Sunday, 10 June 2012

Boy Sitter [5]


Boy Sitter [5] : The Rules
HARI Jumat, pembagian rapor semester keempat, sekaligus penentuan jurusan minat dan bakat. Dalam formulir yang ditawarkan di sekolah, aku memprioritaskan IPA dibandingkan IPS.  Alasannya, aku lebih analis, teliti, dan menyukai data-data. Meskipun dalam hasil psikotest bulan lalu, persentase nilai IPA, IPS juga Bahasa Indonesia sama semuanya.
Dengan IQ yang katanya 142. Cukup pintar seharusnya. Namun, aku jarang mendapatkan peringkat pertama di kelas. Pembagian kali ini nggak diwakilkan orangtua. Setiap murid menerima langsung hasil belajarnya enam bulan terakhir, sekaligus deg-degan penjurusan yang akan mereka terima hari ini.
Shilla dan Sivia sama-sama memilih IPA, dan kuharap, kami bertiga masuk jurusan ini, lalu sekelas lagi di kelas tiga. Kami semua tegang. Harap-harap cemas memasuki jurusan IPA, lalu harap-harap cemas lagi dengan peringkat kelas kali ini. Semester lalu, aku, Shilla, dan Sivia berturut-turut  menduduki peringkat tiga, empat, dan lima. Semester sekarang sepertinya akan berubah.
Dan benar saja, Bu Lina lagi-lagi mengumumkan aku berada di peringkat ketiga, Shilla turun menuju tujuh, dan Sivia drop to the tenth. Tapi untungnya, kami bertiga masuk jurusan IPA. Enam puluh lima persen dari kelasku masuk jurusan ini. Sisanya mendapatkan kursi IPS. Dan nggak satupun yang diterima di Bahasa. Lagi pula, sepertinya, nggak akan ada kelas bahasa tahun ini.
Pulang pembagian rapor, aku dan Tweenies merayakan keberhasilan kami di mal. Kami makan-makan dan nonton. Bahkan, kami menemukan Mozon, Rebonding Galz dan RAG yang merayakan kenaikan kelas juga.
RAG sepertinya sangat bersyukur bisa naik ke kelas tiga. Aku melihat wajah Rio begitu pucat menunggu pembagian rapor. Rio sudah yakin dirinya diambang tidak naik kelas. Dan semua orang setuju akan hal itu. Mungkin dia sangat bersyukur sekarang akan karunia ini dan naik kelas, tembus di kursi IPS.
Sambil menyantap makanan syukuran kami, aku pun menceritakan pengalamanku menghilang dari peradaban sejak Senin hingga Rabu.
“Ya ampun. Capek banget!” seruku tergesa sambil menyeruput gelas cola.
“Hihihii.. terus gimana lagi?” Sivia nggak sabar mendengar ceritaku berikutnya.
“Ya gitu deh! Tuh anak sampe naek meja makan pas mau aku mandiin. Iiih masa sih, aku mau mandiin bocah tiga tahun aja aku mesti jogging di rumah. Gesit banget, bo!”
but you didn’t collapse, right? Elo masih bisa tahan, kan?”
“ya… untungnya sih. Tuh anak masih bisa aku takut-takutin sampe bener-bener nurut. Dia suka langsung meluk aku kalo aku kagetin. Dan dalam kesempatan itu, aku langsung menggendong dia masuk bak mandi. Kunci kamar mandi. Jebur jebur jebur….. Ya. Akhirnya tuh bocah wangi juga aku mandiin. Tapi…”
“Tapi kenapa, Ify?”
“Tapi, waktu hari Kamis, kok, aku jadi rindu ama bocah-bocah itu, ya? Badanku tiba-tiba nggak enak kalo dipake tiduran di kasur. Pengin banget lari-lari ngejer anak kecil. Dua hari di rumah itu udah serasa dua puluh tahun tinggal ama tuh bocah. Kayak udah tinggal lama ama mereka. Jadi, waktu aku ninggalin mereka. Ugghhhh.. rasanya beraaaat banget buat pisah. Okelah aku emang kesel kalo mereka udah ngelakuin  yang macem-macem. Tapi hal nyebelin yang mereka lakuin, jadi buat aku bener-bener rindu mereka. “
Shilla mengelus punggungku, “well, It’s okay. I always feel that way. Pisah ama siapapun juga, nyebelin, ngeselin, nyenengin, semuanya bikin sakit. Kita tuh serasa kehilangan sesuatu… giitu.  Seems like something gone in our life. Kita jadi mikirin dia terus. Kita jadi ngebayangin dia terus. And struggling to exit this thing is nothing. Kita nggak bisa ngelakuin satu pun to solve. Itulah yang dinamakan rindu.”
Rindu? Missing thal all baby.
“Iya betul makanya gue teh gak mau banget pisah ama kalian.” Sivia tiba-tiba memeluk kami, dan merangkul erat.
“Udah, ih. Apaan sih?! Kita bertiga nggak bakalan pisah, kok.” Kami bertiga tertawa-tawa.
“Hm.. kalem weh elo teh masih ada satu asuhan lagi.buat yang sekarang mah elo jadiin bener-bener ngasuh.”
That’s right. Kapan elo jadi babysitter-nya?”
“Ngngng.. ntar kayanya. Hari Minggu besok, aku baru wawancara. Katanya, nanti aku kerja satu minggu penuh. Dan kuharap sih, gajiku bener-bener gede ngurus bayi monster seminggu penuh.” Aku menyeringai sambil cekikikan.
“Bayi monster?” Tanya Sivia dan Shilla berbarengan.
“Yah.. bocah bandel, perusak, plus manja.  Aku harus kerja ekstra keras satu minggu ke depan. Doain ya, aku nggak depresi di akhir masa bakti!”
“hiihihi.. tunggu heula. Kayak gimana sih orok-nya?”
“Ngng.. aku sih nggak tau gimana bentuknya. Tapi waktu aku nelepon Ibunya, dia tuh lagi mecahin guci yang harganya tujuh juta. Terus ibunya bilang ‘Dede,pecahin gucinya yang satu juta aja’ gitu.!”
“hahaha.. tajir amat tuh orang.” Potong Shilla.
“Betul. Dan si bocah marah-marah karena nggak diizinin maen keluar. Hihihi.. bocah modern zaman sekarang emang kayak gitu kali, ya?”
“Ya ampyuun.. bocah kalong kali ya mbok, ya?”
“Iya kali. Mudah-mudahan bocahnya kayak Pikachu gitu!”
Kami bertiga tertawa lagi. Angel yang lewat bareng Rebonding Galz-nya, menatap sinis padaku dari luar. Aku yang merasakan hal itu, langsung tertunduk, namun cekikikan.
Calm down honey. I’ll give you back your notebook.

AKU melewati pelataran parkir, dan memasuki sebuah lobi besar, yang di dalamnya berkumpul beberapa meja bundar bertaplak putih. Sepertinya, ada pesta orang-orang borju.  Atau mungkin prom night.
Begitu aku melongok ke dalam pintu, mencoba mencari yang namanya Bu Nira, seseorang memanggilku dari belakang. Aku berbalik dan menemukan seorang wanita muda, sangat rapi, sedang berjalan ke arahku.  Wanita itu memakai blazer putih dengan celana panjang putih pula. Penampilannya elegan. Rambut lurusnyanya diikat rapi tepat di belakang kepala. Make-upnya nggak berlebihan, jalannya kayak model.  Wanita ini cantik banget, tinggi pula. Kalo benar dia Bu Nira,aku yakin putranya berumur tiga atau empat tahun.
Dia mengulurkan tangannya padaku, “Saya Bu Nira, kamu pasti Ify, kan?”
“Ya-ya… saya Ify.” Aku tersenyum, membalas uluran tangannya.
“bagus kalo begitu. Ayo ikut saya!” Bu Nira mengajakku ke lobi tadi, dan kami duduk dimeja bundar terdekat.
Ternyata dari dalam, aku dapat melihat banyak sekali orang yang sedang membereskan ruangan ini.  Ada yang sedang menata dinding. Ada pula yang sedang menggotong bongkahan es batu berbentuk angsa. “Maaf, lobinya sedang kacau. Malam ini perusahaan saya sedang meluncurkan produk baru, sekaligus syukuran.” Bu Nira merogoh saku blazernya, dan mengeluarkan secarik kertas. “Ini…. Kamu bisa pelajari dirumah.”
Bu Nira menyodorkan kertas itu dan aku menerimanya. Kubaca tulisan-tulisan disana selewat dan kembali menatap Bu Nira. Aku tersenyum.
“Mulai besok, saya diminta perusahaan untuk mengikuti workshop produk sejenis di Amerika, selama satu minggu. Nah, sebelum kamu saya sudah sering menyewa jasa pengasuh bayi. Tapi nggak ada yang betah satu pun, dan minta berhenti di tengah-tengah. Bahkan, ada pula yang sudah yakin di awal, namun begitu melihat anak saya, langsung membatalkan pekerjaannya.  Bagaimana denganmu?”
“Ngngng.. saya akan coba semampunya.”
“Sebetulnya gak begitu berat, kok. Kami hanya harus menemaninya, atau mengobrol dengannya.  Yaahh..  terkadang dia sangat cerewet. Terkadang dia manja, rewel,juga genit. Pokonya, ajak dia mengobrol saja. Dia suka membicarakan hal-hal yang mungkin…..gadis-gadis seperti kamu jarang ada yang suka. Jadi, dibutuhkan ketahanan mendengarkan cerita yang mungkin kamu nggak akan suka.”
“Oh.. baik.. saya.. saya akan berusaha keras.”
“yang kamu pegang sekarang adalah daftar yang wajib kamu lakukan setiap waktunya. Selama satu minggu ke depan, kebetulan putra saya sedang libur sekolah.  Jadi.. dia akan lebih banyak berada di rumah. Di bawah tulisan itu, ada dafar hal yang nggak boleh anak saya lakukan.  Tolong patuhi peraturan-peraturan ini, agar dia nggak semakin bandel.”  Aku tersenyum lagi.
“Ngngn… masalah gaji, mungkin kamu bisa menentukannya sendiri.”
Apa? Sendiri?
Aku melongo, seperti mendapatkan suatu anugerah.
Aku bisa menentukannya sendiri?! Nggak salah nih? Kalo gitu, aduh, berapa, ya?! Berapa ya?  Apa langsung empat juta gitu aja kali? Hehhee kebanyakan kaleeee.! Takutnya nggak sopan! Eh, tapi, guci tujuh juta aja dipecahin ama tuh anak nggak apa-apa. Biasa-biasa aja. Empat juta kayanya nggak ngaruh deh, ama keuangan mereka.
“Ngngng.. gimana kalau.. empat juta?” tanyaku tersenyum, deg-degan menunggu reaksi Bu Nira.  Senyumku semakin melebar mencoba menatap ramah Bu Nira.  Keringat di setiap cabang tubuhku mulai menghambur keluar.
Bu Nira melongo kaget.
Tuh… kan?! Kayanya empat juta kebanyakan, deh! Aku harus siap-siap mengatakan “Saya Cuma bercanda kok, Bu.”
“Kok, dikit banget, sih?” Tanyanya heran.
Apa? Dikit?
“Kenapa kamu nggak sekalian minta sepuluh juta aja? Empat juta, sih. Terlalu dikit. Cuma seharga HP pembantu saya.” Bu Nira mengeluarkan agenda kecil dari sakunya.
“ngng.. nggak usah deh, Bu. Terlalu banyak.”  Pintaku menolak tawaran besarnya. Bukannya aku sok rendah hati, tapi buat apa aku megang duit sebanyak itu?
Empat juta tuh masih dikit? Gila!
“Eh, gimana, sih? Udah, ah. sepuluh juta aja..” Bu Nira kekeuh dengan gaji yang akan diberikannya padaku.
“ngngn.. lima juta aja deh, Bu. Sepuluh juta  kebanyakan. Gimana saya megang uang sebanyak itu?”
“Kok pake nawar segala? Udah deh sebelas juta aja..”
“Ibu, nggak usah. Jangan kebanyakan!”
“Gimana sih? Kok nawar? Udah ah sebelas juta pokoknya.”  
“Ngng.. enam juta aja, deh.”
“Ah, kamu tuh mintanya dikit banget.  Udah, deh! Gak usah komentar lagi. Dua belas juta. Titik!” Bu Nira menuliskan angka itu di agendanya.
Oh my God!! Mimpi apa aku semalem sekali kerja dapet dua belas juta? Ya, ampun.. mukjizat banget..  semonster apa sih anaknya sampe aku digaji sebanyak ini?!
Dua belas juga, bo! Dua belas jutaaa!!
“Baiklah. Sekarang.. Ibu mau bertanya. Apa kamu …. Bisa dipercaya?” Tanya Bu Nira serius.
Aku yang asyik membaca daftar peraturan karena trying to not be panic , mendongak bingung. (baca peraturannya di bawah!)
“Ngng.. apa ya? Sebentar..”
Kukeluarkan sepotong kertas kecil dari dalam tasku, lalu menuliskan alamatku.  Kuambil pula foto terbaruku, dan kartu pelajarku.
“Ini semua jaminannya. Nggak ada yang palsu.  Kalo ternyata saya ketauan dan terbukti melakukan hal-hal di luar kesepakatan, atau Melakukan hal yang merugikan, anda bisa menuntut saya di alamat ini. Atau kalau nggak percaya, Anda bisa menghubungi sekolah saya sekarang juga.  Saya memiliki surat berkelakuan baik, dan nggak pernah terlibat dalam kenakalan remaja, apalagi tindak kriminal.”
Bu Nira tersenyum, membaca kartu pelajarku.

Peraturan

Lakukanlah:
-          Beri makan Dede minimal 3 kali sehari.pagi, siang dan malem. Dede termasuk males makan. Berikanlah dia makanan kesukaannya. Makanan kesukaan bisa ditanyakan ke pembantu;
-          Menemaninya menonton tv, jangan membiarkannya menonton sendirian; Dede nggak tahan kalo nonton tv nggak ada orang di sampingnya untuk berbagi komentar;
-          Menemaninya melakukan berbagai hal. Sepanjang liburan ini, Dede akan melakukan banyak hal di rumah. Temani dia ketika melakukan kegiatannya;
-          Menemaninya sebelum tertidur. Dede akan tertidur lelap kalau ada yang bercerita di sampingnya,  lalu mengelus rambutnya, dan menyelimutinya;
-          Memandikannya, minimal satu kali sehari. Setidaknya ajak dia berenang.


Dilarang:
-          Membuat hatinya kecewa;
-          Membiarkannya pergi ketika malam;
-          Membiarkannya nggak ditemani;
-          Mengajaknya pergi keluar.

No comments:

Post a Comment