Friday, 29 June 2012

Summer In Seoul [7 & 8]


Tujuh

SUDAH hampir dua minggu berlalu sejak Ify terakhir kali bertemu dan berbicara dengan Jung Tae-Rio di rumah pria itu. Entah kenapa Ify merasa serbasalah. Ia ingin menghubungi Jung Tae-Rio, tapi tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia ingin bertanya pada Paman Park Hyun-Shik, tapi tidak tahu apa yang akan ditanyakannya.
Ify berjalan tanpa tujuan di sekitar kampus. Ia berjalan dari gedung ke gedung, dari kelasnya ke perpustakaan, dari perpustakaan ke aula. Akhirnya ia berhenti di halaman kampus, duduk di bangku panjang di bawah pohon. Ia mengeluarkan ponsel dan menatap benda itu sambil menarik napas.
Kenapa dia tidak menelepon? Tapi memangnya kenapa dia harus menelepon? Ify menggeleng-geleng dan menarik napas lagi. Kenapa dia tidak menelepon?
Ify tersentak karena mendengar suara Kang Young-Via yang ternyata sudah berdiri di belakangnya. “Apa?” tanyanya pada Young-Via.
Young-Via duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat ceria seperti biasa. “Tadi kau bertanya kenapa dia tidak menelepon. Siapa yang yang kau maksud?”
Ternyata tanpa sadar ia telah menyuarakan pikirannya. Ini berarti bahaya. Ia kenapa sih?
“Ah, tidak. Bukan siapa-siapa,” sahut Ify sambil memaksakan tawa.
“Aku harap bukan Lee Jeong-Iel,” kata Young-Via sinis.
Ify langsung mengibaskan tangan. “Bukan! Bukan dia.”
“Baguslah kalau bukan,” kata Young-Via. Ia mengangkat tangan dan menarik napas dalam-dalam. “Haaah… cuaca hari ini indah sekali!”
Ify memandang langit, lalu melirik temannya dengan hati-hati. “Young-Via,” panggilnya.
Young-Via menoleh. “Hm?”
“Album baru Jung Tae-Rio sudah diluncurkan, kan?”
Young-Via mengangguk. “Benar, beberapa hari yang lalu. Memangnya kenapa? Bukankah kau sudah punya? Kita kan sudah mendapatkannya sewaktu acara jumpa penggemar itu.”
Ify menggeleng. “Ah, tidak ada apa-apa.” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Berarti Jung Tae-Rio akhir-akhir ini pasti sibuk sekali, ya?”
Temannya mengangguk sekali lagi dan berkata, “Tentu saja. Kudengar beberapa waktu yang lalu dia sibuk syuting video klip. Belum lagi kenyataan dia harus tampil dalam banyak acara untuk mempromosikan albumnya.” Young-Via bertepuk tangan gembira. “Kita akan sering melihatnya di televisi.”
“Begitu?”
Ternyata memang sedang sangat sibuk…
“Majalah-majalah juga banyak memuat artikel tentang dia,” Young-Mi menambahkan penuh semangat. “Mereka membahas albumnya, lagu-lagunya, dan mereka juga mulai mengungkit-ungkit soal kekasihnya.”
Ify menatap temannya. “Apa yang mereka katakan?”
Young-Via mengerutkan dahi. “Banyak, mereka bertanya-tanya soal keberadaan wanita itu, identitasnya. Aku sendiri juga penasaran. Intinya, mereka tiba-tiba meragukan apakah wanita itu benar-benar kekasih Jung Tae-Rio.”
“Kenapa mereka meragukannya?”
“Karena wanita itu tidak terlihat di media lagi sejak fotonya muncul. Bahkan sekadar kabarnya tidak terdengar,” Young-Via menjelaskan. “Mereka mulai berpikir mungkin hubungan Jung Tae-Rio dan wanita itu sudah berakhir. Terus terang saja, aku juga berharap itu benar. Oh ya, mereka juga mengungkit kejadian empat tahun lalu.”
“Masalah yang…?”
“Benar. Yang kuceritakan waktu itu. Soal empat tahun lalu ketika ada penggemar Jung Tae-Rio yang meninggal pada saat acara jumpa penggemarnya. Kau ingat? Untung saja acara tahun ini lancar-lancar saja dan tidak ada kejadian buruk.”
Ify menengadah memandang langit biru dan sibuk dengan pikirannya sendiri sementara temannya terus bercerita. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ify buru-buru menjawab dan raut wajahnya berubah. “Oh, Jeong-Su ssi.”

Park Hyun-Shik duduk merenung di kantornya. Di meja terdapat beberapa majalah yang terbuka pada halaman yang memuat artikel Jung Tae-Rio. Ia sudah menduga akan ada kejadian seperti ini. Begitu album baru Tae-Rio keluar, orang-orang akan sibuk membicarakan artis asuhannya itu. Bukan hanya lagu-lagunya, tapi segala gosip yang berhubungan dengan Jung Tae-Rio, termasuk gosip tentang pacar misteriusnya. Mereka bahkan kembali menyinggung-nyinggung kecelakaan empat tahun lalu, tapi untungnya hanya sekilas, jadi seharusnya tidak apa-apa.
Park Hyun-Ship mengusap-usap dagu dan berpikir mungkin sudah tiba saatnya mereka membutuhkan bantuan Ify lagi. Kali ini, mau tidak mau gadis itu harus bersedia menampakkan diri. Ia mengangkat gagang telepon yang ada di meja dan menekan beberapa tombol.
“Halo, Ify. Apa kabar? Ini Park Hyun-Shik… Kau punya waktu sekarang? … Bagus. Bisa datang ke kantorku? … Baik, sampai jumpa.”
“Seperti yang sudah kukatakan, sepertinya kami tidak cocok.”
Ify memandang laki-laki tinggi besar yang duduk di hadapannya itu dengan perasaan lelah. Lee Jeong-Iel tampak menyedihkan. Ia baru mengakui kepada Sandy bahwa ia dan kekasihnya sedang bermasalah.
“Kami tidak cocok,” Lee Jeong-Iel mengulangi kata-katanya dan menatap Ify, menunggu reaksinya.
Ify tertawa pahit. “Dan kau baru tahu setelah hampir setahun bersamanya?”
“Kau masih marah?” tanya Lee Jeong-Iel dengan nada bersalah.
Ify menarik napas. “Tidak juga,” katanya. “Marah juga tidak ada gunanya.”
“Tidak, kau berhak marah padaku,” Lee Jeong-Iel bergumam pelan. “Aku memang salah. Sekarang aku sadar.”
Ify mengerutkan keningnya. “Lalu?”
“Sepertinya hubungan kami tidak bisa diteruskan lagi,” kata Lee Jeong-Iel tegas.
Alis Ify terangkat. Sesaat ia bingung, lalu ia mendengar ponselnya berbunyi. Merasa lega karena tidak harus menanggapi apa yang baru saja dikatakan Lee Jeong-Iel, Ify cepat-cepat membuka flap ponselnya.
“Halo?”
Ia kaget ketika mendengar suara Park Hyun-Shik di seberang sana. “Oh, apa kabar, Paman? … Sekarang? Ya, aku sedang tidak sibuk… Aku akan ke sana sekarang… Sampai jumpa.”
Ify menutup ponsel dan memandang Lee Jeong-Iel yang menatapnya dengan pandangan menyelidik.
“Kau mau pergi sekarang?” tanyanya ketika melihat Ify buru-buru menghabiskan minumannya.
“Maaf, Jeong-Iel ssi. Ada urusan mendadak. Aku harus pergi. Lain kali saja baru dilanjutkan,” kata Ify cepat-cepat, lalu bangkit dan keluar dari kafe itu.

“Kita akan pergi menemui Tae-Rio,” kata Park Hyun-Shik kepada gadis yang duduk di hadapannya.
Ify mengangguk. “Kami harus difoto lagi?”
“Benar,” Park Hyun-Shik mengiyakan. “Karena itu kita harus mengubah penampilanmu. Kau tidak ingin sampai dikenali, kan?” Lalu Park Hyun-Shik bangkit dari kursi dan meraih jas.
“Jadi kapan kita mulai bekerja?” tanya Ify.
Pakr Hyun-Shik memandang Ify dan berkata, “Sekarang juga.”
Ify agak terkejut. “Oh, sekarang?” Ia belum merasa siap.
“Ya, ada masalah?” tanya pria itu sambil mengenakan jas dan memperbaiki posisi dasi.
Ify menggeleng. “Tidak.” Sepertinya mau tak mau ia harus mempersiapkan dirinya saat ini juga.
“Ayo, kita pergi,” kata Park Hyun-Shik, mulai berjalan ke pintu. “Saat ini Tae-Rio sedang diwawancara. Kita akan pergi ke lokasi wawancaranya, tapi sebelum itu kita harus memberimu penampilan baru.”
Park Hyun-Shik merasa tidak enak karena harus menyembunyikan sesuatu dari Ify, tapi ia tidak punya pilihan. Kalau Ify tahu, kemungkinan besar ia tidak akan bersedia diajak menemui Tae-Rio dan saat ini Park Hyun-Shik tidak punya cukup waktu untuk meyakinkannya.
Ia membawa Ify ke toko pakaian yang juga merangkap salon dan menyuruh gadis itu mencoba beberapa pakaian. Ia tidak ingin Ify terlihat cantik atau bergaya. Ia ingin Ify tampil sesederhana mungkin supaya tidak menonjol dan tidak ada orang yang dapat mengenalinya. Ia juga menyuruh Ify mencoba beberapa rambut palsu, tapi tidak ada yang cocok di matanya. Akhirnya Park Hyun-Shik meminta pegawai toko itu menyanggul rambut Ify.
Dengan rambut yang disanggul, kemeja krem polos tanpa lengan dan rok polos berwarna sama, Ify terlihat seperti wanita yang lebih tua daripada usianya yang sebenarnya. Persis seperti yang dibayangkan Park Hyun-Shik. Sebagai sentuhan terakhir, ia mengulurkan kacamata berlensa kecokelatan yang bisa menyamarkan wajah Ify.
“Baiklah,” Park Hyun-Shik berkata puas. “Kita berangkat sekarang. Seharusnya wawancara Tae-Rio akan selesai sebentar lagi.”
* * *
Jung Tae-Rio bangkit dari sofa yang didudukinya sejak tadi dan bersalaman dengan para kamerawan dan reporter yang mewawancarainya. Ia sedikit lelah, tapi ia tahu ini sudah menjadi risiko pekerjaannya. Para wartawan tadi juga sempat bertanya tentang hubungannya dengan kekasih misteriusnya, namun Tae-Rio hanya memberikan jawaban samar. Ada juga yang mengungkit kejadian empat tahun lalu. Tae-Rio berhasil menanggapinya dengan tenang, walau ia harus mengakui dalam hati perasaannya masih agak resah bila diingatkan kembali tentang kejadian itu.
Tae-Rio dan beberapa anggota stafnya keluar dari lift dan berjalan ke pintu utama gedung tempat diadakannya wawancara tadi. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika pandangannya menembus pintu kaca yang lebar dan melihat seorang wanita turun dari mobil sedan putih. Tae-Rio tertegun sejenak, lalu ia mempercepat langkahnya, mendorong pintu kaca sampai terbuka dan menghampiri wanita itu.
“Sedang apa kau di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.
Wanita itu berbalik dan agak terkejut melihatnya.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Tae-Rio sekali lagi. Ia tidak menyangka bisa bertemu Ify di sini. Ia menatap Sandy tajam dan melihat pipi gadis itu agak memerah.
“Itu… Paman yang menyuruhku ke sini,” Ify mencoba menjelaskan dengan agak bingung. “Kau tidak tahu? Katanya kita akan difoto.”
Tae-Rio menoleh ke belakang dan melihat kerumunan wartawan mulai menghampiri mereka dengan cepat.
“Tidak,” jawabnya. “Ikut aku.”
Ia merangkul pundak Ify dan berjalan menjauh ketika kilatan-kilatan lampu blitz kamera mulai beraksi dan para wartawan berlomba-lomba mengajukan pertanyaan.
“Jung Tae-Rio, siapa wanita ini?”
“Apakah dia wanita misterius di foto waktu itu?”
“Nona! Siapa nama Anda?”
“Apa hubungan kalian berdua?”
“Apakah Anda bisa memberikan sedikit komentar?”
Tae-Rio hanya mengangkat sebelah tangan dan menuntun Ify ke mobilnya yang diparkir tidak jauh dari sana. Ia membuka pintu mobil untuk Ify sambil berusaha menghalangi para wartawan mengambil gambar jelas gadis itu. Ia memerhatikan Ify terus menunduk dan menutupi wajah dengan sebelah tangan. Tae-Rio cepat-cepat menutup pintu dan berjalan mengelilingi mobilnya ke bagian tempat duduk pengemudi. Sebelum masuk ke mobil, ia tersenyum dan melambaikan tangan sekali lagi ke arah para wartawan.

Setelah mereka sudah agak jauh dari tempat itu, Tae-Rio melirik Ify dan bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Ify melepaskan kacamata dan mengembuskan napas kesal. “Paman bilang kita akan difoto. Difoto apanya? Ternyata begini… Ah, tapi benar juga. Kita memang difoto. Oleh wartawan.”
“Jangan menyalahkan Hyong,” kata Tae-Rio. “Setidaknya Hyong sudah mengubah penampilanmu sebelum menjebak kita.”
“Menurutmu mereka berhasil memotretku?” tanya Ify ingin tahu.
“Sudah tentu,” sahut Tae-Rio sambil tersenyum. “Tapi kau tidak usah cemas. Dengan penampilan seperti itu, tidak akan ada orang yang tahu kau adalah kau.”
Gadis itu menunduk memerhatikan penampilannya sendiri. Tiba-tiba ia bertanya, “Tapi tadi kau langsung mengenaliku. Bagaimana bisa?”
Tae-Rio tidak tahu harus menjawab apa. Tadi ketika melihat seorang wanita turun dari mobil Park Hyun-Shik, ia langsung tahu wanita itu Ify. Kalau dipikir-pikir, ia sendiri juga tidak mengerti bagaimana ia bisa begitu yakin. Penampilan Ify berbeda sekali dengan biasanya, tapi tadi ia bahkan tidak memerhatikan penampilan gadis itu. Ia hanya tahu wanita yang berdiri di sana Ify.
“Terus terang saja, aku juga tidak tahu,” sahut Tae-Rio.
Ify tersenyum, lalu bertanya, “Sekarang bagaimana? Kau mau ke mana?”
Tae-Rio melirik jam tangannya dan berkata, “Sekarang aku harus menghadiri konser amal…”
Ponselnya berbunyi. “Sebentar.” Ia memasang earphone untuk menjawab. “Hyong, ada apa? … Aku sedang di jalan… Begitu? Hyong yakin? … Baiklah.”
Ia melepaskan earphone dan menoleh ke samping. Ify ternyata juga sedang berbicara di telepon.
“Oh, Young-Via, ada apa?” kata gadis itu dengan ponsel yang ditempelkan ke telinga. “Aku? Aku sedang di jalan… Apa? Bukan, bukan bersama Jeong-Iel ssi.” Tae-Rio menyadari Ify meliriknya sekilas. “Sebentar lagi aku akan pulang ke rumah… Mm, nanti telepon aku lagi.”
“Sepertinya kau belum bisa pulang sekarang,” kata Tae-Rio setelah melihat Ify memasukkan ponsel ke tas tangannya.
“Kenapa?”
Hyong menyuruhmu ikut denganku ke konser amal itu.”
“Kenapa?! Tidak mau.”
Tae-Rio melihat gadis itu agak cemas. “Tidak apa-apa,” katanya menenangkan. “Kau hanya perlu hadir di sana. Selebihnya serahkan padaku. Hyong juga ada di sana. Tidak akan lama.”
Ify menggeleng-geleng. “Tidak, tidak. Sudah kubilang aku hanya akan berfoto denganmu. Tidak lebih.”
Tae-Rio menarik napas. “Kau juga tahu tadi kita dikejar-kejar wartawan. Saat ini mereka pasti sedang mengikuti kita. Apalagi mereka juga tahu aku akan pergi ke konser amal itu. Kalau kau kuturunkan di tengah jalan atau di mana pun, mereka pasti akan mengerumunimu. Kau mau begitu?”
Ify tidak menjawab. Tae-Rio meliriknya dan melihat gadis itu menggigit bibir dengan kening berkerut.
“Aku minta maaf atas semua kejadian hari ini,” kata Tae-Rio lagi. “Aku berjanji akan mengantarmu pulang secepatnya.”
“Apa yang sudah kulakukan?”
Ify mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, tapi Tae-Rio bisa mendengarnya. Karena tidak tahu harus berkomentar apa, ia diam saja. Gadis yang duduk di sampingnya juga tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kang Young-Via baru saja selesai membantu ibunya mencuci piring. Jam makan siang sudah lewat sejak tadi dan sekarang rumah makan milik keluarganya ini tidak begitu ramai.
“Ibu, aku naik ya?” Young-Via berseru kepada ibunya yang duduk di meja kasir, lalu berlari menaiki tangga ke lantai atas tanpa menunggu jawaban.
Young-Via  segera menyalakan televisi karena sebentar lagi siaran langsung konser musik amal akan ditayangkan. Ia membuka sebungkus keripik kentang dan berbaring telungkup di lantai sambil bertopang dagu.
“Ah, ternyata sudah dimulai,” gerutunya ketika gambar muncul di layar televisi. “Wah, yang datang banyak sekali.”
Di layar televisi terliaht artis-artis berjalan memasuki aula konser dan para reporter sibuk mewawancarai artis-artis yang lewat. Lalu di layar televisi muncul wajah Jung Tae-Rio.
“Oh, ternyata Jung Tae-Rio juga datang ke konser itu!” seru Young-Via pada dirinya sendiri. “Dia ikut menyanyi juga ya?”
Kang Young-Via memerhatikan idolanya dengan hati berbunga-bunga. Jung Tae-Rio yang mengenakan turtleneck hitam dan jas cokelat muda itu terlihat tampan seperti biasa dan ia terus tersenyum ramah ketika diwawancarai reporter.
“Jadi, Jung Tae-Rio, siapakah wanita yang tadi datang bersama Anda? Wanita yang berdiri di sana itu? Kekasih Anda?” tanya si reporter sambil menyodorkan mikrofon kepada Jung Tae-Rio.
Young-Via melihat wanita berkacamata gelap yang berdiri agak jauh di belakang Jung Tae-Rio. Wajahnya tidak terlihat jelas sehingga Young-Via pun merangkak mendekati pesawat televisi sambil memasukkan beberapa potong keripik ke mulut.
Jung Tae-Rio tertawa dan menoleh ke arah si wanita dan berpaling kembali kepada si reporter.
Bagi Young-Via, reaksi Jung Tae-Rio sudah menunjukkan jawabannya, dan ternyata si reporter juga berpendapat sama. Tanpa menunggu jawaban Jung Tae-Rio, si reporter bertanya lagi dengan nada menggoda, “Kenapa Anda tidak memperkenalkan Nona itu kepada kami semua? Ayolah, kenapa harus malu?”
“Benar! Kenapa harus disembunyikan?” seru Young-Via kepada gambar Jung Tae-Rio di televisi.
Jung Tae-Rio masih tersenyum ketika menjawab, “Memang benar, tapi sebenarnya dia agak pemalu. Dia bersedia datang hari ini juga karena saya yang memintanya. Kalau tidak, dia sama sekali tidak akan datang.”
“Wah, gadis yang sombong. Soon-Alyssa harus melihat ini,” kata Young-Via sambil duduk bersila. Ia meraih telepon dan menghubungi nomor ponsel Ify. Matanya tetap mengawasi Jung Tae-Rio yang sudah beranjak pergi dari si reporter dan menghampiri kekasihnya. Kamera memang sudah tidak difokuskan pada Jung Tae-Rio karena sekarang ada artis lain yang sedang diwawancarai. Tapi Jung Tae-Rio dan kekasihnya masih terlihat di bagian latar, walaupun tidak terlalu jelas.
“Han Soon-Alyssa, cepat angkat teleponmu sebelum Jung Tae-Ifo dan kekasihnya masuk,” kata Young-Via gemas. Ia terus menatap Jung Tae-Rio dan kekasihnya di televisi, seakan-akan kedua orang itu bakal lenyap kalau ia mengalihkan pandangan sedetik saja.
Young-Via melihat wanita itu sedang mencari-cari sesuatu di dalam tas tangannya sementara Jung Tae-Rio berdiri di sampingnya. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, lalu melakukan gerakan membuka dan menutup. Tepat pada saat itu nada sambung di telepon Young-Via terputus.
“Ah, anak aneh ini kenapa tidak menjawab teleponku? Tidak mau melihat pacar Jung Tae-Rio?” gerutu Young-Via sambil menekan nomor ponsel Ify sekali lagi. “Jangan-jangan dia masih di jalan ya?”
Young-Via menatap layar televisi dan merasa lega karena Jung Tae-Rio dan kekasihnya masih terlihat di sudut. Sambil menunggu Ify menjawab telepon,
Young-Via menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas Jung Tae-Rio dan pacarnya. Kali ini wanita itu kembali merogoh tas.
“Ada apa dengannya? Kelihatannya sibuk sekali,” Young-Via bertanya sendiri.
Wanita itu mengeluarkan sesuatu lagi dan menatap benda yang dipegangnya itu.
“Ponsel?” gumam Young-Via tidak yakin sambil menyipitkan mata.
Wanita itu menatap tangannya, lalu menatap Jung Tae-Rio. Jung Tae-Rio terlihat menggeleng-geleng, memberi isyarat supaya wanita itu melihat ke sekeliling, sambil mengucapkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan karena akhirnya wanita itu terlihat mengutak-atik benda yang dipegangnya.
Tepat pada saat itu nada sambung di telepon Young-Via terputus sekali lagi. Young-Via tertegun. Ia menatap layar televisi dengan mata terbelalak. Bungkusan keripik yang sejak tadi dipeluknya terlepas dan jatuh ke lantai. Matanya terpaku pada layar televisi. Ia melihat kekasih Jung Tae-Rio sedang menundukkan kepala dan mengutak-atik sesuatu yang menurut Young-Via ponsel, lalu memasukkannya kembali ke tas tangan. Kemudian mereka berdua bergerak dan menghilang dari layar televisi Young-Via.
Young-Via menatap layar televisi dan telepon yang dipegangnya bergantian. Otaknya sibuk berputar. Ia mencoba menghubungi ponsel Ify sekali lagi dan kali ini ia hanya mendengar suara operator telepon yang berkata telepon yang dituju sedang tidak aktif. Young-Via menutup telepon dan mengerutkan dahi.
“Apa yang kulihat tadi? Apa artinya ini? Hanya kebetulan? Kebetulan yang aneh…,” gumam Young-Via pada dirinya sendiri. Ia tidak lagi bersemangat menonton konser amal itu. Ia sibuk memutar otak, memikirkan apa yang baru saja ia lihat dan alami. Ia tidak percaya dengan kemungkinan yang muncul di benaknya. “Ini tidak mungkin. Tapi memang kalau dipikir-pikir…”
Seperti yang dikatakan Jung Tae-Rio sebelumnya, Ify tidak perlu mengikuti acara konser amal itu sampai selesai karena Tae-Rio punya jadwal lain yang sangat padat. Begitu Ify sudah menyelesaikan tugasnya, Park Hyun-Shik mengantarnya pulang sementara Jung Tae-Rio menghadiri acara selanjutnya.
Ketika berjalan di sepanjang koridor menuju apartemennya, Ify agak heran melihat Kang Young-Via berdiri di depan pintu gedung itu.
“Young-Via, sedang apa kau di sini?” tanya Ify sambil mempercepat langkah untuk menghampiri temannya.
Young-Via mengangkat wajah dan Ify melihat mata temannya terbelalak kaget ketika melihatnya. Lalu Young-Via tersenyum aneh. “Ternyata tidak salah,” gumamnya.
“Mm? Kau bilang apa?” Ify mengeluarkan kunci pintu dan memandang temannya.
Young-Via tersenyum dan menggeleng. “Tidak, aku sedang bicara sendiri. Ayo, kita masuk dulu. Aku sudah capek berdiri sejak tadi.”
Ify segera membuka pintu dan mengajak Young-Via masuk. “Kenapa menunggu di sini? Kau kan bisa menelepon dulu.”
Young-Via melangkah masuk dan menjawab, “Ponselmu tidak aktif.”
Ify menepuk dahi. “Oh, memang kumatikan tadi. Maaf.”
Kang Young-Via berdiri di tengah-tengah ruang duduk dan mengamati Ify dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Ify merasa aneh diamati begitu. “Kenapa memandangiku seperti itu?”
“Pakaianmu,” gumam Young-Via  dengan pandangan penuh arti.
Ify tersentak. Ia baru menyadari ia masih mengenakan pakaian yang diberikan Park Hyun-Shik. Gaya rambutnya juga masih seperti tadi. Young-Via pasti heran dengan penampilannya yang seperti ini.
“Ah, ini?” Ify berbalik memunggungi temannya dan pura-pura mencari sesuatu di dalam emari es. Otaknya berputar cepat, mencari alasan yang masuk akal. “Biasa lah, Mister Kim sedang melakukan percobaan baru. Katanya penampilan ini cocok untukku. Tapi kurasa tidak begitu. Aku benar, kan? Eh, kau mau minum apa?”
Ify memutar tubuh, kembali menghadap temannya. Young-Via sudah duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan temannya itu seakan bisa menembus ke dalam hatinya. Ify mulai gugup.
“Kau tahu,” Young-Via membuka mulut, “tadi aku menonton acara konser amal di televisi.”
Ify merasa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat daripada biasanya. Tidak mungkin Young-Via melihatnya. Ia sudah sangat hati-hati agar tidak disorot kamera. “Aku melihat Jung Tae-Rio bersama kekasihnya,” Young-Via melanjutkan dengan nada tenang. Ia tersenyum kecil. “Anehnya, kekasihnya itu memakai pakaian yang sama dengan yang kaupakai sekarang. Gaya rambut kalian juga sama persis.”
Baiklah, Ify harus melakukan sesuatu. Ia tertawa dan berkata, “Lalu kau mengira aku wanita itu? Young-Via, kau ada-ada saja.”
Young-Via mengangkat alis. “Benarkah, begitu? Sebenarnya aku juga tidak akan berpikir wanita itu kau, Soon-Alyssa, kalau saja aku tidak meneleponmu saat itu. Aku melihatmu di televisi. Memang tidak jelas, tapi aku melihat kejadiannya.”
Ify ingat Young-Via memang menghubungi ponselnya ketika ia berada di acara konser amal. Ia tidak menjawab karena suasana di sana berisik sekali, semua orang berbicara dan irama musik terdengar di mana-mana. Kalau ia menjawab, Young-Via akan mendengar bunyi berisik di latar belakang dan merasa curiga. Tae-Rio juga berkata sebaiknya ia tidak menjawab telepon. Itulah sebabnya Ify mematikan ponselnya. Ternyata saat itu Young-Via melihatnya di televisi.

 “Ketika aku meneleponmu, kekasih Jung Tae-Rio secara kebetulan juga menerima telepon. Ketika dia memutuskan hubungan, tepat pada saat itu nada sambung di teleponku juga terputus,” Young-Via melanjutkan. “Aku mencoba lagi dan melihat wanita itu akhirnya mematikan ponselnya.”
Ify tidak bisa mengelak lagi. Ia sudah tidak tahu alasan apa lagi yang bisa ia gunakan. Ia sudah mengenal Kang Young-Via selama bertahun-tahun dan tahu benar temannya itu pintar dan berotak tajam. Mungkin saja saat ini Young-Via sudah bisa menduga sendiri. Ify tidak bisa lagi menyembunyikan masalah ini darinya.
“Han Soon-Alyssa, kurasa sekarang waktunya kau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi,” kata Young-Via. “Aku sudah berpikir lama dan ingin tahu apakah kenyataannya seperti yang kupikirkan.”

Suasana di salah satu toko buku terbesar di Seoul itu terlihat ramai sekali. Di depan toko terpasang spanduk yang bertuliskan “Peluncuran Buku Salju di Musim Panas dan Pembagian Tanda Tangan Choi Min-Ah”. Mungkin ini sebabnya kenapa buku yang paling banyak dipajang di etalase toko itu adalah Saljut di Musim Panas karya Choi Min-Ah. Para pengunjung toko masing-masing memegang buku tersebut sambil berdiri berdesak-desakan sementara anggota-anggota staf toko bersusah payah mengendalikan keadaan. Selain para pengunjung toko, beberapa wartawan juga tampak hadir di sana.
“Choi Min-Ah sudah datang?” seru seorang wanita berkacamata kepada salah satu anggota stafnya yang sedang berbicara di telepon.
Anggota staf tersebut menutup telepon dan menjawab, “Katanya dia akan tiba dalam dua puluh menit.”
Wanita berkacamata itu memegang kening dan mengembuskan napas. “Aku tidak tahu apakah kita bakal mampu bertahan dua puluh menit lagi. Hei, semuanya sudah siap di belakang sana? Aku ingin semuanya sempurna sebelum Choi Min-Ah menginjakkan kaki di toko ini. Mengerti?”
Dua puluh dua menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Seorang wanita cantik keluar dari mobil hitam dan berjalan masuk ke toko buku sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan dengan anggun.
“Itu Choi Min-Ah! Cantik sekali! Lebih cantik daripada fotonya.”
“Katanya dia baru pulang dari Amerika.”
“Dia pulung khusus untuk menghadiri acara ini.”
“Dia kelihatan masih muda ya.”
“Kau lihat pakaiannya? Bagus sekali!”
“Aku sudah membaca semua buku yang ditulisnya.”
Choi Min-Ah menyalami wanita berkacamata yang adalah manajer toko itu, kemudian berdiri di balik meja panjang yang sudah tersedia. Senyumnya yang tulus dan menyenangkan masih tersungging di bibir.
“Apa kabar, semuanya?” Choi Min-Ah menyapa para pengunjung dengan suaranya yang indah dan ramah. Para pengunjung pun membalas sapaannya meski dengan agak kacau-balau. Choi Min-Ah tertawa kecil dan melanjutkan, “Saya baru saja turun dari pesawat dan sepanjang perjalanan dari bandara saya merasa lelah sekali. Tapi begitu tiba di sini dan mendapat sambutan sehangat ini, tiba-tiba saya merasa segar kembali. Terima kasih banyak.”
Para pengunjung pun tertawa dan bertepuk tangan.
Setelah acara penandatanganan buku itu selesai, Choi Min-Ah mengizinkan para wartawan mewawancarainya. Mula-mula para wartawan menanyainya tentang buku barunya, tentang proses penulisan bukunya, tentang ide-idenya dan hal-hal teknis lain. Sering berlalunya berbagai pertanyaan, para wartawan pun semakin berani karena meliaht sikap Choi Min-Ah yang ramah dan terbuka.
“Nyonya Choi Min-Ah, bagaimana kabar suami Anda?”
“Dia baik-baik saja, masih terus membenamkan diri dalam not-not balok seperti biasa,” jawab Choi Min-Ah ceria. “Kadang-kadang dia malah melupakan istrinya yang cantik ini.”
“Lalu bagaimana kabar putra Anda?”
“Tae-Rio? Seharusnya dia baik-baik saja. Saya belum sempat meneleponnya. Dia bahkan belum tahu saya ada di Seoul. Mungkin saya akan meneleponnya nanti,” sahut Choi Min-Ah. “Tapi saya rasa Anda sekalian tentu sudah tahu dengan sangat jelas keadaannya. Akhir-akhir ini dia sangat sibuk dengan album barunya.”
“Kabarnya dia sudah punya kekasih. Apakah Anda tahu itu, Nyonya?”
Wajah Choi Min-Ah berseri-seri. “Ah, benar. Tentu saja saya tahu. Saya pernah berbicara dengannya. Han Soon-Alyssa ssi itu gadis yang baik. Aku berharap hubungan mereka akan berhasil.”



Delapan

BEBERAPA hari sudah berlalu sejak Kang Young-Via tahu tentang Ify dan Jung Tae-Rio. Sebenarnya Ify ingin segera memberitahukan hal ini kepada Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio, tapi belum punya kesempatan untuk itu. Kedua laki-laki itu begitu sibuk dan susah dihubungi. Kalaupun bisa dihubungi seperti sekarang, Jung Tae-Rio sedang sibuk dan Ify tidak bisa bicara banyak.
“Jung Tae-Ri ssi, sekarang kau sedang sibuk?” tanya Ify di telepon.
“Aku? Sebentar lagi aku harus tampil. Ada apa?”
“Mm, setelah ini kau ada acara lagi?”
Jung Tae-Rio terdiam sejenak lalu berkata, “Sebenarnya tidak ada, tapi sesudah acara ini selesai, aku harus pergi menemui ibuku. Oh ya, ibuku datang ke Seoul hari ini. Baru tiba siang tadi. Aku sudah janji makan malam dengannya. Kenapa? Ada masalah?”
Ify cepat-cepat berkata, “Tidak, tidak ada masalah. Hanya saja ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bukan masalah penting. Lain kali saja kita bicarakan.”
“Atau kau mau ikut makan malam bersama kami?” Jung Tae-Rio menawarkan.
“Kau gila?” Ify berseru. “Sudahlah, tidak apa-apa. Kau makan saja dengan ibumu.”
Jung Tae-Rio tertawa. “Baiklah, nanti kutelepon.”
Ify menutup flap ponsel dan meletakkannya di meja ruang duduk. Ia mengembuskan napas, meraih remote control, lalu menyalakan televisi.

* * *
“Jadi temanmu sudah tahu tentang kita?” tanya Park Hyun-Shik sambil mengusap-usap dagu.
Ify duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk. Jung Tae-Rio yang duduk di sebelahnya hanya bisa duduk bertopang dagu. Mereka bertiga berkumpul di kantor Park Hyun-Shik. Ify baru saja selesai bercerita kepada kedua laki-laki itu tentang Kang Young-Via yang sudah tahu kesepakatan mereka.
“Jadi alasan kau meneleponku kemarin adalah karena ingin memberitahukan masalah ini?” tanya Jung Tae-rio.
“Ya. Maafkan aku,” gumam Ify dengan kepala tertunduk.
“Bukan salahmu,” kata Jung Tae-Rio sambil mengibaskan tangan. “Siapa yang bisa menduga temanmu bisa menelepon tepat ketika kau muncul di televisi?”
Park Hyun-Shik mendesah. “Tidak perlu merasa bersalah… Lalu apa yang dikatakan temanmu?”
Ify mengangkat wajah dan menatap Jung Tae-Rio serta Park Hyun-Shik bergantian. “Yah, dia memang agak terkejut… Tapi dia teman baikku dan aku percaya padanya. Dia sudah berjanji tidak akan mengatakan apa-apa.”
“Baiklah,” kata Park Hyun-Shik pada akhirnya. “Sepertinya kita tidak punya pilihan lain selain percaya padanya.”
Mereka bertiga terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat berlalu, kemudian kesunyian itu dipecahkan dering telepon di meja Park Hyun-Shik. Park Hyun-Shik mengangkatnya.
“Apa? Siapa katamu?” katanya di telepon sambil menegakkan punggung dengan satu gerakan cepat. “Baiklah.”
Ia meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Ify memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Ada apa, Hyong?” tanya Jung Tae-Rio.
Park Hyun-Shik bangkit dari kursi dan berkata, “Ibumu ada di sini.”
Tepat pada saat itu pintu kantor Park Hyun-Shik terbuka. Sekretaris Park Hyun-Shik muncul diikuti wanita cantik berpostur tinggi semampai.
Ify terkesiap dan duduk mematung di tempatnya. Wanita itu Choi Min-Ah, penulis buku terkenal. Ibu Jung Tae-Rio. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
“Ibu?” Jung Tae-Rio melompat dari kursi dan menghampiri ibunya dengan ekspresi kaget. “Sedang apa Ibu di sini?”
“Oh, halo, Tae-Rio,” sapa ibunya riang. Ia menoleh ke arah Park Hyun-Shik dan menyalaminya. “Hyun-Shik, apa kabar? Senang sekali melihatmu lagi.”
Park Hyun-Shik tersenyum hangat dan berkata, “Saya juga senang bertemu Bibi lagi. Maafkan saya karena kemarin saya tidak bisa makan malam bersama Bibi.”
“Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti. Kau memang sangat sibuk. Orangtuamu baik-baik saja?” tanya Choi Min-Ah. “Sudah lama tidak bertemu mereka. Mereka masih di Kanada?”
“Iya, mereka masih di sana. Ibu saya juga sering bertanya kapan bisa bertemu Bibi lagi.”
Choi Min-Ah mengangguk. “Benar, kita harus berkumpul lagi. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya.”
“Ibu, kenapa Ibu datang ke sini?” tanya Jung Tae-Rio sekali lagi sambil menggandeng lengan ibunya.
Choi Min-Ah menoleh memandang anak laki-lakinya. “Oh, pesawatku baru akan berangkat sore nanti, jadi aku ingin mengajak kalian makan siang bersamaku. Hyun-Shik, kau tidak boleh menolak.”
Saat itu pandangan Ify bertemu dengan tatapan penuh tanya Choi Min-Ah. Wanita itu tersenyum dan Sandy membalas senyumnya dengan kaku.
“Nah, sebentar. Apakah ini Han Soon-Alyssa ssi?” tanya ibu Jung Tae-Rio.
Dengan kikuk Ify menatap Jung Tae-Rio dan Park Hyun-Shik bergantian, lalu bangkit dari kursinya. “Apa kabar?” katanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Tae-Rio, kau ini bagaimana? Kenapa tidak memperkenalkan kami?” kata Choi Min-Ah sambil memukul pelan lengan anaknya.
Jung Tae-Rio tersadar dan menghampiri Ify. “Ibu, ini Han Soon-Alyssa. Ify, ini ibuku.”
Choi Min-Ah mengerutkan kening dan mendecakkan lidah. “Perkenalan macam apa itu?” Lalu ia memandang Ify sambil tersenyum. “Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu, Soon-Alyssa. Kau tidak keberatan kalau kupanggil Soon-Alyssa saja, bukan?”
“Tentu, tentu saja tidak,” kata Ify cepat-cepat.
“Begini saja, bagaimana kalau kita berempat pergi makan siang? Kita bisa mengobrol sambil makan. Soon-Alyssa, kau ada waktu, kan? Kau mau, kan?” bujuk ibu Jung Tae-Rio ramah.
Ify membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Apakah ia boleh makan siang bersama ibu Jung Tae-Rio? Atau sebaiknya ia segera pamit dan pergi dari sana saja? Ia memandang kedua laki-laki yang sedang berdiri tanpa suara itu, menunggu isyarat.
Jung Tae-Rio dan Park Hyun-Shik berpandangan. Akhirnya Park Hyun-Shik berkata, “Baiklah, Bibi. Saya juga sedang tidak punya jadwal kerja siang ini.”
Choi Min-ah bertepuk tangan. “Bagus sekali. Ayo, cepat. Kita mau makan di mana ya?”
“Kau kenal ibunya?” tanya Park Hyun-Shik kepada Ify dengan nada rendah ketika ibu Jung Tae-Rio keluar duluan dari kantornya, meninggalkan mereka bertiga di dalam.
Ify merasa kesulitan, susah menjelaskannya. “Itu… waktu itu aku tidak sengaja—“
Jung Tae-Rio menyela, “Hyong, nanti saja kujelaskan.Sebaiknya sekarang kita segera menyusul ibuku.”
Awalnya Tae-Rio agak mencemaskan sikap ibunya terhadap Ify, tapi sepertinya kekhawatiran tersebut tidak beralasan karena kedua wanita itu cepat sekali akrab. Tampak jelas ibunya menyukai Ify dan begitu juga sebaliknya. acara makan siang itu berjalan ringan dan menyenangkan. Bahkan ketika ibunya menanyakan bagaimana pertemuan pertama mereka, Ify menjawab dengan lancar, “Jadi kalau Paman tidak salah mengambil ponsel saya waktu itu, saya rasa saya tidak akan pernah bertemu Paman maupun Jung Tae-Rio ssi,” kata Ify.
“Wah, rupanya cinta pada pandangan pertama,” kata ibu Jung Tae-Rio penuh minat.
Ify tersedak dan Tae-Rio otomatis menyodorkan segelas air kepada gadis yang duduk di sebelahnya itu. Park Hyun-Shik yang duduk berhadapan dengan Tae-Rio hanya bisa menahan senyum.
“Oh ya, Soon-Alyssa, Hyun-Shik kan belum setua itu. Kenapa kau memanggilnya ‘paman’?” tanya ibu Tae-Rio lagi sambil menepuk tangan Park Hyun-Shik yang duduk di sebelahnya. “Hyun-Shik, kau hanya dua tahun lebih tua daripada Tae-Rio, kan?”
Park Hyun-Shik membenarkan.
“Sepertinya saya sudah terbiasa memanggilnya begitu. Saya sendiri juga tidak tahu kenapa, tapi mungkin karena penampilan dan sikapnya yang dewasa sekali,” jawab Ify.
Tae-Rio menyadari ibunya mengamati dirinya, lalu Park Hyun-Shik. “Benar juga,” kata ibunya. “Hyun-Shik memang kelihatan lebih dewasa kalau dibandingkan Tae-Rio. Tapi, Hyun-Shik, kenapa sampai sekarang kau masih sendiri? Bagaimana kalau kusuruh Soon-Alyssa mencarikan gadis untukmu?”
Sementara ibunya mendesak Park Hyun-Shik, Tae-Rio mendengar dering ponsel. Ia meraba saku jasnya, tapi lalu berpaling kepada Ify. “Punyamu.”
Ify merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Ia menatap layar ponsel sekilas. Sambil berdeham pelan, ia membuka dan langsung menutup flap ponselnya. Beberapa  detik kemudian ponselnya berbunyi lagi. Tae-Rio menoleh ke arah Ify dan mendapati gadis itu sedang mencopot baterai ponselnya.
 “Dia lagi?” tanya Tae-Rio setelah Ify memasukkan ponsel dan baterai ke dalam tas.
Sandy tidak menjawab, hanya memandangnya sambil tersenyum samar.
“Kenapa tidak dijawab?”
“Kemungkinan besar dia akan membicarakan hal-hal yang tidak penting. Seperti biasa.”

Lee Jeong-Iel menutup ponselnya dengan kesal dan berdiri di tepi jalan dengan perasaan tidak menentu. Rupanya Ify tidak mau menjawab teleponnya. Ia mengangkat tangan kirinya yang sedang memegang tabloid hiburan yang memuat foto Jung Tae-Rio bersama wanita dengan kacamata hitam dan rambut disanggul. Di bawah foto itu ada foto lain yang juga memperlihatkan Jung Tae-Rio berdiri dekat sekali dengan si wanita misterius, tapi kali ini wanita itu bertopi merah dengan rambut dikepang. Di bawah foto itu ada tulisan besar-besar “IDENTITAS KEKASIH JUNG TAE-RIO”.
Artikel kecil itu sudah dibacanya berkali-kali dengan perasaan tidak percaya, tapi Lee Jeong-Iel ingin meyakinkan dirinya sekali lagi. Ia pun membaca kembali artikel itu dengan hati-hati. Matanya terhenti pada kalimat yang menyatakan wanita misterius yang menjadi kekasih Jung Tae-Rio akhirnya diketahui bernama Han Soon-Alyssa.
Han Soon-Alyssa.
Mata Lee Jeong-Iel kembali menatap foto-foto itu. Tidak salah lagi. Semakin diperhatikan, wanita di foto itu memang mirip sekali dengan Soon-Alyssa. Benarkah itu? Inilah yang ingin ia tanyakan pada Soon-Alyssa, tapi gadis itu tidak mau menjawab teleponnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Lee Jeong-Iel tidak mengerti kenapa hatinya tidak bisa tenang. Ia merasa kesal dan gelisah. Ia harus terus berusaha menghubungi Soon-Alyssa sampai berhasil mendapatkan penjelasan dari gadis itu. Kalau perlu, ia akan pergi ke rumah Soon-Alyssa dan menunggunya di sana.
Kang Young-Via mendecakkan lidah dengan geram. Sejak tadi ia mencoba menghubungi ponsel Soon-Alyssa, tapi anak itu tidak mengaktifkan ponselnya. Ke mana dia?
Young-Via menatap majalah di tangannya. Ia mengerutkan dahi. Apakah Soon-Alyssa sudah tahu tentang ini? Sepertinya belum. Kalau sudah tahu, Soon-Alyssa pasti akan meneleponnya. Apakah anak itu sedang bersama Jung Tae-Rio? Kalau begitu seharusnya dia sudah tahu.
 “Young-Via, di mana majalan yang baru Ibu beli tadi?” tanya ibunya tiba-tiba.
Young-Via tersentak kaget dan berusaha menyembunyikan majalah itu. “Oh? Majalah yang mana?”
Ibunya berkacak pinggang. “Yang sedang kausembunyikan di balik punggungmu itu. Sini.”
Young-Via tidak bisa berbuat apa-apa sementara ibunya mulai membuka-buka majalah itu. Jantungnya berdebar keras. Ia sangat berharap bakal ada tamu yang datang ke restoran mereka, karena dengan begitu ibunya akan sibuk untuk sesaat, memberinya kesempatan menyembunyikan majalah itu. Tapi harapannya tidak terkabul. Tidak ada tamu yang datang dan ibunya terus asyik membaca gosip artis.
“Astaga!”
Ini dia yang sudah ia takutkan sejak tadi.
“Hei, Young-Via, lihat ini!” Ibunya mendorong majalah itu ke arahnya.
“Ada apa?” Young-Viaberpura-pura tidak tahu.
“Lihat ini! Ini Soon-Alyssa, bukan? Soon-Alyssa temanmu itu?”
Young-Via melihat majalah itu sekilas dan mendorongnya kembali kepada ibunya. “Ah, Ibu. Mana mungkin itu Soon-alyssa. Masa Soon-Alyssa pacaran dengan artis terkenal?”
Ibunya tetap ngotot. “Tapi di sini ditulis namanya Han Soon- Alyssa.”
Young-Via berkata dengan tidak sabar, “Bisa saja namanya sama. Banyak orang yang bernama Han Soon-Alyssa.”
Ibunya terdiam sejenak. Young-Via melirik ibunya untuk melihat bagaimana reaksinya. Ibunya mengamati foto-foto di majalah itu dengan kening berkerut. Ini gawat, ibunya terlalu cerdik untuk dibohongi.
“Tidak, ini memang Han Soon-Alyssa temanmu,” kata ibunya pasti. “Memang wajahnya tidak jelas, tapi lihat tulang pipinya dan senyumnya. Ibu yakin seyakin-yakinnya ini Han Soon-Alyssa yang kita kenal. Kau mau bertaruh dengan Ibu?”
Young-Via tidak menjawab. Sepertinya ibunya juga tidak menginginkan jawaban karena ibunya tidak memandangnya.
“Ternyata dia pacaran dengan Jung Tae-Rio si penyanyi itu, ya…?” gumam ibunya sambil terus memerhatikan foto-foto dalam majalah. “Bagaimana bisa? Kau sudah tahu tentang ini, Young-Via?”
Mata Young-Via bertemu pandang dengan ibunya, ia lalu cepat-cepat berkata, “Mana aku tahu? Tidak, aku tidak tahu apa-apa.”
* * *
Jung Tae-Rio merasa senang siang itu. Perasaannya ringan sekali selama makan siang tadi. Tapi perasaan itu tidak berlangsung lama. Ketika mereka berempat selesai makan siang dan keluar dari restoran, tiba-tiba saja begitu banyak orang mencegat mereka. Para wartawan mulai berebut mengajukan pertanyaan dan kamera-kamera diarahkan kepada mereka.
“Jung Tae-Rio, benarkah ini Han Soon-Alyssa, kekasih Anda?”
“Anda berempat sedang apa di sini, Jung Tae-Rio?”
“Nyonya Choi, apakah Anda baru bertemu Han Soon-Alyssa  ssi?”
“Ada komentar, Han Soon-Alyssa ssi?”
Tae-Rio tidak bisa mendengar kata-kata lain karena semua orang berteriak bersamaan. Ia merasakan Ify membeku di sampingnya. Ia memahami perasaan gadis itu, ia sendiri juga sangat terkejut karena mendadak harus berhadapan dengan kerumunan wartawan seperti ini. Dan dari mana mereka tahu nama Ify?
Suasana menjadi kacau. Park Hyun-Shik berusaha menenangkan para wartawan yang tidak henti-hentinya memotret. Ibu Tae-Rio ikut kebingungan, tapi tetap bisa bersikap tenang. Ify hanya bisa menunduk. Secara otomatis, Tae-Rio menarik Ify ke belakang punggungnya. Ia menyadari tubuh gadis itu tegang.
Tepat pada saat itu mobil mereka sudah diantarkan ke depan restoran. Tae-Rio segera merangkul pundak Ify dan menuntunnya menerobos kerumunan wartwan. Ify dan ibunya berhasil masuk ke mobil. Lalu ketika Tae-Rio ikut masuk dan duduk di samping kemudi, Park Hyun-Shik sudah menyalakan mesin mobil.
“Apa yang sedang terjadi?” tanya Park Hyun-Shik ketika mereka melaju di jalan raya.
Tae-Rio tidak menjawab. Ia memutar tubuhnya dan memandang Ify yang duduk di belakang bersama ibunya. “Kau tidak apa-apa?”
Ify tidak kelihatan sehat. Wajahnya agak pucat, tapi ia memaksakan seulas senyum. “Ya.”
“Bagaimana mereka bisa tahu nama Ify?” Tae-Rio bertanya kepada manajernya.
Park Hyun-Shik menatapnya sekilas, lalu kembali memusatkan perhatian ke jalan raya. “Entahlah.”
“Kalian belum memberi keterangan lengkap tentang Soon-Alyssa pada wartawan, ya?”
Tae-Rio memandang ibunya yang tampak sangat gelisah. “Belum. Memangnya kenapa, Bu?”
Ibu Tae-Rio agak salah tingkah ketika menjawab, “Sepertinya Ibu yang telah membocorkannya kepada wartawan.”
Tae-Rio hanya bisa mendengarkan dalam diam sementara ibunya menjelaskan apa yang terjadi saat wawancara di toko buku. Park Hyun-Shik tidak berkomentar. Ify juga hanya duduk di sana tanpa suara.
“Maafkan Bibi, Soon-Alyssa. Bibi tidak sengaja. Bibi tidak tahu kalian tidak ingin orang-orang tahu.” Ify tersenyum lebar menenangkan wanita cantik itu. “Tidak apa-apa, Bibi. Bukan masalah besar. Lagi pula cepat atau lambat mereka akan tahu juga.”
Tae-Rio menduga Ify sebenarnya risau, hanya saja ia tidak mau menunjukkannya karena takut ibunya merasa bersalah.
“Benar, ini bukan masalah besar,” kata Park Hyun-Shik memecah kesunyian. “Sekarang yang penting kita antar Ify pulang dulu, lalu kita ke bandara untuk mengantar Bibi.” Ia memandang ibu Tae-Rio melalui kaca spion. “Bibi tidak usah khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”
Ketika mereka tiba di gedung apartemen Ify, Tae-Rio mengantarnya sampai ke depan pintu apartemennya.
“Oke, aku sudah sampai,” kata Ify di depan pintu apartemen. “Pergilah. Kau masih harus mengantar ibumu ke bandara.”
Tae-Rio menatap gadis yang berdiri di hadapannya itu. Walaupun Ify tersenyum, Tae-Rio bisa melihat senyum itu bukan senyum ceria yang biasa.
“Apa yang kaupikirkan sekarang?” tanya Tae-Rio.
Mata Ify tampak menerawang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. “Aku tidak tahu,” sahutnya. “Banyak sekali yang kupikirkan sampai-sampai aku sendiri bingung.”
Tae-Rio tidak mengatakan apa-apa. Ia menunggu karena sepertinya gadis itu masih ingin berkata-kata.
“Semua orang sudah tahu. Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanya Ify, lebih kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba matanya melebar dan ia menatap cemas Tae-Rio. “Orangtuaku. Mereka pasti juga akan tahu. Apa yang harus kukatakan pada mereka?”
Tae-Rio tidak punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan itu, tapi tiba-tiba, saat itu juga, ia sangat yakin akan satu hal. Ia tidak ingin gadis yang berdiri di hadapannya itu mendapat kesulitan. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Ia kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengatakan sesuatu yang menghibur.
Perlahan ia maju selangkah dan memeluk gadis itu. Ify tidak menghindar. Entah kenapa Tae-Rio merasa segalanya tepat seperti seharusnya ketika gadis itu dalam pelukannya. Seluruh rasa lelah seolah mengalir keluar dari tubuhnya. Ia ingin sekali terus seperti ini. Ia ingin sekali tetap berdiri di sana dan memeluk Ify selamanya.
 “Tidak usah dipikirkan,” kata Tae-Rio pelan. “Kau akan baik-baik saja. Percayalah padaku.”
Aku akan pastikan kau tidak mendapat masalah….
Ia melepaskan pelukannya dan menatap Ify. Ify menarik napas dan tersenyum kecil.
“Aku tahu,” kata Ify sambil mengangguk tegas. “Aku bisa mengatasinya. Kau pergilah.”
Tae-Rio menunggu sampai Ify masuk ke apartemen sebelum berbalik pergi. Ia berjalan menuju lift tanpa menyadari ada pria berpostur tinggi besar sedang memerhatikan kepergiannya tidak jauh dari sana.
Ify menutup pintu apartemen dan menarik napas panjang. Ia melemparkan tasnya ke kursi lalu duduk di lantai.
Kenapa bisa begini? Acara makan siang yang menyenangkan berubah menjadi kekacauan. Ify tidak bisa menggambarkan perasaannya ketika ia keluar dari restoran dan tiba-tiba berhadapan dengan segerombolan wartawan yang tidak henti-hentinya menjepretkan kamera, meneriakkan namanya, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Seakan kejadian yang dialaminya tadi tidak nyata, seperti mimpi.
Apa yang harus ia lakukan? Apa yang sudah ia lakukan?
Mungkin sejak awal seharusnya ia tidak terlibat dengan Jung Tae-Rio. Namanya kini sudah tersebar dan mungkin besok wajahnya akan terpampang jelas di tabloid-tabloid. Sebenarnya hanya satu hal yang mencemaskannya, yaitu reaksi orangtuanya. Bagaimana ia harus menjelaskan semua ini kepada orangtuanya?
Ify meraih tas dan mengeluarkan ponsel. Baterai ponsel itu masih belum dipasang. Ia menatap ponselnya. Apakah ia harus menelepon orangtuanya? Kalau orangtuanya tahu, mereka pasti tidak akan tinggal diam, apalagi ibunya. Meski ia menjelaskan bahwa semua itu tidak benar dan sesungguhnya ia sama sekali tidak punya hubungan apa pun dengan Jung Tae-Rio, ia yakin keadaannya tidak akan berbeda.
Jung Tae-Rio. Pikiran Ify kembali melayang ke saat ia berada dalam pelukan laki-laki itu. Ketika Jung Tae-Rio memeluknya, waktu seakan berhenti berputar. Ketika Jung Tae-Rio mengatakan semuanya akan baik-baik saja, ia benar-benar percaya. Ketika Jung Tae-Rio melepaskan pelukannya, keyakinan diri itu hilang lagi. Kenapa begini?
Jung Tae-Rio. Ify tidak sepenunya jujur pada laki-laki itu. Apakah ini adil baginya? Ify bangkit dan menghampiri lemari kecil di samping televisi. Ia membuka lemari itu dan mengeluarkan kantong ungu kecil yang terbuat dari kain beludru. Ia membuka ikatan kantong itu, merogohnya dan mengeluarkan bros berbentuk hati berwarna merah mengilat dengan pinggiran keemasan. Ify menatap bros di telapak tangannya itu sambil berpikir. Sejak awal ia seharusnya tidak boleh terlibat dengan Jung Tae-rio. Andai saja ia menolak…
Tapi saat itu ia benar-benar ingin tahu.
Apakah sekarang ia sudah mendapatkan jawaban?
Bel pintu berbunyi, menarik pikiran Ify kembali ke alam sadar. Ify berjalan tanpa suara ke pintu dan mengintip dari lubang kecil di pintunya. Ia melihat wajah Lee Jeong-Iel. Lagi-lagi dia. Ify tidak ingin bicara dengannya, terlebih lagi saat ini.
Lee Jeong-Iel mengetuk pintu dan berkata, “Soon-Alyssa, buka pintunya. Aku tahu kau ada di dalam.”
Ify mengerutkan kening. Ia tetap tidak bergerak dari balik pintu.
“Kita harus bicara, Soon-Alyssa,” kata Lee Jeong-Iel lagi. “Aku akan terus menunggu di sini sampai kau mau membuka pintu.”
Ify mendengus pelan. Terserah saja, katanya dalam hati. Kau mau menunggu sampai besok? Silakan. Ia membalikkan tubuh dan berjalan ke tempat tidur.

No comments:

Post a Comment