Boy Sitter [17] :
Truth or Twist?
AKU langsung masuk ke kamar Shilla. Kutemukan dia sedang
asyik ngobrol dengan Sivia. “Hey! Sori, angkotnya telat.”
Kulemparkan tasku keatas meja, dan bergabung dengan
mereka. Sivia menggeser sedikit posisi duduknya agar aku bisa duduk. Lalu dua
detik kemudian kami tenggelam dalam gossip-gosip baru.
Shilla dengan semangat menceritakan kencannya bareng
Ryan, cowok playboy terakreditasi A.
aku kaget begitu mendengar Shilla kencan bareng Ryan, tepat Sabtu malam
kemarin.
“Tapi dia payah.” Shilla tertawa kecil, mendelik genit.
“Kenapa?kenapa?” Sivia nggak sabar mendengar cerita
Shilla berikutnya.
“Yeah. He is stupid
so far. Dia nggak tau gimana caranya ngiris beef steak pake pisau kecil, bahkan cara menyedot bubble menggunakan sedotan. And sometimes he got nothing with my
English!”
“Oya? Ryan seburuk itu?” tanyaku, mengambil keripik di
atas meja.
“Ya! Tapi…..” Shilla menyeringai, “The way he moves his motorcycle, keren banget! Ada deh potongan
Valentino Rossi di tangannya. Ya ampun, sempat kaget dan tegang juga. But that is amazing! Elo mungkin gak
percaya kalo gue dibonceng ama dia di motornya, terus dia… beloknya, bo! Miring ke samping, hampir nyentuh
tanah. Kayak MotoGP gitu deh, padahal itu jalan raya!”
“Gileeeee..!”
“Seems sitting in
rollercoaster,! Jantung gue berdebar-debar terus. Ya ampun, sempet-sempetnya pula dia lepas stang motor padahal tuh motor lagi
cepet-cepetnya. Ih, kayak Fear Factor deh…
screaming!”
“Hebat-hebat!” Sivia bertepuk tangan, lalu meraup
segenggam keripik. “Elo gimana cerita tentang babymon-nya? Ceritain dong. Da
gue teh keseharian lo selama di karantina di sana selama seminggu.,”
Aku tersipu melihat Shilla dan Sivia memandangku
penasaran.ingin rasanya aku mengatakan kalau aku mengasuh Bison selama seminggu,
tapi nggak mungkin. Aku masih terikat
janji dengan Bu Nira untuk nggak mengatakannya pada siapa pun.
“Ngngn.. yaa gitu deh. Fun!nggak terlalu berat,
biasa aja kok.”
Tiba-tiba HP-ku bergetar. “Tunggu bentar ya.” Seruku
sambil mengambil HP.
Rio menelepon. “Halo?” sapaku.
“Hai.. halo!
Selamat pagi!”
“Pagiiii. “
“Lagi ngapain?”
“Kumpul-kumpul bareng temen. Biasa. Mumpung lagi
liburan.”
“Ooh.. aku.. aku
pengin ketemuan dong!”
“Emangnya adaa apa?”
“nggak.. nggak ada
apa-apa. Yah, pengin ketemuan aja.”
“Kapan?”
“malam ini?”
“emangnya kamu bisa keluar malem ini?”
“alaaa… tinggal
kabur aja, kok! Kemaren aku pulang jam satu malam.”
“Hm.. ya udah. Jam berapa? Di mana?”
“Di rumah kamu. Jam
tujuh.”
“Di rumahku,jam tujuh? Oke, sampe ketemu lagi ya,
daaahh!”
“daaah!”
“Sapa tuh?” Tanya Shilla begitu aku mematikan HP.
“ngng.. papa.” Jawabku berbohong, mengambil lagi sepotong
keripik dan mengunyahnya asyik.
Shilla dan Sivia mengernyitkan dahi. “Papa? Kedengerannya kayak mau ketemu ama
cowok deh.” Shilla mulai penasaran, dan menginterogasiku.
Aku tersenyum lebar. “Papa ku kan…. Cowok!”
Sivia memiringkan kepalanya. “Elo teh mau ketemuan sama papa lo jam tujuh, di rumah lo?”
“Yaaa..” aku tersenyum lagi, mencoba nggak terlihat
panik.
“Dan.. elo barusan nanya ‘emang kamu bisa keluar malem
ini’ elo ngomong gitu ama papa lo?”
“Ngnng…” aku terjebak.
Sivia dan Shilla saling melirik. Tiba-tiba…
Buukkh!
Shilla menindihku di atas kasur sehingga badanku
benar-benar terkunci nggak bisa bergerak. Aku lupa kalau Shilla pernah ikut
pencak silat waktu SMP. Dan dia bisa mengunci siapapun juga hingga nggak
mungkin lagi berkutik.
Sivia mengambil kesempatan ini untuk meraih HP-ku. “tahan
dia, Shill. Gue mau cari nomer teleponnya. Ify, udah cukup elo teh menyembunyikan sesuatu dari kami. Gue
teh tau elo tuh bohong barusan.”
Sivia akhirnya menemukan nomor itu di received calls, atas nama Babymon. Oh, syukurlah. Aku nggak menuliskan nama Rio
di HP. Jadi Sivia nggak mungkin…
Oh! Sivia nekat nelepon nomor itu!
Sivia meletakkan HP itu di telinganya dan menatapku
sinis. Aku memberontak sekuat tenaga dari Shilla, tapi nihil. Aku benar-benar
terkunci. Kakiku pun nggak bisa bergerak-gerak.
“Mari kita cari tahu siapa babymon itu.” Gumam Sivia sebelum panggilannya diangkat.
“Halo..” sapa
Rio dari seberang.
Sivia tersentak kaget, namun langsung mencari informasi
nama yang ditelepon menggunakan caranya sendiri.
“Oh, hai.. gue teh Alyssa
Saufika Umari. Usia enam belas tahun. Sumpah, gue teh Ify. Ngngn.. bisakah gue tau nama elo?”
“hah?” Rio
bingung.
“Sori-sori. Barusan kan, elo teh nelepon. Nah, gue teh
kelupaan euy, nama elo. Jadi..
bisakah gue tau nama elo? Pliiss..”
“Kamu pasti bukan
Ify!”
“Idih! Gue teh
Ify!”
“jangan dengerin! Jangan dijawab!” teriakku.
“Tuh kan, kamu
apain Ify hah?”
Sivia memutuskan hubungan telepon.”Huh. gara-gara kamu.”
Shilla melepaskan cengkramannya,namun langsung berwajah
cemberut. Keduanya kesal ngga menemukan
nama orang yang barusan meneleponku. Sekaligus penasaran siapa yang aku urus
seminggu kemarin. Dan kurasa, untuk beberapa saat ke depan, akan banyak
serangan dari Shilla maupun Sivia untuk mengetahui siapa orang itu.
Lima menit
kemudian…
SIAL! Aku ditipu. Sekarang.. aku dikunci di kamar mandi
Shilla. “Hey! Buka!” teriakku menggedor-gedor pintu.
“Dieeeem!” balas Shilla.
Aku cemberut di dalam. Berharap nggak terjadi hal
apapun di sini. Dari rencana yang
kudengar, sepertinya mereka akan menelepon Rio dengan nomor HP lain. Dan
sepertinya, giliran Shilla yang akan bicara.
Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya pintu kamar mandi
dibuka. Kutemukan Shilla dan Sivia
berdiri sinis menatapku. Mereka menyilangkan tangan di depan dada. Mengunci
tungkai. Berdiri layaknya Mozon.
“Oh.. elo mulai merahasiakan hal ini?” seringai Shilla
Aku tersenyum lebar, ngga tau apa yang harus kukatakan.
Hoh, aku benar-benar stucked. Aku
nggak bisa berbuat apa-apa. “hai! Pagi ini.. cerah sekali.” Senyumku semakin
lebar.
“Ya, lumayan.” Sivia celingak-celinguk menatap jendela.
“Bodoh!” Shilla mendorong kepala Sivia. “mari kita bahas
hal ini.”
Shilla berbalik mendahuluiku. Sepertinya, detik detik
berikutnya akan menjadi detik yang menegangkan dan sangat serius.
“Tunggu! Sebelum kamu marah-marah padaku, aku ingin
marah-marah padamu!” sanggahku tiba-tiba.
Shilla berhenti dan berbalik. “Gue tahu. Untuk itu, kita
bicarakan di sana.”
“Tapi, ini tentang Dino.”
“Iya.. gue tau. Kita
ke sana.”
Aku berjalan membuntuti mereka menuju tempat tidur
Shilla. Kami semua duduk melingkar seperti tadi.
“Kita mainkan permainan Truth or Lies.” Tawar Sivia.
“Nggak ada permainan seperti itu, bodoh.” Shilla berkacak
pinggang. “Kita mainkan permainan Truth
or … Twist. Bicaralah dengan jujur atau berputar dua puluh putaran di pojok
sana. Yang ngelempar pertanyaan, berhak menjawab pertanyaannya sendiri ketika
dua yang lain selesai menjawabnya. Dimulai dari duduk yang kanannya, lalu
kirinya, kemudian dirinya sendiri. Mengerti?”
“Ya-ya. Ngerti. Gue dulu atuh!” Sivia mengangkat tangan.
“Ya.. silakan. Tapi harus serius Sivia!” Shilla
mendengus.
“Ngngng.. jujurlah.” Sivia serius. “Elo lebih suka mana,
ceri di atas krim atau ceri di dalam krim?”
“Sivia!” aku dan Shilla menggeram. “Yang serius!”
“Gue teh serius, atuh! Sebab, gue teh suka bingung kalo bikin kue.
Jadi.. enakan mana sih, ceri di atas krim, atau ceri di dalam krim.”
Sungut Sivia. “Kalo bisa pake alasannya juga.”
Yang duduk di kanan Sivia adalah aku. Jadi, aku harus
menjawab pertama kali.sivia dan Shilla melirikku.
“Ngnng.. aku lebih suka ceri di atas krim. Karena lebih
manis dan menarik.”
Sivia dan aku langsung melirik Shilla. “gue lebih suka Cherry
insinde the cream. Karena lebih
misterius, dan mysthical.”
Aku dan Shilla yang kini menatap Sivia.
“Sebenarnya mah,
gue teh gak suka kalo ceri digabungin
ama krim. Gue mah lebih suka ceri
dijejerin ama buah-buahan lain, terus
krimnya di polesi selai dan sedikit rum manis.” Jawab Sivia.
Menggunakan satu jurus pamungkas, aku dan Shilla menjitak
Sivia. Kini, giliran Shilla yang bertanya, karena dia mengacungkan tangannya
lebih dulu. “Oke.. sekarang aku!” serunya, kemudian berpikir.
Dua detik kemudian, dia menatapku sinis dengan aura
kemenangan. “Sebutkan, cowok ter-akhir yang bareng ama elo,dan apa hubungan
kalian.”
Yang berada di kanan Shilla adalah Sivia, jadi aku nggak
menjawab lebih dulu. Shilla dan aku menatap Sivia.
“ngng.. bolehkah twist-nya
hanya dua putaran?” Tanya Sivia ragu-ragu. Jelas sekali dia menyembunyikan
sesuatu dari kami.
“Dua puluh putaran tanpa parkir untuk istirahat. Terus berputar tanpa berhenti di pojok sana.
Dan.. gue puterin lagu keroncong sambil berputar.”
“Gue benci lagu keroncong, Shilla.” Desah Sivia.
“kalo gitu, jujurlah!” aku dan Shilla menatap Sivia
penasaran. Benar-benar ingin mengetahui apa yang disembunyikannya di balik
pikiran Sivia.
“Oke.. jangan kaget, jangan kesal, jangan tertawa, jangan
marah, jangan bereaksi, jangan menjauhiku, dan terutama jangan bilang
siapa-siapa.. setuju?”sivia mencoba deal.
Aku dan Shilla berpandangan, lalu mengangkat bahu,
“Terserah.”
“Oh.. oke.” Sivia menenangkan dirinya. Dia menghembuskan
napas, sebelum akhirnya ngomong cepat, “Gue bareng Gabriel malem minggu
kemarin,makan di restoran mahal, dia yang nraktir, lalu dia nembak gue.. dan
gue.. gue… nggak..nggak menolaknya.”
Aku dan Shilla sebentar mendengar jawaban Sivia, lalu
berebutan bertanya demi meyakinkan apa yang kami pikirkan ngga benar-benar
terjadi.
“Bukan Gabriel si Rimba, kan?”
“Bukan Gabriel anggota RAG,kan?”
Dengan ragu-ragu, merengek, sivia manggut-manggut pelan. “Gabriel si
Rimba… Gabriel RAG.. gue teh nggak bisa nolak dia.. kalian haruss ngerti gue… dia baik banget. Gabriel itu.. dia..dia
pangeran impian gue selama ini. Punten atuh, kalo gue nggak bilang-bilang sama kalian.”
Sivia memohon-mohon.
Aku dan Shilla menghembuskan napas. Shilla menenangkan
diri tau-tau Sivia punya hubungan sama RAG. Tapi aku tidak. Masalahnya, aku
punya hubungan sama RAG. Malahan sama ketuanya. Jadi, aku diam saja. Karena
masalahnya, sudah ada dalam suratan takdir, yang namanya RAG tuh, harusnya jadi
muusuh kami. Mereka terlalu sering mengejek kami. Mestinya, kami balas menekan
mereka. Sayangnya tidak.
“Oke.. Ify. Kayanya elo akan lebih menarik.” Seringai
Shilla.
“Ya… dan tolong jelaskan maksud elo dengan babymon, dan
setelah kami hubungi,ternyata.. seekor Bison.” Lanjut Sivia.
Aku menghembuskan napas. “Oke…….” Aku tersenyum lebar.
Hm, aku harus berbohong. Aku nggak mungkin mengatakan kalau aku babysitter Rio selama ini. Aku harus
mengatakan hal lain lagi.
“Rio, adalah kakak dari balita yang aku urus seminggu
kemarin.” Jawabku tertunduk. “karena seringnya kami bertemu, makanya kami
berteman.. sumpah, nggak lebih.”
Giliran Sivia yang
melongo,diikuti oleh Shilla.
“Hanya segitu?”
“kalian serumah?”
Aku mengangguk-angguk, berusaha tersenyum manis,
bukan tersenyum lebar.
Tiba-tiba, Shilla menghela napas, dan bersiap bicara,
karena sekarang gilirannya. “Oke.. sepertinya.. sekarang giliran gue.”
Aku dan Sivia menatapnya.
“kalo gitu, gue mau jujur kalo gue…. made some relationship with…..Alvin.”
Tik,tok,tik,tok!
Detakan jam dinding mengisi ruangan ini. Hening, senyap,
sunyi.
Aku dan Sivia melongo mendengar pernyataan Shilla.
“relationship
berbentuk perang dingin?” tanyaku.
“Ngng.. bukan.”
“Elo jalan bareng dia selama ini?” Tanya Sivia.
“Nggak juga.kadang aku
jalan bareng Ryan atau Fauzan.”
“Kamu temenan ama dia?” tanyaku lagi.
“Yah.”
“Elo jadian sama dia?” Tanya Sivia.
“Belum.”
Aku dan Sivia
tersentak kaget. “Belum?apa maksudnya dengan belum….”
Shilla panik,namun mencoba menenangkan dirinya. Kemudian
dia menghembuskan napas, benar-benar panjang, dan memulai pembicaraan beratnya.
“Senin malem kemarin… kalian tau kan. Gue gak nemenin Ify buat ketemu si Dino,
.. cause I meet Alvin.. and Alvin… trying
to purpose me to become…. His girlfriend.”
Shilla tersenyum lebar. “ Take it
easy, Honey. Not answearing him yet.”
“Alvin itu sipit, Shilla!” cecar Sivia.
“Dia nggak sipit. Hanya matanya nggak gede. Dan gue suka
dia.”
“Alvin itu bodoh.”
“Dia nggak bodoh. Hanya nggak konsen ama pelajarannya
gara-gara mikirin gue terus.”
“Alvin itu gak
romantis.”
“Gue nggak peduli. Nggak harus romantis, kan?” Shilla
sewot.
“Alvin itu nggak punya kucing di rumahnya.”
“Stop! Sivia!” teriakku dan Shilla berbarengan.
“Gue kan, hanya mengingatkanmu, Shilla. Sebelum elo
berhubungan terlampau jauh.” Sivia tiba-tiba khawatir.
“Elo tuh kenapa sih, kok cemas banget?”
“Dia itu personel RAG,Shilla. RAG.”
“Iya.. gue tau. Terus kenapa, elo sendiri pacaran ama Gabriel. Emangnya dia sendiri
bukan sekte RAG, hah?!”
“Diem!” teriakku menghentikan kegilaan pertengkaran
mereka. “Bisakah kalian diam dan bicarakan hal ini baik-baik?” aku menatap
mereka serius.
Sivia dan Shilla kembali pada posisinya. Mereka
masing-masing mendengus, dan mencoba tenang.
“Oh, jadi semua cewek di sini,mulai menyukai cowok-cowok
RAG itu, hah?!”
Semuanya terdiam begitu aku melemparkan pertanyaan, dan
saling melirik.
“Bisakah untuk sekarang kita melupakan mitos bahwa
Tweenies itu bermusuhan sama RAG? Bisakah yang namanya Tweenies itu berteman
dengan RAG? Nggak akan kiamat kan, kalo Tweenies temenan sama mereka?”
Semua orang terdiam, menunduk, nggak berani merespon
pertanyaanku. Lalu tiba-tiba, muncul kata truth
or twist dalam benakku.
Aku belum memainkan giliranku. Kenapa nggak kutanyakan
aja tentang RAG, ya?
“Oke, sekarang giliranku. Jawab dengan jujur atau
berputar dua ratus putaran, bukan dua puluh. Pertanyaannya.. gimana kamu
memandang RAG sekarang? Apakah pantas untuk kita berteman? Sebenernya, mereka
gimana menurut yang kalian tau, dan.. apakah ada saran untuk memperbaiki
hubungan kita dengan…..RAG?”
“Banyak banget soalnya.” Protes Sivia.
“Kalau begitu, aku menunggumu berputar dua ratus putaran
disertai lagu keroncong dari radio.” Sambutku sinis, mencoba membuat setiap
cewek menjawab sesuai hatinya.
Oke, yang berada di kananku adalah Shilla. Aku dan Sivia
langsung meliriknya.
“Hm.. first.. gue ngeliat RAG sebagai geng cowok yang
patut kita kasihani karena mereka bodoh, terkenal dengan keburukannya, dan
sering kena razia BP. RAG juga geng cowok jomblo hanya karena pemimpinnya jijik
banget sama makhluk berspesies cewek.” Shilla menghela napas.
“Second. Mereka
sangat pantas untuk kita jadikan teman. Kenapa nggak? Selama ini kita dicap
sebagai geng cewek yang kocak, berbakat, terampil, entertain, rajin menabung,
dan low profile. Gue garis bawahin low profile. Artinya, kita benar-benar down to earth ‘no problemo’ with all kind of
human in this world. Kita harusnya bisa menerima RAG bagaimanapun
juga… kareng itu.. nggak ada salahnya.”
“Third. Gue
nggak terlalu tau gimana sosok Bison atau Rimba. Hanya seminggu ini,
seenggaknya gue tau gimana personality Alvin.
Sejujurnya, menurut gue, Ali itu sosok yang baik banget, dan nggak bodoh-bodoh
amat. Alvin itu cowok yang kocak, baik, perhatian, dan hiihi.. cute and handsome. Kalian mungkin nggak
akan nyangka kalo Alvin ngelindungi gue dari preman jalanan empat hari lalu.
Dia bener-bener perhatian.oh… dimana lagi gue bisa nemuin cowok kayak dia?
inget, lho! Dia benar-benar perhatian!”
“Last, gue
nggak punya saran. Tapi gue mohon, gue pengin kita baikan ama RAG. Kalo bisa
sih, ama tiga geng yang laen juga. Pliss.. kita tuh sekarang naik kelas tiga. Gue
nggak mau tahun terakhir gue, diisi sama
macem-macem persaingan, rival-merival, bermusuhan. Gue nggak mau. Jujur aja,
bukan Cuma RAG gue pengin baikan. Yang lain juga.”
Aku dan Sivia kontan memeluk Shilla. Benar juga
kata-katanya. Untuk apa kita mengisi tahun terakhir di sekolah dengan
bermusuhan?
“Oke.. giliran gue.” ucap Sivia, lirih. Bahkan kurasakan
dia mulai terisak, menangis.sepertinya kata-kata Shilla tadi menyentuh
hatinya “Kahiji, gue mandang RAG .. gue teh
ngeliat mereka, sebagai cowok ganteng yang terkenal karena kebodohannya.”
“Kadua.. RAG teh, pantes buat kita jadiin temen.
Bener. Gue mah malah pengin kita
temenan ama RAG. Kenapa sih, kita musti jauhin RAG Cuma gara-gara mereka
ngejekin kita. Lagi pula, sedalem-dalemnya
mereka ngejek kita, toh kita masih tetep bersinar di mata ratusan siswa dan
guru-guru. Kita tetap mempunyai fans
club.” Sivia menghela napas. “Ingetin gue buat ngajuin proposal ke kepsek
buat ngebangun sanggar Tweenies, oke?” tambah Sivia, intermezzo.
Aku dan Shilla mengangguk sambil tersenyum.
“Katilu, gue
juga Cuma bisa ngebahas Gabriel, yang laennya sih, gue kagak tau. Menurut gue mah.. Gabriel tuh.. cute pisan. Gabriel tuh bodoh karena dibuatbuat. Bukan bodoh
beneran. Si eta mah Cuma bercanda
selama ini. Bener, dia gak bodoh. Terus, Gabriel tuh, humoris banget. Ih,
ngegemesin deh. Waktu gue jalan ama dia, dia ngelawak terus! Yaa tentu aja, gue
teh geli ngedengernya. Ngegemesin weh
lah. Te-o-pe be-ge-te. Plus.. tentunya ganteng banget. Mukanya lucu.. manis…
ngga kukuuuu!”
Sivia memeluk-meluk dirinya sendiri. Aku dan Shilla
mengerutkan alis, heran.
“oke, kaopat.
Gue gak punya saran buat kita baikan ama mereka. Tapi, gue juga pengin buat
baikan ama mereka, sama kayak Shilla. Baikan ama yang lainnya juga. Supaya,
tahun ter-akhir kita teh bener-bener so
sweet. Dan, oh, iya, Gabriel udah minta maaf ama kita, lho! Dia minta maaf
karena udah ngerepotin kita. Bener. Atas nama RAG pula. Dan.. dia juga titip
salam ama kalian. Salam buat Ify sama Shilla
ya…. Katanya.”
Aku dan Shilla memeluk erat Sivia.
“Kita terima salam mereka,kok.” Sahut Shilla. Kudengar
lagi sebuah isakan, kali ini dari
Shilla. Dan isakan berikutnya, datang dari
tubuhku sendiri. oke, jujur, aku
mulai tersentuh dengan keadaan ini.
Kami melepaskan pelukan. Sivia dan Shilla sudah
melirikku. Giliranku menjawab sekarang.
“Baiklah.. pertama, aku melihat RAG adalah geng yang
butuh perhatian. Kita bisa ngeliat, kan, mereka sering banget dapet hukuman.
Okelah, hukuman itu didapatkan karena kesalahan mereka sendiri. dan taukah
kalian kesalahan yang mereka buat itu untuk menarik perhatian kita. Mereka
pengin kita perhatiin. Cuma sayang, kita ngeliatnya dengan cara lain. Bahkan,
kita nggak pernah menerespon mereka kalau mereka mulai mengejek-ngejek kita.
Padahal, mereka ngarepin kita balas mereka. Jadi, seenggaknya, mereka bisa
berinteraksi dengan kita.”
“Tapi, kenapa mereka selalu ngeliat kita sinis. Selalu
mendelik kalau kita udah di dekat
mereka.” Komentar Shilla.
“Mereka tuh tegang kalau di deket kita, Shill. Ya,
sekaligus cari perhatian juga. Biasanya, cewek kan langsung marah kalau
diliatinn kayak gitu. Tapi kita kan gak pernah, kita cuek-cuek aja.” Jawab
Sivia. “Gue tau ini dari Gabriel.”
Aku dan Shilla berpandangan. Lalu kulanjutkan lagi
bahasanku. “kedua.. sangat pantas sekali RAG jadi teman kita. Alasannya, sudah
jelas. Alasanku sama dengan kalian. Kenapa sih, kita harus ngejauhin mereka.
Nggak ngaruh kok, ada atau nggaknya mereka, kita tetep popular kok,di sekolah.”
Shilla dan Sivia manggut-manggut.
“Ketiga. Ini tentang Rio. Oke, jujur aja, seminggu
kemarin aku bersama Rio,dii rumahnya. Dan jujur aja, Rio sebenernya nggak
jijik-jijik amat ama yang namanya cewek. Sebenernya,dia pengin temenan ama
cewek.Cuma karena…..”
Aku menghentikan kalimatku. Ups! Oh my God! Aku hampir
keceplosan.
Alasan Rio menjauhi cewek kan, karena dia childish dan manja. Dan nggak mungkin
aku bilang hal ini pada Sivia dan Shilla.
“Cuma Karena apa, Fy?”Tanya Shilla.
Aku berpikir keras,mencari jawaban bohong yang tepat.
“Karena.. karena dia nggak mau cewek yang lain sirik Cuma karena seorang cewek
deketin dia.”
Shilla dan Sivia mengerutkan alis, heran dengan
jawabanku. Sedikit gak masuk akal memang. Kesannya si Rio itu pede banget gitu,
lho. Tapi kan, mereka harusnya
percaya-percaya aja, berhubung seminggu ini aku ada di rumahnya.
Untuk menghindari Shilla dan Sivia bertanya yang
macam-macam, aku segera melanjutkan ke pertanyaan keempat. “Terakhir.. gimana
dengan memulai diri kita sendiri, instropeksi diri, kemudian minta maaf sama
yang lain. Nggak ada salahnya kita minta maaf pertama kali meskipun kita nggak
punya salah apa-apa.”
Shilla dan Sivia diam.
“Sebenernya, gue mah lebih tertarik kalau elo ngebahas
Rio.” Ungkap Sivia.
“Iya. Urusan baikan, sih, belakangan. Gue pengin tau gimana sosok Rio actually? Pasti banyak cewek yang penasaran. Dan gue yakin, you know all about him, right?” tambah
Shilla.
Aku sedikit tegang. “K-kalian pengin tau.. alasan yang
kusebutin barusan?” aku mencoba mengungkitnya meskipun berharap mereka menjawab
“tidak”.
“Nggak.” Kata Sivia.
“No..” kata
Shilla.
Bagus! Harapanku terkabul. Mereka nggak begitu
penasaran dengan alasan Rio menjauhi cewek.
“Oke.. jujur aja.. sebenernya, Rio tuh, hatinya
baik. kekurangannya Cuma bandel,
ngeselin, jahil, dan belagu mungkin. Dan kelebihannya.. kelebihannya.. apa ya?
Oh iya, kelebihannya, dia punya empat kekurangan.”
Kami semua tertawa terbahak-bahak. “yang bener aja,deh.”
Ujar Shilla.
“Nggak ding.Cuma bercanda. Rio tuh, romantis abis!”
“Apanya yang romantis?” Tanya Sivia.
“apa ya.. ehm.. oh,iya. Dia yang nolongin aku dari Dino
yang brengsek!”
Sivia dan Shilla tersentak kaget, dan tiba-tiba saja
mereka menunjukkan wajah bersalah.
“Oke, sebelum kulanjutkan, aku mau marahin kalian dulu!”
ujarku bernada tinggi. Sivia dan Shilla memejamkan matanya. “Shilla! Kenapa
sih, kamu chatting sama cowok
brengsek kayak Dino?! Sivia! Kenapa sih
kamu ninggalin aku sama Dino si brengsek itu?!”
Sejenak, dunia terasa hening, sunyi, senyap. Namun sejurus
kemudian, helaan napas lega mulai mengisi kehenigan ruangan. Sivia dan Shilla
membuka matanya.
“Elo udah marahnya?” Tanya Shilla ragu-ragu.
Aku menghembuskan napas. “Hm, oke.. berhubung ternyata
yang nolongin aku adalah Rio, aku jadi batal marah sama kalian.karna aku punya
kabar baik dan buruk…..”
“Apa itu?” Tanya Shilla.
“kabar baik, Dino itu ganteng banget. Mirip Tom Cruise,
aku baru inget wajahnya ternyata mirip dia.”
kuhela lagi napas berikutnya. “kabar buruknya, dia itu brengsek banget!
Dia mulai ngegoda aku, dan mau nyulik aku.kayaknya aku bakal dinodai olehnya.
Oh, untungnya, pangeranku pada dengan waktu yang tepat. Kebetulan banget, Rio
ada di TKP, dan nolongin aku.”
“Ya ampun, Fy. Maafin gue ya?”
“Gue juga dihapunten
atuh.”
Sivia dan Shilla langsung memelukku.
No comments:
Post a Comment