Sunday, 10 June 2012

Boy Sitter [2]


Boy Sitter [2] : Aku Pengin Notebook!
AKU membuka pintu cepat-cepat, dan langsung menyambar Oik. Kututup telinganya dari belakang, dan memintanya untuk menebak, “Siapa coba?”
“Woi! Ini telinga gue!” Oik menarik tanganku dari telinganya, lalu menggesernya hingga menutupi matanya sendiri. Kemudian, dia mencoba menebak. “Ngngng… Siapa, ya?”
Aku cekikikan. Kalau orang normal sih, pasti langsung tau itu aku. Atau seenggaknya, nggak bakalan mindahin dulu sampe menutup matanya. Aku sih, memang niatnya mau nutupin mata Oik, tapi kuganti dengan menutup telinganya. Sedikit leluconlah. Tapi aku yakin, Oik udah tau kalau ini aku.
“Ayo-ayo.. tebak aku!” Aku tertawa kecil. Oik menggigit bibirnya mencoba berpikir. “Ng…..Spongebob Squarepants?”
“Hohoho… tentu saja bukan. Ayo-ayo sedikit lagi.”
“Sailormoon? Wedding Peach? Power Ranger Pink? Iteung?”
“Hah? Iteung?” Aku kaget.
“Iteung tuh, tokoh Kabayan gitu, deh!”
Hm.. nggak ketebak juga. Langsung kupindahkan tanganku ke tulang rusuknya, menggelitikinya penuh perjuangan. “Iiihh.. mana novelnya?” ucapku sambil tertawa-tawa.
“Ampun-ampun!” Oik mencoba melepaskan tanganku, lalu menjauh menjatuhkan dirinya ke kasur. “Hahaha.. elo kemana aja sih? Sampe pulang malem gini? Ngambil kelas  karyawan, Neng?”
“Kelas karyawan apaan? Kelas malem? Enak aja!” Aku melemparkan ranselku ke atas meja, kemudian sama-sama menjatuhkan diri di atas kasur. “Mana novelnya?”
“Iya-iya. Ada di kantong gue. Ntar, deh. Besok aja bacanya. Ada banyak, kok!”
“Hihihi.. rambut kamu dilurusin ya? Kemarin kan baru aja dikeriting, kok dilurusin lagi?”
“Biarin dong, ah. masa gaya gak boleh sih?”
Aku mencubit hidung Oik gemas, hingga Oik memberontak minta dilepasin. Aku langsung turun dari kasur mengganti seragamku dengan piyama.
“Hey! Ify. Gimana kabar Bison?” Oik tertawa-tawa kecil.
“Ngngng.. Bison mana? Bison di Afrika sih, masih banyak. Bison di Amerika sih udah langka banget. Kamu mau melihara Bison di Bogor?”
“Aduh, ya. Bison temen sekelas elo gitu, lho! Masa sih gue ngeceng Bison beneran?” Oik bangkit kemudian duduk.
“Ng…. baek-baek aja. Tadi ada di kantin aku ketemu dia.. Biasa, makan sama temen gengnya.”
“Elo kan, sekelas? Masa elo tadi bilangnya ‘tadi di kantin’ sih?”
“Ya…. Dia kan jarang di kelas. Sering keluar terus.”
“Ya ampun……… cakep banget. Ntar kalo sempet, tolong mintain photo box-nya ya? Gue mau memperbanyak tuh foto, terus dibagi-bagiin ke semua temen gue di Bogor.”
         Ku ambil salah satu pakaian kotorku dari pakaian kotor, kemudian melemparkannya keras pada Oik, “Aduh, ya. Gimana aku bisa minta foto box-nya. Kalau kita masih nge-rival sama anak RAG.”  Kataku kemudian.
“iihh peduli amat gitu! Pokoknya elo musti janji. Gue tungguin pokoknya.” Oik melemparkan lagi pakaian kotorku yang kulempar ke keranjang pakaian kotor, tapi nggak masuk. “Oh iya. Gue pengen nunjukkin elo sesuatu.”
Oik bangkit dan berlari menuju ranselnya. Dia mengaduk-aduk ranselnya mencoba merogoh suatu benda.  Namun, yang pertama kali ditemukannya adalah novel-novel yang kuminta.
“Oh, ini nih novelnya.”
Kemudian, dia mencoba merogoh ranselnya lagi. Dan dalam beberapa detik, benda yang dicarinya berhasil ditemukan.
“Apaan tuh?!” Aku mengancingkan piyama kemudian menghampirinya. Sebuah kotak persegi hitam dan bentuknya seperti notebook.
“Aaaa.. notebook!” seru Oik, mengeluarkannya, kemudian membuka monitor yang menjadi penutupnya.
“Iih.. ya ampun. Dapet dari mana nih?” Aku mencoba menyentuhnya  dan mencoba melihat tampilan yang mulai muncul di layar.
“Beli dong. Ah, Cuma lima jeti  di Jakarta. Ada pameran elektonik gitu, deh. Harusnya sih, notebook ini harganya Sembilan juta, tapi didiskon jadi lima juta. Om Jhony yang beliin. Hadiah ulang tahun gue getoh!” Oik nyengar-nyengir bangga, tersenyum lebar, dan menggoyang-goyangkan badannya pertanda senang.
“Ulang tahun kamu, kan masih tujuh bulan lagi?!”
“Biarin dong ah! gimana Om Jhonynya aja. Mumpung ada duit. Eh, Om Jhony juga ngasih ini buat elo.” Oik mengaduk ranselnya lagi, kemudian mengeluarkan lima lembar voucher kartu prabayar.
“Hah? Voucher?”
“Iya. Buat elo. Ada lima, seratus ribuan lagi!”
“Kamu kok, dikasih lima juta, aku lima ratus ribu!”
“Nggak usah sirik. Lumayan, kan? Daripada nggak sama sekali?!”
“Huh….” Aku menggerutu, cemberut.
“Ify! Oik! Makan dulu.” Bibi Nurmala, ibunya Oik, memanggil kami dari luar kamar.
“udah deh, udah. Kita makan dulu, yuk!” Oik menarik tanganku, beranjak ke ruang makan.
        Aku yang sedang kesal, karena hanya dibelikan voucher, diam cemberut. Namun, aku mencoba bertanya pada Oik. “Pamerannya masih ada, kan?”
“Kalo nggak salah sih. Sampe akhir bulan depan. Udah yuk makan. Gue belum makan daritadi.”
Esoknya  di sekolah, aku menceritakan notebook itu pada Sivia.
“Iihh… bagus banget,lho! Ada The sims, bo! Aku kan, pengin bisa main Sims dimana-mana. Kalo Cuma di komputer rumah, sih, bosen. Lagian, aku juga bisa bawa tuh notebook  ke sekolah. Jangan Cuma Rebonding Galz sama Kompilasi yang bisa bawa-bawa notebook  ke sekolah. Kita juga harus bawa.”
“Terus, gue teh  harus gimana atuh? Gue teh  bingung. Da  gue mah nggak bisa ngebeliin elo  notebook satu-pun. Komputer  di rumah gue wae,dibeliin sama bokap. Jadi gue kudu gimana?”
“ngngng…. Maksudnya, tolong dong. Caranya supaya aku bisa beli tuh notebook.”
“Hm…” Sivia mendengus kesal. “gimana kalo kita ngerampok bank?”
“Aduh, ya. Mending aku bawa-bawa Komputer  ke sekolah, daripada punya notebook. Tapi Cuma keliling-keliling penjara.”
“Nggak akan masuk penjara,kok. Paling juga ngngng….. masuk lembaga permasyarakatan gitu!”
“Sama aja, o’on!” aku mencubit gemas pipi-nya Sivia.
Sivia yang mencoba melawan, akhirnya mengeluarkan ide lagi. “yaudah, elo cari kerja aja!”
“Cari kerja gimana?” Aku melepaskan tangan dari pipinya.
“Ya cari kerja sampingan gitu. Jadi pelayan, kasir, atau nggak yang agak gampangan mungkin jadi babysitter.
“Heh! Yang udah sarjana aja nyari kerjanya susah. Apalagi aku yang mau naik kelas 3 SMA. Mau nyari kerja di mana coba?”
“Cari aja iklannya di Koran. Banyak, kok!”
“Terus, mau berapa lama? Aku kan masih sekolah.”
“Cari kerja yang satu atau dua minggu banyak, kayak babysitter! Nyokap gue pernah jadi babysitter waktu sekolah di zaman dahulu kala. Pas SMA katanya. Ya……Cuma dua mingguan. Kan, yang punya bayi teh mau pergi ke luar kota, bayinya ditinggal sendiri. Jadi weh nyokap gue teh jadi baby sitter.”
“Iya-iya aku ngerti. Tapi emangnya ada kerja gajinya langsung lima juta?”
“Ada… tapi bayi gorilla!”
Kami berdua langsung terbahak , tertawa keras. kemudian Shilla nimbrung sambil nunjukkin kartu peserta ulangan umumnya.
“Hore! Gue udah dapet kartu pesertanya. It’s an easy to get it, Honey! Cepetan ke loket SPP! But, you must have paid your SPP! Cepetan!”
“Gue mah  udah dapet dari kemaren.” Sivia mengibaskan tangannya sekali ke arah Shilla. Aku jadi teringat kalau aku belum mengambil kartu peserta. Bisa gawat nih! Padahal aku udah lunas SPP!
“Aku ke BP dulu, ya!” Aku bangkit lalu meninggalkan mereka tergesa-gesa.
“Cepetan ya!” seru Shilla.
“Dijual terpisah!” lanjut Sivia.
“Apaan sih?!” Shilla mendorong pelipis Sivia.
AKU menghentikan lari perlahan lalu menatap kumpulan murid yang mengantre ngambil kartu peserta di loket SPP. Banyak sekali, kelas satu dan kelas dua. Aku menghampiri kerumunan, dan melihat orang-orang sedang membayar uang SPP.
Eh mana? Bukan, kok! Yang di sini pada bayar SPP! Aku kan, udah bayar.
Aku menerobos kerumunan lalu bertanya pada petugas yang lagi sibuk mencap kartu peserta.
“Bu, kartu peserta di mana, ya?” seruku keras di tengah berisiknya suara.
“Ke wali kelas, kartu pesertanya mah!” jawabnya nggak menoleh.
Ya ampun! Terus ngapain juga aku ke sini?
Aku berbalik dan berlari menghampiri ruang guru. Wali kelasku, Bu Lina, sedang mengecek beberapa lembar kertas. Aku berjalan sopan menuju ruang itu, melewati guru-guru dengan senyuman manis, dan cepat-cepat menghampiri Bu Lina.
Namun, belum juga aku sampai di mejanya, seorang cowok menghalangi jalanku.  Tiba-tiba dia berada di depanku, berbicara dengan Bu Lina. Sepertinya cowok itu adalah Rio, RAG leader.
    Aku berbelok, dan berdiri di sampingnya. Dia langsung melirikku sinis, segan dengan kehadiranku. Aku nggak memperdulikannya. Ku tatap Bu Lina yang masih sibuk membuka-buka kertas, hingga Bu Lina menghentikan kesibukannya, dan bertanya pada kami, “ada apa kalian teh ke sini? Kalian kenapa teh?
                Oke, sebelum lanjut ke ceritanya, ku ceritakan dulu tentang Bu Lina. Dia itu wali kelasku. Jadi, jangan heran kalau bahasanya aneh. Aku dan temanku di Tweenies menyatakan kalau Bu Lina berpenyakit KBSK. Singkatan dari ; Kelebihan Sentence, Belepotan Klausa.  Saking parahnya, kami menyatakan lagi kalau Bu Lina mengidap CNJ. Singkatan dari ; Capek Ngedengernya Juga. Yah, dengan nada bicara yang Sundanese, juga volume suara yang sangat tinggi. Beliau guru PKN.
“Mau ngambil kartu peserta, Bu.” Serobot Rio. Ugh, padahal aku hendak mengatakan kalimat itu. Aku tersenyum, dengan raut muka mengatakan “Aku juga.”
“Oh, kalian teh sudah membayar SPP belum? Da nanti teh kepala sekolah marah-marah ke Ibu kalo kalian belum bayar mah. Kalian harus membayar SPP dulu. Harus lunas. Agar supaya administrasinya lancar, gituh!
                “Udah dong, Bu!” seru Rio bangga, menyerobot lagi.
Aduh, ya. Terus kapan aku bisa ngomong?!
“Oh, sudah? Bagus atuh kalo gitu mah!” Bu Lina pun mengeluarkan tumpukan kartu peserta dari dalam tasnya. “Tapi mana kuitansi lunasnya?
Kuitansi lunas? HAH? Aku kan lunasnya udah dua bulan lalu! Jadi, nggak ada acara kuitansi-kuitansian segala!
“Nggak dikasih kuitansi, Bu!” seruku cepat-cepat.
Rio menoleh judes, merogoh sesuatu dari dalam sakunya sebuah kuitansi lunas dan menyerahkannya pada Bu Lina.
“Ah dia mah dasar tukang boong, Bu!” seru Rio.
HEH! Kurang ajar!
“Bu, saya tuh lunasnya dua bulan lalu. Jadi, gak ada kuitansi segala, Bu!” jelas ku.
“Sebentar atuh ya, Ibu cek dulu.” Bu Lina merogoh tas hitamnya, dan mengambil tumpukan lecek daftar absen kelas kami. Pada lembar keempat, Bu Lina menaikturunkan telunjuknya di atas nama-nama murid, mencari namaku.
“Su…..Mar….Ni! mana? Kamu belum bayar!” serunya.
“Aduh ya, Bu. Nama saya tuh Alyssa. Bukan Sumarni.” Seruku.
“Oh, Alyssa. Ibu kira teh nama kamu Sumarni. Hihihi….” Bu Lina tertawa kecil. Secara refleks, tangannya mendorong lenganku. Dengan jelas, aku dapat melihat Rio cekikikan.
“Itu tuh! Absen nomor empat!” Aku menunjuk namaku langsung, dan telunjuk Bu Lina yang masih naik-turun juga, akhirnya berpindah ke atas namaku.
“Oh iya. Kamu udah bayar. Kamu lunas!” Bu Lina manyun.
“Cepetan, Bu! Mana kartunya?” pinta Rio tiba-tiba memaksa.
“iya ini. Ada disini. Eh iya, sebelum kalian dapet kartunya, tolong beliin Ibu bakso tahu di kantin, ya! Sama minumnya, beli lemon tea di si Ucup!” Bu Lina menunjuk-nunjuk arah kantin, dan berseru setengah berbisik.
“Kartunya dulu atuh, Bu!” rengek Rio.
“Ih… beliin dulu Ibu makan. Ibu teh belum makan dari pagi. Ibu teh laper..” seru Bu Lina tertawa-tawa.
“Itu ada si Ify, Bu!”
“Mana yang namanya Ify? Mana?” Bu Lina celingak-celinguk ke luar jendela.
aduh, nyadar dong. Aku tuh ada di sini gitu, lho!
“Saya yang namanya Ify, Bu!” seruku agak kesal.
Bu Lina menoleh lagi padaku. “Oh, kamu yang namanya Ify? Katanya Alyssa.  Jangan-jangan kamu nipu Ibu lagi. Ngaku namanya Alyssa padahal namanya Ify karena belum bayar uang SPP!”
“Aduh… ngapain saya nipu Ibu? Nama saya memang Alyssa, dipanggil Ify!”
“Ooohh.. gitu….” Bu Lina mengerti, manggut-manggut. “Ya udah atuh beliin Ibu bakso tahu dulu. Nanti kartunya Ibu kasihin.”
 Yah, oke oke. Aku bakalan ke kantin sekarang.
“Kamu juga ikut, Rio!” suruh Bu Lina pada Rio yang masih berdiri di depan mejanya.
                “Males ah!” jawab Rio enteng.
“Eeeh males males! Ayo cepet temenin Ify! Nanti balik lagi kesini ambil kartunya, ya?”
Meski agak kesal, Rio berjalan juga dengan muka cemberut ke arahku. Dia langsung menjajarkan langkahnya  di sampingku, namun pindah ke belakangku karena kami melewati koridor menuju kantin. Kami sama sekali nggak berinteraksi satu sama lain. Terlalu aneh bagi orang-orang melihat Tweenies jalan berdua sama RAG.
It would make some juiciest gossips in the school.
Lagi pula, kasihan RAG. Mereka itu benci banget yang namanya Tweenies. Di setiap kesempatan, RAG emang udah hobinya ngejek Tweenies. Menurut mereka, Tweenies adalah kelompok cewek menyebalkan yang mencoba menarik perhatian dengan prestasi yang dibuat. Atau bersikap baik pada setiap orang untuk menggaet kepopuleran. Pokoknya, mereka bilang Tweenies itu nyebelin.
Emangnya mereka nggak nyebelin?
Aku, sebagai salah satu spearheader di Tweenies, sama-sama jijik sama mereka. RAG itu kumpulan cowok bodoh yang dalam hidupnya diprioritaskan untuk bermain. Setiap hari, mereka selalu pergi ke mal! Okelah, kita sebagai Tweenies memang pengunjung mal-mal yang ada di Bandung. Tapi seenggaknya, kita nggak main sampe tiap hari, kalo RAG maennya pas malem. Mereka tuh ngedugem di Fame, atau ngeband, atau bikin pesta-pesta. Mereka lebih nyebelin bukan?
Aku berjalan lebih cepat darinya dan berusaha meninggalkannya. Tapi, Rio sepertinya mempercepat langkahnya pula, mencoba mengejarku. Aku yang merasa diikuti, semakin mempercepat langkah hingga akhirnya…… Brukkk!!

No comments:

Post a Comment