Boy Sitter [14] :
How to Meet Alien from Andromeda?
AKU membuka pintu kamarku, langsung melemparkan ransel ke
atas sofa. Ardhya sama Oik lagi mainin notebook
di atas ranjang.
Ya ampun mereka
masih ada disini?
Kuganti pakaianku dan mencoba menyapa mereka, juga
mencoba nggak menangis. Karena, selama diantar oleh sopir pribadinya Bu Nira,
aku menangis di jok belakang. Pak Agus mencoba mengajakku bicara. Tapi, aku
nggak pernah meresponnya.
plis dong ah, kalo aku lagi nangis kayak tadi, jangan ngajak ngobrol.
plis dong ah, kalo aku lagi nangis kayak tadi, jangan ngajak ngobrol.
“Hai! Kalian masih betah di Bandung? Kukira kalian sudah
pulang begitu aku sudah selesai bekerja.” Kumasukkan tangan ke lengan baju, dan
menarik tepi kaus menutupi tubuhku.
Ardhya menoleh padaku. “Kami lagi buka website sekolahmu.”
“Aku nggak Tanya itu!”
“Tapi, elo Tanya itu waktu gue kesini minggu kemaren, kan?”
“Aduh, ya. Itu kan, Minggu lalu.”
Aku meninggalkan
mereka di kamar dan beranjak menuju telepon. Kabel modem panjang yang
dihubungkan ke pesawat telepon, menarik perhatianku hingga aku sampai di depan
telepon. Kutelepon Sivia pertama kali.
“halu.. Sivia
nulalucu disini…!” sapa Sivia langsung begitu diangkat.
“Hey! Nggak sopan. Mengangkat telepon pertama kali
seharusnya nggak begitu. Bagaimana kalau walikota yang meneleponmu?”
“halo..? walikota
ya? Hey, aku Sivia, Pak! Usia enam belas
tahun, cantik, baik budi, dan rajin menabung. Hidup cinta!”
“hahhaa.. Sivia. Sejak kapan kamu mengangkat telepon
untuk pertama kalinya?! Kenapa tiba-tiba
kamu menyempatkan diri untuk mengangkat telepon?”
“ngngng.. karena
teleponnya bordering?”
“Lupakan itu. Jangan bercanda lagi. Aku lagi bĂȘte
sekarang.”
“Elo teh ada dimana, Fy? Wartel?”
“Aku udah nyampe rumah. Udah beres pekerjaanku. Hm, tinggal menikmati sisa liburan dan……menghadapi
satu masalah besar selanjutnya.”
“Dino?”
“Kamu tau tentang itu?”
“gimana gue nggak
tau kalo Shilla nelepon gue untuk pertama kalinya, minta bantuan gue. gue teh
males, Shilla. Ih, kenapa sih, si Shilla teh
nggak menyeleksi dulu pasangan chatnya?”
“Jadi.. punya ide
buat.. menghadapi si.. dinosaurus itu?”
“Mulai menggunakan
gue-elo? Yang gue tau sih, si Shilla agak cemas minta bantuan sama elo. Shilla pikir, elo teh nggak akan mungkin ngomong gue-elo.”
“Hahaaha.. lagi, Via. Aku udah tau tentang itu, tenang
aja. Maksudku barusan adalah.. ‘adakah
ide bagaimana cara muntah secara sopan di depan mukanya’?”
“Ngng..membawa
kantong kresek? Gue suka membawa kantong kresek kalo tiba-tiba pengin muntah di
perjalanan.”
“Oh, my next.
Ha-ha, Sivia. Tidakkah kamu mengerti bagaimana pertanyaanku barusan?! Kamu tau
kan, wajahnya itu gimana? Tidakkah kau punya pendapat bagaimana caranya
berinteraksi dengan orang berwajah seperti dia?”
“Nggak tuh.”
“Sivia!” aku menggeram, “Kita ganti topic! Sebelum aku
memutuskan kabel teleponku yang keriting ini.” Entah kenapa ibuku malas sekali ngerebonding kabel telepon ini.
“Oh, oke. Mau
ngomongin apa? Oh ya, babymon!
Ceritain dengan gue maksud elo dengan, CUTE?
Apakah dia teh benar-benar
Pikachu?atau sejenis sailormoon?”
“Dia… dia.. bayi berumur dua tahun yang sangat lucu!” Aku nyengir sendiri di telepon,
berbohong.
“oya? Bayi dua
tahun yang mampu membedakan mana guci tujuh juta dan satu juta?”
“Dia memecahkannya asal-asalan, kok! Tenang aja, ibunya
hanya bercanda. Gucinya nggak benar-benar seharga tujuh juta. Mungkin sekitar,
yaa enam juta Sembilan ratus ribuan. Itu pun kata pembantunya.” Aku berbohong
lagi.
“Ouw.. begitu ya?
Dan dia.. bayi dua tahun yang sering keluar malam?”
“maksudnya keluar malam tuh, dia sering main di halaman
rumahnya, di kebun depan rumah, bermain
sendiri sekitar jam tujuh atau jam delapan malam. Semua orangtua pasti khawatir,mendapatkan
bayi mereka keluar jam segitu.” Aku
bohong lagi. Sepertinya, aku berubah menjadi pathological liar.
“Ouw.. keren. Dan
dia bayi dua tahun yang sudah sekolah
dan dia menceritakan wanita-wanita di sekolahnya?”
“Kenapa nggak? Maksud ibu itu adalah playgroup! Nggak benar-benar sekolah.”
“Tapi, dia
benar-benar cerita tentang cewek di sekolahnya bukan?”
“Sivia, apa barusan aku nyebutin umur dua tahun? Maaf,
maksudku delapan tahun. Heheh…” aku nyengir di ujung telepon.
“Delapan tahun? Dan
elo menyebutnya……. Bayi?”
AKU menyeruput bubble
coral tea-ku sampai habis, lalu
membuang gelas plastiknya ke tempat sampah. Sivia ada di belakangku. Sendirian,
mengawasiku. Kupinta dia menemaniku hari ini, ketemu sama yang namanya
Dino. Aku lakukan ini untuk jaga-jaga
seandainya aku pingsan, sehingga Sivia
satu-satunya orang yang mengetahui alamat rumahku dan bisa mengantarku
kesana. Atau jangan-jangan, Shilla udah
ngirimin alamatku ke Dino? Jahat sekali
Shilla! Aku nggak akan memaafkannya kalau itu benar.
Kududuki bangku
yang diletakkan rapi di depan studio bioskop.
Pukul tujuh, lantai empat, BIP, jangan telat! Dan sekarang… dan
sekarang.. masih pukul setengah tujuh!
Hehehe.. aku sengaja kepagian setengah jam, seenggaknya
saat aku melihat wajah anehnya, aku bisa kabur dulu dan melakukan latihan
sekali lagi “how to meet alien from
Andromeda?”
Sepuluh menit kemudian sebelum pukul tujuh, tiba-tiba duduk seorang cowok cakep banget di
sampingku. Cowoknya tinggi, badan berisi,
kulit agak gelap, rambutnya keren, style-nya
keren, dan wow senyumnya! Kucing tetanggaku
aja bisa kalah. Dan yang membuatku gelisah, dia mulai menatapku, tersenyum
manis, serasa aku udah mengenalnya sebulan lalu.
“Hei!dikirain bakal telat. Ternyata elo dateng lebih pagi
dari gue.” sapanya tiba-tiba.
Aku tersentak
heran, dan semakin menatap wajahnya yang ganteng, “M-maaf… anda siapa ya?”
Sebelum cowok itu
menjawab pertanyaanku, dapat kulihat Sivia tiba-tiba duduk di kursi kosong di
samping kursiku, dan telinganya yang
tiba-tiba melebar membuatku yakin kalau dia sedang menguping.
“Ya ampun, cakep banget! Ternyata gue nggak salah
tebak. Elo pasti yang di tengah itu,
kan?” ujar cowok itu aneh.
Aduh, ya. Ngelantur
aja nih cowok.
“Helo.. mas! Helo..
are you there?”
“Masih pake bahasa Inggris juga, ya?”
“Apaan sih? Bisakah Bapak berbicara lebih connecting people lagi supaya saya bisa
mendengar komentar atau keluhan bapak? Saya nggak ngerti.” Kataku.
Cowok itu langsung tertawa, terbahak. Dia menertawakanku,
lalu beberapa saat kemudian, dia mengulurkan tangannya. “Gue Dino. Didin
Mulyono Pangestu. Kaget, ya?” katanya
tersenyum serasa menang.
Wajahku langsung datar. Suddenly heran. Dia… dia
Dino? Dino yang bakalan ketemu sama aku? Dino yang jeleknya minta ampun di
foto? Dino yang menurutku sama sekali
nggak punya style?
“Mas adiknya?” tanyaku karena nggak yakin.
“Mas adiknya?” tanyaku karena nggak yakin.
Dia tertawa lagi.
“aduh, aduh. Elo tuh lucu banget, sih?
Dari pertama chatting gue
yakin pasti elo sekocak ini. Makanya,
gue nggak sabar pengin cepet-cepet ketemuan sama elo.” Dia menggeleng-geleng.
“Gue ini Dino. Elo pasti kaget ngeliat gue.
bukannya gue mau nipu elo. Tapi, kebanyakan cewek Cuma mau ketemu sama
cowok yang cakep-cakep. Jarang banget
ada yang mau ama.. ih, kaya foto yang elo terima.”
Kamu tuh cakep
gitu, lho! Masa sih, mau nyamar juga?
“Ouw..” aku tersenyum lebar.nggak tau mau berbuat apa.
“Ya…. Foto yang elo terima emang foto gue.sengaja gue
bikin sejelek mungkin. Gue Cuma ngetes.
Kira-kira, orang secakep elo mau nggak ketemu orang kayak gini? Dari Banjaran
lagi.”
Aku tersenyum manis. Hehehe..
berarti aku lulus tes, dong. Shilla dan
Sivia yang nggak. Mereka kan nolak mentah-mentah.
“Dan.. gue nggak nyangka elo foto yang ditengah itu. Gue
emang ngeharepin itu elo. Ternyata.. ya
itu elo. Meskipun kalian bertiga wajahnya cantik-cantik dan hampir mirip.”
“Maksudnya?” aku mengernyitkan dahi.
“Foto yang elo kirim ke gue. foto elo ama temen elo. Yang pada pake baju pink dan rok putih itu.
Kalian foto bertiga, kan?”
Shilla
brengsek!heh! kenapa sih,nggak bilang-bilang mau ngirimin foto tujuh belas
Agustusan tahun lalu ke si Dino?!!
“Oh, itu
ya..hihi.. sori ya, aku baru inget.
Sori-sori, maksudku, gue baru
inget!” aku tersenyum lagi. Ya ampun aku lupa harus mulai menggunakan gue-elo
disini. Dan juga, sedikit bahasa
Inggris.
Dino mengernyitkan dahi. “Kamu kenapa, sih?”
“Ah enggak. Gue hanya.. feeling so sick.”
Ya ampun.. aku
ngomong apa barusan?
Dino terbahak, tertawa lucu mendengar jawabanku. Kemudian
setelah reda, Dino menerawang menatap sekitarnya. Dan sialnya, Dino menemukan Sivia yang duduk
di bangku di samping kami.
“Hey! Itu temen elo, kan? Yang di foto dikiri?” Dino
menunjuk Sivia.
Aku menoleh dan mendapati Sivia panik. Sivia buru-buru
meraih sebuah majalah, dan membacanya.
Oh.. ingin sekali
aku mengatakan..
1. Sivia, dari mana mendapatkan majalah itu?
Sepertinya majalah baru.
2. Sivia.. majalahmu terbalik! Aku nggak tau
kalau kau bisa membaca majalah dalam keadaan “terbalik” seperti itu.
Sivia lalu pura-pura menurunkan majalahnya, pura-pura
celingukan, pura-pura menunggu seseorang, purapura menemukanku, dan pura-pura
kaget menemukan aku di sini.
“Eh, Ify? Sori-sori.. Shilla? Apa kabar, Shilla? Kemana
aja, sih?!” sivia bangkit dari kursinya, lalu menghampiriku samba menenteng
majalahnya.
Kemudian kami
melakukan ritual cipika-cipiki, dan
Sivia sempat membisikkan sesuatu ketika pipi kami beradu, “Mana aliennya? Kok
elo teh malah kenalan sama cowok kasep ini, sih?” kemudian, Sivia bangkit lagi dan tersenyum.
Aku tersenyum
lebar, dan sebelum Dino meminta Sivia gabung bareng kami, Sivia dengan sigap
mengangkat pergelangan tangannya dan berseru panik. “ya ampun.. setengah jam
lagi gue les piano!”
Sivia… lagi-lagi
aku ingin mengatakan…..
1.
Sivia,
sejak kapan kamu les piano? Yang kutau,
les menyanyipun nggak pernah kamu ikuti meskipun pandai menyanyi.
2.
Sivia, apa
yang kamu lihat di pergelangan
tanganmu?nggak satu pun jam tangan menempel di situ, Sivia!
“Ya udah deh, aku ke salon dulu.”katanya lagi tiba-tiba.
Sivia tersenyum manis dan melambai pergi.
Hm, melanjutkan
yang tadi.
3. Sivia, kenapa ke salon dulu kalau sebentar
lagi les piano?
4. Salon
bukan ke arah sana. Itu bioskop!!
“Temen lo aneh, ya!” komentar Dino begitu Sivia
menghilang.
“Y-ya.. dia emang gitu kok. Terkadang idiot, terkadang
embisil, terkadang debil. Gak tau deh.
Tapi dia bisa mendapatkan ranking sepuluh waktu pembagian rapor kemarin.”
Dino tertawa lagi,menertawakanku. “Waduuuh jangan-jangan gue bisa awet muda nih bareng
ama elo? Kocak and fun. Bodor.”
Apanya yang kocak? Yang aku tau sih, berdasarkan polling,
aku Cuma dearest among other. Dan,
Sivia mendapatkan gelar funniest among
other. Sementara, Shilla mendapatkan fabolous
among other. Jadi, kayanya aku nggak terlalu lucu deh. Nggak terlalu
lawak. Tapi kok,cowok ini ketawa terus, ya?
“Oke-oke. Sekarang.. gue mau nanya ama elo. Menurut elo,
gue gimana?” tanyanya tibatiba bernada
serius, tetapi tetap tersenyum.
Aku merengut, langsung berwajah datar, heran. “Maksudnya
apa, nih?”
“Ya..menurut elo, gue tuh gimana sih?”
“ngng.. gimana ya? Gue nggak tau.. ngng.. elo ya,
normal.”
Dino cekikikan lagi. “Emangnya, aku ini alien apa?”
Yup, seenggaknya..
di foto itu.
Aku tersenyum lebar,dengan pesan ; sori, Cuma bercanda.
“Waduh,nggak bakal beres nih ngobrol ama elo. Hm.. kita
pindah, yuk,makan. Gue belum makan dari tadi.”Dino bangkit dan mengulurkan
tangan padaku.
Aku berdiri dan langsung menjabat tangannya. “Senang
berkenalan ama elo.” Ucapku langsung,
meski aku tau dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Tapi aku ini cewek cantik enam belas tahun
yang kocak dan periang. Aku nggak butuh
uluran tangan siapapun untuk membantuku berdiri dari duduk. Tungkaiku masih
kuat.
Dino cekikikan lagi. “Elo tuh, lucu banget deh.” Pujinya.
Aku tersenyum. Beberapa langkah kemudian, kurasakan dia
mencoba memegang dan meremas tanganku.
Aku langsung melepaskan tangannya. Plis deh! Nggak sopan banget! Baru
kenal udah berani kayak gitu?!
Akhirnya Dino
melepaskan tangan jahilnya dan kami sampai
di counter bakmi yang beken.
Tapi, dia terus menerus tertawa sepanjang jalan,dan membuatku ingin berteriak.
“Gue jadi feeling so sick berjalan
dengan elo!!!”
No comments:
Post a Comment