Boy Sitter [6] :
Inilah Putraku. Namanya……..
AKU membuka pintu perlahan-lahan, memeluk Mama begitu
masuk. Beliau sedang menatap sebuah foto
berfigura di ruang tamu.
“Ya ampun ma., nggak nyangka
deh…” kuceritakan semua kejadian yang
kudapatkan siang tadi. Mulai dari gaji yang terlalu besar, sampai jamuan
makan hotel hendak mau pulang.
“Baguslah kalau begitu. Mama
doain kamu lancar dengan kerjaan kamu nanti.”
“Oh, makasih ma. Nggak kebayang deh, gimana
rupanya tuh anak. Monster apa nggak,
sih? dibilang monster kayaknya nggak.
Dibilang balita juga nggak mungkin.”
“emang kenapa sih?” Tanya Mama
heran.
“Ya… gitu deh. Katanya anaknya
bandel, manja, nggak mau diem. Dia harus
selalu ditemenin ke manapun. Ditambah, dia tuh sering keluar malem. Dan aku
nanti harus menjaga dia dari keluar malem.”
“Kamu udah liat fotonya, Fy?”
“Belum, sih. asalnya Bu Nira
mau bawa foto anaknya, tapi kelupaan. Jadinya belum liat. Huh… besokk aku udah
mulai kerja.”
“Ya udah semoga aja kamu
sukses dengan pekerjaan ini.”
“Ma, jangan kangenin aku
selama satu minggi ke depan,ya!”
Mama mencubit hidungku,
“Tenang aja. Paling juga kucing tetangga yang kangenin kamu!”
Aku tertawa kecil, dan
berjalan menaiki tangga. Namun sebelum mencapai bagian tengah, mama memanggilku
lagi, “Eh Fy, Fy. Ada Ardhya tuh..!”
“Ardhya mana?”
“Ardhya yang dari Pameungpeuk
yang rambutnya keriting lurus.”
“Ardhya?” Aku berpikir lagi
dan meng……..
Oh my God! Ardhya ada disini? Kuambil langkah cepat menuju kamarku, dan
menggebrak pintu.
BRAK!
Oik dan Ardhya yang lagi di
depan notebook sama sekali nggak
kaget. Mereka masih asyik menatap layar monitor. Namun lima detik kemudian,
begitu proses loading di notebook Oik selesai, mereka akirnya berbalik.
“Yaampuunn.. siapa sih?
Ngagetin aja!” seru Ardhya kesal.
“Aduh, ya.kamu kagetnya telat,
woy!” aku menghampiri mereka. “kamu ada acara apa ke sini?” Kulemparkan
tasku ke ranjang.
“Biasa. Tiap abis bagi rapor
semester genap gue ke sini.” Ujarnya bangga,kembali menatap notebook Oik.
Biasa apaan? Cuma lebaran sama tahun baru kamu datang kesini, kok!
Kapan kamu liburan langsung maen ke Bandung? Ini baru pertama kali, bukan?
“Oohh..”jawabku pendek.
Membuka ikatan rambutku. “Gimana perjalanan dari Pameungpeuk ke bandung?”
“Seperti biasa. Gue nemu dua
belokan.”
“maksud kamu?”
“Ya… entah kenapa. Gue juga
heran ngitung beribu-ribu belokan, tetep aja belokannya Cuma ada dua,kanan dan
kiri.”
Aduh, ya! Plis deh. Penting, ya?
Ardhya, sepupuku dari Pameungpeuk.
Sebenernya dia itu orangnya menyenangkan, cantik, dan baik. tapi semua itu
hanya “sebenarnya”, terkadang Ardhya lebih sering nyebelin. Suka ngebuntutin
orang sampe WC. Atau ngomongin hal-hal yang sebetulnya gak penting. Mata agak
sipitnya menjadi ciri khas. Terkadang bermuka judes, bahkan kadang bermuka dua.
Hehehe… dia memang jaim. Wajahnya datar di setiap tempat, meskipun aku pernah menemukannya cekikikan
sendiri di kereta api.
Unlike Ardhya, Oik dari Bogor lebih gak penting dibicarakan. Dia lebih sombong (maaf ya, Ik,maksudku
takabur,) dan selalu menunjukkan setiap benda terbarunya pada setiap orang.
Saking seringnya, terkadang aku menemukan Oik sedang menunjukkan diary baruya
pada pedagang es keliling. Bibirnya yang agak tebal menjadi ciri khas khusus. Manjanya minta ampuuunn dan
rengekannya minta tolong!! Masih mending dari Ardhya, Oik is
the lemot one.Oik sering memarahi benda di dekatnya kalo sedang kesal, atau
membantingnya sampai rusak meskipun benda itu nggak berdosa. Kasian banget,
sihh..!
“Lagi ngapain, tuh?” seruku
sambil menjatuhkan diri di samping Oik.
“lagi natap computer.”jawab
Ardhya buru-buru, takut pertanyaanku dijawab Oik. Dasar kamso…. Kampungan so much.
“Ya, aku tau. Maksudnya lagi
buka apa sih?” tanyaku lagi lebih tenang.meskipun kesal kalau Ardhya sudah
menjawab seperti itu.
“Ya.. buka komputerlah.,masa
buka buku,sih?” jawab Ardhya cepat-cepat,lengkap dengan muka judesnya,
Hm.. aku mendengus, kemudian
mengangkat tubuhku, mendongak menatap notebook.
Ya ampun.. ternyata lagi-lagi Oik membuka website
sekolahku. Dan lagi-lagi,foto Rio hampir penuh di halaman.
Mengetahui yang sedang dilihat mereka adalah
nggak penting, aku pindah ke atas sofa
di samping lemari. Aku tiduran sambil memainkan boneka yang terjatuh
dari atas lemari. “Kamu kesini bareng siapa, Ar?”
“Bareng sama desiran angin dan
kehangatan sore.” Aku melemparkan bonekaku pada Ardhya. Dia terdorong
sedikit,dan tersentak. Kemudian
mengambil bantal, dan balas melemparkannya pada ku, “Apaan, sih? Nggak penting tau!”
serunya.
Aduh, ya! Bukannya kamu yang selama ini nggak penting?huh.
“jam berapa kamu
berangkat,Ar?” tanyaku lagi, berbasa-basi.
“sesuai jam keberangkatan.”
“naik apa?”
“Alat transportasi.”
“Oohh..”jawabku pendek lalu
berjalan keluar kamar. Saat menuruni
tangga hendak menghampiri mama, aku mendengar pintu kamar dibuka dan
ditutup. Ardhya baru saja keluar dan
menatapku judes sambil menyilangkan tangannya di depan dada.. Aku nggak peduli,
bergegas menuju mama.
Dasar
aneh!
Mama sedang mengupas kulit jeruk
begitu aku menjatuhkan diri di atas sofa, di sampingnya. Getaran yang kubuat,
membuat mama bergerak naik turun.
“Ma… punya ide ngatasin anak bandel?” tanyaku santai.
Mama menggeleng, lalu memasukkan sekerat jeruk ke dalam mulutnya.
“Anak manja?” mama menggeleng
lagi. tangannya ditengadahkan di depan mulut, mengeluarkan biji jeruk.
“Ngnggn.. anak yang sering
keluar malem?” mama menggeleng lagi. Lebih lama.
“Oke.. bagaimana dengan….
Merawat seorang anak laki-laki?”
“mama nggak punya anak manja,
bandel,dan suka keluar malem. Anak mama juga perempuan semua.”
Tiba-tiba, Ardhya datang dari
belakang kami. Meloncat sofa dengan
gagah lalu duduk di antara kami.”minggir-minggir-minggir.” Serunya
menggoyang-goyangkan pinggul.
Mama acuh dengan kelakuan
Ardhya tersebut. Mama hanya mengambil sekerat jeruk yang lain, lalu
mengunyahnya penuh nikmat. Aku menghembuskan nafas besar. Lalu menoleh ke
jendela. Sekaligus menggeser beberapa senti badanku ke samping.
“Ceritain lagi,dong. Kayak
gimana,sih bayi yang akan kamu urus?” pinta mama dengan mulut penuh dengan
daging jeruk.
“Jangan sebut dia bayi, Ma!”
“Iyaa.. pokoknya itu, deh!”
“Yaa.. dia sih,ibunya
kelihatan masih muda. Tapi kayaknya tuh anak udah seumur delapan sampe Sembilan
tahunan. Udah agak besar.”
Ardhya langsung bangkit dan
berjalan melewati kakiku. Dia
menggeser-geser punggung kakiku dengan betisnya, dan melewatiku tanpa hirauan
apalagi permisi.
Apaan sih nih cewek?!
“Dari mana kesimpulan kayak
gitu?” Tanya mama lagi.
“dari hal-hal aneh yang aku dapatkan sampai saat ini.
Anaknya itu udah sekolah. Dia suka
ngomonginn tentang cewek di sekolahnya. Dia suka keluar malem. Dan Bu Nira suka
banget bilang ‘kamu pasti ngerti suasana hati putraku’.”
“Mungkin karna kamu masih
muda. Kamu dikira sangat mengerti apa yang dikira sangat kekanak-kanakan.”
“Nggak lho, ma! Aku juga masih bingung. sebab Bu Nira pernah
ngomong gini ‘untung kamu masih enam belas tahun’.”
“yaaa.. anaknya suka daun muda
atau brondong kali?!”
Brondong? Nih ibu gaul amat, sih!
Aku membanting sebuah bantal
disampingku ke atas sofa, memukulnya kesal. “Apaan yang daun muda? aku ini
manusia. Bukan dari kingdom plantae!”
Tibatiba, Ardhya datang lagi
dengan secangkir teh hangatnya. Dan lagi-lagi,dia duduk di antara aku dan mama.
Kemudian meletakkan cangkirnya, menyilangkan kaki, dan mengibas-ngibaskan
tangannya di dekat leher. “Aduh panas disini. Tante, misi deh. Minggir dong,
dikit. Gerah, nih!”
Aduh, ya! Sofa di ruangan init uh banyak Neng Ardhya?! Kenapa sih,
tergila-gila banget sama sofa ini? Sama aja kan, sama sofa yang di samping.
Masih satu merk,satu warna, dan satu pabrik.
Mama lagi-lagi acuh. Menggeser sedikit posisi duduknya, sama sekali nggak menasihati keponakannya
yang sangat menyebalkan dan nggak tau sopan santun ini. “Elo juga geser,dong.
Sempit nih!” tambah Ardhya.
Ingin sekali aku mengatakan,
“pindah dong, ke sofa yang sana biar lebih lega.” Tapi aku memutuskan untuk
nggak melontarkan kalimat itu, karna aku malas, nggak mau adu mulut, dan
sepertinya jangan kalo ingin mempertahankan hubungan baik antara kedua sepupu.
Tiba-tiba lagi, Ardhya mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menaruhnya di atas
pahaku. Satu kaki yang berbalutkan jeans
berwarna gelap,dan aku harus menopangnya? Dasar, nggak sopan!
Aku menoleh menatap Ardhya,dia balas
menatapku. Tatapannya tajam, sinis, dan
kelewat menakutkan, “Sori,ya. Jangan pijit-pijit kaki gue. gue nggak pegel.”
Aduh.. plis deh. Siapa juga yang
niat mijitin kaki kamu? Ih, kucing
tetangga aja kayanya ogah ngeliat kaki kamu. Apalagi betisnya!
Aku yang kesal, malah
memijitnya dengan keras. Ardhya sempat tersentak geli waktu aku meremas-remas
betisnya, kemudian dia terdiam dan menatapku tajam.
“Coba-coba, tumitnya juga,
dong! Yang agak bawahan mijitnya.”
IIiihhh menyebalkan. Kuhempaskan kakinya dan bangkit meninggalkan
sofa.
Ya ampun, malem-malem gini udah muncul orang kaya gini? Dewi Fortunaku
lagi liburan kemana sih sampe-sampe aku nggak dapet keberuntungan.? Heh, pusing
deh, aku!
Aku berjalan kearah tangga,
hendak menuju kamar kembali. Dari anak tangga paling bawah, aku dapat melihat
Oik hendak turun ke lantai bawah. Namun…..
Sleeet.. duk duk duk.. gubrak-gebruk!! Brang-breng-brong!! Bukk..
Gedebuggg!
Oik terjatuh dari tangga,
berguling-guling sebentar, namun berhasil menahan dirinya di tangga keempat.
Itu pun dalam keadaan terduduk.
“Aww!! Sapa sih yang naro
tangga di sini?! Ngebahayain aja deh!” erangnya.
OKE. Pukul delapan pagi. Aku
harus udah ada di alamat ini. Bu Nira menungguku. Hari ini hari pertamaku bekerja. Dan nggak akan
pulang selama satu minggu. Sebetulnya boleh, sih. Kalau putranya udah tidur,
aku boleh pulang. Tapi, harus udah kembali sebelum putranya bangun. Lumayan
menyusahkan dan menyulitkan hidup. Tapi ya… setara deh ama gaji dua belas juta.
Aku menghempaskan tas ranselku
di dekat pintu dan memeluk mama sebentar, “doain aku berhasil, Ma! Aku yakin
hari ini adalah hari yang akan ngubah hidupku.”
“Ya-ya. Mama selalu
mendoakanmu. Semoga kamu berhasil mengatasi semua masalah. Nggak terlalu pagi, nih berangkatnya? Ini
masih jam lima pagi, lho!”
“Hm.. bagus dong. Jadi, Ardhya
nggak ikut kemana pun aku pergi. Mama
inget, kan? Waktu kelasku ngadain tahun baru di Yogya? Dia ngotot pengin ikut.
Mana dia nggak mau bayar lagi! Ngapain
juga coba maksain ikut acara kelasku?!”
Mama tertawa kecil, dan
mengelus pundakku. “Ardhya masih tidur?”
“Ya, sama Oik. Semalem gerah
banget. Aku harus bagi kasur sampe tiga. Mending kalo tidur di kasur bangunnya
di atas kasur juga. Malam tadi, aku
tidur di atas kasur, bangun di bawah kasur.
Entah gimana, aku bisaa jatuh tapi nggak kerasa.”
“Ya udah. Kalo kamu pengin
ngehindarin diikuti Ardhya mending kamu pergi cepet-cepet. Jangan lupa kirim SMS, ya!”
“Ya udah, aku pergi dulu ya,
Ma. Daaaahhh!” Aku melambaikan tangan pada mama.
Mama membalas. Kuangkat
ranselku dan bergegas meninggalkan rumah. Oh, aku akan meninggalkan rumah ini
selama seminggu. Nggak dapat
dibayangkan. Aku harus meninggalkan kamar sementara. Aku harus meninggalkan
Tweenies sementara. Aku harus
meninggalkan dunia luar sementara. Ya Tuhan, semoga tuh bocah hobi-nya tidur,
jadi aku bisa lebih sering keluar.
Lima belas menit kemudian aku
udah berada di teras rumah Sivia. Beruntungnya aku, Sivia udah melihatku dari
beranda teras second story rumahnya.
Aku dapat merasakan Sivia
sedang berlari kencang, menikung menuruni tangga rumahnya. Suaranya yang berisik ingin membuka pintu
depan, juga teriakan-teriakan pembantu agar nggak membuka pintu.
“Hai! Hosh…. Hosh!” sapa Sivia
terengah-engah.
Aku tersenyum riang, ramah, melambaikan tangan
di bawah wajah. Sivia langsung
memelukku. Dan melepaskannya. Memeluk
lagi. Melepas lagi. Memeluk lagi. Melepas lagi.
“Ehm-ehm..” Aku berdehem. “Aku
hanya punya waktu satu jam sebelum sampai di tempat kerjaku, Vi.”
Sekarang, Sivia benar-benar
melepaskan pelukannya. “Oh, berhati-hatilah Ify. Jaga diri elo. Gue teh semalem bener-bener nyesel euy
udah ngasih alamat-alamat itu ke
elo. Coba gue nggak ngasih alamat itu. Pasti sekarang elo teh masih di rumah nonton TV!” Sivia cemberut.
“Nggak apa-apa kok, Vi. Malah aku berterima kasih
sama kamu udah ngasihin alamat itu. Tau nggak.. aku.. digaji.. dua belas juta…
Arrrgghh!!” Aku berteriak senang, meloncat-loncat. Aku
melompat-lompat naik-turun, dan … hanya sendirian. “Sivia, kamu nggak ikutan
seneng aku dapet dua belas juta?”
Sivia masih cemberut.
“Viaa., aku hanya satu minggu
di sana. Kita masih bisa SMS-an setiap hari, jangan sedih, dong.” Aku mencoba
melebarkan pipi Sivia, menghilangkan cemberutnya. Namun ternyata elastis! Begitu aku menarik
pipinya hampir ke telinga, pipi Sivia kembali ke tengah, menekuk, kembali
cemberut, bahkan terjadi getaran karena memegas.
“Ify, jangan sampe abis pulsa
ya!” rengeknya manja.
“Ya… se-andainya abis juga,
kalau kamu pengin sms-an ama aku, kamu transfer pulsa aja ke HP-ku..” ungkapku
diiringi tawa kecil.
Tapi begitu tawa kecilku
berhenti, bukan tawa kecil Sivia yang kudengar. Malah suara jam dinding!
“Oh, oke. Aku harus pergi.
Sampai jumpa, Sivia!” pipiku langsung menyambar pipi Sivia, dan kami melakukan
ritual cipika-cipiki. “Daaaahhh..!” aku melambari, berbalik meninggalkan Sivia.
Dari jauh, aku masih bisa
merasakan kalau Sivia nggak merelakan aku bekerja di tempat itu bukan karena
satu minggunya, tapi karena bayi monsternya.
Ketika aku mengatakan bayinya moster, Sivia menganggap bayi itu
benar-benar monster. Padahal, aku hanya
bercanda. Monster hanyalah sebuah ungkapan kecil. Namun, Sivia kekeuh alamat yang sekarang kudatangin
adalah zona merah, berbahaya!
Abis dari rumah Sivia, aku
menelepon Shilla. Tapi dia nggak ngejawab teleponku. Mungkin masih tidur. Oh, biasanya Shilla
masih tidur di pagi seindah ini. Biasanya ini adalah hari terindah baginya
untuk jogging atau berlari di atas treadmill
di teras rumahnya.
Kalau begitu, udah waktunya
aku ngunjungin rumah ini. Huuuh.. rumah
yang menyeramkan. Menjadi babysitter dengan gaji dua belas juta
sih, yang diasuhnya pasti benar-benar
monster. Bisa saja anaknya gorilla, paus
biru, atau T-rex. Atau bayinya mungil,
namun dipopoknya penuh dengan bahan peledak?
Atau mungkin bocah kecil yang wajahnya manis, namun dia melayang karna
dia hantu? Hiiyy! Atau bayi itu terlalu jenius?
Atau bayi itu berbulu lebat? Atau
bayi itu lebarnya hanya dua senti?!
Udah, deh.. yang pasti dua
belas juta nggak akan dibayar dengan mudah. Pasti ada tantangan tersendiri. Oh,
atay bayi itu mungkin sebuah spons kuning bercelana kotak yang sangat
menyebalkan?
Aku nggak berkunjung ke rumah
Shilla, karena buru-buru ke rumah Bu Nira, menemui putranya. Sepanjang
perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh berbagai bentuk yang bisa saja terjadi pada
bocah itu. Terkadang oke aku akan
mengambil positifnya seperti, “Bu Nira terlalu banyak duit, jadi berapa aja
pasti dia akan bayar.” Tapi tetep aja. Sedermawannya orang kaya, nggak mungkin
memberikan dua belas juta cuma-cuma untuk mengasuh bayi yang imut, lucu, dan manis. Jadi, bayi masih berkemungkinan terdaftar di Departemen anak
sulit Diasuh.
Hmm.. yang namanya Dede itu siapanya aku sih? Sampe-sampe seminggu ini
aku terus memikirkannya?
Oke. Sampai. Pukul tujuh
tepat. Aku kepagian satu jam. Biarin aja. Tapi, aku deg-degan. Jantungku
berdegup kencang mendekati pagar rumahnya saja.
Rumah ini sangat besar.
Benar-benar besar. Seluruh rumah bercat putih dan pagar tinggi yang menjulang
tajam. benar-benar pagar yang akan menyulitkan profesi seorang pencuri. Juga
rumput yang sangat hijau, tertata rapi di halaman belum masuk rumah,lho dengan
beberapa pohon palem atau sejenisnya tumbuh indah layaknya pesisir pantai.
Iihh.. kapan ya aku bisa masuk rumah kayak gini? Oh, iya. Bentar lagi
aku juga masuk, kok!
Aku menghampiri bel, dan
memencetnya. Kusiagakan telinga mencoba
mendengar apakah belku udah sampai ke tengah rumah. Hm… aku nggak mendengar
suara anjing di sini. Sepertinya, di sini
emang nggak ada anjing? Atau aku belum memencetnya dengan benar? Biasanya,
anjing akan menggonggong kalau bel rumah majikannya dipencet. Lupakan itu! What-ever. Sepertinya, aku mulai stress
berspekulasi dengan bocah yang bernama Dede, hingga pikiranku benar-benar
kacau.
Sreeett,, pintu pagar terbuka. Otomatis.
Seseorang berseragam pembantu
menghampiriku sambil tersenyum. Cewek berusia sekitar dua puluh tahun,
rambutnya ikal dikuncir, kulit mulus, dan body-nya
seksi. Cewek yang jelas-jelas pembantu ini berjalan genit menghampiriku.
Pinggulnya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti tungkai. Dan salah satu
jarinya memilin rambut ikalnya. Cewek itu tersenyum genit sekali lagi.
Mengunyah permen karet. Lalu….. oke kita bahas dulu seragamnya.
Kemeja lengan pendek berenda,
terusan sampai lutut, tapi sepertinya
cewek ini mengecilkan bagian rok hingga
empat puluh koma dua puluh delapan persen. Pendek banget. Juga sleeve yang ketat. Kancing yang membuka. Juga ada celemek renda-renda yang dipasang dari perut hingga
tepi bawah rok. Juga kerah pola renda
yang sama. Ya ampun…. Akankah aku memakai
seragam seperti ini?
“Yuk, masuk! Nyonya besar udah
nunggu..tuh!” sapanya genit, menarik
tanganku.
Aku berjalan terseret-seret,
ditarik pembantu itu. Kami berdua
menyusuri sebuah paving blok lebar yang di sisinya ditumbuhi rumput hijau dan
pohon yang rindang. Tiga mobil mewah
terparkir rapi di depan kami. Pembantu
itu kemudian mengajakku ke teras rumah yang besar juga, dan langsung masuk
melalui pintu utama.
Ya ampun.. pintu depannya aja udah dua setengah kali tubuhku.
Begitu aku masuk, aku melihat
sebuah ruangan yang entah dinamakan apa karena banyak seali pajangan antic and
keren yang disimpan sana-sini. Guci, lukisan, patung, dan benda seni lainnya.
Aku yakin ini bukan ruang tamu. Nggak satupun sofa menghiasi ruangan paling
depan. Hanya guci yang ditata rapi, lukisan di dinding, dan beberapa pot di
pojok ruangan.
“Ayo.. ikut daku!” ajak
pembantu genit itu, masih memilin rambutnya juga.dan beberapa langkah
berikutnya, pembantu genit itu berhenti.
Sibuk dengan rambutnya.
“Aduuh kok melilit ya?!”
tanyanya heran. Aku bergegas melihat apa yang terjadi padanya. Hhihiii rambutnya melilit di ujung jari
telunjuknya. Sungguh kacau, terikat, dan sulit terbuka.
Ruangan berikutnya yang kami masuki adalah
sebuah ruangan besar, dengan tangga besar melingkar di bagian tengah. Gantungan
antic dengan banyak lampu di dalamnya, juga beragam sofa berjejer sesuai dengan
pola dan warnanya. Aku bisa melihat Bu Nira membaca Koran di salah satu sofa
itu. Dia langsung menoleh dan melambai.
“Kamu nggak kepagian datang?”
tanyanya menghampiriku.
“ya.. menghindari telat,
gitu..” jawabku.
“Tapi, kita masih satu jam
lagi bertemu. Pesawatnya juga masih dua jam lagi.”
Aku tersenyum, maju menghampiri Bu Nira.
“Ayoo, kita temui anak saya.”
Ajak Bu Nira. Berbalik, melaju menaiki tangga.
Kami berdua lalu masuk ke sebuah pintu besar di ruangan lainnya di
lantai dua. Dan begitu melihat ke
belakang, pembantu genit itu udah
lenyap. Maksudku, pembantu itu nggak mengikuti kami ke atas.
“Hm.. anak saya masih tidur.
Dia hari libur seperti ini, biasanya dia bangun jam Sembilan. Dan, saya udah
pergi jam segitu. Jadi… mungkin kamu ingin melihatnya dulu.”
Tentu saja. My best chapter in my life.
Waktunya aku menemui bayi
monster itu. Bayi yang membuatku
mendapatkan gaji dua belas juta. Bayi yang memecahkan guci seharga tujuh
juta. Bayi yang keluar malam-malam. Dan
juga… iya, bayi yang udah sekolah dan menceritakan cewek-cewek di sekolahnya.
Kenapa,sih? Sivia harus ngeguntingin potongan babyisitter? Kenapa gak
kuli bangunan aja?
Dari jauh, sebuah ranjang besar terlihat
berantakan. Selimut besar dan tebal
menutupi si “Dede” itu. Warnanya gelap namun soft. Dan dari permukaan, gerakan naik-turun menandakan makhluk itu
bernapas.
Ya, setidaknya itu bukan T-rex
atau paus biru. Dua monster itu nggak
mungkin muat di ranjang sebesar ini.
Bu Nira menghampiri ranjang
dan menarik selimut biru yang
menutupinya. Namun……
Sebelum aku sampai di kepala ranjang, aku bisa melihat betis panjang, berbulu
(maksudku berambut), menyembul dari
balik selimut. Kaki yang normal dan
seperti kaki cowok dewasa.
“Ini anak saya, Mario Stevano
Aditya Haling, kami biasa memanggilnya Dede.” Bu Nira menyingkap selimut.
No comments:
Post a Comment