Saturday, 16 June 2012

Boy Sitter [8]


Boy Sitter [8] : Anonymous

Senin,pukul empat sore……
“RIO, buka pintunya sekarang juga!!” Teriakku dari luar,mengetuk lagi dengan keras pintu tinggi itu.
“Nggak mau!” jawab Rio dari dalam.
“Ayolah, Rio! Lihat, teman kamu sudah datang.”
“Alaaaa.. bullshit. Bo’ong banget!”
“Rio, kamu tuh penginnya apa sih? ayo, dong! Masa sih, seharian ini kamu belum mandi juga?  Kasihan bak mandi kamu! Ayo buka Rio.”
“Biarin aja. Emang Rio pikirin? Kamu aja yang mandi duluan, ntar Rio nyusul.”
“Saya udah mandi,  Rio. Sekarang tinggal kamu!”
“Nggak, ah!”
Duugg! Aku memukul pintu dengan keras.
“Kamu penginnya apa,sih? Pake mukul-mukul segala?” teriak Rio keras.
“Saya tuh penginnya kamu mandi! Atau seenggaknya…kamu keluar dari ruangan ini.”
“Emang kenapa, sih? Nggak boleh, ya diem disini?”
“Masalahnya ini kamar saya, Rio! Ngapain kamu disitu? Ayo keluar! Saya pengin ganti baju.”


Senin, pukul lima sore…….
AKU menjatuhkan diri di sofa, duduk nggak jauh dari Rio. Kutatap layar televisi yang nyala dan mulai menghibur diri.
Yaaa seharian ini baru baru sekarang aku menatap layar tv.
“Ceweknya jelek!” komentar Rio tiba-tiba, menunjuk ke layar.
“Biarin aja kali! Terserah dia mau punya wajah kayak gimana juga.”
“Ya.. tapi kan.. gara-gara dia Rio jadi nggak serius nontonnya.”
“Ya udah, jangan ditonton! Repot banget, sih?”
Rio menoleh padaku. “Kok,kamu jadi babysitter  galak banget sih? Nggak kayak babyisitter yang lain. Kamu galak banget!”
Aku menarik napas seketika, dan menoleh pada Rio dengan tenang.
“Dengerin ya, Yo. Gini, pertama saya bukan babyisitter. Karena yang saya asuh nggak ada baby-baby-nya sedikitpun.  Sebut saja dengan Monstersitter.  Kedua.. saya bukannya galak sama kamu. Saya hanya.. ngngn.. hanya mengucapkan sepotong  kalimat.” Aku tersenyum lebar, sangat lebar.
Rio kebingungan.
“Mengerti?” tanyaku memastikan.
Rio mengangguk-angguk yakin. “Jadi, Rio ini monster?”

Senin, pukul enam petang……..
KRIIING!! Telepon rumah berdering.  Kebetulan, aku sedang beradadi telepon terdekat sambil memantau Rio yang sedang membaca majalah di sofa. Kuraih gagang telepon, menjawab panggilan.
“Hallo, selamat sore. Dengan kediaman Nyonya Nainira Haling di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Gabriel, tante! Anaknya ada, Tante?”
Ya ampun, ternyata si Gabriel. Nggak sopan banget!
“Maaf, saya bukan tante-tante ya. Dan saya bukan ibunya Rio.”
“Oh, sapa dong? Nancy, ya?”
“Nggak ada yang namanya Nancy disini. Adanya juga Nince.”
“jadi kamu Nining,  ya?”
“Aduh-aduh. Saya bukan Nancy. Saya bukan Nince. Dan  saya juga bukan Nining. Saya Cuma pekerja di sini.”
“Oh, Nanny ya?”
“heh!udah deh.. mau ngapain kamu nelepon ke sini?”
“heh! Kok galak banget sih? Nggak sopan! Kamu diajari etika sebagai pekerja keluarga Haling nggak sih?”
Aku menggeram, lalu berdehem mencoba tenang. “Ehm-ehm. Maafkan saya.  Mau bicara dengan Rio, kan? Tunggu sebentar.”
Aku menaruh gagang telepon di atas meja. Lalu dengan tenang memanggil Rio. “Tuan muda! Ada telepon.” Panggilku.
Satu detik kemudian sebelum Rio datang,aku bergumam. “Rio yang menyebalkan! Ada telepon.”

Senin, pukul tujuh malam……
“MBOK Jess, udah buatin kamu lobster merah buat makan malam.”ungkapku tersenyum, menghampiri  Rio yang masih memainkan joystick playstation.
“Nggak, ah!”
“Dia juga udah bikin bubble juice rasa stroberi, lho!”
“Nggak, ah!”
“Oh, iya. Ada beef steak juga. Lalu, ada lemonade sauce yang bisa disiram ke atas beef steak.
“Ng-gak. Ng-gak…” tolak Rio.
“Padahal, Mbok jess udah nambahin banana cake yang  isinya tuna salad ditamba cingcau ungu yang diaduk beserta merica mexico, nggak lupa gandum dari Botswana, lalu dikeringkan di dalam lemari es, beserta semangkuk apple pie yang dominannya rasa leci. Enak lho!”
“Emang ada ya,makanan kayak gitu?”
“Nggak ada,sih.Cuma  boongan. Ayo,dong! Cepet makan..”
“Nggak mau…”
“Gimana, sih?katanya lobster, bubble juice, sama beef steak itu makanan favorit kamu. ?!”
“Iya…..”
“Terus, kenapa kamu nggak mau makan?”
“Kamu nyebutinnya satu-satu sih. Coba langsung tiga-tiganya. Pasti Rio mau.”
“Ya ampun!” Aku menepuk dahiku. Yang kayak gitu aja dipikirin?!

Senin, pukul delapan malam….
AKU menghampiri Rio yang menatapi halaman belakang rumah.  Sebuah halaman  indah yang bisa di lihat dari dalam karena ada kaca besar yang sanga bersih. Dan Rio daritadi melihat  ke sana terus.
“Kenapa, Yo?” tanyaku.
“Bola Rio..” jawabnya agak lirih. Kemudian tangannya menunjuk keluar. “Bola Rio ada di sana. ambilin dong!”
Sebuah bola basket berwarna oranye, dalam kegelapan diam nggak bergerak.  Bola itu bersandar pada pot bunga Kuping Gajah.  Tegak. Dan lampu belakang keliatan redup, sehingga aku nggak bisa melihat jelas rupa bola itu.  Suasana gelap yang tercita, sepertinya membuat Rio sedikit ketakutan.
“Ambilin dong.. Rio takut..” ungkapnya lagi.
Tuh, kan. Rio takut buat ngambil bolanya. Iihh.. dasar cowok aneh! Ngambil bola aja,kok, takut sih? Aneh!
 Aku berjalan tergesa hendak mengambil bola, namun baru beberapa langkah, tiba-tiba aku terpeleset air.
Buukk! Aku terjatuh ke atas lantai. Lumayan sakit. Sebuah ember plastik, dengan gagang lap basah yang menyembul, membuatku takin kalau seseorang sedaang mengepel lantai bagian sini. Kualihkan pandanganku ke belakang dan nggak mendapati Rio mentertawaiku. Dia masih menatap bolanya. Nelangsa. Berarti insiden yang aku jatuh ini, bukan suatu hal yang termasuk lelucon Rio. Jujur saja, awalnya sempat terlintas dalam pikiranku, kalau Rio sedang mengerjaiku. Dia memintaku untuk mengambil bolanya, lalu aku dijahilinya. Tapi sepertinya nggak. Wajah serius Rio menandakan kalau dia tidak bermain-main. Dia masih nelangsa, menatap bola basketnya. Oke, sebaiknya aku nggak berprasangka buruk.
Aku bangkit lalu berjalan menuju halaman belakang. Namun, beberapa langkah kemudian……
Jeduugg! Aku menabrak kaca tembok belakang rumah. Ya ampun, aku lupa kalau di sini menggunakan kaca.
Meski sempat terhuyung dan meraba-raba keningku, aku meraba lagi mencar dimana pintu. Dan kusempatkan pula menoleh ke belakang. Memastika Rio tidak tertawa.
Tidak….  Dia masih nelangsa menatap bola itu.
Oke, dia memang nggak sedang mengerjaiku. Sebaiknya aku segera mengambil bola itu. Kalo tidak, Rio akan melaporkan pada ibunya bahwa aku tidak melauaninya dengan baik. itu buruk!
Ku raba kacanya sedikit demi sedikit. Woy lampunya mana sih
Kutemukan juga akhirnya pintu itu. Aku bergegas keluar dan menghampiri bola. Namun terkejutnya aku begitu…….
Pluukk!
Kulihat sebuah triplek kayu berbentuk bundar , oranye, disandarkan pada pot, terhempas begitu saja karena angin  bertiup.
Dan itu bola yang kulihat dari dalam rumah.
Oh my god! Kurang ajar tuh anak! Ngejailin lagi!!
Aku menoleh dan melihat Rio sedang tertawa terpingkal-pingkal. Perutnya ditutup dengan tangan. Bahkan dia berbaring di lantai hanya untuk menahan tawa.
Sialan! Cowok penipu!

Senin, pukul Sembilan malam……
Rio udah siap di atas ranjang, dengan selimut menutup rapi. “Cerita,dong!”
Aku menghampirinya, lalu duduk di sampingnya. “cerita apa?”
“Terserah,mama suka cerita sebelum Rio tidur.”
“Oke..kalo gitu..apa ya?” aku mendongak menatap langit-langit. Memikirkan baik-baik cerita apa yang bisa membuat cowok tujuh belas tahun tertidur pulas.
“Gimana kalo cerita seekor kancil, yang jalan bareng-bareng temennya, si kambing,kemudian ketemu buaya yang lagi ngobrol sama kodok, hingga keduanya menemukan ada ayan berkokok?” tawarku.
“Hah?apaan sih? Emang ada ya cerita kayak gitu?”
“nggak ada, sih.Cuma ngarang aja.”
Rio mendengus. “Yang bener, dong.”
“Oke,oke.” Aku memulai cerita. Sambil tersenyum dan menerawang. “pada suatu hari…….”
“Zzz..”
Aduh,ya! Si Rio udah tidur lagi. Baru juga tiga kata!
Dasar nyebelin!!
Aku membungkuk memeriksa matanya. Matanya tertutup dan nafasnya berirama pelan. Gerakan bola mata yang kulihat dari kelopak matanya menandakan bahwa Rio udah tidur. Dia udah  tidur!
Benar-benar tidur. Huh! Bisa-bisanya dia tidur dengan dongeng yang hanya tiga kata. Bahkan dongengnya belum mencapai titik klimaks apalagi ending.
Hm.. yaudah.. ngapain juga aku disini?
Aku bangkit, namun tiba-tiba aku merasakan salah satu ujung bajuku ditarik oleh seseorang dari bawah selimut.  Kubuka selimut dan mendapatkan Rio sedang mencengkram kausku. Kutarik tangan itu,namun nggak berhasil.
“Ayo, Rio. Lepaskan tangan kamu..” bisikku pelan.
“Hm..” Rio hanya mendengus, melanjutkan tidurnya lagi.
Yaampun!! Masa sih udah tidur nyenyak lagi? Jangan-jangan nih anak ngerjain aku lagi?
 Kutarik tangan Rio dengan kuat.
Eeeuughh. Pfuihh! Susah!!
 Namun, aku berhasil melepaskan tangan itu di detik lima puluh Sembilan. Aku ngos-ngosan begitu tanganku bebas, lalu berbalik menatap Rio. Dan begitu kakiku turun ke lantai, Rio merengek.
“Kamu mau kemana? Temenin Rio tidur..” rengeknya
“Iihh.. apaan sih?kamu kan udah gede. Tidur aja sendiri. Masa harus ditemenin. Lampunya nyala, kok!”
“Yaaa.. pelit amat,sih! Perasaan, babysitter yang lain selalu nemenin Rio tidur deh!”
“Aduh, ya. Kalo saya nenek-nenek sih. Nggak apa-apa. aman!  Tapi,umur saya sama umur kamu itu cuma beda satu tahun. Bayaha dong, ah!”
 Masih dengan mata tertutup,Rio berbalik memunggungiku. marahan. Aku  yang sempat mencibirnya mengambil sendalku dan bangkit hendak keluar  kamar. Namun begitu mencapai knop, sebuah bantal mendarat keras di punggungku.
“Dasar  genit! Pelit!” seru Rio.
“Aduh, ya! Siapa yang genit, sih?!”Aku berkacak pinggang sebentar, lalu berbalik dan berjalan menuju kamarku sendiri.
Hari ini cukup kelelahan dan harus tidur.
Namun sebelum aku mencapai kamarku, ruang kerja Bu Nira menari perhatianku lagi. Pintunya lagi-lagi terbuka,seakan- akan memintaku untuk masuk.  Dalam keredupan cahaya lampu yang mulai padam, aku membelokkan jalur menuju ruang kerja.
Begitu kubuka pintu, suasana tegang langsung menghampiri. Namun, aku nggak peduli. Ruangan ini hanya diterangi oleh lampu taman luar. Sehingga hanya lemari buku yang menghadap pintu dan meja kerja yang terpercik cahaya. Bagian lainnya tidak. Patung-patung atau benda antik di pojok nggak terlihat begitu jelas.  Semuanya samar-samar di bawah bayangan gelap.
Notebook yang sampai sekarang masih terbuka,membuat kakiku ingin menghampirinya. Sejak siang tadi, sepertinya nggak adaa yang masuk ke ruangan ini. Sepi. Rio nggak pernah mau main ke ruangan ini. Enta mengapa…….
Aku langsung duduk di kursi kebesaran bos yang bisa diputar-putar. Kursi berwarna gelap, tinggi,dan penuh bantalan,membuat setiap orang sangat betah duduk berlama-lama.
Tapi… keadaan ruangan yang seseram ini, mana ada yang betah berlama-lama. Terlalu menyeramkan. Seperti screen saver mystery  di desktop windows komputerku.  Apalagi lukisan yang berada di belakangku, benar-benar menambah ketegangan.
Klik! Monitor notebook tiba-tiba menyala dengan sendirinya.
Aku tersentak kaget dan hampir panik.  Jantungku berdegup kencang sampai-sampai mataku awas. Seperti orang normal lainnya, aku mengira bahwa ada hantu yang menyalakan komputer itu. Tapi, aku orag normal yang selalu mencari sisi positif sebelum mendeclare hal itu negative. Jadi….aku membungkuk-bungkuk mencari hal lain yang mungkin saja menjadi penyebab monitor notebook ini menyala.
Jangan sampai benar-benar hantu yang menyalakannya!
Dalam satu menit, akhirnya aku menemukan bahwa notebook ini sejak tadi dalam keadaan standby. Oh.. kukira ada hantu di sini.  Gara-gara aku menggetarkan meja saat duduk, mouse ini bergeser,jadi deh, monitornya nyala.
Tapi……. Kok nggak ada suara mesin notebook sampai aku duduk di sini ya?
Hm, sebaiknya aku pergi dari sini. Nggak baik berada diruangan orang lain tanpa izin. Meskipun aku punya lisensi masuk ke ruangan ini,  itu kan karena untuk mengirim e-mail.  Bukan untuk yang lain-lain.  Ya,udahlah. Udah malem. Sebaiknya aku tidur.  Karena besok akan menjadi hari yang melelahkan bagiku.
Kuharap, besok aku nggak harus nyuapin Rio sambil main PS!
Aku bangkit dari kursi,dan suara itu mengagetkanku.
Buukkk!
Sebuah bukujatuh dari tempatnya. Entah mengapa, kebetulan sekali aku melihat buku itu jatuh dengan jelas. Buku putih tebal, dari lemari sebelah kananku. Kuhampiri langsung, berniat untuk mengembalikannya.
Namun begitu kuangkat tanganku,  aku nggak menemukan celah kosong di antara bukubuku di lemari itu.  Jelas sekali dalam kegelapan, buku itu berjejer rapat.  Sama sekali nggak ada tempat bekas buku ini.  Lalu, buku ini jatuh dari mana? Nggak mungkin jatuh dari lemari lain.  Ibarat pohon, buahnya yang jatuh nggak akan jauh dari sekitarnya. Pohon sih,okeoke aja kalo buahnya jatuh jauh dari pohonnya. Bisa aja buahnya menggelinding. Tapi ini kan, buku.  Meskipun jatuh dari lemari sebelah sana, ngapain juga ngegelinding  kemari? Rajin banget.
 Aku memeriksa buku itu, dan hatiku tertarik untuk membacanya. Buku ini adalah sebuah novel bersampul tebal dengan pita penanda halamannya.
Dan gambar gaun merah yang cantik membuatku ingin sekali membukanya.  Judul novel ini adalah…. Pineapple Juice, Sweet and Spicy.
Kok, nggak sesuai sama cover, sih?!  Dikarang oleh, sebentar… nggak kebaca, gelap! Dikarang oleh.. Anonymous.
Anonymous? Tanpa nama? Pengarangnya nggak nyebutin namanya? Gilee… ngga pengin terkenal apa?!
Kreekk! Kreekk!
 Tiba-tiba, muncul suara aneh entah suara apa yang membuatku jadi kaget dan panik. Aku langsung meloncat, berlari keluar ruangan.  Dan begitu berhasil kututup pintu perlahan, Nince mengagetkanku dari belakang.
“Dikau sedang ngapain?”  tanyanya menepuk punggungku.
Aku tersentak lagi, namun berhasil mengendalikan diri. Kuusap dada mencoba tenang, dan menjawab pertanyaan Nince dengan ramah. “Ngnggak.. ini.. barusan saya kirim e-mail, terus ya.. pinjem buku gitu, deh! Cuma satu, ntar dikembaliin kok.”
“Oooh, tapi kenapa lampunya nggak dinyalain?”
“Sa..saya lupa. Saya nggak tau dimana sakelarnya.”
“Di samping pintu ini, di sebelah kanan. Lain kali, kalo gelap, nyalain aja. Itu kata nyonya besar.”
“Oke!” Aku pun dengan tergesa-gesa berjalan menuju kamarku sambil mengayun-ayunkan novel itu.
Pfuih. Betul-betul mendebarkan.
 Kejutan datang lagi di kamarku, begitu aku masuk, menyalakan lampu,  meletakkan novel itu di atas meja, ternyata selimutku sudah menggelembung. Sesuatu yang sangat besar berarti tepat berada di bawah selimut itu.  Bisa saja orang. Atau bantal dan gulingku bertumpuk-tumpuk. Kuharap, bukan hal aneh.
Jangan sampai ular anaconda yang ada di bawah selimut itu.
Aku melangkah menghampiri selimut itu, perlahan, berinjit awas.  Kusentuh selimut, lalu dalam hitungan ketiga, akan kuangkat lapisannya.
Aku kaget.bukan anaconda apalagi bapaconda.  Ternyata.. mataku menunjukkan sebuah fenomena yang…. Hey! Kamu ngapain disitu?
“Rio! Kamu ngapain di sini? Ini kamarku!!” teriakku memukul betis Rio pelan.
Rio yang masih meringkuk, malah menggeliat nggak mau pindah. “Rio tidur sini aja.”
“IIhh! Kamu tuuh punya kamar sendiri! Ayo, sana! Mau dibacain cerita lagi?”
“Bukan itu. Rio takut tidur sendiran. Biasanya kan, babysitter yang lain nemenin Rio kalo tidur. Kok, kamu nggak sih? Mama nggak ngasih tau kamu?” ungkapnya, dengan mata masih tertutup.
“Tapi kan, kamu.. udah gede, sekarang, belajar dong, tidur sendiri.  Kamu pasti bisa! Jangan terus-terusan minta temenin tidur.  Kamu harus jadi cowok yang bisa tidur sendiri!”
“Oh, gitu ya? Iya-iya Rio udah gede.” Ujar Rio kesal.  Dia membuka matanya, dan terduduk mentapku marah. “Udah.. terus aja. Terus kamu ngehina Rio. Rio tau Rio tuh pengecut, cengeng, penakut.  Rio memang bukan orang jaim kayak yang di sekolah. Rio anak manja, aneh. Udah.. terus deh ngehina Rio. Silahkan aja. Udah banyak kok, yang ngehina Rio kayak gini. Rio emang abnormal.  Rio jahat yang bikin mama nangis gara-gara Rio punya sifat kayak gini.”
“Bukan gitu, Rio.” Aku membungkukkan badanku, mencoba menenangkannya. Kenapa ya, Rio bisa kaya gini? Apa dia punya kepribadian ganda?
“Udah-udah. Nggak usah pake ngerayu pake cara kayak gitu segala.  Kalo emang mau ngejek sih, silahkan aja.  Ejek Rio yang banyak. Rio udah sering kok, diejek orang.  Tapi kalo Rio emang udah kaya gini, mau digimanain lagi, sih?  Orang-orang tuh, kenapa sih nggak pernah ngerti Rio?” ucapnya sedih,  hingga mulai kurasakan Rio mulai terisak pada kalimat terakhir.
Aku mulai terenyuh dan terharu. “Rio…” kuusap tangannya.
“Udah, ejek aja! Gak usah dipendem. Kalo emang kamu mau jatohin Rio, sekarang aja.  Waktunya tepat. Rio udah tau Rio tuh nggak normal,  nggak pantes buat hidup. Kamu benci kan, liat cowok kayak Rio?  Semua cewek jijik, kan liat cowok kayak Rio? Rio juga heran kenapa Tuhan nyiptain orang kayak Rio.”
“Hush! Jangan nyalahin Tuhan!” potongku.
“Berisik!” potong Rio. “Udahlah.. kalo kamu emang jijik, kamu bisa pergi dari sini.  Rio bisa bayar kamu  dua kali lipat dari yang mama kasih.  Silahkan aja, kamu bisa bebas dari Rio. Dan dapet uang lebih banyak. Ayo! Sebutin aja! Berapa mama bayar kamu?”
“Rio.. aku, kan…”
“udah-udah! Mendingan Rio tidur sendiri aja.  Trauma, trauma deh, seumur hidup.  Peduli amat. Ngapain juga Rio masih hidup.”
“Rio!” panggilku keras.
Rio nggak menghiraukanku. Dia bangkit berdiri dan mencoba meninggalkan kamar ini.
“Rio!” teriakku mencoba menghentikan langkahnya.
 Rio pun berhenti, mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan. “Rio. Aku tuh nggak masalah dengan keadaan kamu kaya gini.  Aku tuh sama sekali nggak risih. Bagiku,, kamu masih seperti cowok normal yang lain. Lagian, semua orang sayang kamu, kok.  Mama kamu, pembantu kamu di sini, juga cewek-cewek. Bahkan Tuhan. Tuhan nggak pernah tiba-tiba nyabut nyawa kamu gara-gara kamu kayak gini,  kan?  Tuhan juga masih sayang sama kamu. Sangat sayang. Kalo Tuhan nggak sayang lagi sama kamu,  kamu belum tentu dapet harta sebanyak  ini, wajah secakep ini,  orang-orang yang nyayangin kamu… buktinya Tuhan  masih ngasih kamu kehidupan yang terbaik sehari-hari.”
Rio mencoba menengokku, namun nggak penuh. Sementara aku jadi bingung sendiri, kok bisa ya, aku ngomong kayak tadi?
“Rio.. aku tuh nggak masalah kalo kamu bandel, pengecut, cengeng, penakut, manja. Aku tuh gak masalah, Rio.  Tapi, aku tuh nggak mau kamu tuh pesimis. Kamu  selalu berpikiran negative. Aku gak suka orang kayak gitu. Aku tuh pengin kamu jadi orang yang optimis, dan selalu berpikiran positif. Jangan hancur gara-gara ejekan orang lain. Plis deh. Orang lain? So what gitu lho! Tuh orang siapanya kamu pake ngejek-ngejek segala? Penting ya? Tuhan aja nggak pernah ngejek kamu, kan?!”
 Rio mencoba berbalik, perlahan aku melihatnya nelangsa.  Hm.. ya udah. Kenapa juga aku nggak nemenin dia tidur? Dia tuh anak manja, belum berpikiran kearah yang dewasa.
Mudah-mudahan aja, aku masih aman.
“Oke.. Rio. Mungkin aku nggak bisa seranjang atau sekamar sama kamu. Karena kamu tuh cowok, seumuran sama aku. Nggak pantes. Apa kata orang kalo kita tidur sekamar,apalagi  seranjang. Bukan muhrim. Kamu ngerti,kan?” kataku ramah.
Rio  yang masih dirundung sakit, mencoba tersenyum.  Beberapa detik kemudian, dia berbalik lalu membisikkan ku sebuah kalimat hangat yang baru kudengar langsung dari mulut Rio.
“makasih. Sori, kalo itu salah. Rio udah kebiasaan, sih. Tidur ama pengasuh dari kecil.  Kalo nggak ada pengasuh, rasanya kayak nggaa ada yang kayak  tidur. Sori. Nggak apa-apa kok, kalo kamu nggak mau.”
“Iya. Tapi kal kamu takut, aku bisa nemenin kamu sampe tidur. Tapi nggak seranjang! Kamu di ranjang, aku duduk dekat pintu yang terbuka.
Rio pun mengangguk senang.

No comments:

Post a Comment