Friday, 29 June 2012

Summer In Seoul [5 & 6]


Lima

“BERUNTUNG sekali kita bisa dapat tiket ini. Tempat duduk kita di barisan paling depan, lagi! Kau tahu tidak, tiketnya sudah habis terjual dalam setengah jam! Tapi kurasa itu bukan berita aneh. Sudah empat tahun Jung Tae-Rio tidak mengeluarkan album, makanya aku yakin albumnya kali ini pasti hebat,” kata Young-Via sambil mencium tiket masuk acara jumpa penggemar Jung Tae-Rio. “Apakah aku harus menelepon Mister Kim dan mengucapkan terima kasih?”
“Ah, tidak usah. Aku sudah berterima kasih padanya,” sahut Ify cepat-cepat.
Park Hyun-Shik memenuhi janjinya dan memberikan dua lembar tiket kepada Ify. Tentu saja Ify langsung mengajak Kang Young-Via dan karenanya ia harus mengarang cerita tentang asal-usul tiket itu. Ia berkata pada Young-Via bahwa Mister Kim yang menghadiahkan tiket itu untuknya karena sudah menyelesaikan tugas dengan sempurna. Yang benar saja! Kalau Mister Kim pernah sebaik itu pada orang, namanya sudah pasti bukan Mister Kim. Tapi Young-Via sama sekali tidak curiga dengan cerita itu.
Mereka tiba di tempat acara jumpa penggemar diselenggarakan dan melihat ratusan gadis remaja berkerumun di pintu masuk. Ternyata penggemar setia Jung Tae-Rio banyak sekali. Mereka membawa spanduk-spanduk besar, balon, dan papan karton yang bertuliskan nama Jung Tae-Rio. Ify masih belum memahami kenapa orang-orang itu begitu tergila-gila pada Jung Tae-Rio walaupun ia sudah menghabiskan waktu bersama laki-laki itu seminggu terakhir ini. Ia bertanya-tanya apakah ia akan merasa aneh melihat Jung Tae-Rio berdiri di panggung dan menyanyi.
“Kali ini mereka membatasi jumlah penonton,” celetuk Young-Via. “Acara jumpa penggemar yang sebelumnya jauh lebih ramai.”
Ify mengalihkan pandangan dari kerumunan penggemar Jung Tae-Rio kepada temannya. “Benarkah?”
Kang Young-Via mengangguk tegas. “Tentu saja. Aku juga datang ke acara jumpa penggemar yang dulu itu. Wah, yang datang banyak sekali. Kau tidak akan bisa membayangkannya. Waktu itu aku sampai susah bernapas. Tidak heran kalau banyak penggemarnya yang jatuh pingsan di acara itu, malah ada yang sampai meninggal. Aku pernah cerita, kan? Kau ingat, Soon-Alyssa?”
Ify mengangguk dan merenung. “Aku pernah dengar tentang kejadian itu, tapi karena belum pernah menghadiri acara seperti ini, aku tidak tahu suasananya seperti apa.”
Kang Young-Via tersenyum dan menggandeng lengan Ify. “Walaupun jumlah penontonnya sudah dikurangi, aku yakin mereka tetap liar. Kau akan bisa merasakan suasananya. Oh ya, Jung Tae-Rio masih ingat padamu, tidak ya?”
Ify menatapnya kaget. “Maksudmu?”
Young-Via mendecakkan lidah. “Bukankah waktu itu kau sempat ke rumahnya, bahkan dia mengantarkanmu pulang? Hei, kau ingatkan saja dia! Sewaktu acara pembagian tanda tangan nanti, bilang kau pernah berjumpa dengannya. Setelah itu kita pasti bisa mengobrol lebih lama. Ya? Ya? Kau harus menarik perhatiannya kepada kita.”
“Apa? Bukannya sudah kubilang aku tidak mau orang-orang sampai tahu malam itu aku bertemu dengannya?” sahut Ify. “Aku tidak mau terlibat gosip semacam itu.” Oh ya, ia tahu benar ucapannya ini bertolak belakang dengan keputusannya membantu Jung Tae-Rio.
“Kalau begitu tidak usah terang-terangan. Kau bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang bisa membuatnya—“
“Hei, Kang Young-Via! Sudahlah, kita masuk saja,” potong Ify sambil cepat-cepat menarik tangan temannya masuk ke gedung.
Acara dimulai dan Jung Tae-Rio muncul diiringi jeritan para penggemarnya. Ify agak terperangah karena para penggemar jung Tae-Rio benar-benar penuh semangat dan jeritan mereka mengagumkan. Young-Via juga menjerit dan mengibas-ngibaskan balon yang dipegangnya keras-keras. Melihat temannya seperti itu, Ify jadi ikut bersorak dan menjerit walaupun suaranya sudah jelas tidak terdengar di antara lengkingan penggemar-penggemar lain yang lebih ahli dalam hal ini. Ify melihat Jung Tae-Rio berdiri di depan penonton sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Pria itu mengenakan kaus hitam, jaket putih, celana panjang putih, juga syal hitam-putih yang dibelinya bersama Ify.

Kemudian Jung Tae-Rio mulai bernyanyi dan Ify membiarkan dirinya dipengaruhi para penggemar Jung Tae-Rio yang liar. Ia ikut berteriak-teriak dan mengibas-ngibaskan balon seperti Young-Via. Ify mengakui suara Jung Tae-Rio memang bagus, sehingga ia tidak sempat memikirkan apakah memang terasa aneh melihat laki-laki itu di panggung.
Jung Tae-Rio menyanyikan lagu-lagu dari album barunya, diselingi perbincangan singkat dengan para penonton. Para penggemarnya terus saja menjerit-jerit kesenangan, bahkan tidak sedikit yang jatuh pingsan. Yang berikutnya adalah acara pembagian tanda tangan. Ify dan Young-Via ikut antre.
Ify melihat para penggemar satu per satu menjabat tangan Jung Tae-Rio dan tersenyum bahagia, ada juga yang menangis saking gembiranya. Senyum ramah Jung Tae-Rio tidak pernah lepas dari wajahnya. Kadang-kadang ia berbicara pendek dan bercanda sebentar dengan beberapa penggemar. Ify bertanya-tanya dalam hati apakah laki-laki itu tidak merasa lelah.
Ketika giliran Ify dan Young-Via sudah hampir tiba, Ify bisa mendengar percakapan antara Jung Tae-Rio dan penggemarnya. Umumnya si penggemar akan memuji penampilan dan lagunya, lalu Jung Tae-Rio akan berterima kasih dengan sopan dan ramah sekali, setelah itu ia akan menanyakan nama si penggemar dan membubuhkan tanda tangan di atas CD, poster, atau apa pun yang disodorkan kepadanya.
Ketika akhirnya Ify berdiri di depan Jung Tae-Rio, laki-laki itu tidak terlihat terkejut saat melihatnya. Ify mencoba bersikap seperti kebanyakan penggemar Jung Tae-Rio yang lain dan menyodorkan CD Jung Tae-Ri yang baru dibelinya tadi.
“Tae-Rio Oppa, aku suka lagumu,” kata Ify dengan menggebu-gebu. Ia tidak memedulikan Young-Via  yang terus-menerus menyikutnya.
Ia mendengar Jung Tae-Rio terbatuk pelan dan membubuhkan tanda tangan di sampul depan CD yang ia sodorkan. Kemudian dengan senyumnya yang biasa, ia mengembalikan CD itu kepada Ify. Ify langsung meraih dan meremas tangan Jung Tae-Rio yang menjulurkan CD, membuat laki-laki itu agak terperanjat.
“Terima kasih, Tae-Rio Oppa. Terima kasih. Aku cinta padamu,” serunya gembira. Di dalam hati ia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah laki-laki itu.
Ketika berjalan kembali ke tempat duduknya, Ify melihat Park Hyun-Shik berdiri tidak jauh dari Jung Tae-Rio. Park Hyun-Shik juga melihatnya. Ify membungkukkan badan sedikit untuk memberi salam yang dibalas Park Hyun-Shik dengan senyuman dan acungan jempol. Pasti paman yang satu itu sudah melihat adegan kecil tadi.
Setelah acara tanda tangan selesai, pembawa acara mengumumkan Jung Tae-Rio akan membagikan hadiah khusus kepada sepuluh penggemar.

 “Wah! Dia mau membagikan hadiah! Apa ya?” Young-Via begitu bersemangat sampai tidak berhenti bergerak-gerak di tempat duduknya.
“Topi,” jawab Ify tanpa sadar.
Jung Tae-Rio yang berdiri di samping pembawa acara berkata ia akan menghadiahkan sepuluh topi yang sudah dibelinya sendiri. Kepala Young-Via langsung menoleh ke arah Sandy.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya curiga.
Ify menjadi serbasalah dan buru-buru berkata, “Cuma asal tebak. Biasanya artis suka memberikan hadiah topi. Kalau bukan topi ya gantungan kunci atau bros.”
Young-Via tersenyum. “Mungkin kau benar. Dulu dia pernah memberikan hadiah bros untuk penggemarnya. Sayangnya waktu itu aku tidak kebagian.”
Topi-topi itu dibagikan kepada penggemar yang memenuhi syarat. Misalnya ketika pembawa acaranya bertanya siapa yang membawa poster resmi Jung Tae-Rio yang pertama, atau penggemar yang datang dari jauh, dan sebagainya. Ada juga yang dipilih secara acak dengan melemparkan bola, dan barang siapa yang menangkap bola itu akan mendapatkan hadiah. Semua orang bersenang-senang termasuk Ify dan Young-Via.
“Nah, sekarang kami hanya punya satu topi terakhir,” kata pembawa acara yang disambut jeritan para penggemar. Entah itu jeritan kecewa atau bahagia karena bagi telinga Ify jeritan penggemar Jung Tae-Rio terdengar sama saja.
“Itu punyaku!” seru Young-Via sekeras-kerasnya, berusaha mengalahkan teriakan penggemar lain sambil melambai-lambaikan kedua tangan ke arah si pembawa acara.
“Mungkin kalian ingat, sebelum acara dimulai kami meminta kalian menuliskan nomor ponsel kalian pada secarik kertas dan memasukkannya ke kotak besar yang di sana itu. Kalian tahu apa maksudnya?” tanya si pembawa acara.
terdengar gemuruh gumaman dari para penonton sementara mereka melihat ke kanan-kiri dan bertanya-tanya.
“Saya akan menjelaskannya,” kata si pembawa acara lagi dan suasana pun menjadi hening. “Begini, Jung Tae-Rio akan memilih salah satu nomor telepon di dalam kotak itu secara acak dan dia akan menghubungi nomor telepon itu. Barang siapa yang ponselnya nanti berbunyi, majulah ke depan, dan topi terakhir ini akan menjadi miliknya. Sekarang kalian harus memegang ponsel kalian dan pastikan ponsel kalian dalam keadaan aktif.”
Semangat para penonton melambung tinggi dan mereka sibuk mengeluarkan ponsel mereka. Ify merasa ia sudah menjadi penggemar fanatik karena ia juga sedang memegang ponselnya penuh harap seperti Young-Via.
“Sudah siap? Kita mulai ya?” seru Jung Tae-Rio yang disambut jeritan para penggemar.
Ia memasukkan tangannya ke kotak besar itu dan mengaduk-aduk, lalu mengeluarkan secarik kertas kecil. Para penggemar masih terus menjerit-jerit. Lalu Jung Tae-Rio mengeluarkan ponselnya sendiri dan membuka flap-nya. Jeritan ribuan penggemarnya semakin menjadi-jadi. Pembawa acara pun harus menenangkan para penonton dengan berkata mereka tidak mungkin bisa mendengar dering telepon kalau semua orang terus menjerit sepenuh hati seperti itu. Akhirnya suasana kembali hening, kini hanya terdengar bisikan lirih di sana-sini.
Jung Tae-Rio menekan-nekan tombol ponsel sambil melihat kertas kecil di tangannya, lalu menempelkan ponsel itu ke telinga. Kertas kecil tadi dimasukkan kembali ke kotak.
Detik-detik menunggu hubungan tersambung terasa begitu lama. Semua orang di sana menatap ponsel mereka penuh harap. Tiba-tiba terdengar nada panggil.
“Astaga!” Ify berteriak kaget ketika ponsel yang digenggamnya berbunyi nyaring.
“Soon-Alyssa, ponselmu!” Young-Via menjerit sambil tertawa histeris.
Para penonton mulai bersuara dan pembawa acara menyuruh Ify berdiri dan menjawab ponselnya.
“Nona yang memakai baju biru, coba dijawab dulu. Apakah benar yang menelepon Jung Tae-Rio?”
Ify sebenarnya tidak perlu menjawab karena di layar ponselnya muncul tulisan “JTR”, nama yang disimpannya untuk nomor ponsel Jung Tae-Rio. Memang benar Jung Tae-Rio yang meneleponnya, tapi Ify tetap membuka flap ponsel dan menempelkannya ke telinga. Walaupun suasana saat itu riuh sekali karena orang-orang bersorak dan bertepuk tangan, ia masih bisa mendengar suara Jung Tae-Rio di telepon yang berkata, “Hei, majulah ke depan.”
Young-Via mencengkeram lengan Ify dan mengguncang-guncang keras tubuhnya. Ify heran dari mana asal tenaga temannya itu. Akhirnya ia berhasil membebaskan diri dari temannya dan maju dengan dikawal dua penjaga. Jantungnya berdebar keras karena ini kali pertama baginya berdiri di depan orang banyak yang terus bersorak dan menjerit. Ia bolak-balik membungkukkan badan ke arah para penggemar juga kepada pembaca acara di panggung.
Ketika Ify berdiri di depan Jung Tae-Rio, ia menyadari baik Jung Tae-Rio ataupun pembawa acara tidak memegang topi. Ia melihat si pembawa acara memberi isyarat kepada salah seorang staf yang berdiri di pojok, tapi anggota staf itu menggeleng.
Ada apa ini? Tidak ada topi? Ify yakin mereka sudah membeli sepuluh buah dan ia tadi menghitung ada sembilan topi yang sudah dihadiahkan. Pasti masih tersisa satu topi. Jangan-jangan Jung Tae-Rio mau mempermainkannya.
Si pembawa acara terlihat bingung tapi mencoba bersikap tenang. Namun Jung Tae-Rio tiba-tiba berkata, “Wah, sepertinya topi yang terakhir hilang. Saya benar-benar minta maaf. Bagaimana ya?”
Para penonton terdiam dan Ify menatap Jung Tae-Rio dengan mata disipitkan. Pandangan curiga. Kalau Jung Tae-Rio memang sedang mempermainkannya, ini benar-benar tidak lucu. Ia sudah gugup sekali berdiri di bawah sinar lampu seperti ini dan sekarang ia harus menerima permainan Jung Tae-Rio?
Si pembawa acara ikut menimpali, “Ya, maaf sekali. Sepertinya memang topi yang terakhir hilang. Kami sedang mencarinya sekarang.”
Ify merasa seperti orang tolol, hanya berdiri diam di depan semua orang. Ia memutuskan sebaiknya ia kembali ke tempat duduknya. Ketika ia membalikkan tubuh, Jung Tae-Rio menahannya.
“Tunggu dulu,” katanya sambil tersenyum meminta maaf. “Karena sudah tidak ada topi, bagaimana kalau kuberikan ini saja?”
Jung Tae-Rio melepaskan syal di lehernya dan melilitkannya di leher Ify. Para penonton pun kembali berteriak dan menjerit. Ify memandang syal bermotif kotak-kotak hitam-putih yang sekarang melilit lehernya. Ia menyentuh syal itu dan mendongak menatap Jung Tae-Rio dengan tercengang. Laki-laki itu sedang tertawa dan tawa di wajah itu membuat Ify akhirnya ikut tersenyum.
“Waah... kau beruntung sekali, Soon-Alyssa! Kau memang tidak mendapat topi, tapi kau mendapat syal yang dipakainya. Aduh, aduh, jantungku... Kalau aku jadi kau, aku pasti tidak akan bisa tidur malam ini,” kata Young-Via antusias dalam perjalanan pulang dari acara tadi. Mereka berdua duduk di barisan belakang bus yang tidak terlalu ramai.
“Ya, aku beruntung sekali,” kata Ify menyetujui sambil tersenyum. Ia terus memandangi syal yang melilit lehernya. Tadi ia sempat mengira Jung Tae-Rio sedang mempermainkannya, tapi ternyata tidak begitu. Tadinya, kalau dugaan jelek Ify terbukti benar, ia berniat meninju Tae-Rio saat itu juga.
Tiba-tiba Young-Via menegakkan punggung dan mencengkeram lengan Ify. “Tunggu dulu, Soon-Alyssa. Kau punya nomor telepon Jung Tae-Rio!”
Itu bukan pertanyaan dan Ify hanya bisa mengerjapkan mata dengan bingung.
Young-Via menepuk lengan Ify dan berseru, “Tadi dia kan menghubungi ponselmu dengan ponselnya, jadi artinya di ponselmu sekarang pasti masih ada nomor ponselnya, kan?”
“Tidak!” bantah Ify cepat-cepat. Apa yang harus dikatakannya? “Tadi... tadi sewaktu aku kembali ke tempat duduk setelah menerima hadiah, Jung Tae-Rio sendiri yang bilang ponsel itu milik salah satu anggota stafnya. Lagi pula, coba pikir, mana mungkin Jung Tae-Rio bisa sembarangan membiarkan nomor ponselnya diketahui orang tak dikenal?”
Young-Via mengangguk-angguk. “Masuk akal juga.”
Ify mengembuskan napas lega dan menggerutu dalam hati. Sepanjang kesepakatan ini, Jung Tae-Rio sudah banyak membuat masalah sendiri, tapi justru Ify yang harus memperbaikinya. Mungkin laki-laki itu perlu ditinju.
“Hei, coba kulihat CD-mu yang ditandatangani tadi,” pinta Young-Via sambil mengeluarkan CD miliknya sendiri.
Ify mengeluarkan CD-nya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada temannya itu.
“Lihat, dia menulis ‘Untuk Kang Young-Via... dari Jung Tae-Rio’,” kata Young-Via sambil menunjukkannya kepada Ify. Ia memekik senang dan mengelus-elus kotak CD-nya. Ify hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan temannya. Kemudian Young-Via beralih membaca tulisan di sampul depan CD milik Ify. “Untuk Ify... dari Jung Tae-Rio.” Ia terdiam sesaat, lalu bertanya, “Ify?”
Ify langsung menoleh. “Kenapa?”
“Memangnya tadi kau memberitahunya nama Indonesia-mu, ya?” tanya Young-Via.
“Oh, itu...” Ify agak gelagapan. “Ya, sepertinya begitu.”
Young-Via mengerutkan dahi dan menggeleng. “Tidak, tidak. Sepertinya kau bahkan tidak menyebutkan namamu.”
“Masa sih?” ujar Ify kaget. Ia mulai panik dan cepat-cepat memutar otak, berusaha keras mengingat acara tanda tangan tadi.
Young-Via meneruskan, “Aku berdiri tepat di belakangmu waktu itu. Kau hanya bilang kau suka lagunya.”
Ify ingat, tapi ia berusaha membantah, “Ah, tidak. Aku bilang ‘Apa kabar? Namaku Sandy. Tae-Rio Oppa, aku suka lagumu’. Aku yakin kok. Kalau tidak, dari mana dia tahu namaku?”
Kenapa temannya yang satu ini pintar sekali sih? Untuk sesaat Ify merasa takut akan ketelitian Kang Young-Via. Lama-kelamaan, kalau ia dan Jung Tae-Rio terus melakukan kesalahan kecil seperti ini, ia akan kehabisan alasan.
Young-Via berpikir, lalu akhirnya mengangguk. “Benar juga ya? Waktu itu berisik sekali, jadi mungkin aku tidak mendengarnya. Sudahlah, tidak penting. Ngomong-ngomong, lagu yang dinyanyikannya tadi benar-benar bagus ya?”

“Acara hari ini sukses sekali. Kuucapkan selamat untukmu,” kata Park Hyun-Shik. Ia dan Tae-Rio sudah kembali ke kantor manajemen. Dengan lega ia menyandarkan punggung ke kursi kerja dan menatap Tae-Rio dengan gembira.
Tae-Rio menoleh ke arah manajernya dan tersenyum. “Memang. Aku senang kita bisa melewatinya dengan baik sekali, tidak seperti yang dulu.”
“Semuanya baik-baik saja, kau tidak usah cemas,” kata Park Hyun-Shik. Ia mengembuskan napas dan berkata, “Aku tahu kau sengaja menelepon Ify tadi. Nomor yang tertera di kertas itu bukan nomor ponsel Ify, kan?”
Tae-Rio tertawa. “Memang. Tadi aku berniat mengerjainya, tapi tidak jadi.”
Park Hyun-Shik ikut tertawa dan melonggarkan simpul dasinya. “Aku sudah merasa aneh sewaktu kau memintaku menyimpan topi terakhir itu.”
Tae-Rio bangkit dari kursinya. “Hyong simpan di mana topi itu?”
Park Hyun-Shik mengeluarkan topi yang ditanyakan dari balik jasnya dan melemparkannya kepada Tae-Rio.
Tae-Rio menangkap topi kain kuning itu dengan santai dan memandanginya. Ia ingat ia dan Ify sempat berbeda pendapat tentang topi kuning yang satu ini. Menurut Ify topi itu bagus, sedangkan menurutnya warna kuningnya terlalu mencolok. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir, topi kuning ini memang tidak jelek.
Hyong aku pulang dulu,” katanya sambil melambaikan topinya.
“Ya, istirahat yang banyak. Minggu depan jadwalmu sangat padat,” Park Hyun-Shik mengingatkan.


Enam

PONSELNYA masih berdering. Ify ragu apakah ia harus menjawabnya atau tidak. Ia sudah melihat huruf-huruf muncul di layar ponselnya. Dari Mister Kim. Hari ini hari Minggu dan seharusnya Ify tidak bekerja. Kenapa atasannya menelepon? Tapi Ify juga tahu kalau teleponnya tidak dijawab, Mister Kim akan terus meneleponnya sampai laut mengering.
Akhirnya ia menyerah dan meraih ponselnya.
“Hha-lho...” Salah satu alasannya malas menjawab telepon adalah karena tenggorokannya sedang sakit dan ia tidak bisa berbicara seperti biasa. Sekarang suaranya nyaris seperti bisikan angin.
Di seberang sana terdengar suara Mister Kim yang melengking. “Astaga, Miss Han. Kenapa suaramu seperti hantu begitu? Aku tahu, aku tahu, hari ini Minggu. Tapi aku harus tetap meneleponmu untuk meminta bantuan. Tolong kauantarkan pakaian untuk Jung Tae-Rio, ya? Kami di sini sibuk sekali. Ya, sibuk sekali. Tidak ada yang sempat membawakan pakaiannya. Tolong ya? Antarkan ke rumahnya. Kau tahu alamat rumahnya? Tentu saja tidak, bodoh sekali aku. Eeh... alamatnya di mana ya? Sebentar, ya... Mister Cha... MISTER CHA! Di mana kutaruh alamat Jung Tae-Rio? Tolong carikan untukku. Miss Han, kembali ke pembicaraan kita tadi. Begini saja, akan kukirim alamat Jung Tae-Rio lewat SMS begitu kutemukan nanti. Kau bisa mengambil pakaiannya dari butik lalu langsung pergi ke rumahnya ya? Thank you very much. Miss Han, kau baik sekali. Bye-bye!”
Ify mendengar telepon ditutup di ujung sana. Ia sama sekali tidak punya kesempatan bicara. Kalaupun punya kesempatan, ia tidak akan bisa bicara banyak. Ia menarik napas perlahan-lahan dan mengembuskannya perlahan-lahan juga. Mungkin atasannya ini dari dulu sampai sekarang tidak akan bisa berubah. Seenaknya sendiri.
Diktator, pikir Ify dalam hati sambil melotot kepada ponselnya. Sebaiknya kau menambah gajiku atau aku akan mengundurkan diri. Lihat saja siapa yang mau bekerja untukmu.
Kata-kata ini sudah sering diucapkannya, tapi ia belum pernah benar-benar mengajukan surat pengunduran diri. Walaupun Mister Kim orang yang aneh dan seenaknya, ify merasa bisa belajar banyak darinya. Sejak kecil Ify suka sekali dunia fashion. Jadi, walaupun jalan tidak selalu lancar, ia senang bisa bekerja dengan perancang busana terkenal yang tidak segan-segan mengajarinya banyak hal.
Ify meneguk teh panasnya lagi dan duduk meringkuk di tempat tidur. Hari memang sudah siang, tapi ia masih segan bangun dari sana. Pagi tadi begitu ia bangun, tenggorokannya terasa sakit dan suaranya mulai serak. Mungkin ini efek segala jeritan dan teriakannya kemarin di acara jumpa penggemar Jung Tae-Rio. Kemarin ia memang menjerit sekuat tenaga bersama-sama ribuan penggemar lain. Entah apa yang diteriakkannya, ia sendiri juga sudah lupa. Ia hanya terus menjerit untuk meramaikan suasana. Akibatnya, hari ini berbisik saja susah!
Ify baru saja akan terlelap kembali ketika ia teringat perintah Mister Kim. Sambil mendecakkan lidah dengan kesal dan mengumpat-umpat dalam hati, ia bangun dan berganti pakaian.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Ify sudah berdiri di depan pintu rumah Jung Tae-Rio yang berada di kawasan perumahan mewah. Ia hanya bisa terkagum-kagum dalam hati. Malam itu, ketika pertama kalinya datang ke sana, ia tidak begitu memerhatikan sekelilingnya. Saat itu ia kan sedang frustasi. Sekarang Ify baru bisa melihat jelas bentuk rumah yang tersembunyi di balik pagar besi tinggi itu. Ia membiarkan matanya berpesta sepuasnya.
Rumah berlantai dua itu lumayan besar, dengan tembok putih, beranda yang luas, dan banyak jendela kaca. Ify menyukai beranda di lantai dua. Ia mengangkat tangan untuk menaungi mata dari sinar matahari dan mendongak memerhatikan rumah itu dengan perasaan senang.
Lalu ia mengulurkan tangan dan memencet bel pintu.
Selanjutnya terdengar suara Jung Tae-Rio dari interkom.
Ify ragu. Ia berdehem, walaupun tindakan itu tidak membantu sama sekali, memencet tombol interkom, dan menyebutkan namanya dengan suara serak.
“Apa? Siapa? Maaf, suaranya kurang jelas,” suara Jung Tae-Rio terdengar lagi.
Ify mengulangi ucapannya sambil mengerutkan kening. Seharusnya Jung Tae-Rio bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Rumah besar seperti ini pasti dilengkapi kamera pengawas. Pasti. Kenapa laki-laki itu harus membuat tenggorokannya bertambah sakit?
“Aku masih tidak mengerti apa yang kauucapkan. Tapi, baiklah. Masuk saja, Ify.”
Sandy memalingkan wajahnya dan mendengus. Benar, kan? Jung Tae-Rio sudah tahu siapa yang berdiri di depan pintu.
Sambil menjinjing gantungan baju beberapa pakaian yang dibungkus plastik, Ify melewati pagar besi yang terbuka secara otomatis, lalu mendorongnya sampai menutup dengan kakinya. Ia menaiki anak-anak tangga menuju rumah besar itu.
Jung Tae-Rio sudah menunggu di depan pintu. Laki-laki itu mengenakan kaus longgar kelabu dan celana panjang hitam. Rambutnya agak berantakan karena tidak ditata. Ify menyadari Tae-Rio menatapnya dari kepala sampai ke kaki, lalu tatapan laki-laki itu kembali ke wajahnya. “Ada apa denganmu? Mana yang sakit?” tanya Jung Tae-Rio tanpa basa-basi.
Ify menunjuk lehernya.
“Sudah minum obat?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
Ify tersenyum dan mengangguk.
Jung Tae-Rio memandangnya, lalu bertanya, “Kenapa kemari?”
Ify mengacungkan pakaian-pakaian yang dibawanya. “Misther Kim... coba pakhaian...”
Jung Tae-rio mengibaskan tangan. “Astaga... Aku tidak tahan mendengar suaramu yang mengerikan itu. Ikut aku, Aku punya obat untukmu. Ayo, masuk.”
Ify berusaha berbicara, tapi lehernya terlalu menyiksa. Akhrinya ia menurut saja. Bagaimanapun ia tidak bisa melawan kata-kata Jung Tae-Rio dalam keadaan seperti ini. Tunggu saja sampai suaranya kembali seperti semula.
Di dalam rumah, ia melepaskan sepatu dan mengenakan sandal rumah yang ditunjukkan Jung Tae-Rio.
Bagian dalam rumah itu ditata rapi sekali. semua perabot dan hiasan di dalam rumah itu terkesan mewah. Setelah meletakkan pakaian di sofa terdekat, Ify mengamati foto-foto yang tergantung di dinding. Kebanyakan foto sepasang pria dan wanita setengah baya. Ify menduga mereka orangtua Jung Tae-Rio. Ada juga beberapa foto Jung Tae-Rio sewaktu kecil, remaja, dan saat ini.
Begitu asyiknya Ify mengamati foto-foto itu sampai-sampai ia tidak menyadari Jung Tae-Rio sudah berdiri di sampingnya.
“Kenapa tiba-tiba sakit tenggorokan? Kemarin bukannya biasa-biasa saja?” tanyanya.
“Kemarinh... jhumpa pengghemar... menjerith,” Ify berusaha menjelaskan terpatah-patah.
Jung Tae-Rio tertawa. “Ah, jadi karena kemarin kau ikut menjerit-jerit? Anak bodoh. Minum ini,” katanya sambil mengulurkan gelas berisi cairan berwarna cokelat pekat.
Ify menerimanya dengan bimbang.
“Tidak usah kuatir. Itu bukan obat bius. Minum saja dan sebentar lagi tenggorokanmu akan membaik.”
Ify menatap Jung Tae-Rio yang berjalan kembali ke dapur. Setelah dengan ragu-ragu meminum cairan itu, yang ternyata lumayan enak, ia kembali melihat-lihat sekeliling ruangan. Ada grand piano putih di ruang tengah yang tidak diingatnya ada di sana ketika pertama kali datang ke rumah itu. Ify mengelus permukaan piano tersebut dan membuka tutupnya. Ia memang tidak bisa memainkan alat musik, tapi ia suka mendengarkan musik. Ia menekan salah satu tuts piano dan tersenyum sendiri.
“Hei, jangan pegang-pegang sembarangan.”
Ify  mengangkat kepala dan melihat Jung Tae-Rio berjalan menghampirinya. Ia melambai-lambaikan tangan menyuruh Jung Tae-Rio datang sambil menunjuk piano.
“Apa?” tanya Jung Tae-Rio bingung setelah berdiri di dekat piano.
“Mainhkhan,” Ify berbisik serak sambil menggerak-gerakkan jari tangan seperti sedang bermain piano.
“Kau mau aku main piano?”
Ify mengangguk dan menarik Jung Tae-Rio supaya duduk di kursi piano.
Jung Tae-Ri duduk dengan enggan dan berkata, “Kau mau bayar berapa?”
“Appha?” tanya Ify sambil menggerakkan dagu.
“Kau mau bayar berapa untuk permainanku ini?” Jung Tae-Rio mengulangi.
Ify mendorong bahu laki-laki itu dan menunjuk piano dengan tegas.
“Ya, ya. Aku mengerti,” kata Jung Tae-Rio.
Suara dentingan piano yang lembut mulai terdengar. Ify berdiri di samping piano, menopangkan dagu di atasnya sambil melihat jemari tangan Jung Tae-Rio menari-nari di atas tuts piano. Ketika alunan nada yang dimainkan laki-laki itu akhirnya berhenti, Ify bertepuk tangan.
“Bagus sekali!” katanya, lalu memegang leher. “Eh, tenggorokanku sudah tidak terlalu sakit lagi.”
Jung Tae-Rio tersenyum. “Sudah kubilang obatnya manjur.”
“Mainkan satu lagu lagi,” pinta Ify.
Tiba-tiba terdengar nada dering ponsel. Ify merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya berubah ketika melihat layarnya. Ia segera membuka flap ponsel dan berjalan menjauh dari Jung Tae-Rio agar laki-laki itu tidak mendengar pembicaraannya.
“Halo? Ada apa, Jeong-Iel ssi?” Ify berbicara dengan nada rendah. “Apa? Sekarang? Aku... tidak bisa. Aku sedang... eh...”
“Telepon dari Hyun-Shik Hyong, ya?” seru Jung Tae-Rio keras.
Ify terlompat kaget dan buru-buru menutup ponsel dengan tangan. Tapi tidak ada gunanya, Lee Jeong-Iel sudah mendengar kata-kata itu dengan jelas.
“Soon-Alyssa, kau sedang bersama seseorang?” tanya Lee Jeong-Iel dengan nada curiga.
Ify membelalak kepada Jung Tae-Rio yang memasang tampang polos tak berdosa, lalu berkata pelan, “Ya. Aku harus pergi. Sudah dulu ya?”
Ify menutup ponsel dan berkacak pinggang. Jung Tae-Rio sudah gila ya? Kalau memang Paman Park Hyun-Shik yang menelepon, Ify kan tidak mungkin berbicara dengan suara pelan seperti tadi. Orang aneh!
“Jung Tae-Rio, kau ini kenapa? Kau mau orang-orang tahu tentang kita?” tanya Ify sambil menatap Tae-Rio yang bangkit dari piano.
Jung Tae-Rio kelihatannya tidak peduli. Ia hanya melewati Ify dan berkata, “Aku ke kamarku sebentar.”
Ify memandangi sosok Jung Tae-Rio yang menaiki tangga dengan cepat, lalu menghilang di ujung tangga. Benar-benar orang aneh! Ify menggeleng dan kembali melihat-lihat rumah Jung Tae-Rio. Jarang ada orang yang bisa masuk ke rumah artis. Kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ia sedang mengamati tongkat pemukul bisbol dengan perasaan heran ketika mendengar ponselnya berbunyi lagi.
Siapa lagi? Jangan-jangan Lee Jeong-Iel, katanya pada diri sendiri sambil melihat ke kanan-kiri, mencari asal bunyi. Tadi ponselnya ia taruh di mana ya? Ah, itu dia, di atas piano.
Ia berlari ke arah piano dan langsung membuka flap ponsel. “Halo?”
“Halo? Siapa ini?” tanya suara wanita di ujung sana.
Ify mengerutkan dahi. Ia tidak mengenali suara wanita itu. Maka ia bertanya, “Ini Han Soon-Alyssa. Anda ingin mencari siapa?”
Suara wanita itu tidak ragu-ragu ketika menjawab, “Bukankah ini ponsel Jung Tae-Rio?”
Ify terkejut. Astaga! Lagi-lagi ia mengambil ponsel yang salah. Ia memutar kepala ke sekeliling ruangan dan melihat ponselnya tergeletak di meja makan. Bagaimana ini?
“Oh... Benar, ini memang ponsel Jung Tae-Rio,” kata Ify agak gugup. “Akan saya panggilkan dia.”
Wanita di ujung sana tiba-tiba menahannya. “Tunggu sebentar. Anda ini nona yang ada di foto bersama Tae-Rio itu, ya?”
Ify menahan napas dan berpaling ke arah tangga, berharap Jung Tae-Rio segera muncul.
“Anu... saya...” Ify sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak pernah diberitahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang menanyakan hubungannya dengan Jung Tae-Rio.
“Tidak apa-apa,” suara wanita itu berubah ramah. “Aku ibu Jung Tae-Rio.”
Astaga! Ibunya? Pengetahuan ini malah membuat Ify panik.
“Ah, apa kabar, Bibi?” kata Ify berusaha terdengar tenang meski sebenarnya ia bergerak-gerak gelisah. Kemudian Ify menutup ponsel dengan tangan dan berseru memanggil Tae-Rio dengan suaranya yang masih sedikit serak. “Jung Tae-Rio ssi!”
Ia kembali menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sebentar lagi Jung Tae-Rio ssi akan turun.”
Ibu Jung Tae-Rio tertawa pelan. “Senang sekali bisa mendengar suaramu walaupun Tae-Rio belum memperkenalkan kita. Dasar anak itu. Tadi kau bilang namamu Han Soon-Alyssa, bukan? Kedengarannya kau sedang flu. Kau tidak apa-apa?”
“Oh, saya tidak apa-apa.” Tepat pada saat itu ia melihat Jung Tae-Rio menuruni tangga, ia cepat-cepat berlari ke arah laki-laki itu.
“Jung Tae-Rio ssi sudah di sini. Silakan Anda bicara dengannya,” kata Ify di telepon, lalu menyodorkan ponsel ke Tae-Rio.
Jung Tae-Rio menerima ponsel itu dengan bingung. “Siapa?”
“Ibumu,” bisik Sandy panik.
Tae-Rio mengangkat alis karena terkejut dan menjawab telepon. “Halo, Ibu?” Lalu tiba-tiba ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Bahkan Ify bisa mendengar suara ibu Jung Tae-Woo yang berteriak keras.
Akhirnya Jung Tae-Rio menempelkan ponsel kembali ke telinga dan berkata, “Bukannya aku tidak mau menceritakannya pada Ayah dan Ibu, hanya saja menurutku… Aku tahu… Apa? Aku di rumah. Ya, baiklah. Akan kujelaskan kepada Ayah nanti. Apa? … Dia?”
Ify agak bingung ketika laki-laki itu menatapnya.
“Sebentar,” kata Jung Tae-Rio, lalu mengulurkan ponsel ke Ify.
Ify menatap Jung Tae-Rio dan ponsel itu bergantian.
“Ibuku mau bicara denganmu,” kata Jung Tae-Rio sambil meletakkan ponsel ke tangan Ify. “Tidak apa-apa.”
Ify menggigit bibir dan menatap Jung Tae-Rio. Kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinga dan menyapa ibu Jung Tae-Rio. Ia mendengarkan perkataan wanita yang lebih tua itu sebentar sambil mengangguk-angguk dan sesekali berkata “baik” dan “saya mengerti”. Akhirnya ia mengucapkan “sampai jumpa” dan menutup ponsel.
“Ibuku bilang apa?” tanya Jung Tae-Rio ketika Ify mengembalikan ponselnya.
Ify balas bertanya, “Apa yang kaukatakan pada ibumu tentang aku?”
“Aku bahkan belum sempat mengatakan apa-apa,” kata Jung Tae-Rio. “Ayahku melihat foto-foto kita di internet dan ibuku menelepon untuk menanyakan kebenarannya.”
SIfy hanya mengangguk-angguk. “Oh, foto-foto kita ada di internet juga?”
“Lalu ibuku bilang apa padamu?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
Ify tersenyum. “Katanya aku harus mengawasi makanmu karena kau sering lupa makan kalau sudah sibuk bekerja. Katanya aku harus banyak bersabar kalau menghadapimu, apalagi kalau kau sedang uring-uringan. Katanya sebenarnya kau anak yang baik dan tidak akan membuatku kecewa. Ibumu juga bilang ingin bertemu denganku dan memintamu membawaku ke Amerika untuk menemuinya.”
Jung Tae-Rio mengerang. “Cerewet sekali. Kenapa ibuku begitu baik padamu? Padaku tadi dia malah berteriak-teriak.”
Ify mengangkat bahu. “Mungkin ibumu lebih suka anak perempuan. Hei, kalau tidak salah, ibumu penulis buku, ya? Aku pernah membaca salah satu bukunya dan aku suka sekali. Ibumu benar-benar berpikir aku pacarmu, ya? Wah, hebat.”
Jung Tae-Rio tidak mengacuhkan kata-kata Ify dan bertanya, “Kenapa kau menjawab teleponku?”
Ify berdeham dan menjawab, “Kupikir ponselku yang berbunyi. Tadi kan memang ada yang meneleponku. Sewaktu ponselmu berbunyi, kukira dia menelepon lagi. Sudah kubilang kau harus mengganti nada deringmu.”
“Siapa yang menelepon?”
“Teman,” sahut Ify sambil memalingkan wajah. “Oh, coba lihat. Sudah waktunya makan siang. Pantas saja aku mulai lapar. Kau juga belum makan, kan?”
Jung Tae-Rio berkacak pinggang dan menunduk menatap lantai. Kemudian ia mengangkat kepala dan berkata, “Kalau begitu, kita pergi makan di luar saja.”
“Hei, kau mau kita berdua dilihat orang? Kau mau membuat hidupku susah?” tanya Ify.
“Lalu bagaimana?”
“Kita pesan pizza saja,” usul Ify cepat. “Sudah lama aku tidak makan pizza. Oke?”
“Sakit tenggorokan malah mau makan pizza?” tanya Jung Tae-Rio. “Kau makan bubur saja.”
“Tenggorokanku sudah sembuh,” protes Ify.
“Kapan kau akan membawaku menemui ibumu?”
Tae-Rio mengangkat kepala dan menatap gadis yang sedang menggigit potongan pizza di hadapannya itu dengan kaget. Lalu Ify tertawa dan berkata, “Bercanda. Tidak usah bingung begitu.”
Tae-rio kembali memakan pizza-nya tanpa berkata apa-apa.
“Bulan lalu sewaktu kau ke Amerika, apakah kau pergi untuk mengunjungi orangtuamu?” tanya Ify sambil lalu.
“Bagaimana kau bisa tahu aku pergi ke Amerika bulan lalu?” Tae-Rio balik bertanya.
Ify mengedikkan bahu. “Semua orang juga tahu,” katanya. “Di masa sekarang ini, tidak ada yang bisa disembunyikan selebriti. Orang-orang punya banyak cara untuk mencari tahu. Dari hal-hal yang mendasar, misalnya soal ibumu yang penulis, ayahmu komponis, dan soal mereka tinggal di Amerika Serikat, sampai ukuran bajumu dan jam berapa kau tidur di malam hari.”
“Benarkah?” Tae-Rio tersenyum dan menambahkan, “Jadi menurutmu tidak ada yang tidak diketahui orang-orang tentang aku?”
Ify terdiam sebentar untuk berpikir. Lalu, “Eh, ada,” kata Ify tegas.
“Apa?”
Ify tersenyum bangga dan menjawab, “Orang-orang tidak tahu kau mengenalku.”
Ah, dia benar. Mereka berdua punya rahasia. Entah kenapa hal ini membuat Tae-Rio senang.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Tae-Rio tiba-tiba.
Ify menatapnya, menunggu kata-katanya.
“Aku ingin tahu siapa orang yang meneleponmu tadi,” kata Tae-Rio. Ia melihat raut wajah Ify berubah maka ia cepat-cepat menambahkan, “Jangan katakan lagi dia itu teman dan jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.”
Ify membuka mulut dan menutupnya kembali. Tae-Rio menyadari gadis itu bimbang.
“Dia mantan pacarmu yang pernah kauceritakan?” tanya Tae-Rio hati-hati.
Ify menarik napas panjang dan mengembuskannya. Lalu ia mengangguk.
Tae-Rio tiba-tiba merasa tidak bersemangat. Ia bertanya lagi, “Untuk apa dia meneleponmu lagi setelah apa yang dilakukannya padamu?”
Ify mengangkat bahu. “Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Dia hanya mengajak ngobrol, makan, dan hal-hal kecil seperti itu.”
Tae-rio tidak menyadari suaranya bertambah keras. “Lalu kenapa kau masih mau menemuinya?”
Ify sampai menatapnya heran. “Kurasa aku… aku… entahlah.”
Tae-Rio bisa melihat Ify agak bingung menjawab pertanyaannya.
“Lagi pula… memangnya setelah berpisah harus bermusuhan?” kata Ify akhirnya.
“Sampai sekarang… kau masih menyukainya?” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Tae-Rio tanpa bisa dicegah. Lalu tanpa disadarinya, tubuhnya menegang menunggu jawaban gadis itu.
Ify terlihat ragu-ragu, lalu akhirnya menjawab, “Mungkin.”
“Apa?”
Ify menatapnya dengan agak bingung. “Mungkin,” katanya sekali lagi. “Mungkin aku memang masih punya perasaan terhadapnya. Entahlah.”
Mendadak Tae-Rio merasa susah bernapas. Matanya tertuju ke meja tapi tatapannya kosong. Pikirannya juga kosong.
Lalu ia mendengar suara Ify lagi. “Ini masalah pribadiku dan tidak ada hubungannya denganmu dan Paman. Tidak perlu cemas. Aku berjanji tidak akan mengatakan apa pun mengenai kalian berdua pada orang itu. Aku orang yang bisa membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan.”
Tae-Rio tertawa masam. “Begitu?”
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Ify tiba-tiba.
Tae-Rio menatap wajah gadis itu berubah serius, “Apa?”
Ify tidak menatap Tae-Woo, tapi memandang pizza di tangannya. “Kejadian empat tahun lalu… Bisa kau ceritakan?”
Tae-Rio tertegun. Ia tidak menyangka Ify akan menanyakan hal itu.
Ify meliriknya sekilas dan menambahkan, “Aku hanya ingin mendengar ceritanya dari sisimu… kalau kau tidak keberatan.”
Entah kenapa Tae-Rio merasa agak gelisah. Sampai sekarang ia masih belum bisa melupakan kejadian tersebut. Kecelakaan yang seakan-akan baru terjadi kemarin.
“Apa yang ingin kauketahui?”
“Semuanya.”
Tae-Rio menarik napas dalam-dalam. Pandangannya menerawang. Kata-katanya meluncur pelan dan datar. “Saat itu acara sudah berakhir. Hujan turun. Aku sudah berada di dalam mobil yang menunggu di pintu utama. Para penggemar masih berkerumun di sekeliling mobilku. Mereka berteriak-teriak, berdesak-desakan. Sopirku nyaris tidak bisa menjalankan mobil. Para petugas keamanan juga kewalahan membuka jalan agar mobil bisa lewat. Akhirnya mereka berhasil menahan para penggemar. Mobil pun mulai bergerak. Pelan, tidak cepat, karena aku masih melambaikan tangan kepada para penggemar. Lalu hal itu terjadi begitu saja.”
Tae-Rio mengernyitkan dahi mengingat saat-saat itu.
“Mobil direm mendadak. Ketika aku bertanya pada sopirku apa yang terjadi, dia berkata salah seorang penggemarku tertabrak. Seperti mimpi buruk. Semua orang jadi panik dan gadis itu cepat-cepat dilarikan ke rumah sakit. Kami tidak diizinkan melihatnya karena dokter harus melakukan pemeriksaan di ruang gawat darurat.”
“Aku sendiri tidak tahu pasti bagaimana kejadian sesungguhnya, tapi menurut beberapa saksi mata, para penggemar saling mendesak dan gadis ini terdorong jatuh ke depan tepat ketika mobilku lewat. Walaupun mobil tidak melaju kencang, kepala gadis itu membentur aspal sehingga…”
Tae-Rio mendengar napas Ify tersentak. Namun ketika mengangkat wajah, ia melihat gadis itu mengangguk kecil, meminta Tae-Rio melanjutkan cerita. Apa yang ada dalam benak gadis itu? Tae-Rio ingin tahu.
Masih dengan agak enggan, Tae-Rio melanjutkan, “Kudengar gadis itu bukan dari Seoul. Ia datang dari jauh untuk… Aku bahkan tidak sempat menjenguknya di rumah sakit karena ia langsung dibawa pulang entah ke mana. Kami hanya bisa menyampaikan ucapan turut berdukacita melalui media.”
Ify hanya diam.
“Bagaimana menurutmu?”
Ify tersentak dari lamunan. “Eh, apa?”
“Bagaimana menurutmu?” ulang Tae-Rio.
“Oh… entahlah… tapi kurasa… kau tidak salah.”
Tae-Rio menduga Ify gugup karena tidak tahu apa yang harus dikatakan setelah mendengar cerita itu. Tapi Tae-Rio merasa sikap itu lebih baik daripada berpura-pura memahami perasaannya.

No comments:

Post a Comment