Boy Sitter [3] : Rizky jago PKN!
HOP! Rio menarikku, mencegah
badanku terjatuh. Aku yang sedang terhuyung, berusaha mengendalikan diri, dan
berhasil berdiri beberapa detik kemudian. Rio masih menjagaku dari kemungkinan
jatuh.
Sebelum kusela dia untuk melepaskan
tanganku, aku merasakan suasana berbeda antara aku dan Rio.
Hm….. penuh perlindungan.
Tatapannya membuatku tenang.
Kami bertatapan hingga akhirnya menyadari status kami.
“Lain kali hati-hati, dong!”
katanya sinis.
“Kamu jangan pegang-pegang
aku, ya!” aku berbalik lalu berjalan cepat menuju kantin. Mukaku kesal, tapi
hatiku tersenyum.
Ternyata, orang semenyebalkan Rio masih bisa menolong cewek yang mau
jatuh di sampingnya. Berarti Rio emang baik.
“ELO tadi kemana aja, sih?”
Tanya Shilla begitu ia mendapatkan tempat duduk yang nyaman di angkot.
Aku langsung duduk di sampingnya, dan membereskan tasku, “ke mana kapan?”
Aku langsung duduk di sampingnya, dan membereskan tasku, “ke mana kapan?”
“Tadi… waktu istirahat. After you take your test card, elo
ngilang gitu aja!”
Aku berpikir lagi. Oh iya. Aku kan, tadi beliin makanan Bu
Lina, bareng Rio. “Ngngng… nggak kemana-mana. Loket SPP penuh, jadi agak
lama.”aku mengibaskan tanganku kearah Shilla, berlagak centil mengatakan “nggak
ada apa-apa.”
“I feel that you are hiding something from me. Ayo ceritain! Tadi
siang elo kenapa?!” Shilla menatapku serius.
“Yaampun nggak kenapa-napa kok!” kupasang mimik dengan senyuman lebar. Memantra-mantrai Shilla agar mau pindah dari pokok pembahasan.
“Yaampun nggak kenapa-napa kok!” kupasang mimik dengan senyuman lebar. Memantra-mantrai Shilla agar mau pindah dari pokok pembahasan.
“Ayo Ify! Elo nyembunyiin
sesuatu ya?”
“Eh, Sivia ke mana sih? Kok
ngga bareng sama kita?”
“Jangan ngubah topic
pembicaraan. Tell me please! What
happened with you?”
Aku menghembuskan napas besar
akhirnya, dan mencoba berpikir gimana ngasih tau Shilla tentang kejadian tadi
siang. “Oke, tadi siang…….”
TIN TIN.. Mobil tersentak,
oleng, dan ngerem mendadak. Klakson mobil berseru-seru kesal.Aku dan Shilla
terbanting ke depan, begitu juga penumpang yang lain.
Ketika angkot yang kunaiki
membelokkan jalurnya ke kanan, sebuah sedan hitam menyerobot cepat,hampir
menabrak pagar pembatas. Mobil berhenti, dan orang yang menyetir sedang itu
malah mengacungkan jari tengah pada sopir angkot.
“Ya ampun, siapa sih?!” Shilla
ikut-ikutan kesal, dan mencoba melihat lebih jelas lagi sedan hitam itu.
Aku mencoba duduk tegak, dan
melihat sedan hitam yang menyerobot tadi. Itu mobilnya Rio RAG. Aku hafal dua
huruf terakhir plat nomornya. Itu benar-benar Rio! Juga stiker-stiker bazar
yang menempel di rear window.
“Eh, Fy, Fy! Itu kan mobil
Rio. Kurang ajar banget!” seru Shilla menunjuk-nunjuk. Tangannya mengepal, lalu
meninju telapak tangan yang lain.
“Yup. Betul.” Gumamku yakin.
Semua orang dalam angkot
menatap mobil sedan yang mulai menghilang itu, hingga setiap orang reda akan
kemarahannya, dan mengata-ngatai si pengemudi dalam hati. Angkot pun kembali
berjalan dengan tenang, lebih hati-hati daripada tadi.
“Ya ampun, dasar nyebelin tuh
orang!” seru Shilla kesal. Aku hanya tersenyum, diam menatap kekesalan semua
orang.
“Oke.. kita lanjutin. Sampe
mana tadi?”
“Ng…. tadi.. kita ngobrolin notebook!” Aku tersenyum, berhohong, mudah-mudahan
saja Shilla tidak akan ingat untuk meneruskan obrolan tadi.
“Oh… oke. Let’s move on!”
“Ngngng.. katanya, di pameran
elektronik Jakarta, ada notebook baru,
harganya murah, Cuma lima jutaan. Murah, kan?! Aku pengin beli.”
“Eit-eit-eit! Tunggu. Elo
jangan coba-coba ngeboongin gue, ya! I
remember we’re talking about your place when we have our break. Ayo,
lanjutin yang tadi.”
Aku mendengus besar sekali
lagi, “Ya ya, siang tadi, aku emang ngambil kartu peserta, Tapi Bu Lina, bukan
di loket SPP. Dan……. Aku ketemu Rio waktu mau ngambil kartu.”
“Terus?”
“Yaa… aku sama Rio berdua
menghadap Bu Lina, minta kartu peserta buat ulum besok.”
“Ha?” Shilla melongo. “Kkk…
kalian berdiri berdua? Dia ngejek elo nggak?”
“Nggak sih. Rio kebanyakan
diem daripada ngomong.”
Huh.. nyerobot-nyerobot juga sih! Luna manggut-manggut, “Terus?”
“Terus? Terus ya….. gitu deh.
Biasa aja, gak ada yang aneh kok!”
AKU menjatuhkan badan ke atas
kasur. Kipas angin yang berputar-putar di langit-langit, memberikan kesejukan
tersendiri di tengah panasnya udara siang. Suara-suara burung yang berkicau
mencari makan di genting rumahku, berisik nggak tentu namun damai untuk
didengar.
Ooohh.. indahnya hari ini.
Braaakk!
Oik tiba-tiba menggebrak pintu, dan berlari membawa notebooknya. Kumpulan kabel pun
bergelantungan di tangannya yang lain.
“Ify! Gue bawa kabel modem nih.”
Aku bangkit, dan heran dengan maksudnya, “Apaan, sih?
Ngagetin aja!”
“Ini nih. Om Jhony ngasih kabel buat dihubungin di
telepon. Jadinya, ntar kita bisa main The
Sims Online lewat notebook gue!
Hihihi…. Akhirnya.”
“Jadi, selama ini notebook kamu nggak ada internetnya?”
“Jadi, selama ini notebook kamu nggak ada internetnya?”
“Nggak.”
“terus sekarang?”
“terus sekarang?”
“Ngngng.. ya pake telepon elo. Tenang aja.nyokap elo kok
yang bakal bayarin pulsanya.”
Justru itu,
Oik oon! Emangnya gampang cari duit?
“Tungguin ya! Gue mau nyambungin dulu ke telepon di
luar!”Oik bangkit, mengulur-ngulur kabelnya. Dia bergerak mundur, setengah
berlari dengan kabel agak kusut di tangannya. “Bentar, ya!” serunya
menenangkan. Kemudian Oik berbalik hendak keluar kamar, namun……..
Jeduugg!
Jeduugg!
Oik menabrak pintu dengan keras. “Aduh! Siapa sih yang
nutupin pintu ini?!” seru Oik kesal.
Bukannya kamu yang
tadi gebrak-gebrak pintu?!
Oik pun keluar dari kamar dan beberapa menit kemudian,
kembali lagi. Lalu ia menyambungkan kabel yang belum terpasang ke computer,
mengutak-atiknya hingga regristrasi internet muncul di layar. Oik mengeluarkan
HP-nya, melihat drafts, dan
memasukkan beberapa password sebagai
akses dunia Internet.
“Aaahh.. Berhasill!” Oik langsung membuka e-mail juga friendster. Tiba-tiba, ia membuka situs resmi sekolahku.
“Heh! Ngapain kamu buka-buka website sekolahku?” aku mendorong pelipisnya.
“Biarin aja dong, ah! kali aja ada Bison di sini.” Oik
kembali mengutak-atik komputernya, namun menunggu loadingnya di window website sekolahku.
“Kamu dapet darimana alamat website sekolah aku?”
“Itu tuh. Di surat pemberitahuan ulangan umum sekolah
elo. Di bawah tulisan aredrikasi A, ada alamat website!”
Loading selesai.
Tiba-tiba di layar, muncul tujuh cowok geng
Kompilasi yang sedang bergaya. Gaya yang aneh. Namun, mengapa ditempatkan di page pertama?
Oik mengangkat telunjuknya, dan melihat satu per satu wajah
geng Kompilasi tersebut. “Nggak adaa
yang cakep. Bison tuh yang mana, sih?”
“Aduh… Bison. Mana mungkin dia ada di kumpulan anak kayak
gini. Cuma cowok-cowok pinter aja yang ada disini. Dia sih, punya kelompok
sendiri.”
“Oh, gitu, ya?!” Oik pun melanjutkan mengklik ikon Click Here. Ikon yang terletak di pojok
kiri bawah layar, ukurannya kecil, dan hampir nggak keliatan.
Kurang ajar banget sih, Kompilasi! Masa mau buka website sekolah sendiri aja akses
masuknya sekecil gini? Mana foto mereka jadi headline lagi!
Dasar!
Pada
tampilan berikutnya, ada peta sekolahku, yang suasana gedung dan daerahnya
dibuat mirip Timur Tengah. Ada bangunan-bangunan Mesir, Yunani, dan Romawi juga
di sana. A creative idea! Cuma
sayang, waktu web ini dilombain, kagak menang. Ah, mau menang gimana kalo halaman pertama
aja foto mereka? It’s a minus. Mendingan
foto Tweenies. Minima fotonya aku sendiri.
“Yang mana, sih kelas dua?” Oik menggerak-gerakkan
kursornya ke setiap gedung. Dan membaca satu persatu keterangan yang diberikan.
“Ng.. ini nih!” Aku menunjuk sebuah gedung berbentuk
huruf L di pojok kanan. Oik langsung
menyambar animasi gedung tersebut, dan mengklik dengan cepat
gambarnya. Kemudian, muncul pilihan beberapa kelas, dan tiba-tiba saja
Oik mengklik kelasku.
“Kamu tahu darimana ini kelasku?” aku menepuk bahunya
pelan.
“elo, kan. Emang sering cerita elo ada di kelas itu.
Gimana, sih?!”
Kemudian, layar menampilkan sebuah foto kelas, dan itu
adalah kelasku. Oik menggeser scroll ke bawah, dan terlihatlah empat puluh empat
foto yang berbeda, teman-teman sekelasku.
“Nah.. ini nih. Hihihii..” Oik mengeklik gambar Rio dan
muncullah gambar Rio sendiri, beserta thumbnail
kecil fotonya yang lain, kemudian di samping foto itu terpampang pula
biodata Rio. Oik mendownload halaman
itu, kemudian melompat-lompat senang ketika loading
copynya selesai.
“Hore-hore!” serunya tetap melompat-lompat di atas kasur.
“Hey, kok seneng baanget, sih? Biasa aja, deh!” aku
cemberut.
“Ya jelas senenglah.. akhirnya sekarang gue punya foto Rio.
Hihihi,,,kalo minta sama elo sih lama banget! Lihat, nih! Dari Internet aja gue
bisa dapet foto Rio dalam waktu lima menit. Hebat, kan?!”
Gedebug! Oik
jatuh dari atas kasur dan terpeleset seprai yang mulai keluar dari
pinggirannya, hingga kakinya terlilit karena melompat-lompat.
“Aaaww.. siapa sih yang naro seprai di atas kasur?!!”
“JADI, elo teh nyari
kerja buat beli notebook?” Tanya
Sivia menyeruput milshakenya dan
melirik ke arah koridor , melihat lalu-lalang orang yang pulang pergi dari
kantin.
“Ngngng… nggak usah deh, ngapain beli notebook? Ntar kalo udah gede , kerja,
aku bisa beli notebook, kok!”
“Lho? Pamerannya teh
Cuma sampe akhir bulan depan aja. Kapan lagi atuh elo bisa beli notebook?”
“Nggak apa-apa lagi, Vi! Pamerannya kan ada tiap tahun.
Nggak usah dipikirin lagi!”
“Yaaahh.. padahal gue teh
udah ngeguntingin buat elo beberapa
Koran yang lagi nyari baby-sister!”
“Babysitter, kaleeeeee!”
“Babysitter, kaleeeeee!”
“Oh, iya itu. Sorry,
Maafin eke. Babysitter.”
“Hm, makasih Vi! Sori, ya! Kamu rajin banget nolongin
aku, aku sih, nggak apa-apa kalo sekarang nggak punya notebook kayak Oik. Nggak terlalu ngaruh kok. Notebook Cuma kebutuhan tersier.” Aku tersenyum menatap Sivia.
“Sori ya! Eh, gimana ulangan kamu?” tanyaku ngubah topik pembicaraan.
“Ya ampun! Tegang banget. Ruangan gue diawasi sama guru
kelas tiga yang galak banget. Jadi, gue teh panas dingin. Gue gak bisa nyontek
ama si Rizky. Si Rizky kan jago Pkn.
Terus, masa sih, Cuma pensil jatuh aja diperhatiin. Gue jadi deg-degan.
Jadi, gue teh panas dingin.” Sivia
mencoba menceritakan pengalaman mereka dengan semangat.
Aku yang mendengarkannya hanya tertawa kecil, dan juga mengangguk-ngangguk ketika beberapa
kejadian juga terjadi di ruanganku. Seperti buku kehadiran yang harus
ditanda-tangani oleh siswa, oleh beberapa anak diisi dengan nama ayah
masing-masing siswa. Nama ayah memang salah satu permainan ejekan yang sering
dimainkan teman-teman sekelasku. Setiap murid diketahui identitasnya. Dan kalo
ingin mengejek seorang siswa, tinggal mengejek nama ayah siswa tersebut. Hehehe, sebenarnya nggak sopan!
Hari ini adalah hari pertama ulangan umum semester empat
untuk menentukan kenaikan kelas sekaligus penjurusan IPA dan IPS. Mata
pelajaran yang diujikan hari ini adalah PKN dan Biologi. Sekarang sedang
istirahat sebelum ulangan Biologi dilaksanakan.
“Hey!” seru Shilla, berlari di koridor. “Gue dapet kisi-kisi
buat ulangan Biologi nanti.” Shilla menyambar kursi kosong di sampingku, dan
menunjukkan kertasnya sambil terengah-engah.
“Dapet dari mana?” Tanya Sivia agak senang.
“dari.. hosh.. hosh.. kelas dua-dua.” Shilla menunjukkan
kertas itu pada Sivia. Aku nggak tertarik dengan kisi-kisi soal ini. Aku nggak
ada masalah dengan Biologi. Memang, Sivia dan Shilla lemah di Biologi. Tapi,
mereka kuat di Kimia. Kalo yang
ditunjukkan Shilla sekarang adalah kisi-kisi ulangan Kimia, mungkin aku akan
mencatatnya dan mempelajarinya di rumah.
“Eh, Fy, HP kamu banyak yang miscall tuh.” Seru Shilla, menoleh padaku.
Oh, iya, handphoneku
sedang dipinjam Agni, karena ada Radionya. “Ya udah deh! Tungguin ya, aku mau
ke kelas dulu.”
“Oke-oke..” Shilla dan Sivia mengangguk dan tersenyum
meskipun matanya nggak lepas dari kisi-kisi ulangan Biologi itu.
Aku berlari sepanjang koridor, buru-buru ingin melihat
siapa yang meneleponku.
Buuukkk!
Aku menabrak Angel, anggota Rebonding Galz dibelokan
koridor menuju lapangan utama. Angel
sedang memegang notebook , dan kulihat notebook itu terjatuh dari tangannya.
Braaaakk-Praaang!!
Notebook itu
hancur berantakan di lantai, bahkan ada beberapa serpihan kaca yang keluar dari
dalam. Dan penutup bagian notebook terbuka, kemudian tiga jenis
kabel tipis menghambur nggak beraturan.
Oh-my-God! Ya ampun
ya ampun, apa yang telah ku lakukan?!
“Aduh, sorry,
Ngel.” Aku membungkuk dan mencoba membereskan notebook pecah itu.
“Aaaaaarrrggghhhhhh!” Angel berteriak histeris, kesal,
marah. “Dasar bodoh! Elo punya mata nggak sih?! Dasar banteng! Main seruduk
ajaa!” Angel membungkuk, menangis, meratapi notebook-nya.
“Aku minta maaf, Ngel.” Aku kembali memunguti serpihan
yang hancur, namun ternyata Angel marah besar.
Tiba-tiba Angel menendangku keras, mendorongku hingga
tersungkur dua meter darinya. “Pergi! Pergi elo dari sini!” kemudian Angel
mengambil notebook hancur itu,
mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke atas badanku.
Aku yang masih terbujur sakit, langsung menangkis.
“Maafin aku, Ngel.” Kurasakan lenganku senut-senut ketika menangkis notebook itu.
“Maafmaaf! Emangnya notebook
gue bisa diganti dengan kata maaf elo apa?! Notebook gue tuh harganya sepuluh juta! Tau gak, sih?! Dasar
banteng!”
Tiba-tiba, Zevana, anggota Rebonding Galz juga datang
menenangkan Angel. “Kenapa, Ngel?
Kenapa?” tanyanya mendramatisir keadaan.
“notebook gue.
coba, lihat nih! Ada banteng, main seruduk aja!” Angel menendang kakiku lagi.
“Udah-udah. Nendang dia, nggak bakal bikin notebook elo balik lagi.” Ujar Zevana
menenangkan.
Akhirnya, Angel diam mendengar nasihat temannya itu.
Meskipun aku masih bisa melihat aura kekesalan, dendam, dan marah Angel yang
ditujukan padaku. Hembusan nafasnya hangat, penuh kebencian. Matanya pun tetap
melotot.
Aku berdiri, menepuk-nepuk debu di seragamku. Keduanya
langsung menengadah, menatapku. Maklum,
Angel tingginya sudah dua puluh senti di bawahku. Jadi aku harus
menunduk, dan Angel menengadah.
“Oke-oke. Gue maafin elo sekarang. Tapi, elo musti
ganti notebook gue. besok! Dalam bentuk notebook, bukan duit!”
“Besok? Mana bisa aku nyari notebook dalam sehari?”
“Dasar males! Oke, gue ganti. Notebook gue harus kembali minggu depan.”
“Angel….?” Aku menatapnya pasrah, “Aku nggak punya duit
sebanyak itu, atau nggak bisa cari duit banyak dalam waktu secepat itu.”
“Oke-oke-oke! Emang susah sih, kompromi sama orang
miskin! Pokonya, gue harus punya notebook
lagi pas kita masuk hari pertama
kelas tiga. Inget, ya! Hari pertama kelas tiga. Titik!” Angel sempat meludahiku
sebelum akhirnya berbalik pergi. Dia berjalan meninggalkanku dengan penuh
kekesalan, dendam, dan amarah.
No comments:
Post a Comment