Friday, 29 June 2012

Summer In Seoul [3 & 4]


Tiga

“SOON-ALYSSA SSI, sebaiknya pinggiran topimu diturunkan sedikit lagi. Wajahmu harus tertutup,” perintah Park Hyun-Shik.
Ify bergumam tidak jelas, menyerahkan ponsel yang dipegangnya kepada Jung Tae-Rio, lalu menarik turun topi merahnya. “Kalau begini aku sendiri tidak bisa melihat apa-apa,” desahnya. “Paman sebenarnya ada di mana? Dia sedang meneropong kita atau semacamnya?”
Ia dan Jung Tae-Rio sedang berada di dalam mobil Jung Tae-Rio yang diparkir di lapangan parkir depan gedung tempat Park Hyun-Shik bekerja. Saat itu pukul sepuluh malam dan suasana di tempat parkir sepi sekali. Jung Tae-Rio yang mengenakan topi hitam dan kacamata hitam duduk di balik kemudi, Ify duduk di sampingnya, sementara Park Hyun-Shik mengawasi mereka entah dari mana. Semua komunikasi dilakukan lewat ponsel. Mereka sudah siap menjalankan tahap pertama rencana.
Jung Tae-Rio menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sudah bisa dimulai.”
Ia menutup ponsel dan memandang Ify yang sedang merapikan kepang rambutnya. “Sekitar semenit lagi kita keluar,” katanya pendek.
“Jadi kita hanya perlu keluar dari mobil, bergaya sebentar, lalu masuk kembali ke mobil?” tanya Ify memastikan.
Jung Tae-Rio mengangguk. Ia diam, lalu, “Nah, sepertinya Hyong sudah siap dengan kameranya. Kita keluar sekarang.”
Mereka berdua keluar dari mobil dan mulai berjalan berdampingan.
“Kenapa jauh begitu?” tanya Jung Tae-Rio.
Ify menoleh dan menyadari Jung Tae-Rio sedang mengomentari jarak antara mereka berdua yang terlalu jauh. “Kenapa? Kurasa ini sudah cukup dekat.”
“Orang-orang tidak akan percaya aku punya hubungan khusus denganmu kalau kau berdiri sejauh itu.”
Ify berhenti berjalan dan memutar tubuh menghadap Jung Tae-Rio. “Menurutku seperti ini juga sudah lumayan. Kita tidak perlu sampai berpelukan supaya orang percaya kita punya hubungan khusus, kan?”
Jung Tae-Rio tertawa pendek. “Apanya yang lumayan? Tubuhmu kaku begitu dan jalanmu seperti robot.”
Ify tetap diam.
Jung Tae-Rio balas menatapnya, lalu berkata, “Kita harus melakukan sesuatu.”
Ify terkejut ketika Jung Tae-Rio melangkah mendekati dirinya. “Mau apa kau?” tanyanya, tapi saking gugupnya ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.
Jung Tae-Rio berdiri tepat di depannya. Ify baru menyadari betapa dirinya begitu pendek dibandingkan pria itu. Kepalanya sampai harus mendongak kalau ia mau melihat wajah Jung Tae-Rio.
“Hei, Jung Tae-Rio ssi, kau sebenarnya mau apa?” tanya Ify sekali lagi ketika setelah beberapa saat Jung Tae-Rio hanya berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Ia tidak bisa melihat ekspresi Jung Tae-Rio dengan jelas karena laki-laki itu memakai kacamata hitam, tapi Sandy bisa melihat bibir pria itu membentuk seulas senyum.
“Aku? Hanya memberikan pose yang bagus untuk foto kita,” katanya santai, lalu ia mundur kembali.
Ify mendengus pelan. “Lucu sekali.”
“Misi selesai,” kata Ify ketika mereka sudah duduk kembali di dalam mobil. “Hhhh… lelahnya. Benar-benar pekerjaan yang berat.”
Tae-Rio tersenyum kecil mendengar gurauan Ify. Ternyata gadis ini bisa bercanda juga. Tae-Rio yakin sebenarnya Ify orang yang ramah, meski saat ini gadis itu lebih sering bersikap kaku dan menjaga jarak, bahkan terkadang cenderung dingin. Bagaimanapun hal itu wajar saja mengingat mereka tidak terlalu saling mengenal.
“Aku merasa seperti sedang main film,” Ify menambahkan. “Mungkin seharusnya aku jadi aktris saja. Bagaimana menurutmu?”
“Teruslah bermimpi,” sahut Tae-Rio sambil menghidupkan mesin mobil.
Saat itu terdengar dering ponsel. Mereka berdua serentak mencari ponsel mereka. Yang berdering ternyata ponsel Tae-Ri.
“Sebaiknya kau ganti nada dering ponselmu,” gerutu Ify sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku celana.
“Kenapa harus aku? Kau saja yang ganti,” kata Tae-Rio sebelum menjawab teleponnya. “Ya, Hyong… Sudah?”
Tiba-tiba ponsel Ify berdering juga. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Ify langsung menjawab teleponnya. “Halo?”
Tae-Rio melihat gadis itu mendesah dan melepaskan topi merahnya. Siapa yang meneleponnya? Lamunan dalam benaknya buyar ketika ia sadar Park Hyun-Shik berulang kali menyebut namanya di telepon.
“Eh, apa, Hyong?... Oh, oke. Sampai jumpa besok,” kata Tae-Rio sebelum menutup ponsel.
“Aku? Sekarang? Sedang di luar,” kata Ify dengan nada santai.
Tae-Rio memerhatikan alis Ify terangkat ketika gadis itu mendengarkan jawaban orang di seberang sana.
“Sebentar lagi juga akan pulang. Kalau ada yang perlu dibicarakan, bicarakan nanti saja. Aku sekarang sedang sibuk. Tutup dulu ya.” Ify langsung menutup teleponnya.
“Telepon dari siapa?” tanya Tae-Rio sambil lalu.
Ify menoleh ke arahnya. “Teman,” sahut gadis itu pendek, lalu mengalihkan pembicaraan. “Kita sudah selesai sekarang? Paman bilang apa tadi?”
Tae-Rio memandang Ify dengan kening berkerut. “Paman?” tanyanya heran. “Kenapa kau memanggil Hyong ‘paman’? Dia kan belum setua itu. Kalau aku sih tidak akan sudi dipanggil ‘paman’.”
Ify baru akan membuka mulut untuk menjawab ketika Tae-Rio menambahkan, “Tapi terserah kau sajalah. Panggil saja dia ‘paman’ atau apa pun sesukamu. Hyong tidak akan keberatan. Dia bukan orang yang suka ambil pusing untuk masalah seperti ini. Asal kau tidak memanggilnya ‘onni*’ saja.”
Ify menarik napas dan berdeham “Jadi Paman bilang apa tadi?” tanyanya sekali lagi.
“Katanya mungkin lusa foto-foto itu akan muncul di tabloid,” jawab Tae-Rio. Namun kemudian perkataannya selanjutnya seakan ditujukan kepada dirinya sendiri, “Harus lagi-lagi siap menghadapi wartawan. Tapi setidaknya reputasiku akan kembali seperti dulu…”
Tae-Rio menoleh dan mendapati Ify sedang menatapnya dengan pandangan aneh. “Apa? Ada apa?”
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Ify agak ragu.
“Apa?”

*Kakak, panggilan wanita kepada wanita yang lebih tua.

“Sebenarnya… kau gay atau bukan?”
Tae-Rio melepas kacamatanya dan menatap Ify dengan kesal.
Tanpa menunggu jawaban, Ify mengibaskan tangan. “Oh, baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Kau gay atau bukan juga bukan urusanku.”

Seperti rencana Park Hyun-Shik, hari Senin pagi foto-foto mereka sudah mucul di tabloid. Ify baru memasuki ruang kuliah ketika Kang Young-Via berlari ke arahnya.
“Hei, Han Soon-Alyssa!” seru Young-Via dengan suara menggelegar.
Ify mengerjapkan matanya dengan bingung, lalu setelah pulih dari kekagetannya, ia menggerutu, “Sudah kubilang berkali-kali jangan panggil nama lengkapku seperti itu. Memangnya ‘Ify’ terlalu susah diucapkan?”
“Dan sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak suka nama yang kebarat-baratan,” balas Young-Via lalu melanjutkan, “Sekarang itu bukan masalah penting. Lihat ini!” Ia melambai-lambaikan tabloid tepat di depan wajah Ify.
“Apa ini?” tanya Ify. Ia harus mundur selangkah supaya bisa melihat jelas apa yang ingin diperlihatkan temannya itu.
“Jung Tae-Rio ternyata punya pacar!” kali ini seruan Young-Via begitu keras sampai-sampai Ify terlompat kaget.
Ify melihat halaman depat tabloid itu dan menahan napas. Ia membaca judul utamanya “JUNG TAE-RIO DAN KEKASIH WANITA?” dicetak dengan ukuran besar. Di bawah judul itu ada tiga fotonya bersama Jung Tae-Rio. Foto-foto itu agak buram, tapi kenapa Ify merasa dirinya terlihat begitu jelas?
Foto pertama memperlihatkan mereka berdua di dalam mobil. Jung Tae-Rio sedang memegang kemudi dan menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Ify sendiri juga sedang memandang pria itu dengan kepala dimiringkan sehingga wajahnya tertutup topi merahnya. Kapan mereka berpose seperti itu? Ify sendiri tidak ingat.
Foto yang kedua diambil ketika mereka berjalan bersama. Foto itu diambil sedikit menyamping sehingga Ify agak tertutup tubuh Jung Tae-Rio. Ify memerhatikan foto itu dan mengerutkan kening. Seingatnya mereka tidak berdiri sedekat itu, tapi mungkin arah pengambilan fotonya yang menyebabkan mereka terlihat dekat.
Foto ketiga adalah saat Jung Tae-Rio berdiri tepat di depannya dan begitu dekat, Ify sendiri berdiri tegak dengan kepala mendongak memandangnya. Lagi-lagi sudut pengambilan foto membuat foto itu terlihat bagus sekali dan wajah Ify agak tertutup. Ditambah lagi Jung Tae-Rio sedang tersenyum dalam foto itu. Mau tidak mau Ify kagum pada Park Hyun-Shik. Ternyata Paman pintar memotret.
“Kau lihat? Sudah lihat?” Young-Via jelas-jelas terlihat kesal dan sedikit histeris. “Ternyata selama ini Jung Tae-Rio sudah punya kekasih. Siapa wanita itu? Artis? Kau tahu tidak, semua penggemarnya sedang shock saat ini.”
Ify agak lega karena Kang Young-Via tidak menyadari bahwa dirinyalah yang ada di dalam foto bersama Jung Tae-Rio. Ia melipat kembali tabloid itu, mengembalikannya kepada Young-via, lalu berkata, “Kenapa kesal? Bukankah ini malah membuktikan Jung Tae-Rio bukan gay?”
Young-Via terdiam dan menimbang-nimbang. “Tapi kalau melihat dia dengan wanita lain, rasanya hatiku… aduh,” katanya dengan wajah memelas.
Ify tertawa geli.
“Tapi… mungkin juga gadis ini bukan kekasihnya,” kata Young-Via tiba-tiba.
“Memangnya apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Bisa saja kasusnya sama dengan kasusmu waktu itu. Jung Tae-Rio hanya mengantarmu dan tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian. Lagi pula semua orang tahu wartawan suka membesar-besarkan masalah.”
Ify cepat-cepat menoleh dan mendapati sahabatnya sedang memandangnya yakin. “Tapi menurutku yang ini memang benar. Di artikel ini bahkan juga tertulis ada sumber tepercaya yang menyatakan Jung Tae-Rio memang sudah punya pacar, kan? Lagi pula kalau dipikir-pikir, bukankah ini hal yang baik? Maksudku, bagi penggemar sepertimu, yang paling penting kan Jung Tae-Rio bukan gay alias suka wanita….”
Karena ekspresi kecewa Young-Via belum berubah, Ify menambahkan, “Kau juga tidak perlu histeris begitu. Kalaupun wanita di foto ini memang pacarnya, masih ada kemungkinan mereka berpisah. Kau berdoa saja supaya mereka cepat berpisah.”
“Kau bisa berkata seperti itu karena kau bukan penggemarnya! Aku penasaran sekali siapa wanita itu. Di sini juga tidak diceritakan siapa dia….” Young-Via mengembuskan napas panjang. Mendadak dia menepuk tangan dan berkata penuh semangat, “Tapi kau benar. Tidak apa-apa, sebentar lagi pasti ketahuan. Dia harus putus dengan Tae-Rio oppa*-ku!”
Ify geleng-geleng menahan geli. Tapi sebelum senyumnya mereda, Young-Via sudah berkata lagi, “Tapi ada yang aneh. Coba lihat foto-foto ini, Soon-Alyssa. Kenapa mereka berdua tidak bersentuhan? Mungkin memang bukan hal penting, tapi maksudku, orang pacaran bukannya suka berpegangan tangan kalau berjalan bersama?”
*Kakak, panggilan wanita kepada pria yang lebih tua.

Jung Tae-Rio sedang berada di kantor Park Hyun-Shik. Ia memegang tabloid yang memuat foto-fotonya bersama Ify.
Hyong ternyata pandai memotret,” kata Tae-Rio sambil tersenyum.
Park Hyun-Shik hanya mengangkat bahu menerima pujian itu. “Menurutku rencana kita cukup sukses karena sejak pagi kantor kita sudah dibanjiri telepon yang meminta kepastian dan wawancara denganmu.”
“Dia sudah melihat ini atau belum ya?” tanya Tae-Rio sambil meletakkan tabloid itu di atas meja.
“Soon-Alyssa ssi? Seharusnya sudah karena orang-orang juga akan membicarakan-nya,” sahut Park Hyun-Shik. Ia meraih tabloid itu dan mengamati foto-foto Tae-Rio dan Ify. “Dia melakukannya dengan baik sekali, kan? Gadis yang tenang, mudah diajak kerja sama. Bagus juga dia bukan salah satu penggemarmu, jadi dia tidak histeris atau semacamnya.”
Tae-Rio hanya mengangkat bahu.
Park Hyun-Shik berkata pelan seperti merenung. “Ya, gadis yang tenang. Bahkan mungkin terlalu tenang… Tidakkah menurutmu dia terlalu mudah menyetujui permintaanmu?”
Tae-Rio mengangkat bahu lagi. “Tidak juga,” jawabnya.
“Dia tidak minta imbalan apa pun?” tanya Park Hyun-Shik lagi.
Tae-Rio mengingat-ingat. “Tidak.”
“Aneh,” gumam Park Hyun-Shik. Setelah berkata seperti itu, telepon di meja kerjanya berdering.
Sementara manajernya menjawab telepon, Jung Tae-Rio menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia menelepon Ify. Tak berapa lama akhirnya ia mengeluarkan ponselnya dan menekan angka sembilan.

Ify dan Young-Via sedang berjalan di halaman kampus sambil membicarakan Jung Tae-Rio dan pacar misteriusnya ketika Ify mendengar namanya dipanggil.
Mereka berdua menoleh ke belakang dan melihat laki-laki tinggi besar sedang berlari-lari kecil menghampiri mereka.
Young-Via menyikut lengan Ify dan berbisik, “Mau apa lagi dia?”
Ify mengerutkan kening dan menggeleng tanda tidak tahu.
Laki-laki itu berhenti di depan mereka berdua sambil tersenyum lebar. “Halo, kebetulan sekali bertemu kalian di sini. Mau makan siang? Ayo, ku traktir.”
Young-Via meringis. “Kebetulan apanya?”
“Lee Jeong-Iel ssi, sedang apa kau di sini?” tanya Ify.
“Tidak ada alasan khusus,” jawab Lee Jeong-Iel riang, seakan tidak menyadari nada ketus kedua gadis itu. “Kupikir karena sudah lama tidak bertemu, tidak ada salahnya kita makan siang bersama sambil mengobrol.”
“Pacarmu mana?” tanya Young-Via tiba-tiba. “Dia tidak marah kalau kau makan siang bersama dua wanita? Ngomong-ngomong, kau masih bersama gadis yang waktu itu, kan? Atau sudah ada yang baru?”
Wajah Lee Jeong-Via memerah dan dia agak salah tingkah ketika menjawab, “Oh, dia sedang ada urusan di tempat lain. Ayolah, mumpung pekerjaanku sedang tidak banyak. Lagi pula aku ingin mengobrol dengan kalian. Oke?”
Ify dan Young-Via berpandangan. Mereka tahu mereka tidak bisa menghindar tanpa bersikap kasar kepada laki-laki seperti Lee Jeong-Iel.
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi. Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ify mendengar ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponselnya. Ia tidak mengenal nomor telepon yang tertera di sana.
“Halo?”
“Sudah lihat?”
“Apa?” Dalam kebingungan Ify menatap ponselnya, lalu menempelkannya kembali di telinga. “Siapa ini?”
Laki-laki di ujung sana mendengus kesal. “Kau tidak tahu?”
“Tidak.”
Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar, “Ini Jung Tae-Rio.”
Ify tersentak dan sontak menatap Young-Via dan Jeong-Iel bergantian. Kedua orang itu jadi ikut menatapnya dengan pandangan bertanya. Tepat pada saat itu pelayan datang dan menanyakan pesanan.
Ify memalingkan wajah dan berkata dengan suara pelan di telepon, “Oh, kau rupanya. Ada apa?”
Ify mendengar Jung Tae-Rio menarik napas di seberang sana. “Kau sudah lihat fotonya?” Nada suaranya sudah kembali seperti biasa.
“Sudah,” sahut Ify. “Lalu bagaimana? Kau sudah ditanya-tanya?”
“Sore ini aku ada jadwal wawancara.”
“Soon-Alyssa, kau mau makan apa?” tanya Jeong-Iel tiba-tiba.
Ify menoleh dan menjawab, “Terserah. Pesankan saja untukku.”
“Kau tidak sedang sendirian?” tanya Tae-Rio.
“Aku sedang makan bersama teman.”
“Hei, kenapa tidak bilang dari tadi? Kau bisa membongkar rencana kita.”
“Lho, kenapa marah-marah? Kau sendiri tidak bertanya dulu, lagi pula aku kan tidak bilang apa-apa ke siapa pun.”
Jung Tae-Rio terdiam sebentar, lalu berkata, “Malam ini jam tujuh kau harus ke rumah Hyun-Shik Hyong. Ada yang ingin dibicarakan. Mengerti?”
Wajah Ify berubah kesal, tapi ia berkata, “Ya, ya, mengerti. Tapi rumahnya di mana?”
Ify mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya. Setelah mencatat alamat Park Hyun-Shik seperti yang disebutkan Jung Tae-Rio, ia menutup ponsel dan mendapati Young-Via dan Jeong-Iel sedang memerhatikannya.
“Dari siapa?” tanya Jeong-Iel.
“Teman,” sahut Ify ringan sambil tersenyum kecil. “Makanannya sudah dipesan?”
Tae-Rio menutup ponselnya sambil melamun.
“Kau sudah memintanya datang ke tempatku nanti malam?” tanya Park Hyun-Shik membuyarkan lamunannya.
“Sudah,” jawabnya pelan.
“Kau juga nanti malam jangan datang terlambat,” kata manajernya sambil mengenakan jas. “Ayo, kita pergi makan siang. Mau makan apa?”
Hyong,” panggil Tae-Rio tiba-tiba.
“Apa?”
Hyong pernah mencari informasi tentang Han Soon-Alyssa. Apakah Hyong sudah mengecek dia punya pacar atau tidak?”
“Memangnya kenapa?”
“Tadi ketika aku meneleponnya, dia sedang bersama laki-laki. Kalau memang dia punya pacar, pacarnya bisa tahu soal kita.”
Park Hyun-Shik berpikir. “Nanti malam kita bisa menanyakannya langsung pada Soon-Alyssa ssi. Ayolah, kita pergi makan dan setelah itu kau harus bersiap-siap untuk wawancara.”

“Jadi kau sudah mengatakannya pada wartawan?” tanya Ify sambil menjepit sepotong daging panggang dengan sumpit dan memasukkannya ke mulut.
Mereka bertiga—Jung Tae-Rio, Park Hyun-Shik, dan dia sendiri—sudah berkumpul di apartemen Park Hyun-Shik yang besar dan mewah. Ketika Ify datang, kedua laki-laki itu baru akan mulai memanggang daging. Hyun-Shik berkata makan malam ini adalah ucapan terima kasihnya atas bantuan Ify.
“Kau bisa baca sendiri beritanya di koran,” sahut Jung Tae-Rio sambil membolak-balikkan potongan daging di atas panggangan.
Ify meringis, lalu menoleh ke arah Park Hyun-Shik yang sedang meneguk soju. “Paman tidak makan?” tanyanya ketika melihat pria itu tidak memegang sumpit.
Park Hyun-Shik meraih sumpit dan berkata, “Soon-Alyssa ssi…”
“Kalian boleh memanggilku Ify saja,” Ify menyela dengan cepat dan memandang Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio bergantian.
Jung Tae-Rio mendengus pelan, tapi tidak menjawab.
Pakr Hyun-Shik berdeham dan melanjutkan, “Oke, kalau memang kau tidak keberatan. Ify, sepertinya aku belum pernah bertanya, tapi apa kau punya pacar sekarang ini?”
Ify tersedak mendengar pertanyaan Park Hyun-Shik. “Pacar?”
Park Hyun-Shik cepat-cepat berkata, “Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu, tapi kalau kau memang punya pacar, itu bisa agak menyulitkan. Kau tidak mungkin bisa menyembunyikan hal ini darinya.”
Ify mengangguk-angguk pelan. “Oh,” gumamnya. “Tenang saja, aku tidak punya pacar.”
“Siang tadi ketika aku meneleponmu, bukankah kau sedang bersama pacarmu?” Jung Tae-Rio menimpali.
Ify menoleh ke arahnya. “Siang tadi? Aah… dia bukan pacarku.”
“Kedengarannya seperti pacar,” Jung Tae-Rio bersikeras.
Ify menatap kedua laki-laki itu dengan mata disipitkan. “Baiklah,” akhirnya ia berkata. Ia meletakkan sumpitnya di meja. “Karena kalian curiga begitu, aku akan mengatakan yang sebenarnya.”
“Dia pacarmu?” tanya Jung Tae-Rio langsung.
“Bukan,” Ify menegaskan. “Aku dan dia memang pernah berhubungan, tapi hubungan itu sudah berakhir delapan bulan yang lalu.”
“Lalu hubungan kalian sekarang masih baik?” Kali ini Park Hyun-Shik yang bertanya.
“Susah mengatakannya,” sahut If agak bingung. Ia bertopang dagu dan mengerutkan kening. “Sebenarnya setelah berpisah, kami tidak bertemu lagi. Kemudian kira-kira sebulan lalu dia mulai menghubungiku. Aku juga tidak tahu apa maunya.”
“Itu artinya dia ingin kembali kepadamu,” kata Jung Tae-Rio. “Kenapa kau memutuskan dia waktu itu? Itu juga kalau kami boleh tahu.”
Alis Ify terangkat. “Siapa bilang aku yang memutuskannya? Dia sendiri yang minta putus dariku karena dia tertarik pada wanita lain.”
Kedua laki-laki itu menatapnya dengan pandangan aneh. Apakah pandangan itu disebabkan rasa kasihan? Ify memang merasa dirinya dulu sangat menyedihkan. Pacar yang ia percayai meninggalkannya demi wanita lain.
“Tidak usah melihatku seperti itu. Aku tidak apa-apa. Waktu itu aku memang sedih, tapi aku bukan tipe wanita yang histeris. Ada banyak hal yang bisa membuatku bahagia. Banyak sekali…”
Merasa canggung telah membicarakan masalah pribadinya pada kedua pria itu, sebelum Ify bisa menghentikan dirinya sendiri, bibirnya terus mengoceh, “Mmm, aku suka mendengarkan musik, suka keripik kentang, bunga, kembang api, hujan, dan bintang. Jadi waktu itu untuk menenangkan diri, aku makan banyak sekali keripik kentang dan aku sering membeli bunga untuk diriku sendiri. Kedengarannya mungkin aneh, tapi perasaanku langsung jadi lebih baik.”
“Lalu kenapa sekarang dia mendekatimu lagi?” desak Jung Tae-Rio.
Ify mengangkat bahu. “Mana aku tahu.”
“Mungkinkah dia sudah berpisah dengan wanita yang dulu itu?” tanya Park Hyun-Shik.
Ify memiringkan kepala. “Sepertinya belum.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Jung Tae-Rio sambil menatap Sandy ingin tahu.
Ify membalas tatapannya. “Bagaimana apanya?”
“Kau masih mengharapkannya?”
Ify terdiam sejenak, lalu ia mengetukkan sumpitnya ke piring dan berkata, “Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Yang penting sekarang aku tidak punya pacar dan tidak akan menyulitkan kalian berdua. Ayo, makan lagi.”
Jung Tae-Rio masih terlihat tidak puas, tapi kali ini Ify berhasil mengendalikan mulutnya. Bagaimanapun, ia kan baru mengenal kedua laki-laki itu, rasanya tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan mereka.
Ify berdeham untuk mengalihkan topik, lalu bertanya, “Lalu rencana selanjutnya apa? Paman akan memotret kami lagi?”
Park Hyun-Shik menggeleng. “Tidak. Untuk saat ini kau boleh bersantai dulu. Meski kau harus tetap siap seandainya kami tiba-tiba butuh bantuanmu.”
“Aku mengerti,” ujar Ify. “Yang jadi bosnya kan kalian berdua.”
“Oh ya, hari Sabtu nanti Tae-Rio akan mengadakan jumpa penggemar untuk mempromosikan album barunya,” kata Park Hyun-Shik tiba-tiba. “Kau mau datang?”
Ify tersedak dan terbatuk-batuk. Sumpitnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.
Ify memungut sumpit yang jatuh dan mengulurkannya kepada Park Hyun-Shik. “Maaf, sepertinya aku makan terlalu buru-buru,” katanya sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya yang basah karena keringat dingin ke celana jins.
“Tidak perlu rakus seperti itu,” kata Jung Tae-Rio. Sama sekali tidak membantu.
Ify tidak mengacuhkannya dan bertanya pada Park Hyun-Shik, “Jumpa penggemar? Seperti yang dulu?”
Jung Tae-Rio tertegun menatap daging panggangnya. Ia kaget Ify tahu soal jumpa penggemar terakhir yang dilakukannya sebelum mengambil jeda dari dunia selebriti.
“Tidak, tidak seperti dulu,” Park Hyun-Shik cepat-cepat menyela sebelum suasana hati Tae-Rio berubah menjadi buruk. “Kali ini tidak seramai dulu. Kami akan membatasi jumlah penonton. Bagaimana? Kau mau datang?”
“Oh, begitu? Hmmm…” Ify menerima sumpit baru yang diulurkan Park Hyun-Shik. “Aku boleh datang?”
Jung Tae-Rio mendengus dan meneguk soju-nya, rupanya Park Hyun-Shik terlambat menyelamatkan situasi. “Untuk apa kau datang? Memangnya kau termasuk penggemarku?”
“Memang bukan,” jawab Ify terus terang, lalu menjepit daging panggang dan memasukkannya ke mulut. Ia melihat Jung Tae-Rio menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, seolah menantinya memberi alasan.
Entah kenapa Ify merasa tidak nyaman dengan cara Tae-Rio memandangnya itu, ia pun berdecak. “Ya sudah, aku tidak akan datang. Lagi pula aku juga sudah bosan melihatmu. Aneh juga, kenapa teman-temanku begitu menyukaimu ya?”
Tae-Ri sudah membuka mulut untuk membalas komentar Ify, tapi Park Hyun-Shik buru-buru menengahi, “Jangan begitu. Aku akan memberikan dua lembar tiket untukmu. Datanglah bersama temanmu hari Sabtu nanti. Kau belum pernah mendengar Tae-Rio menyanyi, kan?”
Ify meringis dan menatap Jung Tae-Rio yang melahap daging panggang dengan kesal. “Sebenarnya pernah. Di televisi…,” katanya.
Setelah beberapa saat Ify memutuskan untuk melunak, “Bagaimana? Aku boleh datang, tidak? Siapa tahu setelah pergi ke acara itu, aku jadi bisa melihat apa yang tidak kulihat selama ini. Siapa tahu nantinya aku jadi bisa mengerti kenapa banyak orang menyukaimu.”
Jung Tae-Rio menatapnya dan mendesah. “Datang saja kalau kau mau. Tapi jangan macam-macam.”
Ify tersenyum jail, tiba-tiba saja ia merasa menggoda Tae-Rio adalah kegiatan yang menyenangkan, dan berkata, “Baiklah, kau mau aku berpura-pura menjadi penggemarmu yang paling fanatik? Aku bisa berlari ke arahmu dan memelukmu kuat-kuat. Lalu menjerit-jerit memanggil namamu. Tae-Rio Oppa! Aku cinta padamu! Itu yang biasanya dilakukan para penggemarmu, kan?”

 “Mungkin sebaiknya kau tidak usah datang,” kata Tae-Rio sambil meletakkan sumpitnya dengan keras. “Benar. Jangan datang!”
Ify menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Kau tadi sudah setuju. Tidak boleh ditarik kembali. Lagi pula temanku Kang Young-Via penggemar beratmu. Aku sudah merasa tidak enak karena harus menyembunyikan masalah ini darinya. Dia sangat ingin mendapatkan tanda tanganmu. Jadi, aku pasti akan mengajaknya ke acara jumpa penggemarmu Sabtu nanti.”
Jung Tae-Rio hanya bisa menarik napas panjang. “Ya, ya, terserah kau sajalah.”


Empat


HYONG, hari ini tidak ada jadwal kerja, kan? … Aku sedang di luar. Ada sedikit urusan… Oke, sampai jumpa.”
Tae-Rio melempaskan earphone dari telinga dan kembali memusatkan perhatian pada jalanan di depannya.
“Sepertinya di sini kampusnya,” gumamnya pada diri sendiri sambil menghentikan mobil di tepi jalan. Ia membuka flap ponselnya dan baru akan menekan angka sembilan ketika gerakannya terhenti.
Ia melihat Ify melalui kaca jendela mobilnya. Gadis itu sedang berjalan keluar dari gerbang kampus bersama laki-laki tinggi besar. Tae-Rio terus mengamati mereka ketika laki-laki itu membukakan pintu mobilnya untuk Ify dan gadis itu masuk.
Tae-Rio menutup ponsel, melemparkannya ke kursi penumpang di sampingnya, lalu memutar mobilnya untuk mengikuti mobil putih itu.
Ternyata mereka tidak pergi jauh. Mobil putih itu berhenti di depan kafe dan kedua orang itu turun. Tae-Rio menghentikan mobil di seberang jalan dan tetap diam di dalam mobil. Ia melihat Ify dan laki-laki itu masuk ke kafe dan, untungnya, menempati meja di dekat jendela. Dari mobilnya, Tae-Rio bisa melihat mereka berdua dengan jelas. Si laki-laki tidak henti-hentinya tersenyum dan berbicara, Ify juga sering tersenyum dan sesekali menanggapi kata-kata pria itu.
Tae-Rio meraih ponselnya dan menekan angka sembilan. Begitu mendengar suara operator telepon, Tae-Rio langsung menutup flap ponselnya dengan keras.
“Kenapa ponselnya dimatikan?” tanyanya kesal.
Tae-Rio memerhatikan Ify yang sedang tersenyum kepada pelayan yang meng-antarkan minuman. Ia memalingkan wajah lalu bertanya pada dirinya sendiri dengan nada heran, “Kenapa aku harus peduli?”
Ia menghidupkan mesin dan menjalankan mobil dengan kasar sehingga rodanya berdecit.

“Kau mau pulang? Bagaimana kalau kuantar?”
Ify menggeleng dan tersenyum. “Tidak usah, Jeong-Iel ssi. Aku belum mau pulang.”
Lee Jeong-Iel berdiri di samping mobil putihnya dan bertanya lagi, “Kalau begitu kau mau ke mana? Aku bisa mengantarmu.”
Ify menggeleng lagi. “Tidak usah. Kau pasti sibuk. Pergi saja dulu.”
Karena tidak bisa membujuk Ify, Lee Jeong-Iel akhirnya melambaikan tangan dan masuk ke mobil.
Ify memerhatikan mobil putih itu membelok di sudut jalan dan mengembuskan napas. Ia berbalik dan mulai berjalan pelan. Karena teringat ponselnya yang tadi ia matikan, ia merogoh tas dan menyalakan alat komunikasi itu segera setelah menemukannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Halo?” katanya, menempelkan ponsel ke telinga.
“Ini aku,” ujar suara di seberang sana.
“Jung Tae-Rio ssi?” Ify agak heran mendengar suara Jung Tae-Rio.
“Kau di mana sekarang?” tanya Jung Tae-Rio cepat.
“Aku… oh…” Ify melihat sekelilingnya dan menyebutkan tempatnya.
“Tunggu di sana.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Jung Tae-Rio langsung memutuskan hubungan.
Ify menatap ponselnya dengan bingung. Orang aneh. Tunggu di sini? Kenapa? Dia mau datang?
Ify sedang mempertimbangkan apakah ia harus menunggu sambil berdiri di tepi jalan atau masuk lagi ke kafe ketika mobil merah berhenti tepat di depannya. Jendela mobil itu diturunkan dan Ify membungkukkan badan untuk melihat ke dalam. Ia melihat Jung Tae-Rio yang berkacamata gelap seperti biasa duduk di balik kemudi.
“Masuk,” kata laki-laki itu singkat.
Ify mendengus pelan mendengar nada memerintah dalam suara Jung Tae-rio, tapi ia masuk juga ke mobil.
“Kenapa cepat sekali datangnya? Tadi kau sedang ada di sekitar sini?” tanya Ify ringan ketika mereka sudah melaju di jalan.
Tae-Rio tidak menjawab, hanya bergumam tidak jelas.
“Kenapa mencariku? Kita harus berfoto?” tanya Ify lagi sambil menatap teman seperjalanannya yang entah kenapa agak aneh hari ini.
Sepertinya Jung Tae-Rio tidak bisa menahan emosi lagi karena ia mulai menggerutu. “Aku mencoba menghubungimu dari tadi. Kenapa ponselmu dimatikan? Bukankah Hyong sudah bilang padamu kau harus siap setiap saat kalau-kalau kami menghubungimu?”
Ify menatap Jung Tae-Rio dengan jengkel. “Baiklah, aku minta maaf. Aku memang baru mengaktifkan kembali ponselku. Tapi bukankah sekarang kau sudah berhasil menghubungiku?”
“Kau tadi sedang apa sampai tidak bisa menjawab telepon?” tanya Jung Tae-Rio sambil tetap menatap lurus ke jalan.
“Sedang bersama teman,” jawab Ify, lalu mengalihkan pembicaraan. “Kenapa kau mencariku? Kita mau ke mana?”
Ify melihat Jung Tae-Rio agak ragu sesaat, lalu laki-laki itu berkata, “Aku sampai lupa apa yang ingin kukatakan saking terlalu lamanya menunggumu. Tapi sebaiknya kau menemaniku membeli sesuatu.”
“Beli apa?”
“Hadiah untuk penggemarku,” sahut Jung Tae-Rio sambil memandang Ify sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Untuk dibagikan dalam acara jumpa penggemar Sabtu nanti.”
“Untuk semua orang?”
“Tidak, hanya untuk beberapa orang yang terpilih.”
“Ooh.” Ify mengangguk-angguk. “Kenapa kau baik sekali? Kukira artis tidak membeli sendiri hadiah untuk penggemarnya. Kupikir hal-hal semacam itu diurus orang lain.”
“Aku lebih suka membelinya sendiri. Karena kebetulan kau tidak sibuk, kau bisa membantuku.”
Ify menoleh cepat. “Hei, siapa bilang aku tidak sibuk? Dua jam lagi aku harus menemui Mister Kim. Lagi pula menurut perjanjian, kita hanya akan berfoto bersama. Tidak pernah disebut-sebut soal aku harus menemani atau membantumu mengerjakan apa pun.”
“Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kita anggap saja kesepakatan ini sama dengan aku menawarkan pekerjaan untukmu. Kau tidak menolak. Jadi intinya, kau sekarang bekerja untukku. Bukankah begitu?” kata Jung Tae-Rio sambil tersenyum. “Soal Mister Kim-mu itu, tidak usah cemas. Kau akan bisa menemuinya tepat waktu. Sudah kubilang aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu di sana.”
Ify merasa tidak perlu memberitahu Jung Tae-Rio bahwa ia tadi bersama Lee Jeong-Iel. Bagaimanapun, masalahnya dengan Lee Jeong-Iel adalah masalah pribadi yang tidak ada hubungannya dengan Jung Tae-Rio maupun Park Hyun-Shik. Ditambah lagi kenyataan bahwa pertemuan dengan Lee Jeong-Iel tadi hanyalah perbincangan singkat tanpa arti khusus.
Jung Tae-Rio menghentikan mobil di depan toko pakaian yang kelihatan mewah di Apgujeong-dong, salah satu kawasan paling trendi di Seoul, dipenuhi restoran kelas atas dan toko pakaian dari para desainer terkenal. Ify tahu toko itu karena ia sering melewatinya. Kadang-kadang ia berhenti dan mengagumi pakaian yang dipajang di etalasenya, tapi tidak pernah sekali pun ia menapakkan kakinya di dalam toko itu. Ia tidak perlu masuk ke toko itu untuk tahu bahwa harga barang yang dijual di toko itu pasti mahal, sama seperti butik Mister Kim. Ia lebih suka berbelanja di Meyong-dong yang sering disebut Ginza-nya Seoul, salah satu kawasan perbelanjaan yang populer. Harga barang-barang di Myeong-dong memang tidak jauh berbeda dengan harga barang di Apgujeong-dong, tetapi Ify merasa lebih nyaman karena sudah terbiasa berbelanja di sana.
Ify mencondongkan badan dan mengamati bangunan itu. “Hei, kau mau masuk ke sana? Memangnya tidak apa-apa kalau kau dikenali orang? Lalu aku bagaimana? Aku tidak ingin terlihat bersamamu.”
Jung Tae-Rio melepaskan sabuk pengamannya dan mendesah. Ia menatap Ify dengan kening berkerut, lalu berkata, “Aku ini bukan narapidana yang tidak boleh ke mana-mana. Lagi pula apa gunanya jadi artis kalau tidak ingin dikenal orang?”
Ify masih tidak berniat melepas sabuk pengamannya. “Oh, begitu? Kau merasa senang kalau orang-orang mengenalimu, jadi histeris, lalu jatuh pingsan di hadapanmu?”
“Orang-orang tidak akan pingsan begitu melihatku,” kata Jung Tae-Rio. “Kau tenang saja. Aku kenal pemilik toko ini. Dia tidak akan banyak bertanya. Aku sering ke sini dengan staf manajemenku. Soal dirimu… anggap saja kau salah satu anggota stafku.”
Jung Tae-Rio membuka pintu, lalu mulai beranjak dari kursi ketika ia berhenti dan menoleh ke arah Ify lagi. “Tunggu dulu. Kau kan memang anggota stafku. Kau bekerja untukku, bukan? Ayo, turun.”
Ify mengangkat bahu, melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
“Sebenarnya kau ingin beli apa?” tanya Ify bingung. Ia melihat-lihat barang-barang yang dijual di toko itu dan ia benar, harganya sama sekali tidak murah.
“Entahlah, aku belum tahu,” jawab Jung Tae-Rio sambil melepas kacamata gelapnya. “Bagaimana kalau kau saja yang pilih. Ayo, kita naik.”
“Hei, Jung Tae-Rio!”
Ify dan Jung Tae-Rio serentak menoleh ke arah seruan penuh semangat itu. Ternyata suara itu milik laki-laki yang tampan sekali. Ify merasa pernah melihat laki-laki itu. Di mana ya? Ah! Di televisi. Laki-laki itu kan bintang iklan pakaian olahraga. Tidak salah lagi.
“Apa kabar, Cakka?” Jung Tae-Rio menyapa dan menepuk punggungnya.
Ify menjauh dari sana dan membiarkan kedua laki-laki itu berbincang-bincang. Kalau tidak salah, ia memang pernah dengar Jung Tae-Rio berteman baik dengan Cakka. Walaupun sudah berdiri agak jauh dan tersembunyi di balik rak pakaian, ia masih bisa mendengar jelas pembicaraan kedua laki-laki itu.
“Hei, kauganti nomor ponselmu, ya?” Ify mendengar Cakka bertanya kepada Jung Tae-Rio.
“Tidak. Kenapa?”
“Beberapa hari yang lalu aku meneleponmu, tapi yang menjawab wanita dan dia bilang dia tidak kenal denganmu.”
Ify menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia ingat hari itu, hari ketika ponselnya dan ponsel Jung Tae-Rio tertukar. Saat itu ia mengira orang itu salah sambung. Ify mengalihkan tatapan ke arah Jung Tae-Rio, penasaran bagaimana jawaban pria itu.
“Kau pasti salah sambung. Nomor ponselku tetap seperti yang dulu,” katanya tenang sambil tersenyum.
“Tidak mungkin salah sambung,” Cakka bersikeras. “Tapi sudahlah, itu bukan masalah. Kakakku terus menanyakan kabarmu. Katanya sudah lama kau tidak ke sini.”
“Maaf. Aku memang agak sibuk belakangan ini.”
Cakka menatap Jung Tae-Rio penuh selidik. “Oh ya, aku baru ingat. Kenapa kau tidak cerita padaku?”
Jung Tae-Rio mengangkat alis. “Tentang apa?”
“Pacarmu.”
Ify menahan napas.
Jung Tae-Rio terlihat bingung. “Pacar? Pacar yang man—Aah, itu…”
Bagaimana sih? Ify merasa kesal. Jung Tae-Rio selalu khawatir Ify akan membocorkan rahasia mereka, tapi sekarang ia sendiri yang hampir membongkar semuanya.
Cakka tertawa. “Masa kau lupa pacarmu sendiri?”
Jung Tae-Rio ikut tertawa. “Lain kali saja kuceritakan. Nah, itu ada yang memanggilmu. Sudah, pergilah, tidak usah melayaniku.”
“Hei, tadi itu Cakka yang bintang iklan itu ya?” tanya Ify ketika Jung Tae-Rio sudah berada di sampingnya.
“Mmm. Memangnya kenapa?” Jung Tae-Rio balas bertanya.
“Ternyata dia tampan sekali,” kata Ify. “Aku tidak percaya aku bisa melihat aslinya. Seharusnya tadi aku minta tanda tangan, siapa tahu Young-Via mau.”
Jung Tae-Rio memandangnya, lalu bergumam pelan. “Untuk temanmu atau…”
“Hm?”
“Ah, tidak…. Sudah memilih sesuatu?”
“Katanya kau ingin memilih sendiri,” protes Ify, tapi Jung Tae-Rio sudah berjalan pergi. Ify membiarkan dirinya beberapa saat memandang sosok belakang Cakka yang menjauh, lalu membalikkan tubuh menyusul Jung Tae-Rio yang sudah naik ke lantai dua toko itu.
“Ini tokonya?” tanya Ify lagi setelah berhasil menyusul Jung Tae-Rio.
“Apa?” Jung Tae-Rio sibuk melihat-lihat aksesori yang dijual di sana.
“Maksudku, toko ini milik Cakka?”
“Sebenarnya milik kakak perempuannya, tapi Danny sering ada di sini,” sahut Jung Tae-Rio. Lalu ia tiba-tiba menoleh dan menatap Ify dengan pandangan menyelidik. “Kenapa tanya-tanya?”
Ify membalas tatapan Jung Tae-Rio tanpa merasa bersalah. “Hanya ingin tahu. Eh, kau kenal siapa lagi? Kenap mantan personel H.O.T? Shinhwa?”
Jung Tae-Rio mendesah keras dan berkacak pinggang. “Kalau nona besar tidak lupa, kau di sini untuk membantuku memilih sesuatu!”
Ify mencibir. “Oke, oke. Bagaimana kalau bros?” katanya sambil menunjuk barisan bros cantik yang dipajang di kotak kaca.
“Aku sudah pernah memberikan bros untuk penggemarku dulu,” kata Jung Tae-Rio.
“Aah, benar juga.” Ify mengangguk-angguk sambil terus mengamati bros-bros itu. “Waktu itu sudah pernah ya…”
Beberapa detik berlalu tanpa tanggapan, meski begitu Ify merasa Jung Tae-Rio sedang menatapnya. Ify pun mengangkat kepala dan melihat ke arah laki-laki itu. Ah, sepertinya ia keliru, Tae-Rio sedang memandang ke arah lain.
“Kau kenapa?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio menoleh dan menunjuk ke bagian topi. “Kita ke sana.”
Ify mengikuti laki-laki itu, namun ketika ia melewati salah satu manekin, langkahnya tiba-tiba terhenti. Mata Ify tertuju pada syal panjang yang dipakaikan pada manekin itu.
Syal bermotif kotak-kotak hitam-putih yang kelihatan bagus sekali. Ify menjulurkan tangan dan menyentuh syal itu.
“Sedang apa kau di sini?” Tiba-tiba Jung Tae-Rio sudah berdiri di belakangnya.
Ify menoleh ke belakang dan berkata, “Lihat syal ini. Bagus, kan?”
“Menurutmu bagus?” tanya Jung Tae-Rio.
Ify mengelus-elus syal itu. “Tentu saja. Aku suka sekali motif dan warnanya.”
Jung Tae-Rio melepaskan syal itu dari manekin dan memakainya. Ia berjalan ke cermin dan mematut diri. Ify mengikuti dari belakang sambil menggerutu dalam hati, kenapa jadi Jung Tae-Rio yang mencoba memakainya?
“Memang bagus,” Jung Tae-Rio mengakui. “Cocok untukku, bukan?”
Ify ikut melihat bayangan Jung Tae-Rio di cermin dan harus mengakui pria itu memang terlihat keren sekali dengan syal itu.
“Cocok. Kau bisa memakainya pada acara jumpa penggemarmu nanti,” usul Ify sambil mengalihkan pandangan.
“Boleh juga,” kata Jung Tae-Rioo dan berputar dari cermin. “Lalu soal hadiah untuk penggemar, kupikir sebaiknya mereka kubelikan topi saja. Bagaimana?”

No comments:

Post a Comment