Friday, 29 June 2012

Boy Sitter [14]


Boy Sitter [14] : How to Meet Alien from Andromeda?
AKU membuka pintu kamarku, langsung melemparkan ransel ke atas sofa. Ardhya sama Oik lagi mainin notebook di atas ranjang.
Ya ampun mereka masih ada disini?
Kuganti pakaianku dan mencoba menyapa mereka, juga mencoba nggak menangis. Karena, selama diantar oleh sopir pribadinya Bu Nira, aku menangis di jok belakang. Pak Agus mencoba mengajakku bicara. Tapi, aku nggak pernah meresponnya.
plis dong ah, kalo aku lagi nangis kayak tadi,  jangan ngajak ngobrol.
“Hai! Kalian masih betah di Bandung? Kukira kalian sudah pulang begitu aku sudah selesai bekerja.” Kumasukkan tangan ke lengan baju, dan menarik tepi kaus menutupi tubuhku.
Ardhya menoleh padaku. “Kami lagi buka website sekolahmu.”
“Aku nggak Tanya itu!”
“Tapi, elo Tanya itu waktu gue kesini minggu  kemaren, kan?”
“Aduh, ya. Itu kan, Minggu lalu.”
Aku meninggalkan  mereka di kamar dan beranjak menuju telepon. Kabel modem panjang yang dihubungkan ke pesawat telepon, menarik perhatianku hingga aku sampai di depan telepon. Kutelepon Sivia pertama kali.
halu.. Sivia nulalucu disini…!” sapa Sivia langsung begitu diangkat.
“Hey! Nggak sopan. Mengangkat telepon pertama kali seharusnya nggak begitu. Bagaimana kalau walikota yang meneleponmu?”
halo..? walikota ya? Hey, aku Sivia, Pak!  Usia enam belas tahun, cantik, baik budi, dan rajin menabung. Hidup cinta!”
“hahhaa.. Sivia. Sejak kapan kamu mengangkat telepon untuk pertama kalinya?!  Kenapa tiba-tiba kamu menyempatkan diri untuk mengangkat telepon?”
“ngngng.. karena teleponnya bordering?”
“Lupakan itu. Jangan bercanda lagi. Aku lagi bĂȘte sekarang.”
Elo teh ada dimana, Fy? Wartel?”
“Aku udah nyampe rumah. Udah beres pekerjaanku.  Hm, tinggal menikmati sisa liburan dan……menghadapi satu masalah besar selanjutnya.”
Dino?”
“Kamu tau tentang itu?”
gimana gue nggak tau kalo Shilla nelepon gue untuk pertama kalinya, minta bantuan gue. gue teh males, Shilla. Ih, kenapa sih, si Shilla teh nggak menyeleksi dulu pasangan chatnya?”
“Jadi.. punya  ide buat.. menghadapi si.. dinosaurus itu?”
Mulai menggunakan gue-elo? Yang gue tau sih, si Shilla agak cemas minta bantuan sama elo.  Shilla pikir, elo teh nggak akan mungkin ngomong gue-elo.”
“Hahaaha.. lagi, Via. Aku udah tau tentang itu, tenang aja.  Maksudku barusan adalah.. ‘adakah ide bagaimana cara muntah secara sopan di depan mukanya’?”
“Ngng..membawa kantong kresek? Gue suka membawa kantong kresek kalo tiba-tiba pengin muntah di perjalanan.”
“Oh, my next. Ha-ha, Sivia. Tidakkah kamu mengerti bagaimana pertanyaanku barusan?! Kamu tau kan, wajahnya itu gimana? Tidakkah kau punya pendapat bagaimana caranya berinteraksi dengan orang berwajah seperti dia?”
Nggak tuh.”
“Sivia!” aku menggeram, “Kita ganti topic! Sebelum aku memutuskan kabel teleponku yang keriting ini.” Entah kenapa ibuku malas sekali ngerebonding kabel telepon ini.
“Oh, oke. Mau ngomongin apa? Oh ya, babymon! Ceritain dengan gue maksud elo dengan, CUTE?  Apakah dia teh benar-benar Pikachu?atau sejenis sailormoon?”
“Dia… dia.. bayi berumur dua tahun yang  sangat lucu!” Aku nyengir sendiri di telepon, berbohong.
“oya? Bayi dua tahun yang mampu membedakan mana guci tujuh juta dan satu juta?”
“Dia memecahkannya asal-asalan, kok! Tenang aja, ibunya hanya bercanda. Gucinya nggak benar-benar seharga tujuh juta. Mungkin sekitar, yaa enam juta Sembilan ratus ribuan. Itu pun kata pembantunya.” Aku berbohong lagi.
Ouw.. begitu ya? Dan dia.. bayi dua tahun yang sering keluar malam?”
“maksudnya keluar malam tuh, dia sering main di halaman rumahnya, di kebun depan rumah,  bermain sendiri sekitar jam tujuh atau jam delapan malam.  Semua orangtua pasti khawatir,mendapatkan bayi mereka keluar jam segitu.”  Aku bohong lagi. Sepertinya, aku berubah menjadi pathological liar.
“Ouw.. keren. Dan dia bayi dua tahun  yang sudah sekolah dan dia menceritakan wanita-wanita di sekolahnya?”
“Kenapa nggak? Maksud ibu itu adalah playgroup! Nggak benar-benar sekolah.”
“Tapi, dia benar-benar cerita tentang cewek di sekolahnya bukan?”
“Sivia, apa barusan aku nyebutin umur dua tahun? Maaf, maksudku delapan tahun. Heheh…” aku nyengir di ujung telepon.
“Delapan tahun? Dan elo menyebutnya……. Bayi?”

AKU menyeruput bubble coral tea-ku sampai habis,  lalu membuang gelas plastiknya ke tempat sampah. Sivia ada di belakangku. Sendirian, mengawasiku. Kupinta dia menemaniku hari ini, ketemu sama yang namanya Dino.  Aku lakukan ini untuk jaga-jaga seandainya aku pingsan,  sehingga Sivia satu-satunya orang yang mengetahui alamat rumahku dan bisa mengantarku kesana.  Atau jangan-jangan, Shilla udah ngirimin alamatku ke Dino?  Jahat sekali Shilla! Aku nggak akan memaafkannya kalau itu benar.
 Kududuki bangku yang diletakkan rapi di depan studio bioskop.  Pukul tujuh, lantai empat, BIP, jangan telat! Dan sekarang… dan sekarang.. masih pukul setengah tujuh!
Hehehe.. aku sengaja kepagian setengah jam, seenggaknya saat aku melihat wajah  anehnya,  aku bisa kabur dulu dan melakukan latihan sekali lagi “how to meet alien from Andromeda?”
Sepuluh menit kemudian sebelum pukul tujuh,  tiba-tiba duduk seorang cowok cakep banget di sampingku. Cowoknya tinggi, badan berisi,  kulit agak gelap, rambutnya keren, style-nya keren, dan wow senyumnya!  Kucing tetanggaku aja bisa kalah. Dan yang membuatku gelisah, dia mulai menatapku, tersenyum manis, serasa aku udah mengenalnya sebulan lalu.
“Hei!dikirain bakal telat. Ternyata elo dateng lebih pagi dari gue.” sapanya tiba-tiba.
 Aku tersentak heran, dan semakin menatap wajahnya yang ganteng, “M-maaf… anda siapa ya?”
 Sebelum cowok itu menjawab pertanyaanku, dapat kulihat Sivia tiba-tiba duduk di kursi kosong di samping kursiku,  dan telinganya yang tiba-tiba melebar membuatku yakin kalau dia sedang menguping.
“Ya ampun, cakep banget! Ternyata gue nggak salah tebak.  Elo pasti yang di tengah itu, kan?” ujar cowok itu aneh.
Aduh, ya. Ngelantur aja nih cowok.
“Helo.. mas! Helo.. are you there?”
“Masih pake bahasa Inggris juga, ya?”
“Apaan sih? Bisakah Bapak berbicara lebih connecting people lagi supaya saya bisa mendengar komentar atau keluhan bapak? Saya nggak ngerti.” Kataku.
Cowok itu langsung tertawa, terbahak. Dia menertawakanku, lalu beberapa saat kemudian, dia mengulurkan tangannya. “Gue Dino. Didin Mulyono Pangestu.  Kaget, ya?” katanya tersenyum serasa menang.
Wajahku langsung datar. Suddenly heran. Dia… dia Dino? Dino yang bakalan ketemu sama aku? Dino yang jeleknya minta ampun di foto?  Dino yang menurutku sama sekali nggak punya style?
“Mas adiknya?” tanyaku karena nggak yakin.
 Dia tertawa lagi. “aduh, aduh. Elo tuh lucu banget, sih?  Dari pertama chatting gue yakin pasti elo sekocak ini.  Makanya, gue nggak sabar pengin cepet-cepet ketemuan sama elo.” Dia menggeleng-geleng. “Gue ini Dino. Elo pasti kaget ngeliat gue.  bukannya gue mau nipu elo. Tapi, kebanyakan cewek Cuma mau ketemu sama cowok yang cakep-cakep.  Jarang banget ada yang mau ama.. ih, kaya foto yang elo terima.”
Kamu tuh cakep gitu, lho! Masa sih, mau nyamar juga?
“Ouw..” aku tersenyum lebar.nggak tau mau berbuat apa.
“Ya…. Foto yang elo terima emang foto gue.sengaja gue bikin sejelek mungkin.  Gue Cuma ngetes. Kira-kira, orang secakep elo mau nggak ketemu orang kayak gini? Dari Banjaran lagi.”
Aku tersenyum manis. Hehehe.. berarti aku lulus tes, dong.  Shilla dan Sivia yang nggak. Mereka kan nolak mentah-mentah.
“Dan.. gue nggak nyangka elo foto yang ditengah itu. Gue emang ngeharepin itu elo.  Ternyata.. ya itu elo. Meskipun kalian bertiga wajahnya cantik-cantik dan hampir mirip.”
“Maksudnya?” aku mengernyitkan dahi.
“Foto yang elo kirim ke gue. foto elo ama temen elo.  Yang pada pake baju pink  dan rok putih itu. Kalian foto bertiga, kan?”
Shilla brengsek!heh! kenapa sih,nggak bilang-bilang mau ngirimin foto tujuh belas Agustusan tahun lalu ke si Dino?!!
“Oh,  itu ya..hihi.. sori ya, aku baru inget.  Sori-sori, maksudku, gue baru inget!” aku tersenyum lagi. Ya ampun aku lupa harus mulai menggunakan gue-elo disini. Dan juga,  sedikit bahasa Inggris.
Dino mengernyitkan dahi. “Kamu kenapa, sih?”
“Ah enggak. Gue hanya.. feeling so sick.
Ya ampun.. aku ngomong apa barusan?
Dino terbahak, tertawa lucu mendengar jawabanku. Kemudian setelah reda, Dino menerawang menatap sekitarnya.  Dan sialnya, Dino menemukan Sivia yang duduk di  bangku di samping kami.
“Hey! Itu temen elo, kan? Yang di foto dikiri?” Dino menunjuk Sivia.
Aku menoleh dan mendapati Sivia panik. Sivia buru-buru meraih sebuah majalah, dan membacanya.
Oh.. ingin sekali aku mengatakan..
1.       Sivia, dari mana mendapatkan majalah itu? Sepertinya majalah baru.
2.       Sivia.. majalahmu terbalik! Aku nggak tau kalau kau bisa membaca majalah dalam keadaan “terbalik” seperti itu.
Sivia lalu pura-pura menurunkan majalahnya, pura-pura celingukan, pura-pura menunggu seseorang, purapura menemukanku, dan pura-pura kaget menemukan aku di sini.
“Eh, Ify? Sori-sori.. Shilla? Apa kabar, Shilla? Kemana aja, sih?!” sivia bangkit dari kursinya, lalu menghampiriku samba menenteng majalahnya.
 Kemudian kami melakukan ritual cipika-cipiki,  dan Sivia sempat membisikkan sesuatu ketika pipi kami beradu, “Mana aliennya? Kok elo teh malah kenalan sama cowok kasep ini, sih?”  kemudian, Sivia bangkit lagi dan tersenyum.
 Aku tersenyum lebar, dan sebelum Dino meminta Sivia gabung bareng kami, Sivia dengan sigap mengangkat pergelangan tangannya dan berseru panik. “ya ampun.. setengah jam lagi gue les piano!”
Sivia… lagi-lagi aku ingin mengatakan…..
1.       Sivia, sejak kapan kamu les piano?  Yang kutau, les menyanyipun nggak pernah kamu ikuti meskipun pandai menyanyi.
2.       Sivia, apa yang kamu lihat di  pergelangan tanganmu?nggak satu pun jam tangan menempel di situ, Sivia!
“Ya udah deh, aku ke salon dulu.”katanya lagi tiba-tiba. Sivia tersenyum manis dan melambai pergi.
Hm, melanjutkan  yang tadi.
3.       Sivia, kenapa ke salon dulu kalau sebentar lagi les piano?
4.        Salon bukan ke arah sana. Itu bioskop!!
“Temen lo aneh, ya!” komentar Dino begitu Sivia menghilang.
“Y-ya.. dia emang gitu kok. Terkadang idiot, terkadang embisil, terkadang debil.  Gak tau deh. Tapi dia bisa mendapatkan ranking sepuluh waktu pembagian rapor kemarin.”
Dino tertawa lagi,menertawakanku. “Waduuuh  jangan-jangan gue bisa awet muda nih bareng ama elo? Kocak and fun. Bodor.”
Apanya yang kocak? Yang aku tau sih, berdasarkan polling, aku Cuma dearest among other. Dan, Sivia mendapatkan gelar funniest among other. Sementara, Shilla mendapatkan fabolous among other. Jadi, kayanya aku nggak terlalu lucu deh. Nggak terlalu lawak.  Tapi kok,cowok  ini ketawa terus, ya?
“Oke-oke. Sekarang.. gue mau nanya ama elo. Menurut elo, gue gimana?”  tanyanya tibatiba bernada serius, tetapi tetap tersenyum.
Aku merengut, langsung berwajah datar, heran. “Maksudnya apa, nih?”
“Ya..menurut elo, gue tuh gimana sih?”
“ngng.. gimana ya? Gue nggak tau.. ngng.. elo ya, normal.”
Dino cekikikan lagi. “Emangnya, aku ini alien apa?”
Yup, seenggaknya.. di foto itu.
Aku tersenyum lebar,dengan pesan ; sori, Cuma bercanda.
“Waduh,nggak bakal beres nih ngobrol ama elo. Hm.. kita pindah, yuk,makan. Gue belum makan dari tadi.”Dino bangkit dan mengulurkan tangan padaku.
Aku berdiri dan langsung menjabat tangannya. “Senang berkenalan ama elo.” Ucapku langsung,  meski aku tau dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.  Tapi aku ini cewek cantik enam belas tahun yang kocak dan periang.  Aku nggak butuh uluran tangan siapapun untuk membantuku berdiri dari duduk. Tungkaiku masih kuat.
Dino cekikikan lagi. “Elo tuh, lucu banget deh.” Pujinya.
Aku tersenyum. Beberapa langkah kemudian, kurasakan dia mencoba memegang dan meremas tanganku.  Aku langsung melepaskan tangannya. Plis deh! Nggak sopan banget! Baru kenal udah berani kayak gitu?!
 Akhirnya Dino melepaskan tangan jahilnya dan kami sampai  di counter bakmi yang beken. Tapi, dia terus menerus tertawa sepanjang jalan,dan membuatku ingin berteriak. “Gue jadi feeling so sick berjalan dengan elo!!!”

No comments:

Post a Comment