Lima
“BERUNTUNG sekali kita bisa dapat tiket ini. Tempat duduk kita di
barisan paling depan, lagi! Kau tahu tidak, tiketnya sudah habis terjual dalam
setengah jam! Tapi kurasa itu bukan berita aneh. Sudah empat tahun Jung Tae-Rio
tidak mengeluarkan album, makanya aku yakin albumnya kali ini pasti hebat,”
kata Young-Via sambil mencium tiket masuk acara jumpa penggemar Jung Tae-Rio.
“Apakah aku harus menelepon Mister Kim dan mengucapkan terima kasih?”
“Ah, tidak usah. Aku sudah berterima kasih padanya,” sahut Ify
cepat-cepat.
Park Hyun-Shik memenuhi janjinya dan memberikan dua lembar tiket
kepada Ify. Tentu saja Ify langsung mengajak Kang Young-Via dan karenanya ia
harus mengarang cerita tentang asal-usul tiket itu. Ia berkata pada Young-Via
bahwa Mister Kim yang menghadiahkan tiket itu untuknya karena sudah
menyelesaikan tugas dengan sempurna. Yang benar saja! Kalau Mister Kim pernah
sebaik itu pada orang, namanya sudah pasti bukan Mister Kim. Tapi Young-Via
sama sekali tidak curiga dengan cerita itu.
Mereka tiba di tempat acara jumpa penggemar diselenggarakan dan
melihat ratusan gadis remaja berkerumun di pintu masuk. Ternyata penggemar
setia Jung Tae-Rio banyak sekali. Mereka membawa spanduk-spanduk besar, balon,
dan papan karton yang bertuliskan nama Jung Tae-Rio. Ify masih belum memahami
kenapa orang-orang itu begitu tergila-gila pada Jung Tae-Rio walaupun ia sudah
menghabiskan waktu bersama laki-laki itu seminggu terakhir ini. Ia
bertanya-tanya apakah ia akan merasa aneh melihat Jung Tae-Rio berdiri di
panggung dan menyanyi.
“Kali ini mereka membatasi jumlah penonton,” celetuk Young-Via.
“Acara jumpa penggemar yang sebelumnya jauh lebih ramai.”
Ify mengalihkan pandangan dari kerumunan penggemar Jung Tae-Rio
kepada temannya. “Benarkah?”
Kang Young-Via mengangguk tegas. “Tentu saja. Aku juga datang ke
acara jumpa penggemar yang dulu itu. Wah, yang datang banyak sekali. Kau tidak
akan bisa membayangkannya. Waktu itu aku sampai susah bernapas. Tidak heran
kalau banyak penggemarnya yang jatuh pingsan di acara itu, malah ada yang
sampai meninggal. Aku pernah cerita, kan? Kau ingat, Soon-Alyssa?”
Ify mengangguk dan merenung. “Aku pernah dengar tentang kejadian
itu, tapi karena belum pernah menghadiri acara seperti ini, aku tidak tahu
suasananya seperti apa.”
Kang Young-Via tersenyum dan menggandeng lengan Ify. “Walaupun
jumlah penontonnya sudah dikurangi, aku yakin mereka tetap liar. Kau akan bisa
merasakan suasananya. Oh ya, Jung Tae-Rio masih ingat padamu, tidak ya?”
Ify menatapnya kaget. “Maksudmu?”
Young-Via mendecakkan lidah. “Bukankah waktu itu kau sempat ke
rumahnya, bahkan dia mengantarkanmu pulang? Hei, kau ingatkan saja dia! Sewaktu
acara pembagian tanda tangan nanti, bilang kau pernah berjumpa dengannya.
Setelah itu kita pasti bisa mengobrol lebih lama. Ya? Ya? Kau harus menarik
perhatiannya kepada kita.”
“Apa? Bukannya sudah kubilang aku tidak mau orang-orang sampai
tahu malam itu aku bertemu dengannya?” sahut Ify. “Aku tidak mau terlibat gosip
semacam itu.” Oh ya, ia tahu benar ucapannya ini bertolak belakang dengan
keputusannya membantu Jung Tae-Rio.
“Kalau begitu tidak usah terang-terangan. Kau bisa memberikan
petunjuk-petunjuk yang bisa membuatnya—“
“Hei, Kang Young-Via! Sudahlah, kita masuk saja,” potong Ify
sambil cepat-cepat menarik tangan temannya masuk ke gedung.
Acara dimulai dan Jung Tae-Rio muncul diiringi jeritan para
penggemarnya. Ify agak terperangah karena para penggemar jung Tae-Rio
benar-benar penuh semangat dan jeritan mereka mengagumkan. Young-Via juga
menjerit dan mengibas-ngibaskan balon yang dipegangnya keras-keras. Melihat
temannya seperti itu, Ify jadi ikut bersorak dan menjerit walaupun suaranya
sudah jelas tidak terdengar di antara lengkingan penggemar-penggemar lain yang
lebih ahli dalam hal ini. Ify melihat Jung Tae-Rio berdiri di depan penonton
sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Pria itu mengenakan kaus hitam,
jaket putih, celana panjang putih, juga syal hitam-putih yang dibelinya bersama
Ify.
Kemudian Jung Tae-Rio mulai bernyanyi dan Ify membiarkan dirinya
dipengaruhi para penggemar Jung Tae-Rio yang liar. Ia ikut berteriak-teriak dan
mengibas-ngibaskan balon seperti Young-Via. Ify mengakui suara Jung Tae-Rio
memang bagus, sehingga ia tidak sempat memikirkan apakah memang terasa aneh
melihat laki-laki itu di panggung.
Jung Tae-Rio menyanyikan lagu-lagu dari album barunya, diselingi
perbincangan singkat dengan para penonton. Para penggemarnya terus saja
menjerit-jerit kesenangan, bahkan tidak sedikit yang jatuh pingsan. Yang
berikutnya adalah acara pembagian tanda tangan. Ify dan Young-Via ikut antre.
Ify melihat para penggemar satu per satu menjabat tangan Jung Tae-Rio
dan tersenyum bahagia, ada juga yang menangis saking gembiranya. Senyum ramah
Jung Tae-Rio tidak pernah lepas dari wajahnya. Kadang-kadang ia berbicara
pendek dan bercanda sebentar dengan beberapa penggemar. Ify bertanya-tanya
dalam hati apakah laki-laki itu tidak merasa lelah.
Ketika giliran Ify dan Young-Via sudah hampir tiba, Ify bisa
mendengar percakapan antara Jung Tae-Rio dan penggemarnya. Umumnya si penggemar
akan memuji penampilan dan lagunya, lalu Jung Tae-Rio akan berterima kasih
dengan sopan dan ramah sekali, setelah itu ia akan menanyakan nama si penggemar
dan membubuhkan tanda tangan di atas CD, poster, atau apa pun yang disodorkan
kepadanya.
Ketika akhirnya Ify berdiri di depan Jung Tae-Rio, laki-laki itu
tidak terlihat terkejut saat melihatnya. Ify mencoba bersikap seperti
kebanyakan penggemar Jung Tae-Rio yang lain dan menyodorkan CD Jung Tae-Ri yang
baru dibelinya tadi.
“Tae-Rio Oppa, aku suka lagumu,” kata Ify dengan
menggebu-gebu. Ia tidak memedulikan Young-Via
yang terus-menerus menyikutnya.
Ia mendengar Jung Tae-Rio terbatuk pelan dan membubuhkan tanda
tangan di sampul depan CD yang ia sodorkan. Kemudian dengan senyumnya yang
biasa, ia mengembalikan CD itu kepada Ify. Ify langsung meraih dan meremas
tangan Jung Tae-Rio yang menjulurkan CD, membuat laki-laki itu agak
terperanjat.
“Terima kasih, Tae-Rio Oppa. Terima kasih. Aku cinta
padamu,” serunya gembira. Di dalam hati ia tertawa terbahak-bahak melihat
ekspresi wajah laki-laki itu.
Ketika berjalan kembali ke tempat duduknya, Ify melihat Park
Hyun-Shik berdiri tidak jauh dari Jung Tae-Rio. Park Hyun-Shik juga melihatnya.
Ify membungkukkan badan sedikit untuk memberi salam yang dibalas Park Hyun-Shik
dengan senyuman dan acungan jempol. Pasti paman yang satu itu sudah melihat
adegan kecil tadi.
Setelah acara tanda tangan selesai, pembawa acara mengumumkan Jung
Tae-Rio akan membagikan hadiah khusus kepada sepuluh penggemar.
“Wah! Dia mau membagikan
hadiah! Apa ya?” Young-Via begitu bersemangat sampai tidak berhenti
bergerak-gerak di tempat duduknya.
“Topi,” jawab Ify tanpa sadar.
Jung Tae-Rio yang berdiri di samping pembawa acara berkata ia akan
menghadiahkan sepuluh topi yang sudah dibelinya sendiri. Kepala Young-Via
langsung menoleh ke arah Sandy.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya curiga.
Ify menjadi serbasalah dan buru-buru berkata, “Cuma asal tebak.
Biasanya artis suka memberikan hadiah topi. Kalau bukan topi ya gantungan kunci
atau bros.”
Young-Via tersenyum. “Mungkin kau benar. Dulu dia pernah
memberikan hadiah bros untuk penggemarnya. Sayangnya waktu itu aku tidak
kebagian.”
Topi-topi itu dibagikan kepada penggemar yang memenuhi syarat.
Misalnya ketika pembawa acaranya bertanya siapa yang membawa poster resmi Jung
Tae-Rio yang pertama, atau penggemar yang datang dari jauh, dan sebagainya. Ada
juga yang dipilih secara acak dengan melemparkan bola, dan barang siapa yang
menangkap bola itu akan mendapatkan hadiah. Semua orang bersenang-senang
termasuk Ify dan Young-Via.
“Nah, sekarang kami hanya punya satu topi terakhir,” kata pembawa
acara yang disambut jeritan para penggemar. Entah itu jeritan kecewa atau
bahagia karena bagi telinga Ify jeritan penggemar Jung Tae-Rio terdengar sama
saja.
“Itu punyaku!” seru Young-Via sekeras-kerasnya, berusaha
mengalahkan teriakan penggemar lain sambil melambai-lambaikan kedua tangan ke
arah si pembawa acara.
“Mungkin kalian ingat, sebelum acara dimulai kami meminta kalian
menuliskan nomor ponsel kalian pada secarik kertas dan memasukkannya ke kotak
besar yang di sana itu. Kalian tahu apa maksudnya?” tanya si pembawa acara.
terdengar gemuruh gumaman dari para penonton sementara mereka
melihat ke kanan-kiri dan bertanya-tanya.
“Saya akan menjelaskannya,” kata si pembawa acara lagi dan suasana
pun menjadi hening. “Begini, Jung Tae-Rio akan memilih salah satu nomor telepon
di dalam kotak itu secara acak dan dia akan menghubungi nomor telepon itu.
Barang siapa yang ponselnya nanti berbunyi, majulah ke depan, dan topi terakhir
ini akan menjadi miliknya. Sekarang kalian harus memegang ponsel kalian dan
pastikan ponsel kalian dalam keadaan aktif.”
Semangat para penonton melambung tinggi dan mereka sibuk mengeluarkan
ponsel mereka. Ify merasa ia sudah menjadi penggemar fanatik karena ia juga
sedang memegang ponselnya penuh harap seperti Young-Via.
“Sudah siap? Kita mulai ya?” seru Jung Tae-Rio yang disambut
jeritan para penggemar.
Ia memasukkan tangannya ke kotak besar itu dan mengaduk-aduk, lalu
mengeluarkan secarik kertas kecil. Para penggemar masih terus menjerit-jerit.
Lalu Jung Tae-Rio mengeluarkan ponselnya sendiri dan membuka flap-nya.
Jeritan ribuan penggemarnya semakin menjadi-jadi. Pembawa acara pun harus
menenangkan para penonton dengan berkata mereka tidak mungkin bisa mendengar
dering telepon kalau semua orang terus menjerit sepenuh hati seperti itu.
Akhirnya suasana kembali hening, kini hanya terdengar bisikan lirih di
sana-sini.
Jung Tae-Rio menekan-nekan tombol ponsel sambil melihat kertas
kecil di tangannya, lalu menempelkan ponsel itu ke telinga. Kertas kecil tadi
dimasukkan kembali ke kotak.
Detik-detik menunggu hubungan tersambung terasa begitu lama. Semua
orang di sana menatap ponsel mereka penuh harap. Tiba-tiba terdengar nada
panggil.
“Astaga!” Ify berteriak kaget ketika ponsel yang digenggamnya
berbunyi nyaring.
“Soon-Alyssa, ponselmu!” Young-Via menjerit sambil tertawa
histeris.
Para penonton mulai bersuara dan pembawa acara menyuruh Ify
berdiri dan menjawab ponselnya.
“Nona yang memakai baju biru, coba dijawab dulu. Apakah benar yang
menelepon Jung Tae-Rio?”
Ify sebenarnya tidak perlu menjawab karena di layar ponselnya
muncul tulisan “JTR”, nama yang disimpannya untuk nomor ponsel Jung Tae-Rio.
Memang benar Jung Tae-Rio yang meneleponnya, tapi Ify tetap membuka flap ponsel
dan menempelkannya ke telinga. Walaupun suasana saat itu riuh sekali karena
orang-orang bersorak dan bertepuk tangan, ia masih bisa mendengar suara Jung
Tae-Rio di telepon yang berkata, “Hei, majulah ke depan.”
Young-Via mencengkeram lengan Ify dan mengguncang-guncang keras
tubuhnya. Ify heran dari mana asal tenaga temannya itu. Akhirnya ia berhasil
membebaskan diri dari temannya dan maju dengan dikawal dua penjaga. Jantungnya
berdebar keras karena ini kali pertama baginya berdiri di depan orang banyak
yang terus bersorak dan menjerit. Ia bolak-balik membungkukkan badan ke arah
para penggemar juga kepada pembaca acara di panggung.
Ketika Ify berdiri di depan Jung Tae-Rio, ia menyadari baik Jung
Tae-Rio ataupun pembawa acara tidak memegang topi. Ia melihat si pembawa acara
memberi isyarat kepada salah seorang staf yang berdiri di pojok, tapi anggota
staf itu menggeleng.
Ada apa ini? Tidak ada topi? Ify yakin mereka sudah membeli
sepuluh buah dan ia tadi menghitung ada sembilan topi yang sudah dihadiahkan.
Pasti masih tersisa satu topi. Jangan-jangan Jung Tae-Rio mau mempermainkannya.
Si pembawa acara terlihat bingung tapi mencoba bersikap tenang.
Namun Jung Tae-Rio tiba-tiba berkata, “Wah, sepertinya topi yang terakhir
hilang. Saya benar-benar minta maaf. Bagaimana ya?”
Para penonton terdiam dan Ify menatap Jung Tae-Rio dengan mata
disipitkan. Pandangan curiga. Kalau Jung Tae-Rio memang sedang
mempermainkannya, ini benar-benar tidak lucu. Ia sudah gugup sekali berdiri di
bawah sinar lampu seperti ini dan sekarang ia harus menerima permainan Jung
Tae-Rio?
Si pembawa acara ikut menimpali, “Ya, maaf sekali. Sepertinya
memang topi yang terakhir hilang. Kami sedang mencarinya sekarang.”
Ify merasa seperti orang tolol, hanya berdiri diam di depan semua
orang. Ia memutuskan sebaiknya ia kembali ke tempat duduknya. Ketika ia
membalikkan tubuh, Jung Tae-Rio menahannya.
“Tunggu dulu,” katanya sambil tersenyum meminta maaf. “Karena
sudah tidak ada topi, bagaimana kalau kuberikan ini saja?”
Jung Tae-Rio melepaskan syal di lehernya dan melilitkannya di
leher Ify. Para penonton pun kembali berteriak dan menjerit. Ify memandang syal
bermotif kotak-kotak hitam-putih yang sekarang melilit lehernya. Ia menyentuh
syal itu dan mendongak menatap Jung Tae-Rio dengan tercengang. Laki-laki itu
sedang tertawa dan tawa di wajah itu membuat Ify akhirnya ikut tersenyum.
“Waah... kau beruntung sekali, Soon-Alyssa! Kau memang tidak
mendapat topi, tapi kau mendapat syal yang dipakainya. Aduh, aduh, jantungku...
Kalau aku jadi kau, aku pasti tidak akan bisa tidur malam ini,” kata Young-Via
antusias dalam perjalanan pulang dari acara tadi. Mereka berdua duduk di
barisan belakang bus yang tidak terlalu ramai.
“Ya, aku beruntung sekali,” kata Ify menyetujui sambil tersenyum.
Ia terus memandangi syal yang melilit lehernya. Tadi ia sempat mengira Jung
Tae-Rio sedang mempermainkannya, tapi ternyata tidak begitu. Tadinya, kalau
dugaan jelek Ify terbukti benar, ia berniat meninju Tae-Rio saat itu juga.
Tiba-tiba Young-Via menegakkan punggung dan mencengkeram lengan Ify.
“Tunggu dulu, Soon-Alyssa. Kau punya nomor telepon Jung Tae-Rio!”
Itu bukan pertanyaan dan Ify hanya bisa mengerjapkan mata dengan
bingung.
Young-Via menepuk lengan Ify dan berseru, “Tadi dia kan
menghubungi ponselmu dengan ponselnya, jadi artinya di ponselmu sekarang pasti
masih ada nomor ponselnya, kan?”
“Tidak!” bantah Ify cepat-cepat. Apa yang harus dikatakannya?
“Tadi... tadi sewaktu aku kembali ke tempat duduk setelah menerima hadiah, Jung
Tae-Rio sendiri yang bilang ponsel itu milik salah satu anggota stafnya. Lagi
pula, coba pikir, mana mungkin Jung Tae-Rio bisa sembarangan membiarkan nomor
ponselnya diketahui orang tak dikenal?”
Young-Via mengangguk-angguk. “Masuk akal juga.”
Ify mengembuskan napas lega dan menggerutu dalam hati. Sepanjang
kesepakatan ini, Jung Tae-Rio sudah banyak membuat masalah sendiri, tapi justru
Ify yang harus memperbaikinya. Mungkin laki-laki itu perlu ditinju.
“Hei, coba kulihat CD-mu yang ditandatangani tadi,” pinta Young-Via
sambil mengeluarkan CD miliknya sendiri.
Ify mengeluarkan CD-nya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada
temannya itu.
“Lihat, dia menulis ‘Untuk Kang Young-Via... dari Jung Tae-Rio’,”
kata Young-Via sambil menunjukkannya kepada Ify. Ia memekik senang dan
mengelus-elus kotak CD-nya. Ify hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan
temannya. Kemudian Young-Via beralih membaca tulisan di sampul depan CD milik Ify.
“Untuk Ify... dari Jung Tae-Rio.” Ia terdiam sesaat, lalu bertanya, “Ify?”
Ify langsung menoleh. “Kenapa?”
“Memangnya tadi kau memberitahunya nama Indonesia-mu, ya?” tanya
Young-Via.
“Oh, itu...” Ify agak gelagapan. “Ya, sepertinya begitu.”
Young-Via mengerutkan dahi dan menggeleng. “Tidak, tidak.
Sepertinya kau bahkan tidak menyebutkan namamu.”
“Masa sih?” ujar Ify kaget. Ia mulai panik dan cepat-cepat memutar
otak, berusaha keras mengingat acara tanda tangan tadi.
Young-Via meneruskan, “Aku berdiri tepat di belakangmu waktu itu.
Kau hanya bilang kau suka lagunya.”
Ify ingat, tapi ia berusaha membantah, “Ah, tidak. Aku bilang ‘Apa
kabar? Namaku Sandy. Tae-Rio Oppa, aku suka lagumu’. Aku yakin kok.
Kalau tidak, dari mana dia tahu namaku?”
Kenapa temannya yang satu ini pintar sekali sih? Untuk sesaat Ify
merasa takut akan ketelitian Kang Young-Via. Lama-kelamaan, kalau ia dan Jung
Tae-Rio terus melakukan kesalahan kecil seperti ini, ia akan kehabisan alasan.
Young-Via berpikir, lalu akhirnya mengangguk. “Benar juga ya?
Waktu itu berisik sekali, jadi mungkin aku tidak mendengarnya. Sudahlah, tidak
penting. Ngomong-ngomong, lagu yang dinyanyikannya tadi benar-benar bagus ya?”
“Acara hari ini sukses sekali. Kuucapkan selamat untukmu,” kata
Park Hyun-Shik. Ia dan Tae-Rio sudah kembali ke kantor manajemen. Dengan lega
ia menyandarkan punggung ke kursi kerja dan menatap Tae-Rio dengan gembira.
Tae-Rio menoleh ke arah manajernya dan tersenyum. “Memang. Aku
senang kita bisa melewatinya dengan baik sekali, tidak seperti yang dulu.”
“Semuanya baik-baik saja, kau tidak usah cemas,” kata Park
Hyun-Shik. Ia mengembuskan napas dan berkata, “Aku tahu kau sengaja menelepon Ify
tadi. Nomor yang tertera di kertas itu bukan nomor ponsel Ify, kan?”
Tae-Rio tertawa. “Memang. Tadi aku berniat mengerjainya, tapi
tidak jadi.”
Park Hyun-Shik ikut tertawa dan melonggarkan simpul dasinya. “Aku
sudah merasa aneh sewaktu kau memintaku menyimpan topi terakhir itu.”
Tae-Rio bangkit dari kursinya. “Hyong simpan di mana topi
itu?”
Park Hyun-Shik mengeluarkan topi yang ditanyakan dari balik jasnya
dan melemparkannya kepada Tae-Rio.
Tae-Rio menangkap topi kain kuning itu dengan santai dan
memandanginya. Ia ingat ia dan Ify sempat berbeda pendapat tentang topi kuning
yang satu ini. Menurut Ify topi itu bagus, sedangkan menurutnya warna kuningnya
terlalu mencolok. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir, topi kuning ini memang
tidak jelek.
“Hyong aku pulang dulu,” katanya sambil melambaikan
topinya.
“Ya, istirahat yang banyak. Minggu depan jadwalmu sangat padat,”
Park Hyun-Shik mengingatkan.
Enam
PONSELNYA masih berdering. Ify ragu apakah ia harus menjawabnya
atau tidak. Ia sudah melihat huruf-huruf muncul di layar ponselnya. Dari Mister
Kim. Hari ini hari Minggu dan seharusnya Ify tidak bekerja. Kenapa atasannya
menelepon? Tapi Ify juga tahu kalau teleponnya tidak dijawab, Mister Kim akan
terus meneleponnya sampai laut mengering.
Akhirnya ia menyerah dan meraih ponselnya.
“Hha-lho...” Salah satu alasannya malas menjawab telepon adalah
karena tenggorokannya sedang sakit dan ia tidak bisa berbicara seperti biasa.
Sekarang suaranya nyaris seperti bisikan angin.
Di seberang sana terdengar suara Mister Kim yang melengking.
“Astaga, Miss Han. Kenapa suaramu seperti hantu begitu? Aku tahu, aku tahu,
hari ini Minggu. Tapi aku harus tetap meneleponmu untuk meminta bantuan. Tolong
kauantarkan pakaian untuk Jung Tae-Rio, ya? Kami di sini sibuk sekali. Ya,
sibuk sekali. Tidak ada yang sempat membawakan pakaiannya. Tolong ya? Antarkan
ke rumahnya. Kau tahu alamat rumahnya? Tentu saja tidak, bodoh sekali aku.
Eeh... alamatnya di mana ya? Sebentar, ya... Mister Cha... MISTER CHA! Di mana
kutaruh alamat Jung Tae-Rio? Tolong carikan untukku. Miss Han, kembali ke
pembicaraan kita tadi. Begini saja, akan kukirim alamat Jung Tae-Rio lewat SMS
begitu kutemukan nanti. Kau bisa mengambil pakaiannya dari butik lalu langsung
pergi ke rumahnya ya? Thank you very much. Miss Han, kau baik sekali. Bye-bye!”
Ify mendengar telepon ditutup di ujung sana. Ia sama sekali tidak
punya kesempatan bicara. Kalaupun punya kesempatan, ia tidak akan bisa bicara
banyak. Ia menarik napas perlahan-lahan dan mengembuskannya perlahan-lahan
juga. Mungkin atasannya ini dari dulu sampai sekarang tidak akan bisa berubah.
Seenaknya sendiri.
Diktator, pikir Ify dalam hati sambil melotot kepada ponselnya.
Sebaiknya kau menambah gajiku atau aku akan mengundurkan diri. Lihat saja siapa
yang mau bekerja untukmu.
Kata-kata ini sudah sering diucapkannya, tapi ia belum pernah
benar-benar mengajukan surat pengunduran diri. Walaupun Mister Kim orang yang
aneh dan seenaknya, ify merasa bisa belajar banyak darinya. Sejak kecil Ify
suka sekali dunia fashion. Jadi, walaupun jalan tidak selalu lancar, ia
senang bisa bekerja dengan perancang busana terkenal yang tidak segan-segan
mengajarinya banyak hal.
Ify meneguk teh panasnya lagi dan duduk meringkuk di tempat tidur.
Hari memang sudah siang, tapi ia masih segan bangun dari sana. Pagi tadi begitu
ia bangun, tenggorokannya terasa sakit dan suaranya mulai serak. Mungkin ini
efek segala jeritan dan teriakannya kemarin di acara jumpa penggemar Jung Tae-Rio.
Kemarin ia memang menjerit sekuat tenaga bersama-sama ribuan penggemar lain.
Entah apa yang diteriakkannya, ia sendiri juga sudah lupa. Ia hanya terus
menjerit untuk meramaikan suasana. Akibatnya, hari ini berbisik saja susah!
Ify baru saja akan terlelap kembali ketika ia teringat perintah
Mister Kim. Sambil mendecakkan lidah dengan kesal dan mengumpat-umpat dalam
hati, ia bangun dan berganti pakaian.
Sekitar satu setengah jam kemudian, Ify sudah berdiri di depan
pintu rumah Jung Tae-Rio yang berada di kawasan perumahan mewah. Ia hanya bisa
terkagum-kagum dalam hati. Malam itu, ketika pertama kalinya datang ke sana, ia
tidak begitu memerhatikan sekelilingnya. Saat itu ia kan sedang frustasi.
Sekarang Ify baru bisa melihat jelas bentuk rumah yang tersembunyi di balik
pagar besi tinggi itu. Ia membiarkan matanya berpesta sepuasnya.
Rumah berlantai dua itu lumayan besar, dengan tembok putih,
beranda yang luas, dan banyak jendela kaca. Ify menyukai beranda di lantai dua.
Ia mengangkat tangan untuk menaungi mata dari sinar matahari dan mendongak
memerhatikan rumah itu dengan perasaan senang.
Lalu ia mengulurkan tangan dan memencet bel pintu.
Selanjutnya terdengar suara Jung Tae-Rio dari interkom.
Ify ragu. Ia berdehem, walaupun tindakan itu tidak membantu sama
sekali, memencet tombol interkom, dan menyebutkan namanya dengan suara serak.
“Apa? Siapa? Maaf, suaranya kurang jelas,” suara Jung Tae-Rio
terdengar lagi.
Ify mengulangi ucapannya sambil mengerutkan kening. Seharusnya
Jung Tae-Rio bisa melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintu. Rumah besar
seperti ini pasti dilengkapi kamera pengawas. Pasti. Kenapa laki-laki itu harus
membuat tenggorokannya bertambah sakit?
“Aku masih tidak mengerti apa yang kauucapkan. Tapi, baiklah.
Masuk saja, Ify.”
Sandy memalingkan wajahnya dan mendengus. Benar, kan? Jung Tae-Rio
sudah tahu siapa yang berdiri di depan pintu.
Sambil menjinjing gantungan baju beberapa pakaian yang dibungkus
plastik, Ify melewati pagar besi yang terbuka secara otomatis, lalu
mendorongnya sampai menutup dengan kakinya. Ia menaiki anak-anak tangga menuju
rumah besar itu.
Jung Tae-Rio sudah menunggu di depan pintu. Laki-laki itu
mengenakan kaus longgar kelabu dan celana panjang hitam. Rambutnya agak
berantakan karena tidak ditata. Ify menyadari Tae-Rio menatapnya dari kepala
sampai ke kaki, lalu tatapan laki-laki itu kembali ke wajahnya. “Ada apa
denganmu? Mana yang sakit?” tanya Jung Tae-Rio tanpa basa-basi.
Ify menunjuk lehernya.
“Sudah minum obat?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
Ify tersenyum dan mengangguk.
Jung Tae-Rio memandangnya, lalu bertanya, “Kenapa kemari?”
Ify mengacungkan pakaian-pakaian yang dibawanya. “Misther Kim...
coba pakhaian...”
Jung Tae-rio mengibaskan tangan. “Astaga... Aku tidak tahan
mendengar suaramu yang mengerikan itu. Ikut aku, Aku punya obat untukmu. Ayo,
masuk.”
Ify berusaha berbicara, tapi lehernya terlalu menyiksa. Akhrinya
ia menurut saja. Bagaimanapun ia tidak bisa melawan kata-kata Jung Tae-Rio
dalam keadaan seperti ini. Tunggu saja sampai suaranya kembali seperti semula.
Di dalam rumah, ia melepaskan sepatu dan mengenakan sandal rumah
yang ditunjukkan Jung Tae-Rio.
Bagian dalam rumah itu ditata rapi sekali. semua perabot dan
hiasan di dalam rumah itu terkesan mewah. Setelah meletakkan pakaian di sofa
terdekat, Ify mengamati foto-foto yang tergantung di dinding. Kebanyakan foto
sepasang pria dan wanita setengah baya. Ify menduga mereka orangtua Jung Tae-Rio.
Ada juga beberapa foto Jung Tae-Rio sewaktu kecil, remaja, dan saat ini.
Begitu asyiknya Ify mengamati foto-foto itu sampai-sampai ia tidak
menyadari Jung Tae-Rio sudah berdiri di sampingnya.
“Kenapa tiba-tiba sakit tenggorokan? Kemarin bukannya biasa-biasa
saja?” tanyanya.
“Kemarinh... jhumpa pengghemar... menjerith,” Ify berusaha
menjelaskan terpatah-patah.
Jung Tae-Rio tertawa. “Ah, jadi karena kemarin kau ikut
menjerit-jerit? Anak bodoh. Minum ini,” katanya sambil mengulurkan gelas berisi
cairan berwarna cokelat pekat.
Ify menerimanya dengan bimbang.
“Tidak usah kuatir. Itu bukan obat bius. Minum saja dan sebentar
lagi tenggorokanmu akan membaik.”
Ify menatap Jung Tae-Rio yang berjalan kembali ke dapur. Setelah
dengan ragu-ragu meminum cairan itu, yang ternyata lumayan enak, ia kembali
melihat-lihat sekeliling ruangan. Ada grand piano putih di ruang tengah
yang tidak diingatnya ada di sana ketika pertama kali datang ke rumah itu. Ify
mengelus permukaan piano tersebut dan membuka tutupnya. Ia memang tidak bisa
memainkan alat musik, tapi ia suka mendengarkan musik. Ia menekan salah satu
tuts piano dan tersenyum sendiri.
“Hei, jangan pegang-pegang sembarangan.”
Ify mengangkat kepala dan
melihat Jung Tae-Rio berjalan menghampirinya. Ia melambai-lambaikan tangan
menyuruh Jung Tae-Rio datang sambil menunjuk piano.
“Apa?” tanya Jung Tae-Rio bingung setelah berdiri di dekat piano.
“Mainhkhan,” Ify berbisik serak sambil menggerak-gerakkan jari
tangan seperti sedang bermain piano.
“Kau mau aku main piano?”
Ify mengangguk dan menarik Jung Tae-Rio supaya duduk di kursi
piano.
Jung Tae-Ri duduk dengan enggan dan berkata, “Kau mau bayar
berapa?”
“Appha?” tanya Ify sambil menggerakkan dagu.
“Kau mau bayar berapa untuk permainanku ini?” Jung Tae-Rio
mengulangi.
Ify mendorong bahu laki-laki itu dan menunjuk piano dengan tegas.
“Ya, ya. Aku mengerti,” kata Jung Tae-Rio.
Suara dentingan piano yang lembut mulai terdengar. Ify berdiri di
samping piano, menopangkan dagu di atasnya sambil melihat jemari tangan Jung
Tae-Rio menari-nari di atas tuts piano. Ketika alunan nada yang dimainkan
laki-laki itu akhirnya berhenti, Ify bertepuk tangan.
“Bagus sekali!” katanya, lalu memegang leher. “Eh, tenggorokanku
sudah tidak terlalu sakit lagi.”
Jung Tae-Rio tersenyum. “Sudah kubilang obatnya manjur.”
“Mainkan satu lagu lagi,” pinta Ify.
Tiba-tiba terdengar nada dering ponsel. Ify merogoh saku celana
dan mengeluarkan ponselnya. Raut wajahnya berubah ketika melihat layarnya. Ia segera
membuka flap ponsel dan berjalan menjauh dari Jung Tae-Rio agar
laki-laki itu tidak mendengar pembicaraannya.
“Halo? Ada apa, Jeong-Iel ssi?” Ify berbicara dengan nada
rendah. “Apa? Sekarang? Aku... tidak bisa. Aku sedang... eh...”
“Telepon dari Hyun-Shik Hyong, ya?” seru Jung Tae-Rio
keras.
Ify terlompat kaget dan buru-buru menutup ponsel dengan tangan.
Tapi tidak ada gunanya, Lee Jeong-Iel sudah mendengar kata-kata itu dengan
jelas.
“Soon-Alyssa, kau sedang bersama seseorang?” tanya Lee Jeong-Iel
dengan nada curiga.
Ify membelalak kepada Jung Tae-Rio yang memasang tampang polos tak
berdosa, lalu berkata pelan, “Ya. Aku harus pergi. Sudah dulu ya?”
Ify menutup ponsel dan berkacak pinggang. Jung Tae-Rio sudah gila
ya? Kalau memang Paman Park Hyun-Shik yang menelepon, Ify kan tidak mungkin
berbicara dengan suara pelan seperti tadi. Orang aneh!
“Jung Tae-Rio, kau ini kenapa? Kau mau orang-orang tahu tentang
kita?” tanya Ify sambil menatap Tae-Rio yang bangkit dari piano.
Jung Tae-Rio kelihatannya tidak peduli. Ia hanya melewati Ify dan
berkata, “Aku ke kamarku sebentar.”
Ify memandangi sosok Jung Tae-Rio yang menaiki tangga dengan
cepat, lalu menghilang di ujung tangga. Benar-benar orang aneh! Ify menggeleng
dan kembali melihat-lihat rumah Jung Tae-Rio. Jarang ada orang yang bisa masuk
ke rumah artis. Kesempatan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Ia sedang mengamati tongkat pemukul bisbol dengan perasaan heran
ketika mendengar ponselnya berbunyi lagi.
Siapa lagi? Jangan-jangan Lee Jeong-Iel, katanya pada diri sendiri
sambil melihat ke kanan-kiri, mencari asal bunyi. Tadi ponselnya ia taruh di
mana ya? Ah, itu dia, di atas piano.
Ia berlari ke arah piano dan langsung membuka flap ponsel.
“Halo?”
“Halo? Siapa ini?” tanya suara wanita di ujung sana.
Ify mengerutkan dahi. Ia tidak mengenali suara wanita itu. Maka ia
bertanya, “Ini Han Soon-Alyssa. Anda ingin mencari siapa?”
Suara wanita itu tidak ragu-ragu ketika menjawab, “Bukankah ini
ponsel Jung Tae-Rio?”
Ify terkejut. Astaga! Lagi-lagi ia mengambil ponsel yang salah. Ia
memutar kepala ke sekeliling ruangan dan melihat ponselnya tergeletak di meja
makan. Bagaimana ini?
“Oh... Benar, ini memang ponsel Jung Tae-Rio,” kata Ify agak
gugup. “Akan saya panggilkan dia.”
Wanita di ujung sana tiba-tiba menahannya. “Tunggu sebentar. Anda
ini nona yang ada di foto bersama Tae-Rio itu, ya?”
Ify menahan napas dan berpaling ke arah tangga, berharap Jung Tae-Rio
segera muncul.
“Anu... saya...” Ify sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Ia tidak pernah diberitahu bagaimana cara menghadapi orang-orang yang
menanyakan hubungannya dengan Jung Tae-Rio.
“Tidak apa-apa,” suara wanita itu berubah ramah. “Aku ibu Jung
Tae-Rio.”
Astaga! Ibunya? Pengetahuan ini malah membuat Ify panik.
“Ah, apa kabar, Bibi?” kata Ify berusaha terdengar tenang meski
sebenarnya ia bergerak-gerak gelisah. Kemudian Ify menutup ponsel dengan tangan
dan berseru memanggil Tae-Rio dengan suaranya yang masih sedikit serak. “Jung
Tae-Rio ssi!”
Ia kembali menempelkan ponsel ke telinga dan berkata, “Sebentar
lagi Jung Tae-Rio ssi akan turun.”
Ibu Jung Tae-Rio tertawa pelan. “Senang sekali bisa mendengar
suaramu walaupun Tae-Rio belum memperkenalkan kita. Dasar anak itu. Tadi kau
bilang namamu Han Soon-Alyssa, bukan? Kedengarannya kau sedang flu. Kau tidak
apa-apa?”
“Oh, saya tidak apa-apa.” Tepat pada saat itu ia melihat Jung Tae-Rio
menuruni tangga, ia cepat-cepat berlari ke arah laki-laki itu.
“Jung Tae-Rio ssi sudah di sini. Silakan Anda bicara
dengannya,” kata Ify di telepon, lalu menyodorkan ponsel ke Tae-Rio.
Jung Tae-Rio menerima ponsel itu dengan bingung. “Siapa?”
“Ibumu,” bisik Sandy panik.
Tae-Rio mengangkat alis karena terkejut dan menjawab telepon. “Halo,
Ibu?” Lalu tiba-tiba ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Bahkan Ify bisa
mendengar suara ibu Jung Tae-Woo yang berteriak keras.
Akhirnya Jung Tae-Rio menempelkan ponsel kembali ke telinga dan
berkata, “Bukannya aku tidak mau menceritakannya pada Ayah dan Ibu, hanya saja
menurutku… Aku tahu… Apa? Aku di rumah. Ya, baiklah. Akan kujelaskan kepada
Ayah nanti. Apa? … Dia?”
Ify agak bingung ketika laki-laki itu menatapnya.
“Sebentar,” kata Jung Tae-Rio, lalu mengulurkan ponsel ke Ify.
Ify menatap Jung Tae-Rio dan ponsel itu bergantian.
“Ibuku mau bicara denganmu,” kata Jung Tae-Rio sambil meletakkan
ponsel ke tangan Ify. “Tidak apa-apa.”
Ify menggigit bibir dan menatap Jung Tae-Rio. Kemudian ia
menempelkan ponsel itu ke telinga dan menyapa ibu Jung Tae-Rio. Ia mendengarkan
perkataan wanita yang lebih tua itu sebentar sambil mengangguk-angguk dan
sesekali berkata “baik” dan “saya mengerti”. Akhirnya ia mengucapkan “sampai
jumpa” dan menutup ponsel.
“Ibuku bilang apa?” tanya Jung Tae-Rio ketika Ify mengembalikan
ponselnya.
Ify balas bertanya, “Apa yang kaukatakan pada ibumu tentang aku?”
“Aku bahkan belum sempat mengatakan apa-apa,” kata Jung Tae-Rio.
“Ayahku melihat foto-foto kita di internet dan ibuku menelepon untuk menanyakan
kebenarannya.”
SIfy hanya mengangguk-angguk. “Oh, foto-foto kita ada di internet
juga?”
“Lalu ibuku bilang apa padamu?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
Ify tersenyum. “Katanya aku harus mengawasi makanmu karena kau
sering lupa makan kalau sudah sibuk bekerja. Katanya aku harus banyak bersabar
kalau menghadapimu, apalagi kalau kau sedang uring-uringan. Katanya sebenarnya
kau anak yang baik dan tidak akan membuatku kecewa. Ibumu juga bilang ingin
bertemu denganku dan memintamu membawaku ke Amerika untuk menemuinya.”
Jung Tae-Rio mengerang. “Cerewet sekali. Kenapa ibuku begitu baik
padamu? Padaku tadi dia malah berteriak-teriak.”
Ify mengangkat bahu. “Mungkin ibumu lebih suka anak perempuan.
Hei, kalau tidak salah, ibumu penulis buku, ya? Aku pernah membaca salah satu
bukunya dan aku suka sekali. Ibumu benar-benar berpikir aku pacarmu, ya? Wah,
hebat.”
Jung Tae-Rio tidak mengacuhkan kata-kata Ify dan bertanya, “Kenapa
kau menjawab teleponku?”
Ify berdeham dan menjawab, “Kupikir ponselku yang berbunyi. Tadi
kan memang ada yang meneleponku. Sewaktu ponselmu berbunyi, kukira dia
menelepon lagi. Sudah kubilang kau harus mengganti nada deringmu.”
“Siapa yang menelepon?”
“Teman,” sahut Ify sambil memalingkan wajah. “Oh, coba lihat.
Sudah waktunya makan siang. Pantas saja aku mulai lapar. Kau juga belum makan,
kan?”
Jung Tae-Rio berkacak pinggang dan menunduk menatap lantai.
Kemudian ia mengangkat kepala dan berkata, “Kalau begitu, kita pergi makan di
luar saja.”
“Hei, kau mau kita berdua dilihat orang? Kau mau membuat hidupku
susah?” tanya Ify.
“Lalu bagaimana?”
“Kita pesan pizza saja,” usul Ify cepat. “Sudah lama aku
tidak makan pizza. Oke?”
“Sakit tenggorokan malah mau makan pizza?” tanya Jung Tae-Rio.
“Kau makan bubur saja.”
“Tenggorokanku sudah sembuh,” protes Ify.
“Kapan kau akan membawaku menemui ibumu?”
Tae-Rio mengangkat kepala dan menatap gadis yang sedang menggigit
potongan pizza di hadapannya itu dengan kaget. Lalu Ify tertawa dan
berkata, “Bercanda. Tidak usah bingung begitu.”
Tae-rio kembali memakan pizza-nya tanpa berkata apa-apa.
“Bulan lalu sewaktu kau ke Amerika, apakah kau pergi untuk
mengunjungi orangtuamu?” tanya Ify sambil lalu.
“Bagaimana kau bisa tahu aku pergi ke Amerika bulan lalu?” Tae-Rio
balik bertanya.
Ify mengedikkan bahu. “Semua orang juga tahu,” katanya. “Di masa
sekarang ini, tidak ada yang bisa disembunyikan selebriti. Orang-orang punya
banyak cara untuk mencari tahu. Dari hal-hal yang mendasar, misalnya soal ibumu
yang penulis, ayahmu komponis, dan soal mereka tinggal di Amerika Serikat,
sampai ukuran bajumu dan jam berapa kau tidur di malam hari.”
“Benarkah?” Tae-Rio tersenyum dan menambahkan, “Jadi menurutmu
tidak ada yang tidak diketahui orang-orang tentang aku?”
Ify terdiam sebentar untuk berpikir. Lalu, “Eh, ada,” kata Ify
tegas.
“Apa?”
Ify tersenyum bangga dan menjawab, “Orang-orang tidak tahu kau
mengenalku.”
Ah, dia benar. Mereka berdua punya rahasia. Entah kenapa hal ini
membuat Tae-Rio senang.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Tae-Rio tiba-tiba.
Ify menatapnya, menunggu kata-katanya.
“Aku ingin tahu siapa orang yang meneleponmu tadi,” kata Tae-Rio.
Ia melihat raut wajah Ify berubah maka ia cepat-cepat menambahkan, “Jangan
katakan lagi dia itu teman dan jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.”
Ify membuka mulut dan menutupnya kembali. Tae-Rio menyadari gadis
itu bimbang.
“Dia mantan pacarmu yang pernah kauceritakan?” tanya Tae-Rio
hati-hati.
Ify menarik napas panjang dan mengembuskannya. Lalu ia mengangguk.
Tae-Rio tiba-tiba merasa tidak bersemangat. Ia bertanya lagi,
“Untuk apa dia meneleponmu lagi setelah apa yang dilakukannya padamu?”
Ify mengangkat bahu. “Entahlah. Aku juga tidak mengerti. Dia hanya
mengajak ngobrol, makan, dan hal-hal kecil seperti itu.”
Tae-rio tidak menyadari suaranya bertambah keras. “Lalu kenapa kau
masih mau menemuinya?”
Ify sampai menatapnya heran. “Kurasa aku… aku… entahlah.”
Tae-Rio bisa melihat Ify agak bingung menjawab pertanyaannya.
“Lagi pula… memangnya setelah berpisah harus bermusuhan?” kata Ify
akhirnya.
“Sampai sekarang… kau masih menyukainya?” Kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulut Tae-Rio tanpa bisa dicegah. Lalu tanpa disadarinya,
tubuhnya menegang menunggu jawaban gadis itu.
Ify terlihat ragu-ragu, lalu akhirnya menjawab, “Mungkin.”
“Apa?”
Ify menatapnya dengan agak bingung. “Mungkin,” katanya sekali
lagi. “Mungkin aku memang masih punya perasaan terhadapnya. Entahlah.”
Mendadak Tae-Rio merasa susah bernapas. Matanya tertuju ke meja
tapi tatapannya kosong. Pikirannya juga kosong.
Lalu ia mendengar suara Ify lagi. “Ini masalah pribadiku dan tidak
ada hubungannya denganmu dan Paman. Tidak perlu cemas. Aku berjanji tidak akan
mengatakan apa pun mengenai kalian berdua pada orang itu. Aku orang yang bisa
membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan.”
Tae-Rio tertawa masam. “Begitu?”
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” kata Ify tiba-tiba.
Tae-Rio menatap wajah gadis itu berubah serius, “Apa?”
Ify tidak menatap Tae-Woo, tapi memandang pizza di
tangannya. “Kejadian empat tahun lalu… Bisa kau ceritakan?”
Tae-Rio tertegun. Ia tidak menyangka Ify akan menanyakan hal itu.
Ify meliriknya sekilas dan menambahkan, “Aku hanya ingin mendengar
ceritanya dari sisimu… kalau kau tidak keberatan.”
Entah kenapa Tae-Rio merasa agak gelisah. Sampai sekarang ia masih
belum bisa melupakan kejadian tersebut. Kecelakaan yang seakan-akan baru
terjadi kemarin.
“Apa yang ingin kauketahui?”
“Semuanya.”
Tae-Rio menarik napas dalam-dalam. Pandangannya menerawang.
Kata-katanya meluncur pelan dan datar. “Saat itu acara sudah berakhir. Hujan
turun. Aku sudah berada di dalam mobil yang menunggu di pintu utama. Para
penggemar masih berkerumun di sekeliling mobilku. Mereka berteriak-teriak,
berdesak-desakan. Sopirku nyaris tidak bisa menjalankan mobil. Para petugas
keamanan juga kewalahan membuka jalan agar mobil bisa lewat. Akhirnya mereka
berhasil menahan para penggemar. Mobil pun mulai bergerak. Pelan, tidak cepat, karena
aku masih melambaikan tangan kepada para penggemar. Lalu hal itu terjadi begitu
saja.”
Tae-Rio mengernyitkan dahi mengingat saat-saat itu.
“Mobil direm mendadak. Ketika aku bertanya pada sopirku apa yang
terjadi, dia berkata salah seorang penggemarku tertabrak. Seperti mimpi buruk.
Semua orang jadi panik dan gadis itu cepat-cepat dilarikan ke rumah sakit. Kami
tidak diizinkan melihatnya karena dokter harus melakukan pemeriksaan di ruang
gawat darurat.”
“Aku sendiri tidak tahu pasti bagaimana kejadian sesungguhnya,
tapi menurut beberapa saksi mata, para penggemar saling mendesak dan gadis ini
terdorong jatuh ke depan tepat ketika mobilku lewat. Walaupun mobil tidak
melaju kencang, kepala gadis itu membentur aspal sehingga…”
Tae-Rio mendengar napas Ify tersentak. Namun ketika mengangkat
wajah, ia melihat gadis itu mengangguk kecil, meminta Tae-Rio melanjutkan
cerita. Apa yang ada dalam benak gadis itu? Tae-Rio ingin tahu.
Masih dengan agak enggan, Tae-Rio melanjutkan, “Kudengar gadis itu
bukan dari Seoul. Ia datang dari jauh untuk… Aku bahkan tidak sempat
menjenguknya di rumah sakit karena ia langsung dibawa pulang entah ke mana.
Kami hanya bisa menyampaikan ucapan turut berdukacita melalui media.”
Ify hanya diam.
“Bagaimana menurutmu?”
Ify tersentak dari lamunan. “Eh, apa?”
“Bagaimana menurutmu?” ulang Tae-Rio.
“Oh… entahlah… tapi kurasa… kau tidak salah.”
Tae-Rio menduga Ify gugup karena tidak tahu apa yang harus
dikatakan setelah mendengar cerita itu. Tapi Tae-Rio merasa sikap itu lebih
baik daripada berpura-pura memahami perasaannya.
No comments:
Post a Comment