Boy Sitter [8] : Anonymous
Senin,pukul empat sore……
“RIO, buka pintunya sekarang
juga!!” Teriakku dari luar,mengetuk lagi dengan keras pintu tinggi itu.
“Nggak mau!” jawab Rio dari
dalam.
“Ayolah, Rio! Lihat, teman
kamu sudah datang.”
“Alaaaa.. bullshit. Bo’ong banget!”
“Rio, kamu tuh penginnya apa
sih? ayo, dong! Masa sih, seharian ini kamu belum mandi juga? Kasihan bak mandi kamu! Ayo buka Rio.”
“Biarin aja. Emang Rio
pikirin? Kamu aja yang mandi duluan, ntar Rio nyusul.”
“Saya udah mandi, Rio. Sekarang tinggal kamu!”
“Nggak, ah!”
Duugg! Aku memukul pintu dengan keras.
“Kamu penginnya apa,sih? Pake
mukul-mukul segala?” teriak Rio keras.
“Saya tuh penginnya kamu
mandi! Atau seenggaknya…kamu keluar dari ruangan ini.”
“Emang kenapa, sih? Nggak
boleh, ya diem disini?”
“Masalahnya ini kamar saya, Rio!
Ngapain kamu disitu? Ayo keluar! Saya pengin ganti baju.”
Senin, pukul lima sore…….
AKU menjatuhkan diri di sofa,
duduk nggak jauh dari Rio. Kutatap layar televisi yang nyala dan mulai
menghibur diri.
Yaaa seharian ini baru baru sekarang aku menatap layar tv.
“Ceweknya jelek!” komentar Rio
tiba-tiba, menunjuk ke layar.
“Biarin aja kali! Terserah dia
mau punya wajah kayak gimana juga.”
“Ya.. tapi kan.. gara-gara dia
Rio jadi nggak serius nontonnya.”
“Ya udah, jangan ditonton!
Repot banget, sih?”
Rio menoleh padaku. “Kok,kamu
jadi babysitter galak banget sih? Nggak kayak babyisitter yang lain. Kamu galak
banget!”
Aku menarik napas seketika,
dan menoleh pada Rio dengan tenang.
“Dengerin ya, Yo. Gini,
pertama saya bukan babyisitter.
Karena yang saya asuh nggak ada baby-baby-nya
sedikitpun. Sebut saja dengan Monstersitter. Kedua.. saya bukannya galak sama kamu. Saya
hanya.. ngngn.. hanya mengucapkan sepotong
kalimat.” Aku tersenyum lebar, sangat lebar.
Rio kebingungan.
“Mengerti?” tanyaku
memastikan.
Rio mengangguk-angguk yakin.
“Jadi, Rio ini monster?”
Senin, pukul enam petang……..
KRIIING!! Telepon rumah
berdering. Kebetulan, aku sedang
beradadi telepon terdekat sambil memantau Rio yang sedang membaca majalah di
sofa. Kuraih gagang telepon, menjawab panggilan.
“Hallo, selamat sore. Dengan
kediaman Nyonya Nainira Haling di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Gabriel, tante! Anaknya ada, Tante?”
Ya ampun, ternyata si Gabriel.
Nggak sopan banget!
“Maaf, saya bukan tante-tante
ya. Dan saya bukan ibunya Rio.”
“Oh, sapa dong? Nancy, ya?”
“Nggak ada yang namanya Nancy
disini. Adanya juga Nince.”
“jadi kamu Nining, ya?”
“Aduh-aduh. Saya bukan Nancy.
Saya bukan Nince. Dan saya juga bukan
Nining. Saya Cuma pekerja di sini.”
“Oh, Nanny ya?”
“heh!udah deh.. mau ngapain
kamu nelepon ke sini?”
“heh! Kok galak banget sih? Nggak sopan! Kamu diajari etika sebagai
pekerja keluarga Haling nggak sih?”
Aku menggeram, lalu berdehem
mencoba tenang. “Ehm-ehm. Maafkan saya. Mau bicara dengan Rio, kan? Tunggu sebentar.”
Aku menaruh gagang telepon di
atas meja. Lalu dengan tenang memanggil Rio. “Tuan muda! Ada telepon.”
Panggilku.
Satu detik kemudian sebelum
Rio datang,aku bergumam. “Rio yang menyebalkan! Ada telepon.”
Senin, pukul tujuh malam……
“MBOK Jess, udah buatin kamu
lobster merah buat makan malam.”ungkapku tersenyum, menghampiri Rio yang masih memainkan joystick playstation.
“Nggak, ah!”
“Dia juga udah bikin bubble juice rasa stroberi, lho!”
“Nggak, ah!”
“Oh, iya. Ada beef steak juga. Lalu, ada lemonade sauce yang bisa disiram ke atas
beef steak.”
“Ng-gak. Ng-gak…” tolak Rio.
“Padahal, Mbok jess udah
nambahin banana cake yang isinya tuna
salad ditamba cingcau ungu yang diaduk beserta merica mexico, nggak lupa
gandum dari Botswana, lalu dikeringkan di dalam lemari es, beserta semangkuk apple pie yang dominannya rasa leci.
Enak lho!”
“Emang ada ya,makanan kayak
gitu?”
“Nggak ada,sih.Cuma boongan. Ayo,dong! Cepet makan..”
“Nggak mau…”
“Gimana, sih?katanya lobster, bubble juice, sama beef steak itu makanan favorit kamu. ?!”
“Iya…..”
“Terus, kenapa kamu nggak mau
makan?”
“Kamu nyebutinnya satu-satu
sih. Coba langsung tiga-tiganya. Pasti Rio mau.”
“Ya ampun!” Aku menepuk
dahiku. Yang kayak gitu aja dipikirin?!
Senin, pukul delapan malam….
AKU menghampiri Rio yang
menatapi halaman belakang rumah. Sebuah
halaman indah yang bisa di lihat dari
dalam karena ada kaca besar yang sanga bersih. Dan Rio daritadi melihat ke sana terus.
“Kenapa, Yo?” tanyaku.
“Bola Rio..” jawabnya agak
lirih. Kemudian tangannya menunjuk keluar. “Bola Rio ada di sana. ambilin
dong!”
Sebuah bola basket berwarna
oranye, dalam kegelapan diam nggak bergerak.
Bola itu bersandar pada pot bunga Kuping Gajah. Tegak. Dan lampu belakang keliatan redup,
sehingga aku nggak bisa melihat jelas rupa bola itu. Suasana gelap yang tercita, sepertinya
membuat Rio sedikit ketakutan.
“Ambilin dong.. Rio takut..”
ungkapnya lagi.
Tuh, kan. Rio takut buat ngambil bolanya. Iihh.. dasar cowok aneh!
Ngambil bola aja,kok, takut sih? Aneh!
Aku berjalan tergesa hendak mengambil bola,
namun baru beberapa langkah, tiba-tiba aku terpeleset air.
Buukk! Aku terjatuh ke atas lantai. Lumayan sakit. Sebuah ember plastik,
dengan gagang lap basah yang menyembul, membuatku takin kalau seseorang sedaang
mengepel lantai bagian sini. Kualihkan pandanganku ke belakang dan nggak
mendapati Rio mentertawaiku. Dia masih menatap bolanya. Nelangsa. Berarti
insiden yang aku jatuh ini, bukan suatu hal yang termasuk lelucon Rio. Jujur
saja, awalnya sempat terlintas dalam pikiranku, kalau Rio sedang mengerjaiku.
Dia memintaku untuk mengambil bolanya, lalu aku dijahilinya. Tapi sepertinya
nggak. Wajah serius Rio menandakan kalau dia tidak bermain-main. Dia masih
nelangsa, menatap bola basketnya. Oke, sebaiknya aku nggak berprasangka buruk.
Aku bangkit lalu berjalan
menuju halaman belakang. Namun, beberapa langkah kemudian……
Jeduugg! Aku menabrak kaca tembok belakang rumah. Ya ampun, aku
lupa kalau di sini menggunakan kaca.
Meski sempat terhuyung dan
meraba-raba keningku, aku meraba lagi mencar dimana pintu. Dan kusempatkan pula
menoleh ke belakang. Memastika Rio tidak tertawa.
Tidak…. Dia masih nelangsa menatap bola itu.
Oke, dia memang nggak sedang
mengerjaiku. Sebaiknya aku segera mengambil bola itu. Kalo tidak, Rio akan
melaporkan pada ibunya bahwa aku tidak melauaninya dengan baik. itu buruk!
Ku raba kacanya sedikit demi
sedikit. Woy lampunya mana sih
Kutemukan juga akhirnya pintu
itu. Aku bergegas keluar dan menghampiri bola. Namun terkejutnya aku begitu…….
Pluukk!
Kulihat sebuah triplek kayu
berbentuk bundar , oranye, disandarkan pada pot, terhempas begitu saja karena
angin bertiup.
Dan itu bola yang kulihat dari dalam rumah.
Oh my god! Kurang ajar tuh anak! Ngejailin lagi!!
Aku menoleh dan melihat Rio
sedang tertawa terpingkal-pingkal. Perutnya ditutup dengan tangan. Bahkan dia
berbaring di lantai hanya untuk menahan tawa.
Sialan! Cowok penipu!
Senin, pukul Sembilan malam……
Rio udah siap di atas ranjang,
dengan selimut menutup rapi. “Cerita,dong!”
Aku menghampirinya, lalu duduk
di sampingnya. “cerita apa?”
“Terserah,mama suka cerita
sebelum Rio tidur.”
“Oke..kalo gitu..apa ya?” aku
mendongak menatap langit-langit. Memikirkan baik-baik cerita apa yang bisa
membuat cowok tujuh belas tahun tertidur pulas.
“Gimana kalo cerita seekor
kancil, yang jalan bareng-bareng temennya, si kambing,kemudian ketemu buaya
yang lagi ngobrol sama kodok, hingga keduanya menemukan ada ayan berkokok?”
tawarku.
“Hah?apaan sih? Emang ada ya
cerita kayak gitu?”
“nggak ada, sih.Cuma ngarang
aja.”
Rio mendengus. “Yang bener,
dong.”
“Oke,oke.” Aku memulai cerita.
Sambil tersenyum dan menerawang. “pada suatu hari…….”
“Zzz..”
Aduh,ya! Si Rio udah tidur lagi. Baru juga tiga kata!
Dasar nyebelin!!
Aku membungkuk memeriksa
matanya. Matanya tertutup dan nafasnya berirama pelan. Gerakan bola mata yang
kulihat dari kelopak matanya menandakan bahwa Rio udah tidur. Dia udah tidur!
Benar-benar tidur. Huh!
Bisa-bisanya dia tidur dengan dongeng yang hanya tiga kata. Bahkan dongengnya
belum mencapai titik klimaks apalagi ending.
Hm.. yaudah.. ngapain juga aku disini?
Aku bangkit, namun tiba-tiba
aku merasakan salah satu ujung bajuku ditarik oleh seseorang dari bawah selimut. Kubuka selimut dan mendapatkan Rio sedang
mencengkram kausku. Kutarik tangan itu,namun nggak berhasil.
“Ayo, Rio. Lepaskan tangan
kamu..” bisikku pelan.
“Hm..” Rio hanya mendengus,
melanjutkan tidurnya lagi.
Yaampun!! Masa sih udah tidur nyenyak lagi? Jangan-jangan nih anak
ngerjain aku lagi?
Kutarik tangan Rio dengan kuat.
Eeeuughh. Pfuihh! Susah!!
Namun, aku berhasil melepaskan tangan itu di
detik lima puluh Sembilan. Aku ngos-ngosan begitu tanganku bebas, lalu berbalik
menatap Rio. Dan begitu kakiku turun ke lantai, Rio merengek.
“Kamu mau kemana? Temenin Rio
tidur..” rengeknya
“Iihh.. apaan sih?kamu kan
udah gede. Tidur aja sendiri. Masa harus ditemenin. Lampunya nyala, kok!”
“Yaaa.. pelit amat,sih!
Perasaan, babysitter yang lain selalu
nemenin Rio tidur deh!”
“Aduh, ya. Kalo saya
nenek-nenek sih. Nggak apa-apa. aman!
Tapi,umur saya sama umur kamu itu cuma beda satu tahun. Bayaha dong,
ah!”
Masih dengan mata tertutup,Rio berbalik
memunggungiku. marahan. Aku yang sempat
mencibirnya mengambil sendalku dan bangkit hendak keluar kamar. Namun begitu mencapai knop, sebuah
bantal mendarat keras di punggungku.
“Dasar genit! Pelit!” seru Rio.
“Aduh, ya! Siapa yang genit,
sih?!”Aku berkacak pinggang sebentar, lalu berbalik dan berjalan menuju kamarku
sendiri.
Hari ini cukup kelelahan dan
harus tidur.
Namun sebelum aku mencapai
kamarku, ruang kerja Bu Nira menari perhatianku lagi. Pintunya lagi-lagi
terbuka,seakan- akan memintaku untuk masuk.
Dalam keredupan cahaya lampu yang mulai padam, aku membelokkan jalur
menuju ruang kerja.
Begitu kubuka pintu, suasana
tegang langsung menghampiri. Namun, aku nggak peduli. Ruangan ini hanya
diterangi oleh lampu taman luar. Sehingga hanya lemari buku yang menghadap
pintu dan meja kerja yang terpercik cahaya. Bagian lainnya tidak. Patung-patung
atau benda antik di pojok nggak terlihat begitu jelas. Semuanya samar-samar di bawah bayangan gelap.
Notebook yang sampai sekarang masih terbuka,membuat kakiku ingin
menghampirinya. Sejak siang tadi, sepertinya nggak adaa yang masuk ke ruangan
ini. Sepi. Rio nggak pernah mau main ke ruangan ini. Enta mengapa…….
Aku langsung duduk di kursi
kebesaran bos yang bisa diputar-putar. Kursi berwarna gelap, tinggi,dan penuh
bantalan,membuat setiap orang sangat betah duduk berlama-lama.
Tapi… keadaan ruangan yang
seseram ini, mana ada yang betah berlama-lama. Terlalu menyeramkan. Seperti screen saver mystery di desktop
windows komputerku. Apalagi lukisan
yang berada di belakangku, benar-benar menambah ketegangan.
Klik! Monitor notebook tiba-tiba
menyala dengan sendirinya.
Aku tersentak kaget dan hampir
panik. Jantungku berdegup kencang
sampai-sampai mataku awas. Seperti orang normal lainnya, aku mengira bahwa ada
hantu yang menyalakan komputer itu. Tapi, aku orag normal yang selalu mencari
sisi positif sebelum mendeclare hal
itu negative. Jadi….aku membungkuk-bungkuk mencari hal lain yang mungkin saja
menjadi penyebab monitor notebook ini
menyala.
Jangan sampai benar-benar
hantu yang menyalakannya!
Dalam satu menit, akhirnya aku
menemukan bahwa notebook ini sejak
tadi dalam keadaan standby. Oh..
kukira ada hantu di sini. Gara-gara aku
menggetarkan meja saat duduk, mouse ini
bergeser,jadi deh, monitornya nyala.
Tapi……. Kok nggak ada suara mesin notebook sampai aku duduk di sini ya?
Hm, sebaiknya aku pergi dari
sini. Nggak baik berada diruangan orang lain tanpa izin. Meskipun aku punya
lisensi masuk ke ruangan ini, itu kan
karena untuk mengirim e-mail. Bukan untuk yang lain-lain. Ya,udahlah. Udah malem. Sebaiknya aku
tidur. Karena besok akan menjadi hari
yang melelahkan bagiku.
Kuharap, besok aku nggak harus nyuapin Rio sambil main PS!
Aku bangkit dari kursi,dan
suara itu mengagetkanku.
Buukkk!
Sebuah bukujatuh dari
tempatnya. Entah mengapa, kebetulan sekali aku melihat buku itu jatuh dengan
jelas. Buku putih tebal, dari lemari sebelah kananku. Kuhampiri langsung,
berniat untuk mengembalikannya.
Namun begitu kuangkat
tanganku, aku nggak menemukan celah
kosong di antara bukubuku di lemari itu.
Jelas sekali dalam kegelapan, buku itu berjejer rapat. Sama sekali nggak ada tempat bekas buku
ini. Lalu, buku ini jatuh dari mana?
Nggak mungkin jatuh dari lemari lain.
Ibarat pohon, buahnya yang jatuh nggak akan jauh dari sekitarnya. Pohon
sih,okeoke aja kalo buahnya jatuh jauh dari pohonnya. Bisa aja buahnya
menggelinding. Tapi ini kan, buku.
Meskipun jatuh dari lemari sebelah sana, ngapain juga ngegelinding kemari? Rajin banget.
Aku memeriksa buku itu, dan hatiku tertarik
untuk membacanya. Buku ini adalah sebuah novel bersampul tebal dengan pita
penanda halamannya.
Dan gambar gaun merah yang
cantik membuatku ingin sekali membukanya.
Judul novel ini adalah…. Pineapple
Juice, Sweet and Spicy.
Kok, nggak sesuai sama cover, sih?!
Dikarang oleh, sebentar… nggak kebaca, gelap! Dikarang oleh.. Anonymous.
Anonymous? Tanpa nama? Pengarangnya nggak nyebutin
namanya? Gilee… ngga pengin terkenal apa?!
Kreekk! Kreekk!
Tiba-tiba, muncul suara aneh entah suara apa
yang membuatku jadi kaget dan panik. Aku langsung meloncat, berlari keluar
ruangan. Dan begitu berhasil kututup
pintu perlahan, Nince mengagetkanku dari belakang.
“Dikau sedang ngapain?” tanyanya menepuk punggungku.
Aku tersentak lagi, namun
berhasil mengendalikan diri. Kuusap dada mencoba tenang, dan menjawab
pertanyaan Nince dengan ramah. “Ngnggak.. ini.. barusan saya kirim e-mail, terus ya.. pinjem buku gitu,
deh! Cuma satu, ntar dikembaliin kok.”
“Oooh, tapi kenapa lampunya
nggak dinyalain?”
“Sa..saya lupa. Saya nggak tau
dimana sakelarnya.”
“Di samping pintu ini, di
sebelah kanan. Lain kali, kalo gelap, nyalain aja. Itu kata nyonya besar.”
“Oke!” Aku pun dengan
tergesa-gesa berjalan menuju kamarku sambil mengayun-ayunkan novel itu.
Pfuih. Betul-betul mendebarkan.
Kejutan datang lagi di kamarku, begitu aku
masuk, menyalakan lampu, meletakkan
novel itu di atas meja, ternyata selimutku sudah menggelembung. Sesuatu yang
sangat besar berarti tepat berada di bawah selimut itu. Bisa saja orang. Atau bantal dan gulingku
bertumpuk-tumpuk. Kuharap, bukan hal aneh.
Jangan sampai ular anaconda
yang ada di bawah selimut itu.
Aku melangkah menghampiri
selimut itu, perlahan, berinjit awas.
Kusentuh selimut, lalu dalam hitungan ketiga, akan kuangkat lapisannya.
Aku kaget.bukan anaconda
apalagi bapaconda. Ternyata.. mataku
menunjukkan sebuah fenomena yang…. Hey! Kamu
ngapain disitu?
“Rio! Kamu ngapain di sini?
Ini kamarku!!” teriakku memukul betis Rio pelan.
Rio yang masih meringkuk,
malah menggeliat nggak mau pindah. “Rio tidur sini aja.”
“IIhh! Kamu tuuh punya kamar
sendiri! Ayo, sana! Mau dibacain cerita lagi?”
“Bukan itu. Rio takut tidur
sendiran. Biasanya kan, babysitter yang
lain nemenin Rio kalo tidur. Kok, kamu nggak sih? Mama nggak ngasih tau kamu?”
ungkapnya, dengan mata masih tertutup.
“Tapi kan, kamu.. udah gede,
sekarang, belajar dong, tidur sendiri.
Kamu pasti bisa! Jangan terus-terusan minta temenin tidur. Kamu harus jadi cowok yang bisa tidur
sendiri!”
“Oh, gitu ya? Iya-iya Rio udah
gede.” Ujar Rio kesal. Dia membuka
matanya, dan terduduk mentapku marah. “Udah.. terus aja. Terus kamu ngehina
Rio. Rio tau Rio tuh pengecut, cengeng, penakut. Rio memang bukan orang jaim kayak yang di
sekolah. Rio anak manja, aneh. Udah.. terus deh ngehina Rio. Silahkan aja. Udah
banyak kok, yang ngehina Rio kayak gini. Rio emang abnormal. Rio jahat yang bikin mama nangis gara-gara
Rio punya sifat kayak gini.”
“Bukan gitu, Rio.” Aku
membungkukkan badanku, mencoba menenangkannya. Kenapa ya, Rio bisa kaya gini? Apa dia punya kepribadian ganda?
“Udah-udah. Nggak usah pake
ngerayu pake cara kayak gitu segala.
Kalo emang mau ngejek sih, silahkan aja.
Ejek Rio yang banyak. Rio udah sering kok, diejek orang. Tapi kalo Rio emang udah kaya gini, mau
digimanain lagi, sih? Orang-orang tuh,
kenapa sih nggak pernah ngerti Rio?” ucapnya sedih, hingga mulai kurasakan Rio mulai terisak pada
kalimat terakhir.
Aku mulai terenyuh dan
terharu. “Rio…” kuusap tangannya.
“Udah, ejek aja! Gak usah
dipendem. Kalo emang kamu mau jatohin Rio, sekarang aja. Waktunya tepat. Rio udah tau Rio tuh nggak
normal, nggak pantes buat hidup. Kamu
benci kan, liat cowok kayak Rio? Semua
cewek jijik, kan liat cowok kayak Rio? Rio juga heran kenapa Tuhan nyiptain
orang kayak Rio.”
“Hush! Jangan nyalahin Tuhan!”
potongku.
“Berisik!” potong Rio.
“Udahlah.. kalo kamu emang jijik, kamu bisa pergi dari sini. Rio bisa bayar kamu dua kali lipat dari yang mama kasih. Silahkan aja, kamu bisa bebas dari Rio. Dan
dapet uang lebih banyak. Ayo! Sebutin aja! Berapa mama bayar kamu?”
“Rio.. aku, kan…”
“udah-udah! Mendingan Rio
tidur sendiri aja. Trauma, trauma deh,
seumur hidup. Peduli amat. Ngapain juga
Rio masih hidup.”
“Rio!” panggilku keras.
Rio nggak menghiraukanku. Dia
bangkit berdiri dan mencoba meninggalkan kamar ini.
“Rio!” teriakku mencoba
menghentikan langkahnya.
Rio pun berhenti, mencoba mendengarkan apa
yang akan kukatakan. “Rio. Aku tuh nggak masalah dengan keadaan kamu kaya
gini. Aku tuh sama sekali nggak risih.
Bagiku,, kamu masih seperti cowok normal yang lain. Lagian, semua orang sayang
kamu, kok. Mama kamu, pembantu kamu di
sini, juga cewek-cewek. Bahkan Tuhan. Tuhan nggak pernah tiba-tiba nyabut nyawa
kamu gara-gara kamu kayak gini, kan? Tuhan juga masih sayang sama kamu. Sangat
sayang. Kalo Tuhan nggak sayang lagi sama kamu,
kamu belum tentu dapet harta sebanyak
ini, wajah secakep ini,
orang-orang yang nyayangin kamu… buktinya Tuhan masih ngasih kamu kehidupan yang terbaik
sehari-hari.”
Rio mencoba menengokku, namun
nggak penuh. Sementara aku jadi bingung sendiri, kok bisa ya, aku ngomong kayak
tadi?
“Rio.. aku tuh nggak masalah
kalo kamu bandel, pengecut, cengeng, penakut, manja. Aku tuh gak masalah,
Rio. Tapi, aku tuh nggak mau kamu tuh
pesimis. Kamu selalu berpikiran
negative. Aku gak suka orang kayak gitu. Aku tuh pengin kamu jadi orang yang
optimis, dan selalu berpikiran positif. Jangan hancur gara-gara ejekan orang
lain. Plis deh. Orang lain? So what gitu
lho! Tuh orang siapanya kamu pake ngejek-ngejek segala? Penting ya? Tuhan aja
nggak pernah ngejek kamu, kan?!”
Rio mencoba berbalik, perlahan aku melihatnya
nelangsa. Hm.. ya udah. Kenapa juga aku nggak nemenin dia tidur?
Dia tuh anak manja, belum berpikiran kearah yang dewasa.
Mudah-mudahan aja, aku masih aman.
“Oke.. Rio. Mungkin aku nggak
bisa seranjang atau sekamar sama kamu. Karena kamu tuh cowok, seumuran sama
aku. Nggak pantes. Apa kata orang kalo kita tidur sekamar,apalagi seranjang. Bukan muhrim. Kamu ngerti,kan?”
kataku ramah.
Rio yang masih dirundung sakit, mencoba
tersenyum. Beberapa detik kemudian, dia
berbalik lalu membisikkan ku sebuah kalimat hangat yang baru kudengar langsung
dari mulut Rio.
“makasih. Sori, kalo itu
salah. Rio udah kebiasaan, sih. Tidur ama pengasuh dari kecil. Kalo nggak ada pengasuh, rasanya kayak nggaa
ada yang kayak tidur. Sori. Nggak
apa-apa kok, kalo kamu nggak mau.”
“Iya. Tapi kal kamu takut, aku
bisa nemenin kamu sampe tidur. Tapi nggak seranjang! Kamu di ranjang, aku duduk dekat pintu yang terbuka.”
Rio pun mengangguk senang.
No comments:
Post a Comment