Friday, 29 June 2012

Boy Sitter [13]


Boy Sitter [13] : I Know I Will Loose This In The Next Day

Sabtu, pukul sepuluh pagi……
Rio teratasi, sebetulnya terlalu mudah. Begitu kusuruh dia mandi, dia hanya mencubit pipiku gemas, lalu beranjak dari komputernya. Dia pergi ke kamar mandi. Nggak cerewet, nggak rewel. Aku menghembuskan napas lega karena nggak harus mengejar-ngejarnya ke sana kemari hanya untuk menyuruhnya mandi.
Aku berjalan menuruni tangga, dan menemui sebuah piano di ruang baca lantai satu. Aku sering sekali melihat piano ini, namun nggak pernah memainkannya. Mumpung Rio lagi mandi, kenapa nggak aku coba mainkan piano itu? Aku ingin memainkannya. Lagipula, aku pernah mendapati Nince memainkan piano ini asal-asalan, berarti mungkin, hehehe aku juga boleh dong main piano ini?
Teng.. teng.. teng… teng… teng-teng…
Hihihii sulit! Nggak seperti keyboard, tapi menyenangkan. A classical thing. Aku memencet lagi tuts piano asal-asalan, mencoba membuat nada yang indah. Namun, nggak pernah berhasil. Pasti hanya nada berirama aneh yang kubuat. Meskipun begitu, suara merdu yang keluar dari piano ini sangat enak untuk didengar.
Aku terus menerus memainkan piano itu untuk waktu yang lama. Bahkan, aku melupakan Rio. Aku keasyikan dengan nada-nada yang kumainkan. Aku ber-eksperimen dengan setiap tutsnya, mencari-cari irama yang  enak didengar. Sedikit terlintas di kepalaku untuk membuat lagu. Hehe.. ngekhayal aja deh.padahal, aku bukan pianis. Tapi, aku sungguh terlena dengan piano ini.
Tiba-tiba, muncul sepasang tangan dari sampingku.
“Sini Rio ajarin, Rio sering kok main piano.” Kata Rio bangga.
Teng.. teng.. teng… teng… teng-teng….
Aku terbuai oleh lagu itu.oh.. kurasakan gejolak aneh dalam hati. Kehangatan, perlindungan, kasih sayang. Kurasakan itu lagi.
Tiba-tiba, Rio berhenti memainkan nada-nada itu.
“Aduh, Rio lupa lagi!” serunya panik, sambil menatap langit-langit.
Aku tertawa kecil, dan menoleh ke arahnya. Begitu dekat. “kamu udah mandi, Yo?” tanyaku, mencubit hidungnya.
“Udah… masa wangi gini dikira belum mandi, sih?!”

Sabtu, pukul tiga sore……
AKU menatap buku menu, dan meletakkannya di atas meja.
“Aku, pesen chesse raisin bread sama coke float aja, deh.” Ujarku tersenyum.
“cepetan ya, mas! Suruh Rio pada pelayan itu. Setelah menuliskan menu yang kami pesan, pelayan  itu pun pergi meninggalkan kami.  Rio langsung mengetuk-ngetuk meja restoran dengan kedua telunjuknya, mencoba menciptakan suatu irama. Lalu, kaki kanannya mengetuk lantai, tambahan irama lain.
“Yo, aku mau nanya dong.” Gumamku.
Rio mengangkat kedua alisnya, menyatakan silahkan. Tapi, dia masih sibuk memainkan jarinya.
“Kamu.. kenapa agak berubah akhir-akhir ini?”
Rio langsung menolehku, serius. “Nggak boleh, ya?”
“Bukannya gitu. Aku bosen aja diinterogasi Mbok Jess sama Nince. Aku,sih, nggak tau maksud mereka, nggak ngerti.aku tuh, bingung. Emangnya kenapa sih, kok, kamu berubah jadi lain akhir-akhir ini?”
“Hak Rio buat berubah juga.”
“Ya tapi kan, selalu ada alasan untuk suatu hal yang dikerjakan. Nah, alasan kamu tuh apa?”
“Alasan? Apa ya? Ngngng.. pengin aja. Nggak boleh ya?”

Satu jam kemudian….
Aku menungguk tiga meter dari pintu kamar mandi. Rio sedang buang air kecil di dalam. Acara makan kami  udah selesai, nggak kenyang, tapi seru. Rio melontarkan jokes konyol yang membuatku tertawa terbahak-bahak. Bahkan, pengunjung lain yang duduk di samping kami ikut tertawa. Oh, sungguh berkesan acara makan malam  kali ini.
 Buuukk!
Tiba-tiba, seseorang menabrakku dan cappuccino  yang dipegangnya tumpah di atas pakaian kami.  Aku meloncat ke belakang, begitu juga dia. dan sialnya aku, lagi-lagi orang yang ku-tabrak adalah Angel!
“Elo lagi!” Angel geram. Kemudian, Angel menyiram sisa cappuccino ke bajuku. “Dasar jereng! Liat nih, baju gue! gara-gara elo, baju gue jadi kotor gini! Sialan!”
“M-maaf, Ngel.” Ujarku meminta maaf.
Aduh, ya. Seharusnya dia yang minta maaf. Aku lagi diem gitu. Angel kan yang nabrak aku.
“Maaf, maaf! Baju gue mahal tau! Enak aja minta maaf. Dasar nggak tahu diri! Kenapa sih, hobi banget nabrak gue?!”
“Tapi……..”
“Berisik! Gara-gara elo, baju gue jadi kotor. Elo harus ganti sekarang juga.”
Emangnya bajuku nggak?
“Tapi,aku nggak bawa baju ganti.” Kilahku.
“ Gue nggak mau tau. Pokonya, ganti baju gue sekarang juga.”
Aku panik, namun mencoba tenang. Ya ampun, aku melakukan kesalahan lagi.  Kesalahanku adalah, “mencari kesalahan dengan Angel”. Oke, aku tahu  sebenarnya aku sangat nggak bersalah. Tapi entah kenapa, aku nggak bisa ngelawan Angel.
Sekarang, apa yang harus kulakukan?
Tiba-tiba, Rio muncul di antara kami. Namun, dia menghampiriku. Rio hanya  menatap tumpahan cappuccino di bajuku  dan  Angel. Angel yang kaget mendapati aku bareng Rio lagi, bersikap panik. Kurasakan Angel ingin sekali mendandani dirinya. Tapi sepertinya tasnya berada jauh di meja sana.
Rio langsung membuka kausnya,dan memintaku untuk memakainya. Tinggallah dia bersama kaus dalamnya. Lalu, dibukanya juga kaus dalamnya itu, dan diserahkannya pada Angel. “Nih!” ujar Rio melempar kausnya.
Angel menerima lemparan kaus dalam Rio. Dia tersenyum-senyum genit. Kemudian Rio menarikku,dan memintaku mengganti bajuku yang basah dengan  kausnya. Di luar toilet, dia menungguku, menatap Angel sinis, yang ternyata malah mencium-ciumi kaus Rio. Bukan memakainya!
Sedikit kebesaran, namun nggak apa. Aku tetep cantik dengan kaus cowok yang gede ini. Lagi-lagi.. aku merasakan sesuatu hal yang aneh dalam hatiku. Lagi-lagi aku memakai  pakaian Rio, aku mendapatkannya wearless.
aduh.. Rio.
Tapi, nggak usah dipikirin. Mungkin ini salah satu rangkanya dalam berubah. Hihihii.. aku jadi penasaran gimana dirinya akan berubah nanti.

Minggu, pukul sembilan pagi…….
“NYONYA besar nelepon, katanya udah ada di Jakarta. Satu atau dua jam lagi, Nyonya sudah ada disini.” Cerita Mbok Jess padaku. Nince yang disebelahnya mengangguk-angguk.
“Oh, baiklah kalau begitu. Saya akan minta Rio mandi.” Aku berdiri meninggalkan mereka berdua, dan berjalan ke kamar Rio.
Rio masih tidur. Bukan karna hari libur, namun Rio baru bisa tidur pukul satu dini hari. Rio kesulitan tidur malam tadi. Suddenly insomnia, tapi masih mending. Aku tidur pukul dua! Aku harus mastiin Rio udah tidur sebelum akhirnya aku tidur.
“Halo, selamat pagi bayiku. Mama mau pulang tuh!” seruku sambil menyingkap selimutnya.
Rio masih menutup matanya, masih melepaskan lelahnya. Dia menghembuskan napas berat, menandakan dalam keadaan tidur lelap.  Kugoyangkan tubuhnya, bahkan kujewer telinganya.
Hm, belum bangun juga. Aku meraih  rahangnya, mengangkat kepala Rio. Dia nggak terusik rupanya. Kuletakkan lagi kepalanya. Lalu aku memikirkan cara terbaik untuk mem-bangun-kan-nya.
Namun  selama aku berpikir, tiba-tiba aku merasa sedih. Aku jadi memikirkan hal yang lain lagi.
Hari ini, aku akan pergi dari rumah ini. Rumah yang sebetulnya memberikanku kehangatan selama seminggu.  Rumah tempat aku bersenang-senang, bukan bekerja.\
Oh, aku akan merindukan rumah ini.
Berat rasanya kalo ternyata harus meninggalkan rumah ini. Bukan karena rumah ini besar dan megah, namun karena kehangatan yang muncul dari dalam rumah ini. Aku akan merindukan Mbok Jess yang selalu memanggilku Ses. Aku akan merindukan Nince yang selalu menguntit-ku kemanapun aku berlari mengejar Rio. Pak sopir yang bergabung bersamaku, Rio, dan Nince bermain poker Kamis lalu. Ruang kerja Bu Nira yang menyeramkan. Pineapple juice, Sweet, and Spicy written by Anonymous yang belum selesai kubaca. Atau ih… ulat-ulat menjijikkan di atas pohon dan Rio datang sebagai hero-ku dengan gitarnya.  Lobster merah yang diisikan tuna di dalamnya. Piano di ruang baca yang sangat merdu suaranya.
Especially, aku akan sangat merindukan…. Rio. Hm, mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa bersama Rio.  Terakhir kalinya aku menatap Rio sedekat ini, berbicara dengan Rio selekat ini,dan menyentuh kulitnya sehangat ini.
I know I will loose in the next day,
Rio masih tertidur lelap. Sungguh, aku enggan membangunkannya. Lalu, tiba-tiba aku ingin sekali memencet hidungnya.  Aku membungkuk, meletakkan tanganku di atas mulut Rio.
Jepit..!
 hihhii Rio langsung menggeliat, tapi iamelanjutkan lagi tidurnya.  Hingga kemudian, Rio bergerak terbangun.
Perlahan-lahan, Rio membuka matanya, menggeliat lagi.  Dia langsung menatapku dalam kantuknya, dan tersenyum. “ Pagi……Hoahh!” Rio menguap.
“Selamat pagi, Tuan Muda.” Aku tertawa kecil, “Mama bentar lagi pulang.mandi sana, terus sarapan.  Mbok Jess udah bikinin Nasi goreng special telor sama udang.”
Rio terseyum, dia menatapku manis, dan tiba-tiba, dia membungkuk. Wajahnya mendekati wajahku.  Lalu dua detik kemudian, giliran dia mengepit hidungku.
“Kamu cantik banget!” ungkapnya, lalu pergi ke kamar mandi.

Satu jam kemudian……
SEMUA pelayan menunggu di pintu depan.  Aku sih nggak. Aku menemani Rio yang sedang menonton TV di ruang tengah. Bu Nira mengabarkan dirinya udah berada di bandara Husein Sastranegara. Sebentar lagi nyampe.
Dan benar saja, sepuluh menit sejak Bu Nira nelepon,  beliau datang dengan menjinjing koper besar juga blazer di tangan kirinya. Bu Nira berjalan anggun dan tenang, memasuki teras rumah.  Mbok Jess dan Nince langsung member hormat, membungkuk.  Setelah itu, mereka mengikuti Bu Nira masuk ke rumah.
Rio menoleh begitu mendengarnya mamanya berjalan tok-tak pake sepatu hak tinggi.  Rio tersenyum, bangkit menghampiri mamanya.  Namun, Bu Nira malah terhenti.  Dia sedikit heran dengan yang dilakukan Rio saat ini. Tapi, Rio nggak peduli.  Dia tetap menghampiri mamanya, mencoba menyambutnya hangat.
 Rio memeluk mamanya, kemudian kembali menonton TV, dan Bu Nira mengisyaratkan aku agar mengikutinya. Aku berjalan tertunduk di belakangnya.  Kami berdua berjalan menuju ruang kerja Bu Nira, dan beliau menyuruhku untuk menutup pintu.
“Maafkan saya nggak pernah membalas email kamu.  Saya sangat sulit di sana.jangankan buka computer, lihat SMS saja susahnya minta ampun.  Tapi jangan khawatir, saya menerima e-mail yang kamu kirimkan.  Tapi, baru saya buka tadi di perjalanan.”
 Bu Nira meletakkann kopernya di atas sofa, lalu blazernya digantung di gantungan khusus berbentuk  patung manusia, yang dulu aku kira Cuma pajangan biasa.
 Kemudian, Bu Nira duduk di kursi besar itu,  kemudian beliau memintaku untuk duduk pula di kursi sama di depannya. “gajimu sudah ditransfe lewat rekening.”
 Aku mengangguk-angguk dan mecoba tersenyum.
“Bagaimana keadaan Dede sampai sekarang?”
“Ngngn.. menurut saya, baik.”
“Oya?” Bu Nira membuka lacinya, kemudian mengeluarkan bola remas untuk dimainkan.
Tiba-tiba Bu Nira tersenyum kecil. Tampangnya mendadak jahil, seperti menyimpan sesuatu.  Bu Nira menatapku dengan mulut terkulum,menahan tawa.  Bahunya bergetar cekikikan. Dan akhirnya…. Bu  Nira mengatakan sesuatu padaku.
“Sejujurnya, selama seminggu ini, saya nggak pernah memutuskan  hubungan dengan Mbok Jess dan Nince.  Maaf, saya  bohong. I’m not too busy actually. Notebook-ku saja yang rusak.  Jadi, kalo kamu menyempatkan menguping,  hiihi.. terkadang saya dan Mbok Jess sering saling telepon.  Saya selalu menanyakan kabar dede, juga pekerjaanmu.”
Aku mendadak tegang.  Tiba-tiba muncul dalam benakku,  bahwa aku pernah mengizinkan  Rio keluar malem-malem bareng Gabriel dan Alvin, meskipun aku ikut. Tapi kan, dalam  peraturan, hal itu dilarang.
Aku mendongak serius, berdoa Bu Nira nggak menuntutku  apa-apa.
“Nggak usah tegang.” Ujar Bu Nira, tersenyum. “Saya tahu kamu pernah mengizinkan Dede maen keluar malem-malem, atau ngizinin Dede ke Lembang, ke kafe, juga ke mal. Nggak apa-apa kok, asal kamuu bisa tanggung jawab. Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian saya.  Katanya, akhir-akhir ini, Dede mulai menunjukkan perubahan. Apakah itu benar?”
“Saya tidak tau, saya tidak tau keadaan Rio yang dulu, jadi saya  tidak bisa membandingakannya dengan sekarang.”
“Oh, oke-oke maaf. Maksudnya..  gini aja. Saya kasih kamu beberapa pertanyaan, tapi kamu harus jawab jujur. Apakah.. kamu kesulitan nyuruh Dede tidur?”
“Ngnng.. hari-hari pertama, saya memang  kesulitan,  tapi Sabtu malam kemarin, saya melihat Rio bisa tidur  tanpa di temani  dulu.”
Bu Nira  sedikit tersenyum, “Apakah..  kamu kesulitan nyuruh dia mandi?”
“Ya,.. pada awalnya,dia memang sulit untuk disuruh mandi. Tapi pagi  tadi, saya hanya tersenyum padanya, dan dia mengerti saya menginginkannya mandi.dia pun mandi.”
Bu Nira tersenyum janggal. “Apakah…kamu menemukannya sedang merusak suatu benda?”
“T-tidak.  Selama satu minggu ini, saya tidak menemukan Rio memecahkan atau merusak satu benda pun.  Nggak satu pun piring, gelas, apalagi guci.  Karena memang kebetulan,  Rio sangat patuh pada apa yang saya minta untuk dilakukan.”
“Dia menggodamu?”
“Tidak.”
Bu Nira manggut-manggut kemudia meletakkan bolanya,dan bangkit untuk memelukku. “Terima kasih sudah merawat Dede. Saya nggak nyangka perjumpaan kita hanya sebentar. Kamu pasti sudah rindu  dengan rumah.”
Aku mengangguk, kemudian kami berdua jalan ke kamarku.   Aku menarik barang-barangku, kemudian seorang sopir membawakannya untukku. Kemudian, kami berjalan menuruni tangga,  dan di bawah sana, tampak Mbok Jess dan Nince siap menyambut kami.
Hm.. yeah.
Aku akan pulang sekarang. Mbok Jess memelukku. “hati-hati, ya. Makasih udah mau jagain tuan muda disini. Eke nggak menyangka harus berpisah dengan ses hari ini. Ses begitu baik, beda dari babysitter yang sebelumnya,. Oh iya, makasih, ya, udah mau bantuin eke masak lobster seminggu ini.  Makasih juga buat resep-resepnya.”
Mbok Jess melepaskan rangkulannya, dan tiba giliran Nince yang memelukku.  Kurasakan dia terisak-isak, nggak rela aku pergi dari rumah ini. “Hoohh.. daku nggak nyangka dikau akan  pergi meninggalkan daku. Jangan khawatir, daku akan selalu merindukan dikau. Jangan lupa  main-main kesini, oceyh?!
Aku mulai terisak, menangis, menatap kedua pelayan yang sangat ramah ini.  Mbok Jess yang selalu memasakkan untuk kami makanan yang enak. Nince yang rajin membersihkan rumah, dengan senandung-senandungnya.  Waktu-waktu luang ketika aku mengobrol dengan mereka. Dan… sekarang aku harus meninggalkan mereka.
“Kamu mau kemana, Fy?” Tanya Rio tiba-tiba, muncul dari balik sofa.
“Aku.. aku harus pergi. Tugasku sudah selesai.” Ungkapku lirih,  menundukkan kepala nggak berani menatap Rio.
“Selesai apaan? Libur masih seminggu lagi. Kamu disini aja!” pinta Rio.
“Dede…mama Cuma ngontrak dia seminggu aja.  Kasihan dong, kalo terus-terusan disini aja.  Ntar keluarganya khawatir.” Bu Nira menjelaskan.
“Nggak mau ah. pokonya Ify harus disini sampe Rio masuk sekolah!” paksa Rio.
“Dede! Lain kali kan kalian bisa main lagi.”
Rio marah dan menghampiri kami, menarik tanganku, dan menggeserku menaiki tangga.
“Dede! Mau kemana kamu?” teriak Bu Nira memanggil.
Aku terseret-seret ditarik Rio. “Rio, lepasin.” Rintihku.
“Nggak mau, kamu harus tetep disini!” Rio terus menerus menarikku, berjalan terseret-seret, dan kami sudah sampai di depan kamarku.
“Rio.. nanti mama kamu marah.”
“Peduli amat!”
“Rio….”
“Nggak!”
“RIOO!” teriakku, mencoba menghentikannya.
 Rio berhenti, dia diam… lalu melepaskan tanganku.
“Rio.. aku harus pergi. Aku Cuma kerja disini. Aku bukan keluarga kamu disini.  Aku.. Cuma… pengasuh kamu disini. Aku bukan penghuni rumah ini.  Dan aku harus pergi dari rumah ini. Aku hanya bekerja di sini!”
Rio berbalik menatapku, nelangsa.  Kulihat aura ketidakrelaannya andai aku pergi meninggalkannya.
“Rio… jaga diri baik-baik, ya.”
“Ify…….” Gumam Rio lirih.

No comments:

Post a Comment