Tiga
“SOON-ALYSSA SSI, sebaiknya pinggiran topimu diturunkan
sedikit lagi. Wajahmu harus tertutup,” perintah Park Hyun-Shik.
Ify bergumam tidak jelas, menyerahkan ponsel yang dipegangnya
kepada Jung Tae-Rio, lalu menarik turun topi merahnya. “Kalau begini aku
sendiri tidak bisa melihat apa-apa,” desahnya. “Paman sebenarnya ada di mana?
Dia sedang meneropong kita atau semacamnya?”
Ia dan Jung Tae-Rio sedang berada di dalam mobil Jung Tae-Rio yang
diparkir di lapangan parkir depan gedung tempat Park Hyun-Shik bekerja. Saat
itu pukul sepuluh malam dan suasana di tempat parkir sepi sekali. Jung Tae-Rio
yang mengenakan topi hitam dan kacamata hitam duduk di balik kemudi, Ify duduk
di sampingnya, sementara Park Hyun-Shik mengawasi mereka entah dari mana. Semua
komunikasi dilakukan lewat ponsel. Mereka sudah siap menjalankan tahap pertama
rencana.
Jung Tae-Rio menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sudah
bisa dimulai.”
Ia menutup ponsel dan memandang Ify yang sedang merapikan kepang
rambutnya. “Sekitar semenit lagi kita keluar,” katanya pendek.
“Jadi kita hanya perlu keluar dari mobil, bergaya sebentar, lalu
masuk kembali ke mobil?” tanya Ify memastikan.
Jung Tae-Rio mengangguk. Ia diam, lalu, “Nah, sepertinya Hyong sudah
siap dengan kameranya. Kita keluar sekarang.”
Mereka berdua keluar dari mobil dan mulai berjalan berdampingan.
“Kenapa jauh begitu?” tanya Jung Tae-Rio.
Ify menoleh dan menyadari Jung Tae-Rio sedang mengomentari jarak
antara mereka berdua yang terlalu jauh. “Kenapa? Kurasa ini sudah cukup dekat.”
“Orang-orang tidak akan percaya aku punya hubungan khusus denganmu
kalau kau berdiri sejauh itu.”
Ify berhenti berjalan dan memutar tubuh menghadap Jung Tae-Rio.
“Menurutku seperti ini juga sudah lumayan. Kita tidak perlu sampai berpelukan
supaya orang percaya kita punya hubungan khusus, kan?”
Jung Tae-Rio tertawa pendek. “Apanya yang lumayan? Tubuhmu kaku
begitu dan jalanmu seperti robot.”
Ify tetap diam.
Jung Tae-Rio balas menatapnya, lalu berkata, “Kita harus melakukan
sesuatu.”
Ify terkejut ketika Jung Tae-Rio melangkah mendekati dirinya. “Mau
apa kau?” tanyanya, tapi saking gugupnya ia tidak bisa bergerak dari tempatnya
berdiri.
Jung Tae-Rio berdiri tepat di depannya. Ify baru menyadari betapa
dirinya begitu pendek dibandingkan pria itu. Kepalanya sampai harus mendongak
kalau ia mau melihat wajah Jung Tae-Rio.
“Hei, Jung Tae-Rio ssi, kau sebenarnya mau apa?” tanya Ify
sekali lagi ketika setelah beberapa saat Jung Tae-Rio hanya berdiri diam tanpa
melakukan apa-apa. Ia tidak bisa melihat ekspresi Jung Tae-Rio dengan jelas
karena laki-laki itu memakai kacamata hitam, tapi Sandy bisa melihat bibir pria
itu membentuk seulas senyum.
“Aku? Hanya memberikan pose yang bagus untuk foto kita,” katanya
santai, lalu ia mundur kembali.
Ify mendengus pelan. “Lucu sekali.”
“Misi selesai,” kata Ify ketika mereka sudah duduk kembali di
dalam mobil. “Hhhh… lelahnya. Benar-benar pekerjaan yang berat.”
Tae-Rio tersenyum kecil mendengar gurauan Ify. Ternyata gadis ini
bisa bercanda juga. Tae-Rio yakin sebenarnya Ify orang yang ramah, meski saat
ini gadis itu lebih sering bersikap kaku dan menjaga jarak, bahkan terkadang
cenderung dingin. Bagaimanapun hal itu wajar saja mengingat mereka tidak
terlalu saling mengenal.
“Aku merasa seperti sedang main film,” Ify menambahkan. “Mungkin
seharusnya aku jadi aktris saja. Bagaimana menurutmu?”
“Teruslah bermimpi,” sahut Tae-Rio sambil menghidupkan mesin
mobil.
Saat itu terdengar dering ponsel. Mereka berdua serentak mencari
ponsel mereka. Yang berdering ternyata ponsel Tae-Ri.
“Sebaiknya kau ganti nada dering ponselmu,” gerutu Ify sambil
memasukkan ponselnya kembali ke saku celana.
“Kenapa harus aku? Kau saja yang ganti,” kata Tae-Rio sebelum
menjawab teleponnya. “Ya, Hyong… Sudah?”
Tiba-tiba ponsel Ify berdering juga. Tanpa melihat siapa yang
menelepon, Ify langsung menjawab teleponnya. “Halo?”
Tae-Rio melihat gadis itu mendesah dan melepaskan topi merahnya.
Siapa yang meneleponnya? Lamunan dalam benaknya buyar ketika ia sadar Park
Hyun-Shik berulang kali menyebut namanya di telepon.
“Eh, apa, Hyong?... Oh, oke. Sampai jumpa besok,” kata Tae-Rio
sebelum menutup ponsel.
“Aku? Sekarang? Sedang di luar,” kata Ify dengan nada santai.
Tae-Rio memerhatikan alis Ify terangkat ketika gadis itu
mendengarkan jawaban orang di seberang sana.
“Sebentar lagi juga akan pulang. Kalau ada yang perlu dibicarakan,
bicarakan nanti saja. Aku sekarang sedang sibuk. Tutup dulu ya.” Ify langsung
menutup teleponnya.
“Telepon dari siapa?” tanya Tae-Rio sambil lalu.
Ify menoleh ke arahnya. “Teman,” sahut gadis itu pendek, lalu
mengalihkan pembicaraan. “Kita sudah selesai sekarang? Paman bilang apa tadi?”
Tae-Rio memandang Ify dengan kening berkerut. “Paman?” tanyanya
heran. “Kenapa kau memanggil Hyong ‘paman’? Dia kan belum setua itu.
Kalau aku sih tidak akan sudi dipanggil ‘paman’.”
Ify baru akan membuka mulut untuk menjawab ketika Tae-Rio
menambahkan, “Tapi terserah kau sajalah. Panggil saja dia ‘paman’ atau apa pun
sesukamu. Hyong tidak akan keberatan. Dia bukan orang yang suka ambil
pusing untuk masalah seperti ini. Asal kau tidak memanggilnya ‘onni*’
saja.”
Ify menarik napas dan berdeham “Jadi Paman bilang apa tadi?”
tanyanya sekali lagi.
“Katanya mungkin lusa foto-foto itu akan muncul di tabloid,” jawab
Tae-Rio. Namun kemudian perkataannya selanjutnya seakan ditujukan kepada
dirinya sendiri, “Harus lagi-lagi siap menghadapi wartawan. Tapi setidaknya
reputasiku akan kembali seperti dulu…”
Tae-Rio menoleh dan mendapati Ify sedang menatapnya dengan
pandangan aneh. “Apa? Ada apa?”
“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Ify agak ragu.
“Apa?”
*Kakak,
panggilan wanita kepada wanita yang lebih tua.
“Sebenarnya… kau gay atau bukan?”
Tae-Rio melepas kacamatanya dan menatap Ify dengan kesal.
Tanpa menunggu jawaban, Ify mengibaskan tangan. “Oh, baiklah, aku
tidak akan bertanya lagi. Kau gay atau bukan juga bukan urusanku.”
Seperti rencana Park Hyun-Shik, hari Senin pagi foto-foto mereka
sudah mucul di tabloid. Ify baru memasuki ruang kuliah ketika Kang Young-Via
berlari ke arahnya.
“Hei, Han Soon-Alyssa!” seru Young-Via dengan suara menggelegar.
Ify mengerjapkan matanya dengan bingung, lalu setelah pulih dari
kekagetannya, ia menggerutu, “Sudah kubilang berkali-kali jangan panggil nama
lengkapku seperti itu. Memangnya ‘Ify’ terlalu susah diucapkan?”
“Dan sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak suka nama yang
kebarat-baratan,” balas Young-Via lalu melanjutkan, “Sekarang itu bukan masalah
penting. Lihat ini!” Ia melambai-lambaikan tabloid tepat di depan wajah Ify.
“Apa ini?” tanya Ify. Ia harus mundur selangkah supaya bisa
melihat jelas apa yang ingin diperlihatkan temannya itu.
“Jung Tae-Rio ternyata punya pacar!” kali ini seruan Young-Via
begitu keras sampai-sampai Ify terlompat kaget.
Ify melihat halaman depat tabloid itu dan menahan napas. Ia
membaca judul utamanya “JUNG TAE-RIO DAN KEKASIH WANITA?” dicetak dengan ukuran
besar. Di bawah judul itu ada tiga fotonya bersama Jung Tae-Rio. Foto-foto itu
agak buram, tapi kenapa Ify merasa dirinya terlihat begitu jelas?
Foto pertama memperlihatkan mereka berdua di dalam mobil. Jung
Tae-Rio sedang memegang kemudi dan menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Ify
sendiri juga sedang memandang pria itu dengan kepala dimiringkan sehingga
wajahnya tertutup topi merahnya. Kapan mereka berpose seperti itu? Ify sendiri
tidak ingat.
Foto yang kedua diambil ketika mereka berjalan bersama. Foto itu
diambil sedikit menyamping sehingga Ify agak tertutup tubuh Jung Tae-Rio. Ify
memerhatikan foto itu dan mengerutkan kening. Seingatnya mereka tidak berdiri
sedekat itu, tapi mungkin arah pengambilan fotonya yang menyebabkan mereka
terlihat dekat.
Foto ketiga adalah saat Jung Tae-Rio berdiri tepat di depannya dan
begitu dekat, Ify sendiri berdiri tegak dengan kepala mendongak memandangnya.
Lagi-lagi sudut pengambilan foto membuat foto itu terlihat bagus sekali dan
wajah Ify agak tertutup. Ditambah lagi Jung Tae-Rio sedang tersenyum dalam foto
itu. Mau tidak mau Ify kagum pada Park Hyun-Shik. Ternyata Paman pintar
memotret.
“Kau lihat? Sudah lihat?” Young-Via jelas-jelas terlihat kesal dan
sedikit histeris. “Ternyata selama ini Jung Tae-Rio sudah punya kekasih. Siapa
wanita itu? Artis? Kau tahu tidak, semua penggemarnya sedang shock saat
ini.”
Ify agak lega karena Kang Young-Via tidak menyadari bahwa
dirinyalah yang ada di dalam foto bersama Jung Tae-Rio. Ia melipat kembali
tabloid itu, mengembalikannya kepada Young-via, lalu berkata, “Kenapa kesal?
Bukankah ini malah membuktikan Jung Tae-Rio bukan gay?”
Young-Via terdiam dan menimbang-nimbang. “Tapi kalau melihat dia
dengan wanita lain, rasanya hatiku… aduh,” katanya dengan wajah memelas.
Ify tertawa geli.
“Tapi… mungkin juga gadis ini bukan kekasihnya,” kata Young-Via
tiba-tiba.
“Memangnya apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Bisa saja kasusnya sama dengan kasusmu waktu itu. Jung Tae-Rio
hanya mengantarmu dan tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian. Lagi pula
semua orang tahu wartawan suka membesar-besarkan masalah.”
Ify cepat-cepat menoleh dan mendapati sahabatnya sedang
memandangnya yakin. “Tapi menurutku yang ini memang benar. Di artikel ini
bahkan juga tertulis ada sumber tepercaya yang menyatakan Jung Tae-Rio memang
sudah punya pacar, kan? Lagi pula kalau dipikir-pikir, bukankah ini hal yang
baik? Maksudku, bagi penggemar sepertimu, yang paling penting kan Jung Tae-Rio
bukan gay alias suka wanita….”
Karena ekspresi kecewa Young-Via belum berubah, Ify menambahkan,
“Kau juga tidak perlu histeris begitu. Kalaupun wanita di foto ini memang
pacarnya, masih ada kemungkinan mereka berpisah. Kau berdoa saja supaya mereka
cepat berpisah.”
“Kau bisa berkata seperti itu karena kau bukan penggemarnya! Aku
penasaran sekali siapa wanita itu. Di sini juga tidak diceritakan siapa dia….”
Young-Via mengembuskan napas panjang. Mendadak dia menepuk tangan dan berkata
penuh semangat, “Tapi kau benar. Tidak apa-apa, sebentar lagi pasti ketahuan.
Dia harus putus dengan Tae-Rio oppa*-ku!”
Ify geleng-geleng menahan geli. Tapi sebelum senyumnya mereda,
Young-Via sudah berkata lagi, “Tapi ada yang aneh. Coba lihat foto-foto ini,
Soon-Alyssa. Kenapa mereka berdua tidak bersentuhan? Mungkin memang bukan hal
penting, tapi maksudku, orang pacaran bukannya suka berpegangan tangan kalau
berjalan bersama?”
*Kakak,
panggilan wanita kepada pria yang lebih tua.
Jung Tae-Rio sedang berada di kantor Park Hyun-Shik. Ia memegang
tabloid yang memuat foto-fotonya bersama Ify.
“Hyong ternyata pandai memotret,” kata Tae-Rio sambil
tersenyum.
Park Hyun-Shik hanya mengangkat bahu menerima pujian itu.
“Menurutku rencana kita cukup sukses karena sejak pagi kantor kita sudah
dibanjiri telepon yang meminta kepastian dan wawancara denganmu.”
“Dia sudah melihat ini atau belum ya?” tanya Tae-Rio sambil
meletakkan tabloid itu di atas meja.
“Soon-Alyssa ssi? Seharusnya sudah karena orang-orang juga
akan membicarakan-nya,” sahut Park Hyun-Shik. Ia meraih tabloid itu dan
mengamati foto-foto Tae-Rio dan Ify. “Dia melakukannya dengan baik sekali, kan?
Gadis yang tenang, mudah diajak kerja sama. Bagus juga dia bukan salah satu
penggemarmu, jadi dia tidak histeris atau semacamnya.”
Tae-Rio hanya mengangkat bahu.
Park Hyun-Shik berkata pelan seperti merenung. “Ya, gadis yang
tenang. Bahkan mungkin terlalu tenang… Tidakkah menurutmu dia terlalu mudah
menyetujui permintaanmu?”
Tae-Rio mengangkat bahu lagi. “Tidak juga,” jawabnya.
“Dia tidak minta imbalan apa pun?” tanya Park Hyun-Shik lagi.
Tae-Rio mengingat-ingat. “Tidak.”
“Aneh,” gumam Park Hyun-Shik. Setelah berkata seperti itu, telepon
di meja kerjanya berdering.
Sementara manajernya menjawab telepon, Jung Tae-Rio
menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia menelepon Ify. Tak berapa lama akhirnya
ia mengeluarkan ponselnya dan menekan angka sembilan.
Ify dan Young-Via sedang berjalan di halaman kampus sambil
membicarakan Jung Tae-Rio dan pacar misteriusnya ketika Ify mendengar namanya
dipanggil.
Mereka berdua menoleh ke belakang dan melihat laki-laki tinggi
besar sedang berlari-lari kecil menghampiri mereka.
Young-Via menyikut lengan Ify dan berbisik, “Mau apa lagi dia?”
Ify mengerutkan kening dan menggeleng tanda tidak tahu.
Laki-laki itu berhenti di depan mereka berdua sambil tersenyum
lebar. “Halo, kebetulan sekali bertemu kalian di sini. Mau makan siang? Ayo, ku
traktir.”
Young-Via meringis. “Kebetulan apanya?”
“Lee Jeong-Iel ssi, sedang apa kau di sini?” tanya Ify.
“Tidak ada alasan khusus,” jawab Lee Jeong-Iel riang, seakan tidak
menyadari nada ketus kedua gadis itu. “Kupikir karena sudah lama tidak bertemu,
tidak ada salahnya kita makan siang bersama sambil mengobrol.”
“Pacarmu mana?” tanya Young-Via tiba-tiba. “Dia tidak marah kalau
kau makan siang bersama dua wanita? Ngomong-ngomong, kau masih bersama gadis
yang waktu itu, kan? Atau sudah ada yang baru?”
Wajah Lee Jeong-Via memerah dan dia agak salah tingkah ketika
menjawab, “Oh, dia sedang ada urusan di tempat lain. Ayolah, mumpung pekerjaanku
sedang tidak banyak. Lagi pula aku ingin mengobrol dengan kalian. Oke?”
Ify dan Young-Via berpandangan. Mereka tahu mereka tidak bisa
menghindar tanpa bersikap kasar kepada laki-laki seperti Lee Jeong-Iel.
Mereka masuk ke restoran kecil yang sudah sering mereka datangi.
Mereka baru saja duduk di meja kosong ketika Ify mendengar ponselnya berbunyi.
Ia menatap layar ponselnya. Ia tidak mengenal nomor telepon yang tertera di
sana.
“Halo?”
“Sudah lihat?”
“Apa?” Dalam kebingungan Ify menatap ponselnya, lalu
menempelkannya kembali di telinga. “Siapa ini?”
Laki-laki di ujung sana mendengus kesal. “Kau tidak tahu?”
“Tidak.”
Sepi sebentar, lalu suara itu berkata dengan nada datar, “Ini Jung
Tae-Rio.”
Ify tersentak dan sontak menatap Young-Via dan Jeong-Iel
bergantian. Kedua orang itu jadi ikut menatapnya dengan pandangan bertanya.
Tepat pada saat itu pelayan datang dan menanyakan pesanan.
Ify memalingkan wajah dan berkata dengan suara pelan di telepon,
“Oh, kau rupanya. Ada apa?”
Ify mendengar Jung Tae-Rio menarik napas di seberang sana. “Kau
sudah lihat fotonya?” Nada suaranya sudah kembali seperti biasa.
“Sudah,” sahut Ify. “Lalu bagaimana? Kau sudah ditanya-tanya?”
“Sore ini aku ada jadwal wawancara.”
“Soon-Alyssa, kau mau makan apa?” tanya Jeong-Iel tiba-tiba.
Ify menoleh dan menjawab, “Terserah. Pesankan saja untukku.”
“Kau tidak sedang sendirian?” tanya Tae-Rio.
“Aku sedang makan bersama teman.”
“Hei, kenapa tidak bilang dari tadi? Kau bisa membongkar rencana
kita.”
“Lho, kenapa marah-marah? Kau sendiri tidak bertanya dulu, lagi
pula aku kan tidak bilang apa-apa ke siapa pun.”
Jung Tae-Rio terdiam sebentar, lalu berkata, “Malam ini jam tujuh
kau harus ke rumah Hyun-Shik Hyong. Ada yang ingin dibicarakan.
Mengerti?”
Wajah Ify berubah kesal, tapi ia berkata, “Ya, ya, mengerti. Tapi
rumahnya di mana?”
Ify mengeluarkan secarik kertas dan bolpoin dari dalam tasnya.
Setelah mencatat alamat Park Hyun-Shik seperti yang disebutkan Jung Tae-Rio, ia
menutup ponsel dan mendapati Young-Via dan Jeong-Iel sedang memerhatikannya.
“Dari siapa?” tanya Jeong-Iel.
“Teman,” sahut Ify ringan sambil tersenyum kecil. “Makanannya
sudah dipesan?”
Tae-Rio menutup ponselnya sambil melamun.
“Kau sudah memintanya datang ke tempatku nanti malam?” tanya Park
Hyun-Shik membuyarkan lamunannya.
“Sudah,” jawabnya pelan.
“Kau juga nanti malam jangan datang terlambat,” kata manajernya
sambil mengenakan jas. “Ayo, kita pergi makan siang. Mau makan apa?”
“Hyong,” panggil Tae-Rio tiba-tiba.
“Apa?”
“Hyong pernah mencari informasi tentang Han Soon-Alyssa.
Apakah Hyong sudah mengecek dia punya pacar atau tidak?”
“Memangnya kenapa?”
“Tadi ketika aku meneleponnya, dia sedang bersama laki-laki. Kalau
memang dia punya pacar, pacarnya bisa tahu soal kita.”
Park Hyun-Shik berpikir. “Nanti malam kita bisa menanyakannya
langsung pada Soon-Alyssa ssi. Ayolah, kita pergi makan dan setelah itu
kau harus bersiap-siap untuk wawancara.”
“Jadi kau sudah mengatakannya pada wartawan?” tanya Ify sambil
menjepit sepotong daging panggang dengan sumpit dan memasukkannya ke mulut.
Mereka bertiga—Jung Tae-Rio, Park Hyun-Shik, dan dia sendiri—sudah
berkumpul di apartemen Park Hyun-Shik yang besar dan mewah. Ketika Ify datang,
kedua laki-laki itu baru akan mulai memanggang daging. Hyun-Shik berkata makan
malam ini adalah ucapan terima kasihnya atas bantuan Ify.
“Kau bisa baca sendiri beritanya di koran,” sahut Jung Tae-Rio
sambil membolak-balikkan potongan daging di atas panggangan.
Ify meringis, lalu menoleh ke arah Park Hyun-Shik yang sedang
meneguk soju. “Paman tidak makan?” tanyanya ketika melihat pria itu
tidak memegang sumpit.
Park Hyun-Shik meraih sumpit dan berkata, “Soon-Alyssa ssi…”
“Kalian boleh memanggilku Ify saja,” Ify menyela dengan cepat dan
memandang Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio bergantian.
Jung Tae-Rio mendengus pelan, tapi tidak menjawab.
Pakr Hyun-Shik berdeham dan melanjutkan, “Oke, kalau memang kau
tidak keberatan. Ify, sepertinya aku belum pernah bertanya, tapi apa kau punya
pacar sekarang ini?”
Ify tersedak mendengar pertanyaan Park Hyun-Shik. “Pacar?”
Park Hyun-Shik cepat-cepat berkata, “Aku tidak bermaksud
mencampuri urusan pribadimu, tapi kalau kau memang punya pacar, itu bisa agak
menyulitkan. Kau tidak mungkin bisa menyembunyikan hal ini darinya.”
Ify mengangguk-angguk pelan. “Oh,” gumamnya. “Tenang saja, aku
tidak punya pacar.”
“Siang tadi ketika aku meneleponmu, bukankah kau sedang bersama
pacarmu?” Jung Tae-Rio menimpali.
Ify menoleh ke arahnya. “Siang tadi? Aah… dia bukan pacarku.”
“Kedengarannya seperti pacar,” Jung Tae-Rio bersikeras.
Ify menatap kedua laki-laki itu dengan mata disipitkan. “Baiklah,”
akhirnya ia berkata. Ia meletakkan sumpitnya di meja. “Karena kalian curiga
begitu, aku akan mengatakan yang sebenarnya.”
“Dia pacarmu?” tanya Jung Tae-Rio langsung.
“Bukan,” Ify menegaskan. “Aku dan dia memang pernah berhubungan,
tapi hubungan itu sudah berakhir delapan bulan yang lalu.”
“Lalu hubungan kalian sekarang masih baik?” Kali ini Park
Hyun-Shik yang bertanya.
“Susah mengatakannya,” sahut If agak bingung. Ia bertopang dagu
dan mengerutkan kening. “Sebenarnya setelah berpisah, kami tidak bertemu lagi.
Kemudian kira-kira sebulan lalu dia mulai menghubungiku. Aku juga tidak tahu
apa maunya.”
“Itu artinya dia ingin kembali kepadamu,” kata Jung Tae-Rio.
“Kenapa kau memutuskan dia waktu itu? Itu juga kalau kami boleh tahu.”
Alis Ify terangkat. “Siapa bilang aku yang memutuskannya? Dia
sendiri yang minta putus dariku karena dia tertarik pada wanita lain.”
Kedua laki-laki itu menatapnya dengan pandangan aneh. Apakah
pandangan itu disebabkan rasa kasihan? Ify memang merasa dirinya dulu sangat
menyedihkan. Pacar yang ia percayai meninggalkannya demi wanita lain.
“Tidak usah melihatku seperti itu. Aku tidak apa-apa. Waktu itu
aku memang sedih, tapi aku bukan tipe wanita yang histeris. Ada banyak hal yang
bisa membuatku bahagia. Banyak sekali…”
Merasa canggung telah membicarakan masalah pribadinya pada kedua
pria itu, sebelum Ify bisa menghentikan dirinya sendiri, bibirnya terus
mengoceh, “Mmm, aku suka mendengarkan musik, suka keripik kentang, bunga,
kembang api, hujan, dan bintang. Jadi waktu itu untuk menenangkan diri, aku
makan banyak sekali keripik kentang dan aku sering membeli bunga untuk diriku
sendiri. Kedengarannya mungkin aneh, tapi perasaanku langsung jadi lebih baik.”
“Lalu kenapa sekarang dia mendekatimu lagi?” desak Jung Tae-Rio.
Ify mengangkat bahu. “Mana aku tahu.”
“Mungkinkah dia sudah berpisah dengan wanita yang dulu itu?” tanya
Park Hyun-Shik.
Ify memiringkan kepala. “Sepertinya belum.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Jung Tae-Rio sambil menatap Sandy
ingin tahu.
Ify membalas tatapannya. “Bagaimana apanya?”
“Kau masih mengharapkannya?”
Ify terdiam sejenak, lalu ia mengetukkan sumpitnya ke piring dan
berkata, “Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Yang penting sekarang aku tidak
punya pacar dan tidak akan menyulitkan kalian berdua. Ayo, makan lagi.”
Jung Tae-Rio masih terlihat tidak puas, tapi kali ini Ify berhasil
mengendalikan mulutnya. Bagaimanapun, ia kan baru mengenal kedua laki-laki itu,
rasanya tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan mereka.
Ify berdeham untuk mengalihkan topik, lalu bertanya, “Lalu rencana
selanjutnya apa? Paman akan memotret kami lagi?”
Park Hyun-Shik menggeleng. “Tidak. Untuk saat ini kau boleh
bersantai dulu. Meski kau harus tetap siap seandainya kami tiba-tiba butuh
bantuanmu.”
“Aku mengerti,” ujar Ify. “Yang jadi bosnya kan kalian berdua.”
“Oh ya, hari Sabtu nanti Tae-Rio akan mengadakan jumpa penggemar
untuk mempromosikan album barunya,” kata Park Hyun-Shik tiba-tiba. “Kau mau datang?”
Ify tersedak dan terbatuk-batuk. Sumpitnya terlepas dari tangannya
dan jatuh ke lantai.
Ify memungut sumpit yang jatuh dan mengulurkannya kepada Park
Hyun-Shik. “Maaf, sepertinya aku makan terlalu buru-buru,” katanya sambil
menggosok-gosokkan telapak tangannya yang basah karena keringat dingin ke
celana jins.
“Tidak perlu rakus seperti itu,” kata Jung Tae-Rio. Sama sekali
tidak membantu.
Ify tidak mengacuhkannya dan bertanya pada Park Hyun-Shik, “Jumpa
penggemar? Seperti yang dulu?”
Jung Tae-Rio tertegun menatap daging panggangnya. Ia kaget Ify
tahu soal jumpa penggemar terakhir yang dilakukannya sebelum mengambil jeda
dari dunia selebriti.
“Tidak, tidak seperti dulu,” Park Hyun-Shik cepat-cepat menyela
sebelum suasana hati Tae-Rio berubah menjadi buruk. “Kali ini tidak seramai
dulu. Kami akan membatasi jumlah penonton. Bagaimana? Kau mau datang?”
“Oh, begitu? Hmmm…” Ify menerima sumpit baru yang diulurkan Park
Hyun-Shik. “Aku boleh datang?”
Jung Tae-Rio mendengus dan meneguk soju-nya, rupanya Park
Hyun-Shik terlambat menyelamatkan situasi. “Untuk apa kau datang? Memangnya kau
termasuk penggemarku?”
“Memang bukan,” jawab Ify terus terang, lalu menjepit daging
panggang dan memasukkannya ke mulut. Ia melihat Jung Tae-Rio menatapnya dengan
pandangan bertanya-tanya, seolah menantinya memberi alasan.
Entah kenapa Ify merasa tidak nyaman dengan cara Tae-Rio
memandangnya itu, ia pun berdecak. “Ya sudah, aku tidak akan datang. Lagi pula
aku juga sudah bosan melihatmu. Aneh juga, kenapa teman-temanku begitu
menyukaimu ya?”
Tae-Ri sudah membuka mulut untuk membalas komentar Ify, tapi Park
Hyun-Shik buru-buru menengahi, “Jangan begitu. Aku akan memberikan dua lembar
tiket untukmu. Datanglah bersama temanmu hari Sabtu nanti. Kau belum pernah
mendengar Tae-Rio menyanyi, kan?”
Ify meringis dan menatap Jung Tae-Rio yang melahap daging panggang
dengan kesal. “Sebenarnya pernah. Di televisi…,” katanya.
Setelah beberapa saat Ify memutuskan untuk melunak, “Bagaimana?
Aku boleh datang, tidak? Siapa tahu setelah pergi ke acara itu, aku jadi bisa
melihat apa yang tidak kulihat selama ini. Siapa tahu nantinya aku jadi bisa
mengerti kenapa banyak orang menyukaimu.”
Jung Tae-Rio menatapnya dan mendesah. “Datang saja kalau kau mau.
Tapi jangan macam-macam.”
Ify tersenyum jail, tiba-tiba saja ia merasa menggoda Tae-Rio
adalah kegiatan yang menyenangkan, dan berkata, “Baiklah, kau mau aku
berpura-pura menjadi penggemarmu yang paling fanatik? Aku bisa berlari ke
arahmu dan memelukmu kuat-kuat. Lalu menjerit-jerit memanggil namamu. Tae-Rio Oppa!
Aku cinta padamu! Itu yang biasanya dilakukan para penggemarmu, kan?”
“Mungkin sebaiknya kau
tidak usah datang,” kata Tae-Rio sambil meletakkan sumpitnya dengan keras.
“Benar. Jangan datang!”
Ify menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Kau tadi sudah setuju.
Tidak boleh ditarik kembali. Lagi pula temanku Kang Young-Via penggemar
beratmu. Aku sudah merasa tidak enak karena harus menyembunyikan masalah ini
darinya. Dia sangat ingin mendapatkan tanda tanganmu. Jadi, aku pasti akan
mengajaknya ke acara jumpa penggemarmu Sabtu nanti.”
Jung Tae-Rio hanya bisa menarik napas panjang. “Ya, ya, terserah
kau sajalah.”
Empat
“HYONG, hari ini tidak ada jadwal kerja, kan? … Aku sedang
di luar. Ada sedikit urusan… Oke, sampai jumpa.”
Tae-Rio melempaskan earphone dari telinga dan kembali
memusatkan perhatian pada jalanan di depannya.
“Sepertinya di sini kampusnya,” gumamnya pada diri sendiri sambil
menghentikan mobil di tepi jalan. Ia membuka flap ponselnya dan baru
akan menekan angka sembilan ketika gerakannya terhenti.
Ia melihat Ify melalui kaca jendela mobilnya. Gadis itu sedang
berjalan keluar dari gerbang kampus bersama laki-laki tinggi besar. Tae-Rio
terus mengamati mereka ketika laki-laki itu membukakan pintu mobilnya untuk Ify
dan gadis itu masuk.
Tae-Rio menutup ponsel, melemparkannya ke kursi penumpang di
sampingnya, lalu memutar mobilnya untuk mengikuti mobil putih itu.
Ternyata mereka tidak pergi jauh. Mobil putih itu berhenti di
depan kafe dan kedua orang itu turun. Tae-Rio menghentikan mobil di seberang
jalan dan tetap diam di dalam mobil. Ia melihat Ify dan laki-laki itu masuk ke
kafe dan, untungnya, menempati meja di dekat jendela. Dari mobilnya, Tae-Rio
bisa melihat mereka berdua dengan jelas. Si laki-laki tidak henti-hentinya
tersenyum dan berbicara, Ify juga sering tersenyum dan sesekali menanggapi
kata-kata pria itu.
Tae-Rio meraih ponselnya dan menekan angka sembilan. Begitu
mendengar suara operator telepon, Tae-Rio langsung menutup flap ponselnya
dengan keras.
“Kenapa ponselnya dimatikan?” tanyanya kesal.
Tae-Rio memerhatikan Ify yang sedang tersenyum kepada pelayan yang
meng-antarkan minuman. Ia memalingkan wajah lalu bertanya pada dirinya sendiri
dengan nada heran, “Kenapa aku harus peduli?”
Ia menghidupkan mesin dan menjalankan mobil dengan kasar sehingga
rodanya berdecit.
“Kau mau pulang? Bagaimana kalau kuantar?”
Ify menggeleng dan tersenyum. “Tidak usah, Jeong-Iel ssi.
Aku belum mau pulang.”
Lee Jeong-Iel berdiri di samping mobil putihnya dan bertanya lagi,
“Kalau begitu kau mau ke mana? Aku bisa mengantarmu.”
Ify menggeleng lagi. “Tidak usah. Kau pasti sibuk. Pergi saja
dulu.”
Karena tidak bisa membujuk Ify, Lee Jeong-Iel akhirnya melambaikan
tangan dan masuk ke mobil.
Ify memerhatikan mobil putih itu membelok di sudut jalan dan
mengembuskan napas. Ia berbalik dan mulai berjalan pelan. Karena teringat
ponselnya yang tadi ia matikan, ia merogoh tas dan menyalakan alat komunikasi
itu segera setelah menemukannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
“Halo?” katanya, menempelkan ponsel ke telinga.
“Ini aku,” ujar suara di seberang sana.
“Jung Tae-Rio ssi?” Ify agak heran mendengar suara Jung
Tae-Rio.
“Kau di mana sekarang?” tanya Jung Tae-Rio cepat.
“Aku… oh…” Ify melihat sekelilingnya dan menyebutkan tempatnya.
“Tunggu di sana.” Lalu tanpa menunggu jawaban, Jung Tae-Rio
langsung memutuskan hubungan.
Ify menatap ponselnya dengan bingung. Orang aneh. Tunggu di sini?
Kenapa? Dia mau datang?
Ify sedang mempertimbangkan apakah ia harus menunggu sambil
berdiri di tepi jalan atau masuk lagi ke kafe ketika mobil merah berhenti tepat
di depannya. Jendela mobil itu diturunkan dan Ify membungkukkan badan untuk
melihat ke dalam. Ia melihat Jung Tae-Rio yang berkacamata gelap seperti biasa
duduk di balik kemudi.
“Masuk,” kata laki-laki itu singkat.
Ify mendengus pelan mendengar nada memerintah dalam suara Jung
Tae-rio, tapi ia masuk juga ke mobil.
“Kenapa cepat sekali datangnya? Tadi kau sedang ada di sekitar
sini?” tanya Ify ringan ketika mereka sudah melaju di jalan.
Tae-Rio tidak menjawab, hanya bergumam tidak jelas.
“Kenapa mencariku? Kita harus berfoto?” tanya Ify lagi sambil
menatap teman seperjalanannya yang entah kenapa agak aneh hari ini.
Sepertinya Jung Tae-Rio tidak bisa menahan emosi lagi karena ia
mulai menggerutu. “Aku mencoba menghubungimu dari tadi. Kenapa ponselmu
dimatikan? Bukankah Hyong sudah bilang padamu kau harus siap setiap saat
kalau-kalau kami menghubungimu?”
Ify menatap Jung Tae-Rio dengan jengkel. “Baiklah, aku minta maaf.
Aku memang baru mengaktifkan kembali ponselku. Tapi bukankah sekarang kau sudah
berhasil menghubungiku?”
“Kau tadi sedang apa sampai tidak bisa menjawab telepon?” tanya
Jung Tae-Rio sambil tetap menatap lurus ke jalan.
“Sedang bersama teman,” jawab Ify, lalu mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa kau mencariku? Kita mau ke mana?”
Ify melihat Jung Tae-Rio agak ragu sesaat, lalu laki-laki itu
berkata, “Aku sampai lupa apa yang ingin kukatakan saking terlalu lamanya
menunggumu. Tapi sebaiknya kau menemaniku membeli sesuatu.”
“Beli apa?”
“Hadiah untuk penggemarku,” sahut Jung Tae-Rio sambil memandang Ify
sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Untuk dibagikan dalam acara jumpa
penggemar Sabtu nanti.”
“Untuk semua orang?”
“Tidak, hanya untuk beberapa orang yang terpilih.”
“Ooh.” Ify mengangguk-angguk. “Kenapa kau baik sekali? Kukira
artis tidak membeli sendiri hadiah untuk penggemarnya. Kupikir hal-hal semacam
itu diurus orang lain.”
“Aku lebih suka membelinya sendiri. Karena kebetulan kau tidak
sibuk, kau bisa membantuku.”
Ify menoleh cepat. “Hei, siapa bilang aku tidak sibuk? Dua jam
lagi aku harus menemui Mister Kim. Lagi pula menurut perjanjian, kita hanya
akan berfoto bersama. Tidak pernah disebut-sebut soal aku harus menemani atau
membantumu mengerjakan apa pun.”
“Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kita anggap saja kesepakatan
ini sama dengan aku menawarkan pekerjaan untukmu. Kau tidak menolak. Jadi
intinya, kau sekarang bekerja untukku. Bukankah begitu?” kata Jung Tae-Rio
sambil tersenyum. “Soal Mister Kim-mu itu, tidak usah cemas. Kau akan bisa
menemuinya tepat waktu. Sudah kubilang aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu di
sana.”
Ify merasa tidak perlu memberitahu Jung Tae-Rio bahwa ia tadi
bersama Lee Jeong-Iel. Bagaimanapun, masalahnya dengan Lee Jeong-Iel adalah
masalah pribadi yang tidak ada hubungannya dengan Jung Tae-Rio maupun Park
Hyun-Shik. Ditambah lagi kenyataan bahwa pertemuan dengan Lee Jeong-Iel tadi
hanyalah perbincangan singkat tanpa arti khusus.
Jung Tae-Rio menghentikan mobil di depan toko pakaian yang
kelihatan mewah di Apgujeong-dong, salah satu kawasan paling trendi di Seoul,
dipenuhi restoran kelas atas dan toko pakaian dari para desainer terkenal. Ify
tahu toko itu karena ia sering melewatinya. Kadang-kadang ia berhenti dan
mengagumi pakaian yang dipajang di etalasenya, tapi tidak pernah sekali pun ia
menapakkan kakinya di dalam toko itu. Ia tidak perlu masuk ke toko itu untuk
tahu bahwa harga barang yang dijual di toko itu pasti mahal, sama seperti butik
Mister Kim. Ia lebih suka berbelanja di Meyong-dong yang sering disebut
Ginza-nya Seoul, salah satu kawasan perbelanjaan yang populer. Harga
barang-barang di Myeong-dong memang tidak jauh berbeda dengan harga barang di
Apgujeong-dong, tetapi Ify merasa lebih nyaman karena sudah terbiasa berbelanja
di sana.
Ify mencondongkan badan dan mengamati bangunan itu. “Hei, kau mau
masuk ke sana? Memangnya tidak apa-apa kalau kau dikenali orang? Lalu aku
bagaimana? Aku tidak ingin terlihat bersamamu.”
Jung Tae-Rio melepaskan sabuk pengamannya dan mendesah. Ia menatap
Ify dengan kening berkerut, lalu berkata, “Aku ini bukan narapidana yang tidak
boleh ke mana-mana. Lagi pula apa gunanya jadi artis kalau tidak ingin dikenal
orang?”
Ify masih tidak berniat melepas sabuk pengamannya. “Oh, begitu?
Kau merasa senang kalau orang-orang mengenalimu, jadi histeris, lalu jatuh
pingsan di hadapanmu?”
“Orang-orang tidak akan pingsan begitu melihatku,” kata Jung Tae-Rio.
“Kau tenang saja. Aku kenal pemilik toko ini. Dia tidak akan banyak bertanya.
Aku sering ke sini dengan staf manajemenku. Soal dirimu… anggap saja kau salah
satu anggota stafku.”
Jung Tae-Rio membuka pintu, lalu mulai beranjak dari kursi ketika
ia berhenti dan menoleh ke arah Ify lagi. “Tunggu dulu. Kau kan memang anggota
stafku. Kau bekerja untukku, bukan? Ayo, turun.”
Ify mengangkat bahu, melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari
mobil.
“Sebenarnya kau ingin beli apa?” tanya Ify bingung. Ia
melihat-lihat barang-barang yang dijual di toko itu dan ia benar, harganya sama
sekali tidak murah.
“Entahlah, aku belum tahu,” jawab Jung Tae-Rio sambil melepas
kacamata gelapnya. “Bagaimana kalau kau saja yang pilih. Ayo, kita naik.”
“Hei, Jung Tae-Rio!”
Ify dan Jung Tae-Rio serentak menoleh ke arah seruan penuh
semangat itu. Ternyata suara itu milik laki-laki yang tampan sekali. Ify merasa
pernah melihat laki-laki itu. Di mana ya? Ah! Di televisi. Laki-laki itu kan
bintang iklan pakaian olahraga. Tidak salah lagi.
“Apa kabar, Cakka?” Jung Tae-Rio menyapa dan menepuk punggungnya.
Ify menjauh dari sana dan membiarkan kedua laki-laki itu
berbincang-bincang. Kalau tidak salah, ia memang pernah dengar Jung Tae-Rio
berteman baik dengan Cakka. Walaupun sudah berdiri agak jauh dan tersembunyi di
balik rak pakaian, ia masih bisa mendengar jelas pembicaraan kedua laki-laki
itu.
“Hei, kauganti nomor ponselmu, ya?” Ify mendengar Cakka bertanya
kepada Jung Tae-Rio.
“Tidak. Kenapa?”
“Beberapa hari yang lalu aku meneleponmu, tapi yang menjawab
wanita dan dia bilang dia tidak kenal denganmu.”
Ify menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia ingat hari itu, hari
ketika ponselnya dan ponsel Jung Tae-Rio tertukar. Saat itu ia mengira orang
itu salah sambung. Ify mengalihkan tatapan ke arah Jung Tae-Rio, penasaran
bagaimana jawaban pria itu.
“Kau pasti salah sambung. Nomor ponselku tetap seperti yang dulu,”
katanya tenang sambil tersenyum.
“Tidak mungkin salah sambung,” Cakka bersikeras. “Tapi sudahlah,
itu bukan masalah. Kakakku terus menanyakan kabarmu. Katanya sudah lama kau
tidak ke sini.”
“Maaf. Aku memang agak sibuk belakangan ini.”
Cakka menatap Jung Tae-Rio penuh selidik. “Oh ya, aku baru ingat.
Kenapa kau tidak cerita padaku?”
Jung Tae-Rio mengangkat alis. “Tentang apa?”
“Pacarmu.”
Ify menahan napas.
Jung Tae-Rio terlihat bingung. “Pacar? Pacar yang man—Aah, itu…”
Bagaimana sih? Ify merasa kesal. Jung Tae-Rio selalu khawatir Ify
akan membocorkan rahasia mereka, tapi sekarang ia sendiri yang hampir
membongkar semuanya.
Cakka tertawa. “Masa kau lupa pacarmu sendiri?”
Jung Tae-Rio ikut tertawa. “Lain kali saja kuceritakan. Nah, itu
ada yang memanggilmu. Sudah, pergilah, tidak usah melayaniku.”
“Hei, tadi itu Cakka yang bintang iklan itu ya?” tanya Ify ketika
Jung Tae-Rio sudah berada di sampingnya.
“Mmm. Memangnya kenapa?” Jung Tae-Rio balas bertanya.
“Ternyata dia tampan sekali,” kata Ify. “Aku tidak percaya aku
bisa melihat aslinya. Seharusnya tadi aku minta tanda tangan, siapa tahu Young-Via
mau.”
Jung Tae-Rio memandangnya, lalu bergumam pelan. “Untuk temanmu
atau…”
“Hm?”
“Ah, tidak…. Sudah memilih sesuatu?”
“Katanya kau ingin memilih sendiri,” protes Ify, tapi Jung Tae-Rio
sudah berjalan pergi. Ify membiarkan dirinya beberapa saat memandang sosok
belakang Cakka yang menjauh, lalu membalikkan tubuh menyusul Jung Tae-Rio yang
sudah naik ke lantai dua toko itu.
“Ini tokonya?” tanya Ify lagi setelah berhasil menyusul Jung Tae-Rio.
“Apa?” Jung Tae-Rio sibuk melihat-lihat aksesori yang dijual di
sana.
“Maksudku, toko ini milik Cakka?”
“Sebenarnya milik kakak perempuannya, tapi Danny sering ada di
sini,” sahut Jung Tae-Rio. Lalu ia tiba-tiba menoleh dan menatap Ify dengan
pandangan menyelidik. “Kenapa tanya-tanya?”
Ify membalas tatapan Jung Tae-Rio tanpa merasa bersalah. “Hanya
ingin tahu. Eh, kau kenal siapa lagi? Kenap mantan personel H.O.T? Shinhwa?”
Jung Tae-Rio mendesah keras dan berkacak pinggang. “Kalau nona
besar tidak lupa, kau di sini untuk membantuku memilih sesuatu!”
Ify mencibir. “Oke, oke. Bagaimana kalau bros?” katanya sambil
menunjuk barisan bros cantik yang dipajang di kotak kaca.
“Aku sudah pernah memberikan bros untuk penggemarku dulu,” kata
Jung Tae-Rio.
“Aah, benar juga.” Ify mengangguk-angguk sambil terus mengamati
bros-bros itu. “Waktu itu sudah pernah ya…”
Beberapa detik berlalu tanpa tanggapan, meski begitu Ify merasa
Jung Tae-Rio sedang menatapnya. Ify pun mengangkat kepala dan melihat ke arah
laki-laki itu. Ah, sepertinya ia keliru, Tae-Rio sedang memandang ke arah lain.
“Kau kenapa?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio menoleh dan menunjuk ke bagian topi. “Kita ke sana.”
Ify mengikuti laki-laki itu, namun ketika ia melewati salah satu
manekin, langkahnya tiba-tiba terhenti. Mata Ify tertuju pada syal panjang yang
dipakaikan pada manekin itu.
Syal bermotif kotak-kotak hitam-putih yang kelihatan bagus sekali.
Ify menjulurkan tangan dan menyentuh syal itu.
“Sedang apa kau di sini?” Tiba-tiba Jung Tae-Rio sudah berdiri di
belakangnya.
Ify menoleh ke belakang dan berkata, “Lihat syal ini. Bagus, kan?”
“Menurutmu bagus?” tanya Jung Tae-Rio.
Ify mengelus-elus syal itu. “Tentu saja. Aku suka sekali motif dan
warnanya.”
Jung Tae-Rio melepaskan syal itu dari manekin dan memakainya. Ia
berjalan ke cermin dan mematut diri. Ify mengikuti dari belakang sambil
menggerutu dalam hati, kenapa jadi Jung Tae-Rio yang mencoba memakainya?
“Memang bagus,” Jung Tae-Rio mengakui. “Cocok untukku, bukan?”
Ify ikut melihat bayangan Jung Tae-Rio di cermin dan harus
mengakui pria itu memang terlihat keren sekali dengan syal itu.
“Cocok. Kau bisa memakainya pada acara jumpa penggemarmu nanti,”
usul Ify sambil mengalihkan pandangan.
“Boleh juga,” kata Jung Tae-Rioo dan berputar dari cermin. “Lalu
soal hadiah untuk penggemar, kupikir sebaiknya mereka kubelikan topi saja.
Bagaimana?”
No comments:
Post a Comment