Boy Sitter [5] : The Rules
HARI Jumat, pembagian rapor
semester keempat, sekaligus penentuan jurusan minat dan bakat. Dalam formulir
yang ditawarkan di sekolah, aku memprioritaskan IPA dibandingkan IPS. Alasannya, aku lebih analis, teliti, dan
menyukai data-data. Meskipun dalam hasil psikotest
bulan lalu, persentase nilai IPA, IPS juga Bahasa Indonesia sama semuanya.
Dengan IQ yang katanya 142.
Cukup pintar seharusnya. Namun, aku jarang mendapatkan peringkat pertama di
kelas. Pembagian kali ini nggak diwakilkan orangtua. Setiap murid menerima
langsung hasil belajarnya enam bulan terakhir, sekaligus deg-degan penjurusan
yang akan mereka terima hari ini.
Shilla dan Sivia sama-sama
memilih IPA, dan kuharap, kami bertiga masuk jurusan ini, lalu sekelas lagi di
kelas tiga. Kami semua tegang. Harap-harap cemas memasuki jurusan IPA, lalu
harap-harap cemas lagi dengan peringkat kelas kali ini. Semester lalu, aku,
Shilla, dan Sivia berturut-turut
menduduki peringkat tiga, empat, dan lima. Semester sekarang sepertinya
akan berubah.
Dan benar saja, Bu Lina
lagi-lagi mengumumkan aku berada di peringkat ketiga, Shilla turun menuju
tujuh, dan Sivia drop to the tenth. Tapi
untungnya, kami bertiga masuk jurusan IPA. Enam puluh lima persen dari kelasku
masuk jurusan ini. Sisanya mendapatkan kursi IPS. Dan nggak satupun yang
diterima di Bahasa. Lagi pula, sepertinya, nggak akan ada kelas bahasa tahun
ini.
Pulang pembagian rapor, aku
dan Tweenies merayakan keberhasilan kami di mal. Kami makan-makan dan nonton.
Bahkan, kami menemukan Mozon, Rebonding Galz dan RAG yang merayakan kenaikan
kelas juga.
RAG sepertinya sangat
bersyukur bisa naik ke kelas tiga. Aku melihat wajah Rio begitu pucat menunggu
pembagian rapor. Rio sudah yakin dirinya diambang tidak naik kelas. Dan semua
orang setuju akan hal itu. Mungkin dia sangat bersyukur sekarang akan karunia
ini dan naik kelas, tembus di kursi IPS.
Sambil menyantap makanan
syukuran kami, aku pun menceritakan pengalamanku menghilang dari peradaban
sejak Senin hingga Rabu.
“Ya ampun. Capek banget!”
seruku tergesa sambil menyeruput gelas cola.
“Hihihii.. terus gimana lagi?”
Sivia nggak sabar mendengar ceritaku berikutnya.
“Ya gitu deh! Tuh anak sampe
naek meja makan pas mau aku mandiin. Iiih masa sih, aku mau mandiin bocah tiga
tahun aja aku mesti jogging di rumah. Gesit banget, bo!”
“but you didn’t collapse, right? Elo masih bisa tahan, kan?”
“ya… untungnya sih. Tuh anak
masih bisa aku takut-takutin sampe bener-bener nurut. Dia suka langsung meluk
aku kalo aku kagetin. Dan dalam kesempatan itu, aku langsung menggendong dia
masuk bak mandi. Kunci kamar mandi. Jebur jebur jebur….. Ya. Akhirnya tuh bocah
wangi juga aku mandiin. Tapi…”
“Tapi kenapa, Ify?”
“Tapi, waktu hari Kamis, kok,
aku jadi rindu ama bocah-bocah itu, ya? Badanku tiba-tiba nggak enak kalo
dipake tiduran di kasur. Pengin banget lari-lari ngejer anak kecil. Dua hari di
rumah itu udah serasa dua puluh tahun tinggal ama tuh bocah. Kayak udah tinggal
lama ama mereka. Jadi, waktu aku ninggalin mereka. Ugghhhh.. rasanya beraaaat
banget buat pisah. Okelah aku emang kesel kalo mereka udah ngelakuin yang macem-macem. Tapi hal nyebelin yang
mereka lakuin, jadi buat aku bener-bener rindu mereka. “
Shilla mengelus punggungku, “well, It’s okay. I always feel that way. Pisah
ama siapapun juga, nyebelin, ngeselin, nyenengin, semuanya bikin sakit. Kita
tuh serasa kehilangan sesuatu… giitu. Seems like something gone in our life. Kita
jadi mikirin dia terus. Kita jadi ngebayangin dia terus. And struggling to exit this thing is nothing. Kita nggak bisa
ngelakuin satu pun to solve. Itulah
yang dinamakan rindu.”
Rindu? Missing thal all baby.
“Iya betul makanya gue teh gak mau banget pisah ama kalian.”
Sivia tiba-tiba memeluk kami, dan merangkul erat.
“Udah, ih. Apaan sih?! Kita
bertiga nggak bakalan pisah, kok.” Kami bertiga tertawa-tawa.
“Hm.. kalem weh elo teh masih ada satu asuhan lagi.buat yang sekarang mah elo jadiin bener-bener ngasuh.”
“That’s right. Kapan elo jadi babysitter-nya?”
“Ngngng.. ntar kayanya. Hari
Minggu besok, aku baru wawancara. Katanya, nanti aku kerja satu minggu penuh.
Dan kuharap sih, gajiku bener-bener gede ngurus bayi monster seminggu penuh.”
Aku menyeringai sambil cekikikan.
“Bayi monster?” Tanya Sivia
dan Shilla berbarengan.
“Yah.. bocah bandel, perusak,
plus manja. Aku harus kerja ekstra keras
satu minggu ke depan. Doain ya, aku nggak depresi di akhir masa bakti!”
“hiihihi.. tunggu heula. Kayak gimana sih orok-nya?”
“Ngng.. aku sih nggak tau
gimana bentuknya. Tapi waktu aku nelepon Ibunya, dia tuh lagi mecahin guci yang
harganya tujuh juta. Terus ibunya bilang ‘Dede,pecahin gucinya yang satu juta
aja’ gitu.!”
“hahaha.. tajir amat tuh
orang.” Potong Shilla.
“Betul. Dan si bocah
marah-marah karena nggak diizinin maen keluar. Hihihi.. bocah modern zaman
sekarang emang kayak gitu kali, ya?”
“Ya ampyuun.. bocah kalong kali ya mbok, ya?”
“Iya kali. Mudah-mudahan
bocahnya kayak Pikachu gitu!”
Kami bertiga tertawa lagi. Angel
yang lewat bareng Rebonding Galz-nya, menatap sinis padaku dari luar. Aku yang
merasakan hal itu, langsung tertunduk, namun cekikikan.
Calm down honey. I’ll give you back your notebook.
AKU melewati pelataran parkir,
dan memasuki sebuah lobi besar, yang di dalamnya berkumpul beberapa meja bundar
bertaplak putih. Sepertinya, ada pesta orang-orang borju. Atau mungkin prom night.
Begitu aku melongok ke dalam
pintu, mencoba mencari yang namanya Bu Nira, seseorang memanggilku dari
belakang. Aku berbalik dan menemukan seorang wanita muda, sangat rapi, sedang
berjalan ke arahku. Wanita itu memakai
blazer putih dengan celana panjang putih pula. Penampilannya elegan. Rambut
lurusnyanya diikat rapi tepat di belakang kepala. Make-upnya nggak berlebihan, jalannya kayak model. Wanita ini cantik banget, tinggi pula. Kalo
benar dia Bu Nira,aku yakin putranya berumur tiga atau empat tahun.
Dia mengulurkan tangannya
padaku, “Saya Bu Nira, kamu pasti Ify, kan?”
“Ya-ya… saya Ify.” Aku
tersenyum, membalas uluran tangannya.
“bagus kalo begitu. Ayo ikut
saya!” Bu Nira mengajakku ke lobi tadi, dan kami duduk dimeja bundar terdekat.
Ternyata dari dalam, aku dapat
melihat banyak sekali orang yang sedang membereskan ruangan ini. Ada yang sedang menata dinding. Ada pula yang
sedang menggotong bongkahan es batu berbentuk angsa. “Maaf, lobinya sedang
kacau. Malam ini perusahaan saya sedang meluncurkan produk baru, sekaligus
syukuran.” Bu Nira merogoh saku blazernya, dan mengeluarkan secarik kertas.
“Ini…. Kamu bisa pelajari dirumah.”
Bu Nira menyodorkan kertas itu
dan aku menerimanya. Kubaca tulisan-tulisan disana selewat dan kembali menatap
Bu Nira. Aku tersenyum.
“Mulai besok, saya diminta
perusahaan untuk mengikuti workshop produk
sejenis di Amerika, selama satu minggu. Nah, sebelum kamu saya sudah sering
menyewa jasa pengasuh bayi. Tapi nggak ada yang betah satu pun, dan minta
berhenti di tengah-tengah. Bahkan, ada pula yang sudah yakin di awal, namun
begitu melihat anak saya, langsung membatalkan pekerjaannya. Bagaimana denganmu?”
“Ngngng.. saya akan coba
semampunya.”
“Sebetulnya gak begitu berat,
kok. Kami hanya harus menemaninya, atau mengobrol dengannya. Yaahh..
terkadang dia sangat cerewet. Terkadang dia manja, rewel,juga genit.
Pokonya, ajak dia mengobrol saja. Dia suka membicarakan hal-hal yang
mungkin…..gadis-gadis seperti kamu jarang ada yang suka. Jadi, dibutuhkan
ketahanan mendengarkan cerita yang mungkin kamu nggak akan suka.”
“Oh.. baik.. saya.. saya akan
berusaha keras.”
“yang kamu pegang sekarang
adalah daftar yang wajib kamu lakukan setiap waktunya. Selama satu minggu ke
depan, kebetulan putra saya sedang libur sekolah. Jadi.. dia akan lebih banyak berada di rumah.
Di bawah tulisan itu, ada dafar hal yang nggak boleh anak saya lakukan. Tolong patuhi peraturan-peraturan ini, agar
dia nggak semakin bandel.” Aku tersenyum
lagi.
“Ngngn… masalah gaji, mungkin
kamu bisa menentukannya sendiri.”
Apa? Sendiri?
Aku melongo, seperti
mendapatkan suatu anugerah.
Aku bisa menentukannya sendiri?! Nggak salah nih? Kalo gitu, aduh,
berapa, ya?! Berapa ya? Apa langsung
empat juta gitu aja kali? Hehhee kebanyakan kaleeee.! Takutnya nggak sopan! Eh,
tapi, guci tujuh juta aja dipecahin ama tuh anak nggak apa-apa. Biasa-biasa
aja. Empat juta kayanya nggak ngaruh deh, ama keuangan mereka.
“Ngngng.. gimana kalau.. empat
juta?” tanyaku tersenyum, deg-degan menunggu reaksi Bu Nira. Senyumku semakin melebar mencoba menatap
ramah Bu Nira. Keringat di setiap cabang
tubuhku mulai menghambur keluar.
Bu Nira melongo kaget.
Tuh… kan?! Kayanya empat juta kebanyakan, deh! Aku harus siap-siap
mengatakan “Saya Cuma bercanda kok, Bu.”
“Kok, dikit banget, sih?”
Tanyanya heran.
Apa? Dikit?
“Kenapa kamu nggak sekalian
minta sepuluh juta aja? Empat juta, sih. Terlalu dikit. Cuma seharga HP
pembantu saya.” Bu Nira mengeluarkan agenda kecil dari sakunya.
“ngng.. nggak usah deh, Bu.
Terlalu banyak.” Pintaku menolak tawaran
besarnya. Bukannya aku sok rendah hati, tapi buat apa aku megang duit sebanyak
itu?
Empat juta tuh masih dikit? Gila!
“Eh, gimana, sih? Udah, ah.
sepuluh juta aja..” Bu Nira kekeuh
dengan gaji yang akan diberikannya padaku.
“ngngn.. lima juta aja deh,
Bu. Sepuluh juta kebanyakan. Gimana saya
megang uang sebanyak itu?”
“Kok pake nawar segala? Udah
deh sebelas juta aja..”
“Ibu, nggak usah. Jangan
kebanyakan!”
“Gimana sih? Kok nawar? Udah
ah sebelas juta pokoknya.”
“Ngng.. enam juta aja, deh.”
“Ah, kamu tuh mintanya dikit
banget. Udah, deh! Gak usah komentar
lagi. Dua belas juta. Titik!” Bu Nira menuliskan angka itu di agendanya.
Oh my God!! Mimpi apa aku
semalem sekali kerja dapet dua belas juta? Ya, ampun.. mukjizat banget.. semonster apa sih anaknya sampe aku digaji
sebanyak ini?!
Dua belas juga, bo! Dua belas jutaaa!!
“Baiklah. Sekarang.. Ibu mau
bertanya. Apa kamu …. Bisa dipercaya?” Tanya Bu Nira serius.
Aku yang asyik membaca daftar
peraturan karena trying to not be panic ,
mendongak bingung. (baca peraturannya di bawah!)
“Ngng.. apa ya? Sebentar..”
Kukeluarkan sepotong kertas
kecil dari dalam tasku, lalu menuliskan alamatku. Kuambil pula foto terbaruku, dan kartu
pelajarku.
“Ini semua jaminannya. Nggak
ada yang palsu. Kalo ternyata saya
ketauan dan terbukti melakukan hal-hal di luar kesepakatan, atau Melakukan hal
yang merugikan, anda bisa menuntut saya di alamat ini. Atau kalau nggak
percaya, Anda bisa menghubungi sekolah saya sekarang juga. Saya memiliki surat berkelakuan baik, dan
nggak pernah terlibat dalam kenakalan remaja, apalagi tindak kriminal.”
Bu Nira tersenyum, membaca
kartu pelajarku.
Peraturan
Lakukanlah:
-
Beri makan Dede minimal 3 kali sehari.pagi,
siang dan malem. Dede termasuk males makan. Berikanlah dia makanan kesukaannya.
Makanan kesukaan bisa ditanyakan ke pembantu;
-
Menemaninya menonton tv, jangan membiarkannya
menonton sendirian; Dede nggak tahan kalo nonton tv nggak ada orang di
sampingnya untuk berbagi komentar;
-
Menemaninya melakukan berbagai hal. Sepanjang
liburan ini, Dede akan melakukan banyak hal di rumah. Temani dia ketika
melakukan kegiatannya;
-
Menemaninya sebelum tertidur. Dede akan tertidur
lelap kalau ada yang bercerita di sampingnya,
lalu mengelus rambutnya, dan menyelimutinya;
-
Memandikannya, minimal satu kali sehari.
Setidaknya ajak dia berenang.
Dilarang:
-
Membuat hatinya kecewa;
-
Membiarkannya pergi ketika malam;
-
Membiarkannya nggak ditemani;
-
Mengajaknya pergi keluar.
No comments:
Post a Comment