aku tersenyum, membuang tisu karena keringat Rio keluar jendela. “Emang. Aku jadi babysitter buat apalagi? Hobi?  Aku tentunya jadi babysitter buat nyari duit.  Seandainya aku gak nabrak Angel waktu itu, mungkin aku gak akan jadi babysitter.”
notebook ya? Emang kenapa sama notebook Angel?”
“Heh, kamu tau darimana aku punya masalah notebook  ama dia? aku kan, belum cerita?!”
“Ng… dari pas kita ketemu Angel di BIP. Terus…. Sori ya. Rio semalem baca inbox HP kamu.”
“Ih, gak sopan!” aku menjewer kupingnya sebentar, menariknya ke samping. Kemudian dilanjutkan dengan serangan di pundak, memukulnya pelan.
“Sori, sori. Nggak sengaja. Rio Cuma heran aja,  kamu kan, lumayan makmur hidupnya. Papa-mama kamu gak punya masalah dalam finansial. Dan, hidup kamu juga kayaknya seneng-seneng aja.  Tapi kok, tibatiba jadi babysitter, sih?”
“Hm.. ya, oke. Aku mesti jujur. Waktu ulum kemarin,hari pertama,  aku lari mau ke kelas. Tapi di belokan kantin ke lapangan,  belokan laboratorium itu tuh, dekat perpustakaan, aku nabrak Angel.  Kebetulan, Angel lagi megang notebook,. Dan ya… jatuhlah benda mahal itu.  Angel marah-marah dan minta ganti. Karna itulah, aku akhirnya nyari kerjaan.”
“Tapi kalo kamu minta ke ortu kamu, Rio yakin pasti dibeliin notebook buat ngegantiin.”
“Iya, aku tau. Aku sebenernya bisa aja dibeliin notebook.  Apalagi ama sodara-sodaraku yang di luar Bandung. Aku minta satu notebook, bisa-bisa dikasih sepuluh.  Alhamdulillah, keluargaku lumayan tajir semua.  Tapi, ternyata mamaku lebih mendukung kalo aku bisa bertanggung  jawab sendiri.”
“Maksudnya?”
“Ya.. segala hal, apapun itu, harus bisa dipertanggungjawabkan. Mama ngajarin tepat ketika aku sebenarnya bingung ‘harus cari kerja atau tinggal minta beliin notebook sama om-omku’. Aku emang bisa dibeliin.  Tapi aku nggak akan pernah terdidik jadi  anak yang bertanggung jawab. Aku pasti jadi anak manja. Maka, apa salahnya sih ngeganti pake hasil keringat sendiri?  Lebih mengasyikkan, lho! Meski ternyata, semua hasil yang kita dapatkan harus diberikan pada orang lain.”
“Kalo gitu, Tuhan sayang banget ya, sama kamu?  Dia ngasih sifat tanggung jawab besar dalam diri kamu.  Nggak kayak Rio. Mungkin karena Rio manja, dan sering ngerepotin mama, Rio nggak pernah bisa tanggung jawab.”
“Ah, nggak ada hubungannya sama Tuhan ngasih sifat tanggung jawab ke semua orang. Tanggung jawab tentu aja tergantung sama orangnya sendiri. Sebaik-baiknya orang, kalo niatnya emang gak mau tanggung jawab, ya…  nggak akan pernah tanggung jawab.”
 Rio gak merespons lagi kali ini. Dia kembali menyibukkan diri dengan kemudinya,  dan meluncurkan mobil ini lebih tenang. Ya. Lebih tenang.  Entahlah, entah apa yang sebenarnya terjadi. Something weird happen to Rio.  Is he going to change?
 Cara mengemudi Rio yang sering kulihat  dari angkot sepulang sekolah,  sungguh sangat berbeda dengan hari ini.  Ketenangannya, kesopanannya, membuatku terus menerus  heran dan memikirkannya.  Kalo biasanya dia tertantang buat menyusul semua mobil yang  ada di depannya,  siang ini Rio lebih menenangkan deru mesin mobilnya. Rio mulai sering disalip,  juga lebih sabar menunggu  antrean di belakang angkot yang sedang menaikkan penumpang.
Hm, sudahlah, aku jangan  terlalu cepat menyimpulkan.  Kali aja Rio lagi pemanasan, terus ntar di  Lembang kebut-kebutan di jalanan.  Yah, cowok sulit banget diduga.  Keinginannya aneh, dan terkadang “menjijikkan”.
 Aku menoleh menatap Rio yang dengan ceria mengemudikan mobil.  Siang  ini dia terlihat ganteng dari biasanya.  Tapi aura gantengnya lain daripada biasanya.  Serasa, gantengnya…ya,  beda gitu, deh.  Padahal nggak ada yang aneh dengan penampilannya.  Rio hanya memakai topi yang diputar ke belakang, kaus sleeveless tipis,  jaket, dan celana parasut yang kelihatannya ngepas. Kalung perak di lehernya, mempermacho penampilannya siang ini.
Entahlah, entah apa yang istimewa dari pakaian ini.  Tapi, feeling-ku mengatakan Rio memiliki suatu hal yang lain.  Entah apa itu. Sepertinya……. a little event would  be happen in  the next minutes.

Jumat, pukul enam petang…..
“UDAH aku bilangin cepet pulang. Kamu sih, nggak nurut.  Jadinya kan, kita pulang malem sekarang.” Protesku sewot,  memeluk udara di depan dada.
“Biarin aja kenapa,  sih? Kamu kan babysitter  Rio.  Mama nggak akan marah kok, kalo Rio maen keluar bareng babysitter .”
“Bisa ganti babysitter dengan kata lain gak, sih?  Jujur aja, aku tuh risih dengar kata itu, soalnya yang aku asuh tuh cowok tujuh belas tahun.  Aku tuh nggak enak kalo mau curhat sama temenku  tentang bayi-bayi yang aku urus sekarang.  Masa sih, mau bilang ‘hey, bayiku  udah gede, lho!  Udah bisa jalan lagi’nanti kan yang malu kita berdua!”  ucapku panjang lebar, asal.
“O-okay!” Rio kembali menyetir, meskipun sem-pat tertawa kecil.  Dia nggak merespon kalimatku barusan,  apalagi memberikan ide nama  untuk “cewek pengasuh   anak seperti dia”.
Sudahlah, nggak terlalu penting. Aku bisa menyebut diriku dengan monstersitter, Riositter, Cuteguysitter, atau…… Boysitter?
“Oh-my-God!” seru Rio tiba-tiba.  Mobil pun mendadak bergetar kencang.  Rio menepikannya, dan mendapatkan ban belakang kanan sudah  kempes. “ argh. Kenapa bannya kempes, sih?!”
Ih, dasar sial. Kenapa nggak kempes tepat di depan bengkel aja?
“Rio cek  dulu.” Dia keluar, mengutak-atik sesuatu,  kemudian kembali lagi membuka bagasi dan mengambil peralatan pengganti ban. Rio membungkuk di depan ban kempes itu.  Beberapa detik kemudian, kudengar dia berteriak, “Sialan! Ada yang ngejahilin nih. Ada yang naro paku empat biji, di ban.”
 Aku menoleh kaget dan celingak-celinguk melihat rumah penduduk yang jarang-jarang,  lalu menghempaskan sabuk pengaman.  Kuhampiri Rio yang sedang memeriksa ban itu, “Kenapa, Yo?”
“bannya bocor. Ada yang sengaja naro paku  di tengah jalan.  Jadinya, ban bagian sini kempes berat.  Untung yang laen nggak ada yang kena.”
Aku jongkok menemaninya. “ya udah, minta kirim mobil Derek aja kesini.  Sekarang, kita tungguinnya di dalem. Dingin di luar mah,”  aku menggosok-gosok lenganku sendiri, mencoba mencari kehangatan dari dalam tubuh.
“Nggah ah. Rio mah ngegantiin ban sendiri aja. Ngapain panggil tukang Derek?”
“Y-ya udah..” aku tersenyum,mencoba menenangkannya.  Kemudian, aku memeluk tubuhku semakin erat,  menahan rasa dingin yang menusuk kulit.
“Kamu kedinginan?” Tanya Rio, melihat tersiksanya aku dalam suhu serendah ini.
“ya iyalah. Pliss deh, ini tuh masih di daerah Lembang, Yo. Aku Cuma pake….”
Belum selesai aku berbicara,  Rio tiba-tiba membuka jaketnya.  Kemudian, dia memberikan jaket itu padaku, memintaku untuk memakainya.  Sedangkan dia sendiri hanya memakai kaus sleeveless yang tipis.
“Nggak usah, Yo. Kamu pake aja.” Tolakku.
“Alaaaa.. udah pake aja. Nggak usah malu-malu, daripada ntar kedinginan!”
“Rio, aku nggak apa-apa kedinginan juga.  Nggak masalah. Kamu kan, sekarang tanggung jawabku. Aku gakmau terjadi apa-apa sama kamu. Aku gak mau kamu sakit, Yo.  Udah, kamu pake aja! Aku baik-baik aja kok.”
“Eh, kamu yang jadi tanggung jawab Rio sekarang.  Yang ngajak kamu kesini kan, Rio.jadi, Rio yang tanggung jawab.”
“Nggak usah, Yo.akuu nggak apa-apa. Udah kamu pake aja.  Kaus kamu lebih tipis dari kausku. Kamu pake aja jaketnya.”
“Kamu tuh, ngewalan aja sih? Kalo Rio pengin kamu pake ini, ya pake ini!  Turutin. Nggak apa-apa kan?!”
 Meskipun sempat kesal, heran, dan canggung, aku memakai juga jaket Rio. Sedikit kebesaran, namun cukup membuatku hangat. Tetapi, aku mendadak khawatir dengan keadaaan Rio yang hanya memakai kaus sleeveless tipis itu,  dan celana parasut yang sama-sama tipis. Aku khawatir Rio masuk angin dan ujung-ujungnya demam.  Anak bandel dan manja seperti dia kelihatannya sih,  sangat rentan kena demam.  Rio tuh sebetulnya  terlalu lincah dan banyak bicara.
 Aku gak langsung masuk begitu aja ketika Rio sibuk mengutak-atik ban.  Aku jongkok menemanin, dan terkadang membantunya mengambil barang yang dia butuhkan.
 Lalu beberapa detik kemudian, kutemukan sebuah sosok aneh, berjalan ke arah kami.  Semula kupikir itu hantu, namun kupastikan segera bahwa sosok itu adalah manusia asli. Dan sosok itu semakin dekat berjalan kearah sini.  Sehingga aku bisa melihat dengan jelas bentuk sosok itu. Mukanya sih, belum terlihat jelas karena gelapnya malam.  Tapi, dapat kupastikan lagi bahwa sosok itu adalah seorang wanita, ibu-ibu maksudku, dengan jilbab yang senada dengan pakaian yang dikenakannya, hijau muda.  Jalannya agak aneh, dan sepertinya aku kenal.
 Ketika jaraknya hanya tinggal beberapa meter dari kami, wanita itu kelihatannya kegirangan.  Dan begitu lampu belakang mobil Rio menyorotnya,  akhirnya aku menyadari bahwa sosok itu adalah…..
“Kalian..pacaran aja disini teh? kenapa kalian teh?  Dingin-dingin begini diem di sisi jalan? Emangnya kalian gak takut? Sedang apa kalian teh?”
Bu Lina! wali kelas kami.
“Eh, Ibu!” Aku dan Rio kaget, menolehnya, berdiri, mencoba bersalaman dengannya.
“Kalian teh sedang apa saja disini?  Malem-malem begini,dingin lagi, ih berbahaya.  Kalian teh habis pacaran?”
“Bukan, Ibu!” jawabku cepat-cepat.
“Kita ya.. lagi maen aja.  Tapi, ada yang jahil Bu. Ada yang ngempesin ban mobil Rio.” Lanjut Rio sebelum akhirnya membetulkan bannya.
“Oh, begitu?” Bu Lina manggut-manggut sambil menatap ban kempes yang berhasil dilepas. “Emangnya kalian kemana? Malem-malem begini masih di Lembang.  Nggak takut kalian teh? Gak takut dimarahi orangtua kalian?”
“Nggak apa-apa kok, Bu. Kita habis jalan-jalan ke Tangkuban Perahu,  ke perkebunan yang di atas sana.”
“Asyik atuh. Kenapa nggak ngajak-ngajak Ibu?!”
“Ya, masalahnya kita ngedadak, Bu. Baru ngerencanainnya siang tadi. Gak ada persiapan. Ibu sendiri dari mana?”
“Ibu teh, abis dari rumah temen, di sana tuh,  yang rumahnya ijo disana, abis kumpul-kumpul gitu.  Dari tadi nyari angkot gak ketemu juga.  Ke mana angkot-angkot teh?  Kok, ibu nggak dapet satupun ini teh. Padahal, Ibu udah nungguin dari jam lima. Penuh semua.”
“Oh…” aku mengangguk-angguk. “Ibu mau bareng ama kita, nggak?” tawarku kemudian.
“Ah, gak usah. Ibu mah jalan aja ke sana. Kali aja ada yang kosong. ibu  mah gak mau ganggu kalian yang sedang berpacaran. Ibu mah jalan aja. Kalian mah silahkan aja malam mingguan lagi. Silahkan aja.”
“Eh, Ibu. Udah tungguin aja. Tinggal nungguin Rio ganti ban,  kok!  Bentar, nggak akan lama.” Aku menarik tangannya agar nggak pergi.
“Ah, ngga usah. Nanti kalian terganggu. Ntar malem mingguannya gak berkesan lagi.”
“Ya ampun, kita nggak lagi malem mingguan, Bu.  Kita lagi jalan-jalan aja. Nggak ada acara pacar-pacaran. Lagipula sekarang hari Jumat. Bu. Malam sabtu.  Nggak mungkin buat malem mingguan.”
“Boong Bu! Boong!” seru Rio mempermainkanku.
“Tuh, bohong. kasian pacar kamu nggak diakuin.”
“Ya ampun, Ibu. Aku tuh  nggak pacaran ama dia. kita Cuma temenan. Nggak lebih, Bu.” Aku mencubit Rio yang sedang jongkok, Rio tertawa kecil.
“Ah, nanti Ibu takut mengganggu.” Bu Lina mencoba pergi dari kami.
“Ih, Ibu disini aja. Bareng sama kita ke Bandungnya.  Bahaya kalo sendirian.lama lagi nungguin angkot.  Udah, Ibu di sini aja.”pintaku.
“Tapi, nggak apa-apa ini teh?”
“Nggak apa-apa!”
“Ya udah atuh. Ibu bareng kalian ya.” Bu Lina akhirnya menepi ke belakang  mobil.  Sementara Rio, udah berhasil memasang ban baru dan tinggal memasang bolt-nya.
“Eh, kamu, Sumarni. Kamu masuk mana, IPA atau IPS?”
“Ibu! Aku tuh Alyssa. Bukan Sumarni.”
“Oh, Alyssa.. kirain Ibu, kamu Sumarni. Mirip sih, kelihatannya gitu.”
“Apanya yang mirip? Sumarni tuh, pake kerudung, Bu. Sedangkan aku nggak pake kerudung.”

2 comments:

  1. Lanjut dong...
    keren,, sifat Rio dibuat lain dari cerita yang lainnya. hahahahha....
    Di tunggu part 13-nya..
    salam kenal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha iyaa. udah di post kok :) salam kenal juga:) eh iya, ini aku copast dari novel:D

      Delete