Sunday, 10 June 2012

Boy Sitter [6]


Boy Sitter [6] : Inilah Putraku. Namanya……..

AKU membuka pintu perlahan-lahan, memeluk Mama begitu masuk.  Beliau sedang menatap sebuah foto berfigura di ruang tamu.
“Ya ampun ma., nggak nyangka deh…”  kuceritakan semua kejadian yang kudapatkan siang tadi. Mulai dari gaji yang terlalu besar, sampai jamuan makan  hotel hendak mau pulang.
“Baguslah kalau begitu. Mama doain kamu lancar dengan kerjaan kamu nanti.”
“Oh,  makasih ma. Nggak kebayang deh, gimana rupanya tuh anak.  Monster apa nggak, sih? dibilang monster kayaknya  nggak. Dibilang balita juga nggak mungkin.”
“emang kenapa sih?” Tanya Mama heran.
“Ya… gitu deh. Katanya anaknya bandel, manja, nggak mau diem.  Dia harus selalu ditemenin ke manapun. Ditambah, dia tuh sering keluar malem. Dan aku nanti harus menjaga dia dari keluar malem.”
“Kamu udah liat fotonya, Fy?”
“Belum, sih. asalnya Bu Nira mau bawa foto anaknya, tapi kelupaan. Jadinya belum liat. Huh… besokk aku udah mulai kerja.”
“Ya udah semoga aja kamu sukses dengan pekerjaan ini.”
“Ma, jangan kangenin aku selama satu minggi ke depan,ya!”
Mama mencubit hidungku, “Tenang aja. Paling juga kucing tetangga yang kangenin kamu!”
Aku tertawa kecil, dan berjalan menaiki tangga. Namun sebelum mencapai bagian tengah, mama memanggilku lagi, “Eh Fy, Fy. Ada Ardhya tuh..!”
“Ardhya mana?”
“Ardhya yang dari Pameungpeuk yang rambutnya keriting lurus.”
“Ardhya?” Aku berpikir lagi dan meng……..
Oh my God! Ardhya ada disini?  Kuambil langkah cepat menuju kamarku, dan menggebrak pintu.
BRAK!
Oik dan Ardhya yang lagi di depan notebook sama sekali nggak kaget. Mereka masih asyik menatap layar monitor. Namun lima detik kemudian, begitu proses loading di notebook Oik selesai,  mereka akirnya berbalik.
“Yaampuunn.. siapa sih? Ngagetin aja!” seru Ardhya kesal.
“Aduh, ya.kamu kagetnya telat, woy!” aku menghampiri mereka. “kamu ada acara apa ke sini?” Kulemparkan tasku  ke ranjang.
“Biasa. Tiap abis bagi rapor semester genap gue ke sini.” Ujarnya bangga,kembali menatap notebook Oik.
Biasa apaan? Cuma lebaran sama tahun baru kamu datang kesini, kok! Kapan kamu liburan langsung maen ke Bandung? Ini baru pertama kali, bukan?
“Oohh..”jawabku pendek. Membuka ikatan rambutku. “Gimana perjalanan dari Pameungpeuk ke bandung?”
“Seperti biasa. Gue nemu dua belokan.”
“maksud kamu?”
“Ya… entah kenapa. Gue juga heran ngitung beribu-ribu belokan, tetep aja belokannya Cuma ada dua,kanan dan kiri.”
Aduh, ya! Plis deh. Penting, ya?
Ardhya, sepupuku dari Pameungpeuk. Sebenernya dia itu orangnya menyenangkan, cantik, dan baik. tapi semua itu hanya “sebenarnya”, terkadang Ardhya lebih sering nyebelin. Suka ngebuntutin orang sampe WC. Atau ngomongin hal-hal yang sebetulnya gak penting. Mata agak sipitnya menjadi ciri khas. Terkadang bermuka judes, bahkan kadang bermuka dua. Hehehe… dia memang jaim. Wajahnya datar di setiap tempat,  meskipun aku pernah menemukannya cekikikan sendiri di kereta api.
Unlike Ardhya, Oik dari Bogor lebih gak penting dibicarakan.  Dia lebih sombong (maaf ya, Ik,maksudku takabur,) dan selalu menunjukkan setiap benda terbarunya pada setiap orang. Saking seringnya, terkadang aku menemukan Oik sedang menunjukkan diary baruya pada pedagang es keliling. Bibirnya yang agak tebal menjadi ciri  khas khusus. Manjanya minta ampuuunn dan rengekannya minta tolong!! Masih mending dari Ardhya,  Oik is the lemot one.Oik sering memarahi benda di dekatnya kalo sedang kesal, atau membantingnya sampai rusak meskipun benda itu nggak berdosa. Kasian banget, sihh..!
“Lagi ngapain, tuh?” seruku sambil menjatuhkan diri di samping Oik.
“lagi natap computer.”jawab Ardhya buru-buru, takut pertanyaanku dijawab Oik. Dasar kamso…. Kampungan so much.
“Ya, aku tau. Maksudnya lagi buka apa sih?” tanyaku lagi lebih tenang.meskipun kesal kalau Ardhya sudah menjawab seperti itu.
“Ya.. buka komputerlah.,masa buka buku,sih?” jawab Ardhya cepat-cepat,lengkap dengan muka judesnya,
Hm.. aku mendengus, kemudian mengangkat tubuhku, mendongak menatap notebook. Ya ampun.. ternyata lagi-lagi Oik membuka website sekolahku. Dan lagi-lagi,foto Rio hampir penuh di halaman.
 Mengetahui yang sedang dilihat mereka adalah nggak penting,  aku pindah  ke atas sofa  di samping lemari. Aku tiduran sambil memainkan boneka yang terjatuh dari atas lemari.  “Kamu  kesini bareng siapa, Ar?”
“Bareng sama desiran angin dan kehangatan sore.” Aku melemparkan bonekaku pada Ardhya. Dia terdorong sedikit,dan tersentak.  Kemudian mengambil bantal, dan balas melemparkannya pada ku, “Apaan, sih? Nggak penting tau!” serunya.
Aduh, ya! Bukannya kamu yang selama ini nggak penting?huh.
“jam berapa kamu berangkat,Ar?” tanyaku lagi, berbasa-basi.
“sesuai jam keberangkatan.”
“naik apa?”
“Alat transportasi.”
“Oohh..”jawabku pendek lalu berjalan keluar kamar.  Saat menuruni tangga hendak menghampiri mama, aku mendengar pintu kamar dibuka dan ditutup.  Ardhya baru saja keluar dan menatapku judes sambil menyilangkan tangannya di depan dada.. Aku nggak peduli, bergegas menuju mama.
 Dasar aneh!
Mama sedang mengupas kulit jeruk begitu aku menjatuhkan diri di atas sofa, di sampingnya. Getaran yang kubuat, membuat mama bergerak naik turun.
“Ma… punya  ide ngatasin anak bandel?” tanyaku santai. Mama menggeleng, lalu memasukkan sekerat jeruk ke dalam mulutnya.
“Anak manja?” mama menggeleng lagi. tangannya ditengadahkan di depan mulut, mengeluarkan biji jeruk.
“Ngnggn.. anak yang sering keluar malem?” mama menggeleng lagi. Lebih lama.
“Oke.. bagaimana dengan…. Merawat seorang anak laki-laki?”
“mama nggak punya anak manja, bandel,dan suka keluar malem. Anak mama juga perempuan semua.”
Tiba-tiba, Ardhya datang dari belakang kami.  Meloncat sofa dengan gagah lalu duduk di antara kami.”minggir-minggir-minggir.” Serunya menggoyang-goyangkan pinggul.
Mama acuh dengan kelakuan Ardhya tersebut. Mama hanya mengambil sekerat jeruk yang lain, lalu mengunyahnya penuh nikmat. Aku menghembuskan nafas besar. Lalu menoleh ke jendela. Sekaligus menggeser beberapa senti badanku ke samping.
“Ceritain lagi,dong. Kayak gimana,sih bayi yang akan kamu urus?” pinta mama dengan mulut penuh dengan daging jeruk.
“Jangan sebut dia bayi, Ma!”
“Iyaa.. pokoknya itu, deh!”
“Yaa.. dia sih,ibunya kelihatan masih muda. Tapi kayaknya tuh anak udah seumur delapan sampe Sembilan tahunan. Udah agak besar.”
Ardhya langsung bangkit dan berjalan melewati kakiku.  Dia menggeser-geser punggung kakiku dengan betisnya, dan melewatiku tanpa hirauan apalagi permisi.
Apaan sih nih cewek?!
“Dari mana kesimpulan kayak gitu?” Tanya mama lagi.
“dari hal-hal  aneh yang aku dapatkan sampai saat ini. Anaknya itu udah sekolah.  Dia suka ngomonginn tentang cewek di sekolahnya. Dia suka keluar malem. Dan Bu Nira suka banget bilang ‘kamu pasti ngerti suasana hati putraku’.”
“Mungkin karna kamu masih muda. Kamu dikira sangat mengerti apa yang dikira sangat kekanak-kanakan.”
“Nggak lho, ma!  Aku juga masih bingung. sebab Bu Nira pernah ngomong gini ‘untung kamu masih enam belas tahun’.”
“yaaa.. anaknya suka daun muda atau brondong kali?!”
Brondong? Nih ibu gaul amat, sih!
Aku membanting sebuah bantal disampingku ke atas sofa, memukulnya kesal. “Apaan yang daun muda? aku ini manusia. Bukan dari kingdom plantae!
Tibatiba, Ardhya datang lagi dengan secangkir teh hangatnya. Dan lagi-lagi,dia duduk di antara aku dan mama. Kemudian meletakkan cangkirnya, menyilangkan kaki, dan mengibas-ngibaskan tangannya di dekat leher. “Aduh panas disini. Tante, misi deh. Minggir dong, dikit. Gerah, nih!”
Aduh, ya! Sofa di ruangan init uh banyak Neng Ardhya?! Kenapa sih, tergila-gila banget sama sofa ini? Sama aja kan, sama sofa yang di samping. Masih satu merk,satu warna, dan satu pabrik.
Mama lagi-lagi  acuh. Menggeser sedikit posisi duduknya,  sama sekali nggak menasihati keponakannya yang sangat menyebalkan dan nggak tau sopan santun ini. “Elo juga geser,dong. Sempit nih!” tambah Ardhya.
Ingin sekali aku mengatakan, “pindah dong, ke sofa yang sana biar lebih lega.” Tapi aku memutuskan untuk nggak melontarkan kalimat itu, karna aku malas, nggak mau adu mulut, dan sepertinya jangan kalo ingin mempertahankan hubungan baik antara kedua sepupu. Tiba-tiba lagi, Ardhya mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menaruhnya di atas pahaku.  Satu kaki yang berbalutkan jeans berwarna gelap,dan aku harus menopangnya? Dasar, nggak sopan!
 Aku menoleh menatap Ardhya,dia balas menatapku.  Tatapannya tajam, sinis, dan kelewat menakutkan, “Sori,ya. Jangan pijit-pijit kaki gue. gue nggak pegel.”
Aduh.. plis deh.  Siapa juga yang niat mijitin kaki kamu?  Ih, kucing tetangga aja kayanya ogah ngeliat kaki kamu. Apalagi betisnya!
Aku yang kesal, malah memijitnya dengan keras. Ardhya sempat tersentak geli waktu aku meremas-remas betisnya, kemudian dia terdiam dan menatapku tajam.
“Coba-coba, tumitnya juga, dong! Yang agak  bawahan mijitnya.”
IIiihhh menyebalkan. Kuhempaskan kakinya dan bangkit meninggalkan sofa.
Ya ampun, malem-malem gini udah muncul orang kaya gini? Dewi Fortunaku lagi liburan kemana sih sampe-sampe aku nggak dapet keberuntungan.? Heh, pusing deh, aku!
Aku berjalan kearah tangga, hendak menuju kamar kembali. Dari anak tangga paling bawah, aku dapat melihat Oik hendak turun ke lantai bawah.  Namun…..
Sleeet.. duk duk duk.. gubrak-gebruk!! Brang-breng-brong!! Bukk.. Gedebuggg!
Oik terjatuh dari tangga, berguling-guling sebentar, namun berhasil menahan dirinya di tangga keempat. Itu pun dalam keadaan terduduk.
“Aww!! Sapa sih yang naro tangga di sini?! Ngebahayain aja deh!” erangnya.


OKE. Pukul delapan pagi. Aku harus udah ada di alamat ini. Bu Nira menungguku.  Hari ini hari pertamaku bekerja. Dan nggak akan pulang selama satu minggu. Sebetulnya boleh, sih. Kalau putranya udah tidur, aku boleh pulang. Tapi, harus udah kembali sebelum putranya bangun. Lumayan menyusahkan dan menyulitkan hidup. Tapi ya… setara deh ama gaji dua belas juta.
Aku menghempaskan tas ranselku di dekat pintu dan memeluk mama sebentar, “doain aku berhasil, Ma! Aku yakin hari ini adalah hari yang akan ngubah hidupku.”
“Ya-ya. Mama selalu mendoakanmu. Semoga kamu berhasil mengatasi semua masalah.  Nggak terlalu pagi, nih berangkatnya? Ini masih jam lima pagi, lho!”
“Hm.. bagus dong. Jadi, Ardhya nggak ikut kemana pun aku pergi.  Mama inget, kan? Waktu kelasku ngadain tahun baru di Yogya? Dia ngotot pengin ikut. Mana dia nggak mau  bayar lagi! Ngapain juga coba maksain ikut acara kelasku?!”
Mama tertawa kecil, dan mengelus pundakku. “Ardhya masih tidur?”
“Ya, sama Oik. Semalem gerah banget. Aku harus bagi kasur sampe tiga. Mending kalo tidur di kasur bangunnya di atas kasur juga.  Malam tadi, aku tidur di atas kasur, bangun di bawah kasur.  Entah gimana, aku bisaa jatuh tapi nggak kerasa.”
“Ya udah. Kalo kamu pengin ngehindarin diikuti Ardhya mending kamu pergi cepet-cepet.  Jangan lupa kirim SMS, ya!”
“Ya udah, aku pergi dulu ya, Ma. Daaaahhh!” Aku melambaikan tangan pada mama.
Mama membalas. Kuangkat ranselku dan bergegas meninggalkan rumah. Oh, aku akan meninggalkan rumah ini selama seminggu.  Nggak dapat dibayangkan. Aku harus meninggalkan kamar sementara. Aku harus meninggalkan Tweenies sementara.  Aku harus meninggalkan dunia luar sementara. Ya Tuhan, semoga tuh bocah hobi-nya tidur, jadi aku bisa lebih sering keluar.
Lima belas menit kemudian aku udah berada di teras rumah Sivia. Beruntungnya aku, Sivia udah melihatku dari beranda teras second story rumahnya.
Aku dapat merasakan Sivia sedang berlari kencang, menikung menuruni tangga rumahnya.  Suaranya yang berisik ingin membuka pintu depan, juga teriakan-teriakan pembantu agar nggak membuka pintu.
“Hai! Hosh…. Hosh!” sapa Sivia terengah-engah.
 Aku tersenyum riang, ramah, melambaikan tangan di bawah wajah.  Sivia langsung memelukku. Dan melepaskannya.  Memeluk lagi. Melepas lagi. Memeluk lagi. Melepas lagi.
“Ehm-ehm..” Aku berdehem. “Aku hanya punya waktu satu jam sebelum sampai di tempat kerjaku, Vi.”
Sekarang, Sivia benar-benar melepaskan pelukannya. “Oh, berhati-hatilah Ify.  Jaga diri elo. Gue teh semalem bener-bener nyesel euy  udah ngasih alamat-alamat itu ke elo. Coba gue nggak ngasih alamat itu. Pasti sekarang elo teh masih di rumah nonton TV!” Sivia cemberut.
“Nggak  apa-apa kok, Vi. Malah aku berterima kasih sama kamu udah ngasihin alamat itu. Tau nggak.. aku.. digaji.. dua belas juta… Arrrgghh!!” Aku berteriak senang, meloncat-loncat.   Aku melompat-lompat naik-turun, dan … hanya sendirian. “Sivia, kamu nggak ikutan seneng aku dapet dua belas juta?”
Sivia masih cemberut.
“Viaa., aku hanya satu minggu di sana. Kita masih bisa SMS-an setiap hari, jangan sedih, dong.” Aku mencoba melebarkan pipi Sivia, menghilangkan cemberutnya.  Namun ternyata elastis! Begitu aku menarik pipinya hampir ke telinga, pipi Sivia kembali ke tengah, menekuk, kembali cemberut, bahkan terjadi getaran karena memegas.
“Ify, jangan sampe abis pulsa ya!” rengeknya manja.
“Ya… se-andainya abis juga, kalau kamu pengin sms-an ama aku, kamu transfer pulsa aja ke HP-ku..” ungkapku diiringi tawa kecil.
Tapi begitu tawa kecilku berhenti, bukan tawa kecil Sivia yang kudengar. Malah suara jam dinding!
“Oh, oke. Aku harus pergi. Sampai jumpa, Sivia!” pipiku langsung menyambar pipi Sivia, dan kami melakukan ritual cipika-cipiki. “Daaaahhh..!” aku melambari, berbalik meninggalkan Sivia.
Dari jauh, aku masih bisa merasakan kalau Sivia nggak merelakan aku bekerja di tempat itu bukan karena satu minggunya, tapi karena bayi monsternya.  Ketika aku mengatakan bayinya moster, Sivia menganggap bayi itu benar-benar monster.  Padahal, aku hanya bercanda. Monster hanyalah sebuah ungkapan kecil. Namun, Sivia kekeuh alamat yang sekarang kudatangin adalah zona merah, berbahaya!
Abis dari rumah Sivia, aku menelepon Shilla. Tapi dia nggak ngejawab teleponku.  Mungkin masih tidur. Oh, biasanya Shilla masih tidur di pagi seindah  ini.  Biasanya ini adalah hari terindah baginya untuk jogging atau berlari di atas treadmill di teras rumahnya.
Kalau begitu, udah waktunya aku ngunjungin rumah ini.  Huuuh.. rumah yang menyeramkan.  Menjadi babysitter dengan gaji dua belas juta sih,  yang diasuhnya pasti benar-benar monster.  Bisa saja anaknya gorilla, paus biru, atau T-rex.  Atau bayinya mungil, namun dipopoknya penuh dengan bahan peledak?  Atau mungkin bocah kecil yang wajahnya manis, namun dia melayang karna dia hantu? Hiiyy! Atau bayi itu terlalu jenius?  Atau bayi itu berbulu lebat?  Atau bayi itu lebarnya hanya dua senti?!
Udah, deh.. yang pasti dua belas juta nggak akan dibayar dengan mudah.  Pasti ada tantangan tersendiri.  Oh, atay bayi itu mungkin sebuah spons kuning bercelana kotak yang sangat menyebalkan?
Aku nggak berkunjung ke rumah Shilla, karena buru-buru ke rumah Bu Nira, menemui putranya. Sepanjang perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh berbagai bentuk yang bisa saja terjadi pada bocah itu.  Terkadang oke aku akan mengambil positifnya seperti, “Bu Nira terlalu banyak duit, jadi berapa aja pasti dia akan bayar.” Tapi tetep aja. Sedermawannya orang kaya, nggak mungkin memberikan dua belas juta cuma-cuma untuk mengasuh bayi yang imut, lucu,  dan manis. Jadi, bayi masih  berkemungkinan terdaftar di Departemen anak sulit Diasuh.
Hmm.. yang namanya Dede itu siapanya aku sih? Sampe-sampe seminggu ini aku terus memikirkannya?
Oke. Sampai. Pukul tujuh tepat. Aku kepagian satu jam. Biarin aja. Tapi, aku deg-degan. Jantungku berdegup kencang mendekati pagar rumahnya saja.
Rumah ini sangat besar. Benar-benar besar. Seluruh rumah bercat putih dan pagar tinggi yang menjulang tajam. benar-benar pagar yang akan menyulitkan profesi seorang pencuri. Juga rumput yang sangat hijau, tertata rapi di halaman belum masuk rumah,lho dengan beberapa pohon palem atau sejenisnya tumbuh indah layaknya pesisir pantai.
Iihh.. kapan ya aku bisa masuk rumah kayak gini? Oh, iya. Bentar lagi aku juga masuk, kok!
Aku menghampiri bel, dan memencetnya.  Kusiagakan telinga mencoba mendengar apakah belku udah sampai ke tengah rumah. Hm… aku nggak mendengar suara anjing di sini. Sepertinya, di sini emang nggak ada anjing? Atau aku belum memencetnya dengan benar? Biasanya, anjing akan menggonggong kalau bel rumah majikannya dipencet. Lupakan itu! What-ever. Sepertinya, aku mulai stress berspekulasi dengan bocah yang bernama Dede, hingga pikiranku benar-benar kacau.
Sreeett,, pintu pagar terbuka. Otomatis.
Seseorang berseragam pembantu menghampiriku sambil tersenyum. Cewek berusia sekitar dua puluh tahun, rambutnya ikal dikuncir, kulit mulus, dan body-nya seksi. Cewek yang jelas-jelas pembantu ini berjalan genit menghampiriku. Pinggulnya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti tungkai. Dan salah satu jarinya memilin rambut ikalnya. Cewek itu tersenyum genit sekali lagi. Mengunyah permen karet. Lalu….. oke kita bahas dulu seragamnya.
Kemeja lengan pendek berenda, terusan sampai lutut,  tapi sepertinya cewek ini mengecilkan bagian rok  hingga empat puluh koma dua puluh delapan persen. Pendek banget. Juga sleeve yang ketat.  Kancing yang membuka. Juga ada celemek  renda-renda yang dipasang dari perut hingga tepi bawah rok.  Juga kerah pola renda yang sama. Ya ampun…. Akankah aku memakai seragam seperti ini?
“Yuk, masuk! Nyonya besar udah nunggu..tuh!”  sapanya genit, menarik tanganku.
Aku berjalan terseret-seret, ditarik pembantu itu.  Kami berdua menyusuri sebuah paving blok lebar yang di sisinya ditumbuhi rumput hijau dan pohon yang rindang.  Tiga mobil mewah terparkir rapi di depan kami.  Pembantu itu kemudian mengajakku ke teras rumah yang besar juga, dan langsung masuk melalui pintu utama.
Ya ampun.. pintu depannya aja udah dua setengah kali tubuhku.
Begitu aku masuk, aku melihat sebuah ruangan yang entah dinamakan apa karena banyak seali pajangan antic and keren yang disimpan sana-sini. Guci, lukisan, patung, dan benda seni lainnya. Aku yakin ini bukan ruang tamu. Nggak satupun sofa menghiasi ruangan paling depan. Hanya guci yang ditata rapi, lukisan di dinding, dan beberapa pot di pojok ruangan.
“Ayo.. ikut daku!” ajak pembantu genit itu, masih memilin rambutnya juga.dan beberapa langkah berikutnya, pembantu genit itu berhenti.  Sibuk dengan rambutnya.
“Aduuh kok melilit ya?!” tanyanya heran. Aku bergegas melihat apa yang terjadi padanya.  Hhihiii rambutnya melilit di ujung jari telunjuknya. Sungguh kacau, terikat, dan sulit terbuka.
 Ruangan berikutnya yang kami masuki adalah sebuah ruangan besar, dengan tangga besar melingkar di bagian tengah. Gantungan antic dengan banyak lampu di dalamnya, juga beragam sofa berjejer sesuai dengan pola dan warnanya. Aku bisa melihat Bu Nira membaca Koran di salah satu sofa itu. Dia langsung menoleh dan melambai.
“Kamu nggak kepagian datang?” tanyanya menghampiriku.
“ya.. menghindari telat, gitu..” jawabku.
“Tapi, kita masih satu jam lagi bertemu. Pesawatnya juga masih dua jam lagi.”
 Aku tersenyum, maju menghampiri Bu Nira.
“Ayoo, kita temui anak saya.” Ajak Bu Nira. Berbalik, melaju menaiki tangga.  Kami berdua lalu masuk ke sebuah pintu besar di ruangan lainnya di lantai dua.  Dan begitu melihat ke belakang, pembantu genit itu  udah lenyap. Maksudku, pembantu itu nggak mengikuti kami ke atas.
“Hm.. anak saya masih tidur. Dia hari libur seperti ini, biasanya dia bangun jam Sembilan. Dan, saya udah pergi jam segitu. Jadi… mungkin kamu ingin melihatnya dulu.”
Tentu saja. My best chapter in my life.
Waktunya aku menemui bayi monster itu.  Bayi yang membuatku mendapatkan gaji dua belas juta. Bayi yang memecahkan guci seharga tujuh juta.  Bayi yang keluar malam-malam. Dan juga… iya, bayi yang udah sekolah dan menceritakan cewek-cewek di sekolahnya.
Kenapa,sih? Sivia harus ngeguntingin potongan babyisitter? Kenapa gak kuli bangunan aja?
 Dari jauh, sebuah ranjang besar terlihat berantakan.  Selimut besar dan tebal menutupi si “Dede” itu. Warnanya gelap namun soft. Dan dari permukaan, gerakan naik-turun menandakan makhluk itu bernapas.
Ya, setidaknya itu bukan T-rex atau paus biru.  Dua monster itu nggak mungkin muat di ranjang sebesar ini.
Bu Nira menghampiri ranjang dan menarik selimut biru yang  menutupinya. Namun……
 Sebelum aku sampai di kepala ranjang,  aku bisa melihat betis panjang, berbulu (maksudku berambut),  menyembul dari balik selimut.  Kaki yang normal dan seperti kaki cowok dewasa.
“Ini anak saya, Mario Stevano Aditya Haling, kami biasa memanggilnya Dede.” Bu Nira menyingkap selimut.

No comments:

Post a Comment