Tiga Belas
“IFY, setelah Mama pikir-pikir, sebaiknya kamu jangan terlibat
dengan artis itu lagi.”
Ify memindahkan ponsel ke telinga kirinya. “Mama, Ify kan sudah
bilang bahwa hubungan Ify dengan dia nggak seperti yang Mama kira.”
Di ujung sana, ibunya menghela napas berat dan berkata, “Mama nggak
peduli kalian punya hubungan yang seperti apa, tapi yang penting, jangan
bergaul dengan artis itu. Atau artis mana pun.”
Giliran Ify yang menarik napas panjang.
“Awalnya Mama pikir kamu bisa menyelesaikannya, tapi sepertinya
nggak begitu,” kata ibunya lagi. Suaranya terdengar sedih. “Kenapa kamu harus
terlibat dengan dia? Memangnya kamu sudah lupa tentang Angel?”
Ify terdiam. Ia merasa tidak perlu diingatkan pada masalah itu. Ia
belum lupa. Tidak pernah lupa. Bagaimana bisa lupa? Sejak pertama kali bertemu
Jung Tae-Rio sampai sekarang, setiap kali melihat Jung Tae-Rio, ia selalu
teringat pada Angel, selalu bertanya pada dirinya sendiri apakah keputusannya
benar. Kini ia merasa ada yang salah pada keputusannya. Seharusnya ia memang
tidak terlibat dengan Jung Tae-Rio, karena sekarang ini hatinya kacau,
pikirannya kacau. Ia tidak bisa tenang karena belum sepenuhnya jujur pada
laki-laki itu.
“Jangan katakan masalah kali ini berbeda dengan masalah Angel,”
kata ibunya lagi. “Karena walaupun berbeda, Mama nggak peduli. Tolong jangan
terlibat dengan dia lagi.”
“Jung Tae-Rio orang yang baik, Ma,” kata Ify.
“Mama nggak tahu apakah dia orang yang baik atau jahat,” sela
ibunya cepat. “Yang Mama tahu, kematian kakakmu ada hubungannya dengan dia.
Jadi jauhi dia, Ify. Jauhi dia.”
Ify tersentak. “Kenapa Mama bicara seperti itu? Mama bicara
seakan-akan Jung Tae-Rio sendiri yang menyebabkan kematian Angel.”
“Bukan itu yang Mama katakan!” kata ibunya keras. “Mama hanya
berpikir, kalau saja waktu itu Angel nggak ke Korea, kalau saja dia nggak ikut
acara itu, sekarang dia pasti masih hidup.”
Pada dasarnya ibunya bukan orang yang berpikiran sempit, Ify tahu
itu. Ibunya bukan orang yang suka berandai-andai. Sebenarnya bukan ini yang Ify
harapkan ketika ia memutuskan membantu Jung Tae-Rio. Saat itu tujuannya hanya
untuk mengenal Jung Tae-Rio, mengenalnya lebih baik. Hanya sebentar dan sebatas
itu. Ia tidak punya maksud apa pun. Bagaimana ia bisa tahu masalahnya bisa
berubah jadi seperti ini? Bagaimana ia bisa tahu bahkan perasaannya bisa
berubah jadi seperti ini?
Setelah menutup telepon, Ify bangkit dari tempat tidur dan
berjalan ke jendela. Ia menyingkap tirai dan memandang ke luar jendela. Hujan.
Sudah berapa lama? Ia tidak menyadarinya.
Ify menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Ia memegang pipinya
yang terasa hangat. Benar, kakak perempuannya, Angel, sudah meninggal. Angel
dulu penggemar Jung Tae-Rio. Angel penggemar Jung Tae-Rio yang meninggal pada
acara jumpa penggemar empat tahun lalu. Siapa yang bisa menduga Angel akan
meninggal hanya karena menghadiri acara jumpa penggemar? Ify masih ingat ketika
Angel meneleponnya empat tahun yang lalu.
“Ify!” seru kakaknya gembira. “Acaranya baru selesai nih! Akhirnya
aku ketemu Jung Tae-Rio! Aku melihat dia! Aku bahkan bicara dengan dia! Oh ya,
aku berhasil mendapatkan tanda tangannya. Dapat dua. Satu buat kamu. Dan aku
juga mendapat bros dari dia! Tadi dia membagikan sepuluh bros kepada
penggemar-penggemarnya. Salah satunya aku! Beruntung banget, kan?”
Ify hanya mendengus dan tertawa. “Aduh, senangnya. Pasti Onni satu-satunya
orang Indonesia di sana. Onni sempat bicara sama dia? Pakai bahasa apa?
Memangnya Onni bisa bahasa Korea?”
“Jangan anggap enteng Onni-mu ini ya,” kata kakaknya
sambil tertawa. “Aku bisa bahasa Inggris sedikit-sedikit. Bahasa Korea?
Setidaknya aku bisa bilang ‘Sarang haeyo*, Tae-Rio Oppa’. Itu yang
paling penting.”
Ify tersenyum mendengar tawa kakaknya di ujung sana.
“Kenapa sih kamu nggak mau ikutan? Rugi lho,” kata Angel lagi.
Ify meringis. “Ih, Onni kan tahu aku bukan penggemar
Jung Tae-Rio. Untuk apa berdesak-desakan demi melihat seseorang yang tidak aku
suka? Memangnya seperti Onni yang demi melihat Jung Tae-Rio saja harus
naik pesawat ke sini.”
“Cinta perlu pengorbanan,” kata Angel puitis, lalu tertawa lepas.
Ify juga ikut tertawa.
“Ya sudah, sekarang aku lagi nunggu dia keluar,” kata Angel. “Wah,
mulai hujan nih. Oh, nah, nah, nah... itu dia udah keluar. Udah dulu ya.
Sebentar lagi aku pasti pulang. Jangan makan dulu. Tunggu aku. Annyeong!**”
Itu terakhir kalinya Ify mendengar suara angel. Angel tidak pulang makan. Ify menunggunya pulang
untuk makan, tapi dia tidak pulang. Setelah menunggu lama, telepon berbunyi dan
Ify nyaris lumpuh mendengar berita itu. Ia tidak ingat apa yang dilakukannya
kemudian. Semuanya menjadi kabur. Kalau tidak salah, ia langsung menelepon
orangtuanya di Jakarta, lalu berlari ke rumah sakit. Angel tidak membuka mata
ketika Sandy tiba di rumah sakit. Kakaknya tidak membuka mata saat Mama dan
Ayah tiba di rumah sakit. Ia bahkan tidak membuka mata ketika Mama memanggil
namanya. Lisa tidak pernah membuka matanya lagi.
Ify tersadar dari lamunan dan menyadari pipinya basah karena air
mata. Ia menghapusnya dengan telapak tangan, namun air mata tidak mau berhenti
mengalir.
Sekarang harus bagaimana? Jung Tae-Rio... haruskah ia memberitahu
laki-laki itu?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ify tersentak. Ia memandang
ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Ia menghapus air mata dan meraih
ponsel itu. Ia melihat layar ponsel yang menyala. JTR. Jung Tae-Rio.
“Halo?”
“Ify?” Terdengar suara Jung Tae-Rio. “Sudah makan?”
Tanpa sadar Ify tersenyum. “Kau menelepon cuma untuk menanyakan
itu?”
“Memangnya tidak boleh?” balas Jung Tae-Rio. “Sudah makan, belum?”
“Tentu saja sudah. Sekarang sudah lewat jam makan malam,” sahut Ify.
“Kau belum makan?”
“Belum. Aku baru selesai syuting untuk acara televisi,” jawab Jung
Tae-Rio, lalu terdengar suara bersin.
“Kau kenapa? Flu?” tanya Ify.
“Tidak. Hanya saja cuaca agak dingin hari ini,” ujar Jung Tae-Rio.
Ify mendengar sepertinya Jung Tae-Rio sedang membersihkan
hidungnya.
* Aku cinta
padamu
** Sampai
nanti.
“Sekarang sedang hujan. Jangan berkeliaran ke mana-mana. Pakai
baju yang tebal sedikit,” kata Jung Tae-Rio menasihati.
“Memangnya kau ibuku?” balas Ify sambil tertawa kecil.
“Hanya berusaha menunjukkan sedikit perhatian. Sudahlah. Tidak
apa-apa. Aku akan pergi makan dengan Hyun-Shik Hyong.”
“Jung Tae-Rio ssi.”
Ah, apakah dia barusan memanggil Jung Tae-Rio?
“Apa?”
Ify tidak tahu apa yang ingin dikatakannya. Tadi ia hanya ingin
mendengar suara Jung Tae-Rio.
“Kau tidak apa-apa, kan?” tanya Jung Tae-Rio dengan nada khawatir.
Ify menggeleng, tapi setelah menyadari Jung Tae-Rio tidak bisa
melihatnya, ia berkata, “Tidak, aku tidak apa-apa.”
“Lalu ada yang mau kau katakan?”
Ify tidak menjawab.
“Wah, jangan-jangan kau rindu padaku?” gurau Jung Tae-Rio.
“Mm.”
“Apa? Kau bilang apa?”
Ify ragu-ragu sejenak, lalu menetapkan hatinya. “Mm, aku memang
rindu padamu.”
“Oke, itu artinya aku harus berlari menemuimu sekarang,” kata Jung
Tae-Rio.
Ify tertawa. “Itu tidak perlu.”
“Kau ada di rumah, kan? Tunggu di situ. Aku akan segera ke sana.”
“Jung Tae-Rio ssi, tidak usah. Lagi pula sedang hujan—Jung
Tae-Rio ssi? Halo? Jung Tae-Rio ssi. Astaga.” Ify menatap
ponselnya heran. Ada apa dengan laki-laki itu? Apakah dia serius?
Tae-Rio hampir tidak bisa memercayai telinganya sendiri. Ify rindu
padanya. Ia segera bangkit dari tempat duduk dan mengumpulkan barang-barangnya.
“Tae-Rio, kau mau makan di mana?” tanya manajernya yang baru masuk
ke ruang rias. “Mau makan bersama—hei, kau mau ke mana?”
Tae-Rio memandang Park Hyun-Shik sekilas dan berkata, “Maaf, Hyong.
Aku harus menemui Ify sekarang.”
“Oh? Kenapa buru-buru seperti itu?” tanya manajernya lagi. “Apa
yang terjadi? Ify kenapa?”
Tae-Rio yang sudah berjalan mencapai pintu berbalik dan menatap
manajernya. Ia tersenyum melihat manajernya kebingungan.
“Dia rindu padaku,” kata Tae-Rio, lalu keluar meninggalkan Park
Hyun-Shik yang masih terlihat bingung.
Ify mendengar bel pintu berbunyi. Begitu cepat sudah sampai? Ia
bangkit dan berjalan ke pintu. Ketika ia membuka pintu, Jung Tae-Rio sudah
berdiri di sana sambil tersenyum lebar.
“Bukankah sudah kubilang kau tidak perlu datang kemari,” kata Ify.
“Kau kehujanan—“
Ify tercengang ketika Jung Tae-Rio tiba-tiba memeluknya. Napasnya
tercekat dan untuk sesaat Ify lupa bagaimana cara bernapas kembali.
“Jung Tae-Rio ssi, kau kenapa?” tanyanya lirih.
Jung Tae-Rio masih tetap memeluknya. “Padahal kita baru bertemu
kemarin, kenapa rasanya seolah sudah lama sekali aku tidak melihatmu?” gumam
laki-laki itu.
Ify cuma tertawa kecil. “Bukankah kau tadi bilang kau belum
makan?”
Tiba-tiba Jung Tae-Rio melepaskan pelukannya dan memegang bahu Ify
dengan kedua tangannya. “Benar juga. Ayo, temani aku makan di luar.”
“Sebentar.” Ify menahannya. Apakah ia harus memberitahu Jung Tae-Rio
tentang Angel?
“Ada apa?” tanya Jung Tae-Rio.
Memang sebaiknya dikatakan. Tapi bagaimana caranya? Apakah harus
sekarang? Tidak, ia harus berpikir dulu. Ia harus memikirkan kata-katanya. Ia
akan memberitahu Jung Tae-Rio, tapi tidak sekarang.
“Tidak apa-apa,” jawab Ify akhirnya. “Baik, kutemani kau makan di
luar.”
Samar-samar Ify mendengar bunyi sirene, seperti sirene ambulans
atau mobil polisi. Bukan, bukan bunyi sirene. Itu bunyi bel pintunya. Ify
membalikkan tubuh dan berusaha membuka mata. Ia melirik jam kecil di samping
tempat tidurnya. Siapa yang datang sepagi ini?
Ify memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur dan dalam keadaan
setengah sadar, ia berjalan terhuyung-huyung ke pintu dan membukanya.
“Oh, Young-Via?” katanya setelah melihat siapa yang berdiri di
depan pintu. Ia mundur selangkah agar temannya bisa masuk.
Tanpa berkata apa-apa, Young-Via menerobos masuk. Ify agak heran
melihat sikap temannya. Ia menutup pintu kembali dan masuk menyusul temannya.
Young-Via berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Wajahnya serius
sekali.
“Young-Via, ada apa?” tanya Ify hati-hati.
Young-Via membuka tas dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ia
memutar tubuhnya menghadap Ify.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” kata Young-Via. Ia
menyodorkan kertas-kertas itu kepada Ify. “Tolong jelaskan apa maksud semua
ini.”
Ify mengerutkan kening dan menerima kertas-kertas itu dari tangan
Young-Via. Begitu membaca kertas pertama, tubuhnya menjadi kaku.
“Aku mendapat artikel itu dari internet dan aku mencetaknya,” kata
Young-Via.
Ify meletakkan tangan di dahinya. Kalimat-kalimat artikel itu
berputar-putar dalam benaknya, membuat kepalanya berdenyut-denyut.
...Siapa sebenarnya Han Soon-Alyssa? Kekasih Jung Tae-Rio atau seseorang yang
ingin membalas dendam? ... Han Soon-Alyssa adalah adik penggemar Jung Tae-Rio yang meninggal dunia saat jumpa
penggemar empat tahun lalu... Apa maksudnya mendekati Jung Tae-Rio? ...
Membalas dendam atas kematian sang kakak... Jung Tae-Rio sudah tahu? Atau
tidak... Sekadar menebus dosa? ... Rasa kasihan...
Ada juga foto dirinya. Jelas sekali. Foto ini... Ify ingat, pasti
diambil ketika ia bertemu dua gadis penggemar Jung Tae-Rio di tengah jalan.
Saat itu ia merasa mereka memegang ponsel. Ternyata mereka memang sedang
memotretnya saat itu. Mereka memotretnya dan mencari tahu tentang dirinya.
“Soon-Alyssa, apa artinya itu?” tanya Young-Via.
Ify menggeleng. “Dari mana mereka tahu semua ini?”
Young-Via mencengkeram bahu Ify dan mengguncangnya. “Maksudmu
semua ini benar?”
Ify menatap Young-Via dengan pandangan bingung. “Ya... Tidak...
Ya... bukan, tidak.”
“Demi Tuhan, jawab yang benar!” seru Young-Via.
Ify terduduk di lantai. Tangannya masih memegang kertas-kertas
itu.
Young-Via menarik napas dan ikut duduk di lantai. “Baiklah,”
katanya pelan. “Aku akan bertanya dan kau menjawab.”
Ify hanya menatap temannya, lalu menatap kertas-kertas di
tangannya.
“Benarkah kau punya kakak?” tanya Young-Via.
Ify mengangguk.
“Kakakmu penggemar Jung Tae-Rio yang meninggal dunia itu?”
Ify mengangguk lagi dan mendengar napas Young-Via tercekat.
“Kenapa selama ini kau tidak pernah menceritakannya padaku? Selama
ini aku berpikir kau anak tunggal.”
“Tapi, Young-Via, yang tertulis di artikel ini... tentang balas
dendam... itu tidak benar. Aku tidak punya maksud seperti itu. Kau harus
percaya padaku,” kata Ify panik.
“Tentu saja aku percaya padamu,” kata Young-Via. “Sekarang
masalahnya bukan itu. Para penggemar Jung Tae-Rio sangat marah, kau tahu? Di
setiap website Jung Tae-Rio ada artikel-artikel semacam ini, juga
komentar-komentar yang tidak enak. Ini bisa jadi skandal besar, Soon-Alyssa.
Dan kau sekarang sudah bukan orang asing lagi. Wajahmu sudah terpampang di
internet. Sebentar lagi juga akan terpampang di tabloid-tabloid. Kau akan
dikejar-kejar wartawan, Soon-Alyssa.”
Ify merasa kepalanya berputar. Apa yang sudah dilakukannya?
“Jung Tae-Rio sudah tahu tentang kakakmu?”
Ify tertegun. Jung Tae-Rio. Laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Ia
belum sempat... Ify bergegas bangkit dan meraih ponselnya.
“Jung Tae-Rio belum tahu?”
Ify mendengar Young-Via bertanya, tapi ia tidak menjawab. Ia
menekan tombol ponselnya dengan tangan gemetar, lalu menempelkannya di telinga.
Tidak aktif. Ponsel Jung Tae-Rio tidak diaktifkan. Ify mencoba nomor telepon rumahnya. Tidak diangkat
juga.
Ia menutup ponselnya dengan gerakan lambat. Kepalanya terasa
berat. Bagaimana sekarang? Ia menarik napas panjang, lalu berjalan cepat ke
arah lemari pakaiannya.
“Soon-Alyssa, kau mau ke mana?” tanya Young-Via.
“Aku harus bertemu dengannya,” kata Ify sambil menarik jaketnya
dari dalam lemari.
Tae-Rio duduk di depan komputernya dengan kepala tertunduk. Pagi
ini ia terbangun dengan perasaan bahagia. Saat itu entah kenapa ia merasa tidak
nyaman dengan perasaan seperti itu, seakan-akan perasaan bahagia tersebut tidak
akan bertahan lama. Ternyata memang terbukti. Pagi-pagi sekali Park Hyun-Shik
sudah menelepon, menyuruhnya membuka komputer, dan masuk ke sebuah website.
Tae-Rio membaca artikel-artikel yang tertera di website itu.
Apakah itu benar? Penggemarnya yang meninggal dunia empat tahun lalu itu kakak Ify?
Saat ini ia baru menyadari hal-hal kecil yang dulu membuatnya heran, tapi saat
itu ia tidak benar-benar memperhatikannya.
Tae-Rio ingat, saat itu mereka sedang makan daging panggang di
rumah Hyun Shik Hyong. Hyun-Shik Hyong memberitahu gadis itu tentang
jumpa penggemar Tae-Rio. Sandy kelihatan kaget lalu terbatuk-batuk, lalu ia
bertanya, “Jumpa penggemar? Seperti yang dulu?”
Kemudian ketika ia meminta bantuan Ify memilihkan hadiah untuk
penggemarnya, gadis itu mengusulkan bros. Ketika Tae-Rio mengatakan ia sudah
pernah memberikan bros untuk penggemarnya, gadis itu berujar, “Aah, benar
juga.”
Ify juga pernah bertanya padanya tentang kecelakaan empat tahun
lalu itu. Saat itu wajahnya agak pucat, Tae-Rio baru menyadarinya sekarang. Ia
juga berkata, “Kurasa... kau tidak salah.”
Tae-Rio juga teringat pada kata-kata manajernya dulu. Park
Hyun-Shik pernah berkomentar bahwa ia merasa aneh Ify tidak meminta imbalan apa
pun untuk berfoto dengannya dan berpura-pura menjadi kekasihnya.
Tae-Rio mengusap wajah dengan kedua tangannya, matanya menatap
layar komputer. Apakah Ify sungguh ada hubungannya dengan penggemarnya yang
meninggal itu? Apakah gadis itu ingin membalas dendam? Tidak, tidak mungkin. Ify
sudah berkata kecelakaan itu bukan kesalahannya.
Tidak, ia tidak bisa duduk saja. Apa yang sedang ditunggunya? Ia
harus menemui Ify. Ia harus bicara dengannya. Bicara apa? Ia tidak tahu. Ia
tidak bisa berpikir. Yang pasti, ia harus bertemu gadis itu.
Tepat pada saat Tae-Rio bangkit dari kursi, telepon rumahnya berdering.
Ia membiarkan mesin penjawab telepon yang menerimanya. Ia meraih kunci mobilnya
dan baru akan keluar dari pintu ketika terdengar suara manajernya di mesin
penjawab telepon.
“Tae-Rio, tolong angkat teleponnya. Aku tahu kau ada di sana. Tae-Rio!”
Tae-Rio hanya bergeming menatap mesin penjawab telepon.
“Mereka ingin bertemu denganmu. Kau harus datang kemari.”
Tae-Rio tahu siapa “mereka” yang dimaksud Park Hyun-Shik. Para
produser dan agennya.
Ia mengangkat gagang teleponnya dan berkata, “Aku ingin bertemu
dengannya dulu. Setelah itu aku baru ke sana.”
Seperti yang sudah diduganya, banyak wartawan sudah menunggu di
depan rumah. Ia bisa mendengar mereka berteriak-teriak memanggilnya dari depan
pagar. Tae-Rio langsung masuk ke mobil, membuka pagar rumah dengan remote
control, dan melesat pergi tanpa menghiraukan wartawan-wartawan itu. Ia
tidak bisa memberi komentar apa pun. Tidak sebelum ia bertemu Ify.
Belum begitu jauh meninggalkan rumah, Tae-Rio melihat seorang
gadis sedang berlari ke arahnya. Ify. Gadis itu sedang berlari menuju rumahnya.
Ify berlari secepat mungkin. Ia berlari menyusuri jalan menuju
rumah Jung Tae-Rio. Ia harus bertemu laki-laki itu. Ia harus menjelaskan
semuanya. Sebentar lagi sampai. Tiba-tiba ia melihat mobil merah melaju ke
arahnya. Mobil Jung Tae-Rio. Ia berhenti berlari, berusaha mengatur napasnya
yang terengah-engah. Pasti Jung Tae-Rio juga sudah melihatnya, karena mobil itu
langsung berhenti tepat di sampingnya.
Ify melihat jendela mobil diturunkan. Jung Tae-Rio menatapnya dari
balik kacamata gelapnya. Ify tidak mampu berkata apa-apa karena masih berusaha
mengatur napas.
“Masuklah,” kata Jung Tae-Rio. “Ada banyak wartawan di belakang.”
Ify menurut.
Sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara. Jung Tae-Rio tetap
menatap lurus ke depan. Ify ingin memulai percakapan, tapi tidak tahu harus
memulai dari mana. Dari sikap diam Jung Tae-Rio, Ify yakin laki-laki itu sudah
tahu tentang artikel di internet itu. Apakah Jung Tae-Rio marah? Entahlah. Ify
melirik Jung Tae-Rio dengan hati-hati. Sulit melihat ekspresinya dari balik
kacamata gelap. Akhirnya Ify memilih diam dulu.
Mobil Jung Tae-Rio terus melaju ke arah luar kota. Ify
memperkirakan mereka sedang menuju pantai. Ternyata memang benar. Akhirnya Jung
Tae-Rio menghenti-kan mobil di pinggir jalan yang sepi. Di sebelah kanan mereka
terbentang laut luas. Di sebelah kiri mereka terdapat beberapa rumah makan.
Ify duduk tegang sementara Jung Tae-Rio mematikan mesin mobilnya.
Dari sudut matanya, ia melihat Jung Tae-Rio membuka kacamata gelapnya namun
tetap memakai topi. Laki-laki itu menarik napas panjang dan melepaskan sabuk
pengaman. Kemudian ia membuka pintu mobil dan keluar.
“Keluarlah,” katanya pada Ify.
Ify melepaskan sabuk pengaman perlahan-lahan. Otaknya terus menyusun
kata-kata yang ingin diutarakannya pada Jung Tae-Rio. Ia keluar dari mobil dan
mengham-piri Jung Tae-Rio yang berdiri dan setengah bersandar pada bagian depan
mobil, memandang laut.
Ify berdiri di sampingnya. Ia ingin membuka mulut, tapi tidak ada
suara yang keluar. Ia tidak suka melihat Jung Tae-Rio yang pendiam seperti ini.
“Maaf,” gumam Jung Tae-Rio.
Ify menoleh ke arahnya. Apa yang dikatakannya tadi? Maaf?
Jung Tae-Rio masih tetap memandang ke laut. Ia mengembuskan napas.
“Maafkan aku,” katanya sekali lagi. Nada suaranya lemah, seakan-akan ia tidak
bisa mengucap-kan kata-kata yang lain lagi. “Maafkan aku.”
Ify mengerutkan kening karena heran. “Minta maaf untuk apa?” tanyanya.
Jung Tae-Rio menoleh ke arahnya, tersenyum samar. “Mengenai
kakakmu,” katanya. “Maafkan aku.”
Hati Ify terasa seolah diremas. Kenapa Jung Tae-Rio yang harus
meminta maaf? Justru ia sendiri yang ingin meminta maaf karena tidak
menceritakan hal ini sejak awal.
“Tidak,” gumam Ify. “Untuk apa minta maaf? Kau tidak salah.”
“Jadi, artikel itu benar?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
Ify tidak suka mendengar nada suara Jung Tae-Rio yang seperti itu.
Laki-laki itu kelihatan sedih, putus asa, kecewa.
Ify menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Benar, dulu aku
punya kakak perempuan. Benar, dia meninggal empat tahun lalu. Dan benar, dia
meninggal setelah menghadiri acara jumpa penggemar itu.”
Kepala Jung Tae-Rio tertunduk. Mereka terdiam sejenak, lalu Jung
Tae-Rio bertanya pelan, “Kukira kau anak tunggal.”
Ify menoleh ke arah Jung Tae-Rio, lalu kembali menatap laut.
Kata-katanya mengalir lancar. “Sebelum ibuku menikah dengan ayahku, ibuku
pernah menikah dengan sesama orang Indonesia. Angel anak hasil pernikahan ibuku
dengan suami pertamanya. Tapi ketika Lisa berusia dua tahun, ayahnya meninggal
dunia. Dua tahun kemudian, ibuku menikah dengan ayahku. Aku lahir. Ketika
usiaku sepuluh tahun, kami sekeluarga pindah ke Seoul. Angel tidak ingin ikut,
jadi ia tetap tinggal di Jakarta bersama neneknya. Walaupun begitu, hubungan
kami sangat baik. Ia sering datang ke Seoul, tapi tidak pernah bisa berbahasa
Korea. Empat tahun yang lalu, ia datang ke Seoul untuk menghadiri jumpa
penggemarmu. Dia salah satu penggemar terbesarmu. Selalu membicarakan dirimu.
Kadang-kadang aku bosan mendengarnya. Aku tidak mengerti kenapa dia sangat
mengidolakan Jung Tae-Rio. Sebelum pergi ke acara itu, dia terus berusaha
mengajakku menemaninya ke acara jumpa penggemar itu, tapi aku tidak mau.
Katanya aku akan rugi karena tidak mengenal Jung Tae-Rio, tidak mendengar Jung
Tae-Rio menyanyi.”
“Aku ingin kau mengerti aku tidak menyalahkanmu.” Ify menatap Jung
Tae-Rio. Laki-laki itu juga sedang menatapnya. “Karena itu aku tidak pernah
punya dendam terhadapmu. Mungkin awalnya kau sempat heran kenapa aku bersedia
membantumu, kenapa aku bersedia terlibat dalam urusanmu. Saat itu aku hanya
ingin mengenal dirimu, mengenalmu lebih
baik. Aku ingin tahu kenapa kakakku sangat menyukaimu. Aku berpikir, bila aku
bisa memahami alasan kakakku menyukaimu, aku akan merasa lebih memahaminya dan
perasaanku akan membaik. Hanya itu.”
Ify memalingkan wajah. “Seharusnya kuceritakan lebih awal. Maafkan
aku.”
Jung Tae-Rio memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Lalu,”
katanya, “apakah kau sudah bisa memahami kakakmu?”
Ify tersenyum samar. Jung Tae-Rio menanyakan pertanyaan yang
tepat. Apakah ia sudah bisa memahami Angel? Apakah ia sudah menemukan jawaban
kenapa Angel sangat menyukai Jung Tae-Rio?
“Kurasa belum,” jawabnya.
“Belum?”
Ify menoleh memandang Jung Tae-Rio. Laki-laki itu juga sedang
menatapnya dengan raut wajah yang susah ditebak artinya.
“Kurasa aku tidak akan pernah bisa memahaminya,” Ify melanjutkan,
“karena menurutku apa yang kurasakan berbeda dengan apa yang Lisa rasakan.”
Dahi Jung Tae-Rio berkerut tidak mengerti.
Sepertinya rasa suka yang dirasakan Angel terhadapmu berbeda
dengan rasa suka yang kurasakan terhadapmu, kata Ify dalam hati. Matanya menatap
mata Jung Tae-Rio lurus-lurus.
Kerutan di dahi Jung Tae-Rio perlahan-lahan menghilang. Ketika
baru akan mengatakan sesuatu, ponselnya berbunyi. Ia mengeluarkan ponselnya
dengan cepat.
“Halo? ... Mm... Aku mengerti.”
Jung Tae-Rio hanya mengucapkan kata-kata pendek itu, lalu menutup flap
ponselnya kembali.
“Dari Paman Park Hyun-Shik?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio melihatnya sekilas, lalu mengangguk. “Mm.”
“Kau disuruh menemuinya, bukan?”
Jung Tae-Rio tidak menjawab.
“Mungkin... Apakah menurutmu sebaiknya kita tidak saling bertemu
dulu untuk sementara? Maksudku, karena ada masalah seperti ini. Kurasa kita
berdua juga perlu... berpikir.”
Jung Tae-Rio mengembuskan napas keras-keras, tapi tidak berkata
apa-apa.
Mereka berdua kembali terdiam beberapa saat. Masing-masing
menikmati keheningan yang hanya diselingi deburan ombak. Entah kenapa ada
sepercik perasaan damai ketika itu. Kalau boleh, Ify ingin waktu berhenti saat
itu juga. Ia ingin menikmati kesunyian itu, perasaan damai itu, dan suara laut
yang menenangkan dengan Jung Tae-Rio di
sampingnya. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Cepat atau lambat mereka harus
menghadapi kenyataan.
“Sebaiknya kita kembali
saja sekarang,” kata Ify akhirnya.
Ify bergerak, berniat menjauhi mobil, ketika tiba-tiba ia merasa
pergelangan tangannya dicekal. Ia menoleh dan melihat Jung Tae-Rio sedang
mencengkeram pergelangan tangannya tanpa memandangnya. Mendadak saja ia merasa
sulit bernapas.
“Kau tidak usah khawatir,” kata Jung Tae-Rio dengan nada rendah.
“Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini. Setelah itu kita akan bicara
lagi. Kau... kau mau menunggu sampai saat itu?”
Ify mengangguk, lalu berkata sekali lagi, “Kita kembali saja
sekarang...”
Empat
Belas
SEJAK hari itu, Ify mengalami hari-hari biasa. Walaupun juru
bicara Jung Tae-Rio sudah meluruskan gosip itu, tentu saja tidak semua pihak
menerimanya sebagai kenyataan. Masih saja ada penggemar Jung Tae-Rio yang
mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyebarkannya di internet. Ify
juga tidak bisa berjalan-jalan sendirian di tempat umum lagi. Sekarang banyak
orang yang mengenalinya, terlebih lagi remaja-remaja penggemar Jung Tae-Rio.
Ada yang bersikap sopan, hanya tersenyum ketika mengenalinya. Tapi ada juga
yang kasar, menuduhnya memperalat dan menghancurkan nama baik Jung Tae-Rio,
bahkan ada yang menuduhnya memanfaatkan kecelakaan kakaknya sendiri demi
mendapatkan Jung Tae-Rio.
Ify menyadari bahwa yang mengalami masa-masa sulit tidak hanya
dirinya sendiri, tapi juga Jung Tae-Rio. Laki-laki itu harus menghadapi mimpi
buruknya sekali lagi. Orang-orang kembali membicarakan kecelakaan empat tahun
lalu yang melibatkan dirinya dan yang mengakibatkan salah seorang penggemarnya
meninggal dunia.
Sejak mereka kembali dari pantai itu, Ify sama sekali belum
berbicara dengan Jung Tae-Rio. Sudah seminggu lebih. Berkali-kali Ify ingin
meneleponnya, tapi kemudian membatalkan niatnya. Ia merasa sebaiknya tidak menghubungi
laki-laki itu untuk sementara ini, seperti yang mereka sepakati. Tapi bagaimana
ini? Hatinya tidak tenang.
“Miss Han.”
Ify tersentak dan menoleh. Mister Kim sudah berdiri di sampingnya
sambil berkacak pinggang.
“Ya, Mister Kim?” Ia bergegas bangkit dari kursinya.
“Apa yang sedang kaupikirkan, Miss Han? Aku sudah memanggilmu
ratusan kali,” kata Mister Kim. “Wajahmu juga pucat seperti bulan.”
Ify menunduk. “Aku minta maaf.”
“Karena Jung Tae-Rio?”
Ify mengangkat wajahnya dengan kaget. “Oh, Mister Kim, itu—“
Mister Kim mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan kata-kata Ify.
“Miss Han, aku tidak percaya pada gosip-gosip yang beredar. Aku percaya padamu.
Do you understand that?”
Ify terdiam.
Mister Kim berjalan kembali ke meja kerjanya dan duduk di kursinya
yang besar. “Tapi kau memang menyukainya, kan?”
Pertanyaan Mister Kim yang langsung dan tiba-tiba itu membuat Ify
tidak bisa berkata apa-apa.
“Kau ingin bertemu dengannya?”
Ify masih diam.
Ternyata Mister Kim mengartikan sikap diamnya sebagai jawaban
“ya”. “Kenapa kau tidak menghubunginya?”
Ify tersenyum dan menggeleng.
Mister Kim menyandarkan kepala ke kursi. “Benar juga,” katanya.
“Dia pasti se-dang banyak urusan sekarang ini. Kalau semuanya sudah
diselesaikan, aku yakin dia pasti akan menghubungimu.”
Ify hanya mengangguk sedikit, lalu keluar dari studio Mister Kim.
Ia berjalan ke ruang penerimaan tamu yang saat itu sedang kosong. Ia duduk di
sofa dan memandang ke luar jendela kaca yang besar. Banyak mobil yang
berlalu-lalang, tapi Ify tidak benar-benar memerhatikannya. Ia menatap ponsel
yang ada dalam genggamannya.
Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, maukah kau memberitahuku?
... Agar aku bisa langsung berlari menemuimu.
Benarkah? Tidak, ia tidak akan mencobanya.
Tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berbunyi. Ia menatap layar
ponsel dan jantungnya langsung berdebar dua kali lebih cepat. Jung Tae-Rio.
Ify menempelkan ponselnya ke telinga. “Ya?” Kenapa suaranya
terdengar serak?
“Bagaimana kabarmu?”
Mata Ify terasa panas begitu mendengar suara Jung Tae-Rio.
“Baik-baik saja?” suara Jung Tae-Rio terdengar lagi. Suaranya
terdengar ceria, ringan, dan santai.
“Mm,” jawab Ify sambil mengerjapkan mata untuk menghalau air mata.
“Bagaimana denganmu?”
“Ingin bertemu denganmu.”
Ify tidak berkata apa-apa.
Jung Tae-Rio mendesah panjang. “Bagaimana ini? Sudah lama aku
tidak melihatmu, tidak mendengar suaramu, rasanya aneh sekali. Sepertinya semua
yang kulakukan tidak ada yang benar. Lalu aku berpikir, mungkin kalau aku
meneleponmu dan mendengar suaramu, aku akan merasa lebih baik. Sekarang setelah
mendengar suaramu, aku memang merasa lebih baik, tapi timbul masalah lain.”
Hening sejenak. “Aku jadi semakin ingin melihatmu.”
Tanpa sadar Ify tersenyum, namun pandangannya mulai kabur.
“Apa aku boleh berpikir seperti itu?”
Ify mengerjapkan mata, tapi kali ini air matanya tidak bisa
dihentikan.
“Bisa membantuku?” tanya Jung Tae-Rio lagi. “Katakan ‘Jung Tae-Rio,
fighting!’ sekali saja.”
Ify tertawa kecil dan menghapus air mata dengan telapak tangannya.
“Jung Tae-Rio, fighting!” katanya.
Ia mendengar Jung Tae-Rio mendesah puas. “Baiklah, aku akan
mengikuti kata-katamu. Aku akan bertahan. Dan kau sendiri, Ify, fighting!”
Ify menutup ponsel dengan perlahan. Ya, bertahanlah, Ify.
“Kau mau ke Jakarta?”
Ify memandang Kang Young-Via sambil tertawa kecil. “Kenapa
terkejut begitu?”
Mereka berdua sedang mengobrol di kafe langganan ketika Ify
memberitahu Young-Via ia akan pulang ke Jakarta tiga hari lagi. Ternyata
temannya kelihatan lebih terkejut daripada yang disangkanya.
Young-Via mengempaskan tubuh ke kursi dan mendesah. “Kau sedang
melarikan diri?” tuduhnya.
Ify menggeleng. “Tidak. Melarikan diri dari apa?”
“Dari Jung Tae-Rio,” jawab temannya langsung.
“Astaga, kenapa aku harus melarikan diri dari dia?”
“Lalu kenapa tiba-tiba ingin pulang ke Jakarta?”
Ify ikut bersandar di kursi. “Hanya ingin berganti suasana. Aku
ingin mene-nangkan diri sebentar. Kau tahu sendiri di sini aku tidak akan bisa
tenang. Tidak se-belum masalah itu beres. Lagi pula ibuku sudah marah-marah.”
Young-Via menatap Ify dengan kening berkerut. “Kenapa marah?”
“Tentu saja marah kalau kedua anak perempuannya mendadak jadi
bahan pembica-raan tidak enak di tabloid-tabloid, di saat yang sama pula,”
jelas Ify.
“Tapi sebenarnya kau tidak menyalahkan Jung Tae-Rio atas
kecelakaan kakakmu itu, kan?” tanya Young-Via hati-hati.
“Tidak,” jawab Ify. Ia menghela napas dan menegaskan sekali lagi,
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau tidak menemuinya?”
“Karena kami perlu waktu untuk berpikir. Walaupun aku tidak
menyalahkannya, bagaimanapun pasti ada ganjalan di antara kami. Apalagi aku
juga harus memikirkan ibuku.”
Mereka berdua terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Kemudian Young-Via bertanya, “Berapa lama kau akan tinggal di Jakarta?”
Ify mengangkat bahu. “Mungkin cuma satu minggu. Mungkin lebih.
Entahlah. Yang pasti, aku akan kembali.”
“Kau sudah memberitahu Jung Tae-Rio soal ini?”
Ify menggeleng. “Apakah perlu?”
“Kurasa itu pertanyaan bodoh.”
Ify memiringkan kepala. “Aku tidak tahu bagaimana harus
memberitahunya.”
“Jangan memintaku melakukannya,” kata Young-Via begitu melihat
tatapan Ify. “Kau harus mengatakannya sendiri.”
Tae-Rio memeriksa penampilannya di depan cermin. Lima menit lagi
ia harus tampil di depan kamera. Hari ini ia akan tampil dalam acara
bincang-bincang yang cukup populer. Tentu saja gosip yang paling hangat tentang
dirinya akan dikonfirmasi. Tidak apa-apa. Ia sudah siap. Melalui cermin, ia
melihat Park Hyun-Shik menghampiri dari belakang. Manajernya menunjuk jam
tangan. Tae-Rio mengangguk mengerti.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia merogoh saku celananya dan
mengeluarkan ponsel. Begitu membaca tulisan yang muncul di layar ponsel, ia
tersenyum. Sudah seminggu terakhir ini ia tidak menghubungi gadis itu. Kenapa Ify
tiba-tiba meneleponnya?
“Halo?” katanya begitu ponselnya ditempelkan di telinga.
“Ini aku.” Terdengar suara Ify di ujung sana.
Tae-Rio tersenyum. “Aku tahu.”
Ify hanya bergumam tidak jelas, lalu bertanya, “Sedang apa?”
“Sebentar lagi on air,” sahut Tae-Rio sambil melihat ke
sekeliling. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya ingin mendengar suaramu.”
“Begitu?” kata Tae-Rio senang. “Di mana kau sekarang?”
“Di bandara.”
Tae-Rio mengerutkan kening. Sepertinya ia salah dengar. “Di mana?”
“Di bandara.”
Ia tidak salah dengar. “Kenapa ada di bandara? Menjemput
seseorang?”
“Aku akan pergi ke Jakarta. Aku meneleponmu untuk mengatakan itu.”
Tunggu... Jakarta? Jakarta, Indonesia?
Sepertinya Tae-Rio tanpa sadar telah menyuarakan pikirannya,
karena Ify menjawab, “Ya, aku akan pergi ke Indonesia. Sudah cukup lama aku
ingin bertemu orangtuaku.”
“Berapa lama kau akan di sana?” tanya Tae-Rio. Tangannya mendadak
terasa lemas.
“Sekitar seminggu,” jawab Ify cepat. “Hanya untuk liburan.”
“Begitu.”
“Oh, aku harus masuk sekarang. Jaga dirimu.”
Tae-Rio masih dalam keadaan setengah sadar. “Mm... Kau juga,”
gumamnya.
Walaupun Ify sudah memutuskan hubungan, Tae-Rio masih memegangi
ponsel di telinganya.
Gadis itu akan pergi. Tae-Rio mendadak merasa tidak bertenaga.
Walaupun ia bisa memahami kenapa Ify ingin pergi ke Jakarta, kenapa Ify merasa
perlu menjauhkan diri dari Korea untuk sementara, tetap saja ia tidak ingin
gadis itu pergi. Walaupun sangat ingin pergi ke bandara sekarang, ia tahu sudah
tidak ada gunanya. Ify pasti sudah masuk ke pesawat. Itulah sebabnya kenapa
gadis itu tidak memberitahunya lebih awal. Ify tahu Tae-Rio pasti akan
mencegahnya kalau memang bisa. Memikirkan gadis itu akan pergi membuat Tae-Rio
cemas. Bagaimana kalau Ify tidak kembali? Tidak bertemu Ify beberapa waktu ini
saja sudah membuat Tae-Rio agak panik, seperti orang yang kehilangan arah,
apalagi sekarang.
“Tae-Rio, ayo, sudah saatnya.”
Tae-Rio menoleh ke manajernya. Ia mengangkat sebelah tangan untuk
memberi tanda. Lalu ia mematut dirinya sekali lagi di cermin. Jung Tae-Rio, fighting!
No comments:
Post a Comment