Boy Sitter [13] : I Know I Will Loose This In The Next Day
Sabtu, pukul
sepuluh pagi……
Rio teratasi, sebetulnya terlalu mudah. Begitu kusuruh
dia mandi, dia hanya mencubit pipiku gemas, lalu beranjak dari komputernya. Dia
pergi ke kamar mandi. Nggak cerewet, nggak rewel. Aku menghembuskan napas lega
karena nggak harus mengejar-ngejarnya ke sana kemari hanya untuk menyuruhnya
mandi.
Aku berjalan menuruni tangga, dan menemui sebuah piano di
ruang baca lantai satu. Aku sering sekali melihat piano ini, namun nggak pernah
memainkannya. Mumpung Rio lagi mandi, kenapa nggak aku coba mainkan piano itu?
Aku ingin memainkannya. Lagipula, aku pernah mendapati Nince memainkan piano
ini asal-asalan, berarti mungkin, hehehe aku juga boleh dong main piano ini?
Teng.. teng.. teng…
teng… teng-teng…
Hihihii sulit! Nggak seperti keyboard, tapi menyenangkan. A
classical thing. Aku memencet lagi tuts piano asal-asalan, mencoba membuat
nada yang indah. Namun, nggak pernah berhasil. Pasti hanya nada berirama aneh
yang kubuat. Meskipun begitu, suara merdu yang keluar dari piano ini sangat
enak untuk didengar.
Aku terus menerus memainkan piano itu untuk waktu yang
lama. Bahkan, aku melupakan Rio. Aku keasyikan dengan nada-nada yang kumainkan.
Aku ber-eksperimen dengan setiap tutsnya, mencari-cari irama yang enak didengar. Sedikit terlintas di kepalaku
untuk membuat lagu. Hehe.. ngekhayal aja deh.padahal, aku bukan pianis. Tapi,
aku sungguh terlena dengan piano ini.
Tiba-tiba, muncul sepasang tangan dari sampingku.
“Sini Rio ajarin, Rio sering kok main piano.” Kata Rio
bangga.
Teng.. teng.. teng…
teng… teng-teng….
Aku terbuai oleh lagu itu.oh.. kurasakan gejolak aneh
dalam hati. Kehangatan, perlindungan, kasih sayang. Kurasakan itu lagi.
Tiba-tiba, Rio berhenti memainkan nada-nada itu.
“Aduh, Rio lupa lagi!” serunya panik, sambil menatap
langit-langit.
Aku tertawa kecil, dan menoleh ke arahnya. Begitu dekat.
“kamu udah mandi, Yo?” tanyaku, mencubit hidungnya.
“Udah… masa wangi gini dikira belum mandi, sih?!”
Sabtu, pukul tiga
sore……
AKU menatap buku menu, dan meletakkannya di atas meja.
“Aku, pesen chesse
raisin bread sama coke float aja,
deh.” Ujarku tersenyum.
“cepetan ya, mas! Suruh Rio pada pelayan itu. Setelah
menuliskan menu yang kami pesan, pelayan
itu pun pergi meninggalkan kami.
Rio langsung mengetuk-ngetuk meja restoran dengan kedua telunjuknya,
mencoba menciptakan suatu irama. Lalu, kaki kanannya mengetuk lantai, tambahan
irama lain.
“Yo, aku mau nanya dong.” Gumamku.
Rio mengangkat kedua alisnya, menyatakan silahkan. Tapi,
dia masih sibuk memainkan jarinya.
“Kamu.. kenapa agak berubah akhir-akhir ini?”
Rio langsung menolehku, serius. “Nggak boleh, ya?”
“Bukannya gitu. Aku bosen aja diinterogasi Mbok Jess sama
Nince. Aku,sih, nggak tau maksud mereka, nggak ngerti.aku tuh, bingung.
Emangnya kenapa sih, kok, kamu berubah jadi lain akhir-akhir ini?”
“Hak Rio buat berubah juga.”
“Ya tapi kan, selalu ada alasan untuk suatu hal yang
dikerjakan. Nah, alasan kamu tuh apa?”
“Alasan? Apa ya? Ngngng.. pengin aja. Nggak boleh ya?”
Satu jam
kemudian….
Aku menungguk tiga meter dari pintu kamar mandi. Rio
sedang buang air kecil di dalam. Acara makan kami udah selesai, nggak kenyang, tapi seru. Rio
melontarkan jokes konyol yang
membuatku tertawa terbahak-bahak. Bahkan, pengunjung lain yang duduk di samping
kami ikut tertawa. Oh, sungguh berkesan acara makan malam kali ini.
Buuukk!
Tiba-tiba, seseorang menabrakku dan cappuccino yang dipegangnya
tumpah di atas pakaian kami. Aku
meloncat ke belakang, begitu juga dia. dan sialnya aku, lagi-lagi orang yang
ku-tabrak adalah Angel!
“Elo lagi!” Angel geram. Kemudian, Angel menyiram sisa cappuccino ke bajuku. “Dasar jereng!
Liat nih, baju gue! gara-gara elo, baju gue jadi kotor gini! Sialan!”
“M-maaf, Ngel.” Ujarku meminta maaf.
Aduh, ya.
Seharusnya dia yang minta maaf. Aku lagi diem gitu. Angel kan yang nabrak aku.
“Maaf, maaf! Baju gue mahal tau! Enak aja minta maaf.
Dasar nggak tahu diri! Kenapa sih, hobi banget nabrak gue?!”
“Tapi……..”
“Berisik! Gara-gara elo, baju gue jadi kotor. Elo harus
ganti sekarang juga.”
Emangnya bajuku
nggak?
“Tapi,aku nggak bawa baju ganti.” Kilahku.
“ Gue nggak mau tau. Pokonya, ganti baju gue sekarang
juga.”
Aku panik, namun mencoba tenang. Ya ampun, aku melakukan
kesalahan lagi. Kesalahanku adalah,
“mencari kesalahan dengan Angel”. Oke, aku tahu
sebenarnya aku sangat nggak bersalah. Tapi entah kenapa, aku nggak bisa
ngelawan Angel.
Sekarang, apa yang
harus kulakukan?
Tiba-tiba, Rio muncul di antara kami. Namun, dia
menghampiriku. Rio hanya menatap
tumpahan cappuccino di bajuku dan
Angel. Angel yang kaget mendapati aku bareng Rio lagi, bersikap panik.
Kurasakan Angel ingin sekali mendandani dirinya. Tapi sepertinya tasnya berada
jauh di meja sana.
Rio langsung membuka kausnya,dan memintaku untuk
memakainya. Tinggallah dia bersama kaus dalamnya. Lalu, dibukanya juga kaus
dalamnya itu, dan diserahkannya pada Angel. “Nih!” ujar Rio melempar kausnya.
Angel menerima lemparan kaus dalam Rio. Dia tersenyum-senyum
genit. Kemudian Rio menarikku,dan memintaku mengganti bajuku yang basah
dengan kausnya. Di luar toilet, dia
menungguku, menatap Angel sinis, yang ternyata malah mencium-ciumi kaus Rio.
Bukan memakainya!
Sedikit kebesaran, namun nggak apa. Aku tetep cantik
dengan kaus cowok yang gede ini. Lagi-lagi.. aku merasakan sesuatu hal yang
aneh dalam hatiku. Lagi-lagi aku memakai
pakaian Rio, aku mendapatkannya wearless.
aduh.. Rio.
aduh.. Rio.
Tapi, nggak usah dipikirin. Mungkin ini salah satu
rangkanya dalam berubah. Hihihii.. aku jadi penasaran gimana dirinya akan
berubah nanti.
Minggu, pukul
sembilan pagi…….
“NYONYA besar nelepon, katanya udah ada di Jakarta. Satu
atau dua jam lagi, Nyonya sudah ada disini.” Cerita Mbok Jess padaku. Nince
yang disebelahnya mengangguk-angguk.
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya akan minta Rio mandi.”
Aku berdiri meninggalkan mereka berdua, dan berjalan ke kamar Rio.
Rio masih tidur. Bukan karna hari libur, namun Rio baru
bisa tidur pukul satu dini hari. Rio kesulitan tidur malam tadi. Suddenly insomnia, tapi masih mending.
Aku tidur pukul dua! Aku harus mastiin Rio udah tidur sebelum akhirnya aku
tidur.
“Halo, selamat pagi bayiku. Mama mau pulang tuh!” seruku
sambil menyingkap selimutnya.
Rio masih menutup matanya, masih melepaskan lelahnya. Dia
menghembuskan napas berat, menandakan dalam keadaan tidur lelap. Kugoyangkan tubuhnya, bahkan kujewer
telinganya.
Hm, belum bangun juga. Aku meraih rahangnya, mengangkat kepala Rio. Dia nggak
terusik rupanya. Kuletakkan lagi kepalanya. Lalu aku memikirkan cara terbaik
untuk mem-bangun-kan-nya.
Namun selama aku
berpikir, tiba-tiba aku merasa sedih. Aku jadi memikirkan hal yang lain lagi.
Hari ini, aku akan pergi dari rumah ini. Rumah yang
sebetulnya memberikanku kehangatan selama seminggu. Rumah tempat aku bersenang-senang, bukan
bekerja.\
Oh, aku akan merindukan rumah ini.
Berat rasanya kalo ternyata harus meninggalkan rumah ini.
Bukan karena rumah ini besar dan megah, namun karena kehangatan yang muncul
dari dalam rumah ini. Aku akan merindukan Mbok Jess yang selalu memanggilku
Ses. Aku akan merindukan Nince yang selalu menguntit-ku kemanapun aku berlari
mengejar Rio. Pak sopir yang bergabung bersamaku, Rio, dan Nince bermain poker
Kamis lalu. Ruang kerja Bu Nira yang menyeramkan. Pineapple juice, Sweet, and Spicy written by Anonymous yang belum
selesai kubaca. Atau ih… ulat-ulat menjijikkan di atas pohon dan Rio datang
sebagai hero-ku dengan gitarnya. Lobster merah yang diisikan tuna di dalamnya.
Piano di ruang baca yang sangat merdu suaranya.
Especially, aku
akan sangat merindukan…. Rio. Hm, mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa
bersama Rio. Terakhir kalinya aku
menatap Rio sedekat ini, berbicara dengan Rio selekat ini,dan menyentuh
kulitnya sehangat ini.
I know I will loose
in the next day,
Rio masih tertidur lelap. Sungguh, aku enggan
membangunkannya. Lalu, tiba-tiba aku ingin sekali memencet hidungnya. Aku membungkuk, meletakkan tanganku di atas
mulut Rio.
Jepit..!
hihhii Rio langsung menggeliat, tapi iamelanjutkan lagi tidurnya. Hingga kemudian, Rio bergerak terbangun.
hihhii Rio langsung menggeliat, tapi iamelanjutkan lagi tidurnya. Hingga kemudian, Rio bergerak terbangun.
Perlahan-lahan, Rio membuka matanya, menggeliat
lagi. Dia langsung menatapku dalam
kantuknya, dan tersenyum. “ Pagi……Hoahh!” Rio menguap.
“Selamat pagi, Tuan Muda.” Aku tertawa kecil, “Mama
bentar lagi pulang.mandi sana, terus sarapan.
Mbok Jess udah bikinin Nasi goreng special telor sama udang.”
Rio terseyum, dia menatapku manis, dan tiba-tiba, dia
membungkuk. Wajahnya mendekati wajahku.
Lalu dua detik kemudian, giliran dia mengepit hidungku.
“Kamu cantik banget!” ungkapnya, lalu pergi ke kamar
mandi.
Satu jam
kemudian……
SEMUA pelayan menunggu di pintu depan. Aku sih nggak. Aku menemani Rio yang sedang
menonton TV di ruang tengah. Bu Nira mengabarkan dirinya udah berada di bandara
Husein Sastranegara. Sebentar lagi nyampe.
Dan benar saja, sepuluh menit sejak Bu Nira nelepon, beliau datang dengan menjinjing koper besar
juga blazer di tangan kirinya. Bu Nira berjalan anggun dan tenang, memasuki
teras rumah. Mbok Jess dan Nince
langsung member hormat, membungkuk.
Setelah itu, mereka mengikuti Bu Nira masuk ke rumah.
Rio menoleh begitu mendengarnya mamanya berjalan tok-tak pake sepatu hak tinggi. Rio tersenyum, bangkit menghampiri
mamanya. Namun, Bu Nira malah
terhenti. Dia sedikit heran dengan yang
dilakukan Rio saat ini. Tapi, Rio nggak peduli.
Dia tetap menghampiri mamanya, mencoba menyambutnya hangat.
Rio memeluk
mamanya, kemudian kembali menonton TV, dan Bu Nira mengisyaratkan aku agar
mengikutinya. Aku berjalan tertunduk di belakangnya. Kami berdua berjalan menuju ruang kerja Bu
Nira, dan beliau menyuruhku untuk menutup pintu.
“Maafkan saya nggak pernah membalas email kamu. Saya sangat
sulit di sana.jangankan buka computer, lihat SMS saja susahnya minta
ampun. Tapi jangan khawatir, saya
menerima e-mail yang kamu
kirimkan. Tapi, baru saya buka tadi di
perjalanan.”
Bu Nira
meletakkann kopernya di atas sofa, lalu blazernya digantung di gantungan khusus
berbentuk patung manusia, yang dulu aku
kira Cuma pajangan biasa.
Kemudian, Bu Nira
duduk di kursi besar itu, kemudian
beliau memintaku untuk duduk pula di kursi sama di depannya. “gajimu sudah
ditransfe lewat rekening.”
Aku
mengangguk-angguk dan mecoba tersenyum.
“Bagaimana keadaan Dede sampai sekarang?”
“Ngngn.. menurut saya, baik.”
“Oya?” Bu Nira membuka lacinya, kemudian mengeluarkan
bola remas untuk dimainkan.
Tiba-tiba Bu Nira tersenyum kecil. Tampangnya mendadak
jahil, seperti menyimpan sesuatu. Bu
Nira menatapku dengan mulut terkulum,menahan tawa. Bahunya bergetar cekikikan. Dan akhirnya….
Bu Nira mengatakan sesuatu padaku.
“Sejujurnya, selama seminggu ini, saya nggak pernah
memutuskan hubungan dengan Mbok Jess dan
Nince. Maaf, saya bohong.
I’m not too busy actually. Notebook-ku
saja yang rusak. Jadi, kalo kamu
menyempatkan menguping, hiihi..
terkadang saya dan Mbok Jess sering saling telepon. Saya selalu menanyakan kabar dede, juga
pekerjaanmu.”
Aku mendadak tegang.
Tiba-tiba muncul dalam benakku,
bahwa aku pernah mengizinkan Rio
keluar malem-malem bareng Gabriel dan Alvin, meskipun aku ikut. Tapi kan,
dalam peraturan, hal itu dilarang.
Aku mendongak serius, berdoa Bu Nira nggak
menuntutku apa-apa.
“Nggak usah tegang.” Ujar Bu Nira, tersenyum. “Saya tahu
kamu pernah mengizinkan Dede maen keluar malem-malem, atau ngizinin Dede ke
Lembang, ke kafe, juga ke mal. Nggak apa-apa kok, asal kamuu bisa tanggung
jawab. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Katanya, akhir-akhir ini, Dede mulai
menunjukkan perubahan. Apakah itu benar?”
“Saya tidak tau, saya tidak tau keadaan Rio yang dulu,
jadi saya tidak bisa membandingakannya
dengan sekarang.”
“Oh, oke-oke maaf. Maksudnya.. gini aja. Saya kasih kamu beberapa
pertanyaan, tapi kamu harus jawab jujur. Apakah.. kamu kesulitan nyuruh Dede
tidur?”
“Ngnng.. hari-hari pertama, saya memang kesulitan,
tapi Sabtu malam kemarin, saya melihat Rio bisa tidur tanpa di temani dulu.”
Bu Nira sedikit
tersenyum, “Apakah.. kamu kesulitan
nyuruh dia mandi?”
“Ya,.. pada awalnya,dia memang sulit untuk disuruh mandi.
Tapi pagi tadi, saya hanya tersenyum
padanya, dan dia mengerti saya menginginkannya mandi.dia pun mandi.”
Bu Nira tersenyum janggal. “Apakah…kamu menemukannya
sedang merusak suatu benda?”
“T-tidak. Selama
satu minggu ini, saya tidak menemukan Rio memecahkan atau merusak satu benda
pun. Nggak satu pun piring, gelas,
apalagi guci. Karena memang
kebetulan, Rio sangat patuh pada apa
yang saya minta untuk dilakukan.”
“Dia menggodamu?”
“Tidak.”
Bu Nira manggut-manggut kemudia meletakkan bolanya,dan
bangkit untuk memelukku. “Terima kasih sudah merawat Dede. Saya nggak nyangka
perjumpaan kita hanya sebentar. Kamu pasti sudah rindu dengan rumah.”
Aku mengangguk, kemudian kami berdua jalan ke
kamarku. Aku menarik barang-barangku,
kemudian seorang sopir membawakannya untukku. Kemudian, kami berjalan menuruni
tangga, dan di bawah sana, tampak Mbok
Jess dan Nince siap menyambut kami.
Hm.. yeah.
Aku akan pulang sekarang. Mbok Jess memelukku.
“hati-hati, ya. Makasih udah mau jagain tuan muda disini. Eke nggak menyangka
harus berpisah dengan ses hari ini. Ses begitu baik, beda dari babysitter yang sebelumnya,. Oh iya,
makasih, ya, udah mau bantuin eke masak lobster seminggu ini. Makasih juga buat resep-resepnya.”
Mbok Jess melepaskan rangkulannya, dan tiba giliran Nince
yang memelukku. Kurasakan dia
terisak-isak, nggak rela aku pergi dari rumah ini. “Hoohh.. daku nggak nyangka
dikau akan pergi meninggalkan daku.
Jangan khawatir, daku akan selalu merindukan dikau. Jangan lupa main-main kesini, oceyh?!”
Aku mulai terisak, menangis, menatap kedua pelayan yang
sangat ramah ini. Mbok Jess yang selalu
memasakkan untuk kami makanan yang enak. Nince yang rajin membersihkan rumah,
dengan senandung-senandungnya.
Waktu-waktu luang ketika aku mengobrol dengan mereka. Dan… sekarang aku
harus meninggalkan mereka.
“Kamu mau kemana, Fy?” Tanya Rio tiba-tiba, muncul dari
balik sofa.
“Aku.. aku harus pergi. Tugasku sudah selesai.” Ungkapku
lirih, menundukkan kepala nggak berani
menatap Rio.
“Selesai apaan? Libur masih seminggu lagi. Kamu disini
aja!” pinta Rio.
“Dede…mama Cuma ngontrak dia seminggu aja. Kasihan dong, kalo terus-terusan disini
aja. Ntar keluarganya khawatir.” Bu Nira
menjelaskan.
“Nggak mau ah. pokonya Ify harus disini sampe Rio masuk
sekolah!” paksa Rio.
“Dede! Lain kali kan kalian bisa main lagi.”
Rio marah dan menghampiri kami, menarik tanganku, dan
menggeserku menaiki tangga.
“Dede! Mau kemana kamu?” teriak Bu Nira memanggil.
Aku terseret-seret ditarik Rio. “Rio, lepasin.” Rintihku.
“Nggak mau, kamu harus tetep disini!” Rio terus menerus
menarikku, berjalan terseret-seret, dan kami sudah sampai di depan kamarku.
“Rio.. nanti mama kamu marah.”
“Peduli amat!”
“Rio….”
“Nggak!”
“RIOO!” teriakku, mencoba menghentikannya.
Rio berhenti, dia
diam… lalu melepaskan tanganku.
“Rio.. aku harus pergi. Aku Cuma kerja disini. Aku bukan
keluarga kamu disini. Aku.. Cuma…
pengasuh kamu disini. Aku bukan penghuni rumah ini. Dan aku harus pergi dari rumah ini. Aku hanya
bekerja di sini!”
Rio berbalik menatapku, nelangsa. Kulihat aura ketidakrelaannya andai aku pergi
meninggalkannya.
“Rio… jaga diri baik-baik, ya.”
“Ify…….” Gumam Rio lirih.
No comments:
Post a Comment