Saturday, 16 June 2012

Boy Sitter [7]


Boy Sitter [7] : Oh-My-God!
OH-MY-GOD!!!
Ya Tuhan.! Ya Tuhan..! ya Tuhan!
Rio.. Rio…!! RAG leader sedang tertidur pulas di hadapanku!
Rio... putranya Bu Nira.. yang akau kuasuh selama seminggu ke depan.
Aku melongo dan menatap Bu Nira heran. Bu Nira menghembuskan napas besar, kelihatan sekali pasrah, “Tuh, kan. Udah saya bilang. Setiap babysitter yang melihat anak saya, Dede…….”
Aku masih melongo, kaget, heran.
Rio.. dia bayi monster!
“Ya-ya. Anak saya tujuh belas tahun.  Dan kemarin… saya tau kalau kamu adalah teman sekolahnya. Jadi….. gimana?”
Meskipun masih kaget, akhirnya aku mengatupkan mulut dan bernapas terburu-buru.  Aku hanya menoleh Bu Nira sekilas dan kembali menatap kaget wajah Rio.
“Oke, pasti kamu sekarang akan bilang, tidak!” Tiba-tiba Bu Nira pesimis.
Aku menghembuskan napas besar dua kali, “Bu-bukan begitu Bu… maksudku………” Bu Nira menatapku dalam. Sorot matanya penuh harapan.
Lalu, aku menghela napas panjang, menutup mataku sejenak, dan menjawab. “Oke, bukan masalah..”
Bu Nira tersenyum. “Baiklah. Terima kasih. Tapi…… apa kamu bisa menjaga rahasia ini?”
Aku yang masih kaget, mendongak, menatap Bu Nira. “Maksudnya?”
“Yaaaaa.. yang saya tau, cewek suka ngumbar berita.  Jadi… bisakah saya memastikan kalau kamu nggak akan ngasih tau hal ini pada temanmu yang lain?”
Dahiku mengernyit. “Ngng.. maaf. Saya bukan tipe cewek yang suka mengumbar seperti orang lain. Saya selalu menjaga rahasia orang sesepele apapun itu.  Pernahkan Rio menceritakan tentang sekolahnya ketika saya benar-benar menjaga rahasia cewek-cewek model meskipun kami bermusuhan?”
Bu Nira berpikir sebentar, “ ngngn.. Ya-ya. Dede menceritakan hal itu.  Waktu itu, kamu tau rahasia tentang Mozon,  dan ketika Rebonding Galz menginterogasimu, kamu tetap menjaga rahasia itu.  Ditambah pada saat itu kamu sedang dalam ancaman besar… dan kata Dede juga, rahasianya nggak pernah terbongkar sampai saat ini.”
“Sepertinya, Rio menceritakan setiap detil yang ada di sekolah. Sampai-sampai ibu tau tentang Mozon, Rebonding galz.”
“Tentu saja, Dede nggak pernah lupa menceritakan kesehariannya di sekolah,  termasuk cewek-cewek nyebelin yang bernama Tweenies. Yang ternyata itu kamu. Dede selalu curhat sebelum tidur.”
Tik, tok! Tik, tok!
 Detakan jam dinding membuatku melirik ke arahnya, lalu melirik Bu Nira. “Bu… pesawat anda jam Sembilan, bukan?”
Bu Nira mengangguk dan tersenyum. “jadi….. bisakah.. saya.. tau, kenapa Rio bisa seperti ini padahal di sekolah sama sekali nggak mungkin?” tanyaku tersenyum memperlihatkan semua gigi.
Bu Nira tertawa kecil, lalu mengajakku duduk di sofa. Aku bangkit dan mengikutinya, bersiap mendengarkan ceritanya.
“Ya, mungkin kamu kaget dengan anak saya, Dede. Atau biasa kamu sebut, Rio. Atau juga Bison.  Di sekolah,pasti yang kamu temukan darinya adalah sosok cuek, judes, sombong, dan yaa… dia selalu jijik sama cewek-cewek yang coba deket sama dia.” aku tersenyum kecil, mengangguk.
“Tapi,, di rumah.. dia lain banget. Dia anak saya satu-satunya yang tinggal di Indonesia. Sisanya sih, pada going abroad and live there. Dan kasih sayang, harta, juga perhatian yang melimpah membuat Dede tumbuh menjadi anak manja.  Tapi untungnya, Dede juga bandel. Malu dong, punya anak manja doang. Kalo punya yang bandel juga oke-oke aja,meskipun manja. Dede juga childish banget. Terkadang jahil, usil, dan ngeselin.  Pokonya komplikasi banget, deh. Susah diurus sama satu orang.”
Aku tersenyum heran, “Oya?”
“Untuk itulah, saking susahnya ngurus seorang Dede, kamu adalah babysitter yang ke enam puluh tujuh sampai saat ini.  Saya udah nyewa babysitter sebanya itu, karena memang nggak pernah ada yang kuat buat ngurus Dede. Kebanyakan berhenti di tengah jalan. Ah, itu alasan saja. Buktinya, saya ibu kandungnya masih kuat tinggal dengannya hingga tujuh belas tahun terakhir. Dan meskipun beberapa orang berhasil menyelesaikan tugasnya, namun begitu pulang, langsung terserang demam tujuh hari tujuh malam, dan menderita trauma sepanjang hidup.”
Aku menghembuskan napas besar. Pfuih.. I’m heading for my next big things in my life now…benarkah pengasuh-pengasuh sebelumku separah itu??
“Kebanyakan, babysitter-nya udah berumur, dan jarang ngerti perasaan Dede. Menyedihkan. Pernah juga saya sewa psikiater dan psikolog sekaligus, tapi dua-duanya malah disiram teh  manis sama Dede dari balkon. Kabur juga, deh! Oh iya, pernah juga ada cewek seusia kamu yang saya terima disini buat ngasuh Dede. Tapi, Dede malah genit godain cewek itu,dan cewek itu nggak tahan. Lalu, pergi gitu aja.”
“Nggak tahan?”
“Ya, nggak tahan buat nolak. Cewek itu takut terjadi sesuatu yang ngga diinginkan, makanya dia langsung pergi sebelum terjadi sesuatu yang terlalu jauh.  Makanya, saya berani nerima kamu, karena kamuu musuh Dede, dan…sepertinya nggak mungkin mau nerima godaan Dede. Dede pun nggak mungkin ngegodain kamu.”
Aku mengangkat alisku sebelah. “Belum tentu kan, Bu?”
“Ya… setidaknya Dede bakalan takut sama kamu.”
“Takut? Maksudnya?”
“Yang saya tau sih, Dede takut banget sama yang namanya Tweenies.  Dia sebenernya agak grogi, lho ngobrol sama kalian.” Tiba-tiba HP Bu Nira berbunyi, “Maaf, sebentar!” Bu Nira bangkit, menjauh menerima telepon.
Aku juga ikut bangkit dari duduk, melangkah pelan mendekati Rio.
Oh-my- god! Oh-my-god! Entah berapa kali, aku harus mengucapkan kalimat itu.
Oh my god! Bener-bener nggak nyangka. Seorang Rio…. Hari ini berada di bawah asuhanku… di bawah asuhanku! Oh, aku mimpi apa semalem?  Perasaan sih, aku mimpiin si Ardhya! Kok, bisa-bisanya aku ngasuh cowok keren ini…bahkan.. digaji dua belas juta! Ya ampun…. Ada apa ini? Kenapa ini?!
Menyenangkan yang aneh.
“Baiklah.. baiklah.. aku segera kesana.” Bu Nira menutup HP-nya, berbalik kembali mengajakku bicara, “Ngng.. Ify, bisa.. saya tinggalkan kamu sekarang?”
Aku berbalik dan menatap bingung Bu Nira.
“Pesawat dimajukan keberangkatannya. Sayaa udah ditunggu semua rekan saya di bandara. Saya harus ke Jakarta dulu. Masalahnya, nggak ada pesawat yang menggunakan rute Bandung-New York saat ini. Terlalu jauh. Sedangkan pesawat yang di Jakarta, memajukan keberangkatannya tiga puluh menit. Jadi.. yaa… apa kamu bisa saya tinggalkan sekarang?”
Aku menoleh menatap Rio, berpikir sekilas, menoleh lagi menatap Bu Nira. Kuanggukkan kepala, sambil tersenyum ramah.
“Oh, terima kasih!” Bu Nira mendekatiku, memelukku. “Ku mohon, jagalah Dede dengan baik. kalau kau ingin menanyakan sesuatu Tanya saja ke Mbok Jess. Atau Nince juga boleh.  Tapi kalau mau langsung menggunakan notebook  di ruangan kerjaku, kirimlah e-mail padaku. Alamatnya tepat di bawah notebook. Mengerti?” aku mengangguk cepat.
“Baiklah, aku keluar dulu. Salam untuk Rio.” Bu Nira keluar kamar Rio, menenteng blazernya. Kuikuti dia sampai pintu depan, dan kami udah disambut pembantu genit tadi, juga pembantu lain yang udah berumur. Bu Nira melambai pada kedua pembantu itu, lalu memakai kacamata hitam, dan mengangkat kopernya.
 Aku langsung berjejer di antara kedua pembantu itu, menatap Bu Nira yang meninggalkan kediaman ini di atas sebuah Mercy beserta sopir pribadi.
“Hm.. sepi lagi, deh!” keluh pembantu genit itu. Aku menoleh. Menatapnya ingin berkenalan.
“Halo… saya.. saya..” Aku ingin sekali berkenalan diri, tapi rasanya canggung.
“Oke, daku tau. Kau babysittah baru, kan?” Tanya pembantu genit itu, masih dengan gayanya yang genit. Telunjuknya pun masih memilin rambutnya yang ikal. “Nama daku… Unie. Lengkapnya, Unie Sarunie Marunie Nanonie Simponie Jasmanie Rohanie Lahunie Ninie Ninie. Panggil aja aku Unie. Atau, panggilan sayangku, Nince...”
 “Hihihii.. “ Tiba-tiba pembantu yang agak tua tertawa kecil. “Ses, jangan heran melihat tingkah lakunya. Nince emang begitu. Tenang aja, nggak gigit kok! Namaku Jessica Jennifer Jaenab. Nama aslinya, sih Juju Juariah. Tapi.,,panggil eke Mbok Jess aja. Ses sendiri namanya siapa?”
“Saya.. saya Ify. Babysitter-nya Rio. Eh maksud saya, Dede. Saya temen sekolahnya, kok!”
“Ooohh.. gitu,  ta? Met berjuang deh!  Kalo ses ada sesuatu panggil aja eke di belakang. Eke siap membantu kok!”
“Daku  juga bisa..” Nince nimbrung, lalu berjalan ke  tengah layaknya seperti model.
“Kalo gitu, eke ke belakang dulu, ya! Jam Sembilan nanti,  tuan muda bangun. makanya, sekarang eke mau bikin sarapan buat tuan muda. Ses cepetan ke atas. Temenin tuan muda. Kali aja dia udah bangun.” Mbok Jess pun melenggang meninggalkanku  di pintu  depan.
Aku menatap sekilas ke belakang, menatap halaman rumah, lalu masuk, dan menutup pintu depan.

RIO menggeliat, mencoba bangun. Diempaskannya selimut yang menutupi dadanya. Matanya membuka perlahan-lahan, menatap langit-langit kamarnya yang luas. Sejurus kemudian, matanya melirik jam weker di meja ranjangnya. Tepat sekali aku dan Rio dapat melihat  pukul sebelas siang sekarang.
“Akhirnya kamu bangun juga!” seruku tersenyum. Kuhampiri dia dan berdiri manis di sampingnya.
Rio menyapu wajahnya dari kening hingga dagu dan belum menyadari kehadiranku. Lalu, dia menguap dengan mata masih sipit-sipit menutup dan menengokkan kepalanya kearah tubuhku.
“AAAARG!” erangnya kaget, dia tersentak dan mundur, wajahnya terlihat begitu ketakutan. “Kamu! Kamu! Kamu ngapain disini?!”
 Aku yang tersentak mencoba tenang. Keep smile and nice. “Saya jadi babysitter kamu sekarang.” Jawabku tersenyum lebar.
“Kamu..? kamu…?” Rio masih terkaget-kaget. Dia sedikit panik, karena aku dapat melihat keringat dingin mengalir dari tengkuknya.
“Tenang.. nggak usah panik. Saya ngga akan ngegigit kamu,kok!”
“Kamu…?” Rio melirik sekilas jam weker. “Pasti.. pasti Rio masih tidur ya? Rio masih mimpi, ya?” ungkapnya mencoba tenang.
Heh! Kenapa nih cowok pake namanya sendiri buat kata ganti aku?
Aku mengernyitkan dahi. “Rio.. oh maksudku Dede,  ayo bangun, Sayang. Ayo berdiri!” Aku mengulurkan tangan.
Rio menggeleng, masih nggak percaya dengan situasi yang dilihatnya.  Bahkan dia bergerak mundur begitu aku mendekat. Dia mundur. “Kamu.. kamu ngapain disini?”
Aku mendengus. “Huh.. udah saya bilang, kan? Saya babysitter kamu sekarang.”
“Kamu? Babysitter Rio?”
“Iya.. Ibu kamu yang milih saya buat jadi babysitter kamu.”
“K.. kenapa kamu sih? Kenapa nggak nenek-nenek yang semalem?”
“Lho? Emangnya saya kurang baik apa?”
“Tapi…..” Rio ragu.
 Belum selesai Rio menyelesaikan kalimatnya, aku udah mendorongnya agar turun dari ranjang. “Udah, ayo cepet bangun!”
“Nggak mau!” Rio menangkis, melepaskan cengramanku.  Dia berlari, terjatuh dari ranjang, dan menjauh  di sudut dekat lemari.  Sekarang dengan jelas aku dapat melihat dia hanya memakai  kemeja biru muda dan celana pendek berwarna merah di atas lutut.
Kutiup poni yang jatuh di pelipisku. “Rio… sekarang udah pukul sebelas siang.  Kata Nince,kamu tidur dari jam  Sembilan malam.  Udah empat belas jam kamu tidur. Adakah keinginanmu  untuk memberikan kesempatan pada lambungmu hidup enak layaknya lambung lain?”
“Bahasa kamu aneh banget! Mentang-mentang ranking ketiga. Biasa aja bisa, kan?”
 Aku tersenyum lagi, lebar, tanpa menunjukkan gigi. “Oke, singakatnya… ayo sarapan! Saya nggak mauu jadwal saya ngasih kamu makan tiga kali terlewatkan.”
Rio  diam. Dia menatapku heran. “Kamu.. kamu bener babysitter Rio?” tanyanya masih nggak percaya.
“Iya-iya. Saya babysitter kamu.” Aku mencoba menenangkan emosi,  melambatkan seretan nafasku. Tiba-tiba aku teringat kata mama to keep calm heading some bad babies.  “Ayo sayang.. kita sarapan dulu.” Ajakku lagi tersenyum,
Oke Ify tenanglah!  Rio nggak lebih buruk dibandingkan Anton-bocah tiga tahun yang baru bisa diajak makan setelah jogging seharian.  Setidaknya aku hanya butuh sedikit rayuan agar Rio mau turun.
 Masih dirunding kebingungan, akhirnya Rio maju perlahan.”tapi, kan… babysitter  Rio yang lain dulu suka gendong Rio kalo mau makan..”
“Jangan jadi anak manja!”
“Ya udah. Rio nggak mau makan!” Ancamnya serius.
Oke tenang. Namanya juga anak kecil. Harus dilayani dengan baik.
“Baiklah.” Aku maju satu langkah mendekatinya, namun tiba-tiba mundur selangkah menjauhinya.  Aku teringat sesuatu. “Jangan coba-coba membodohiku.  Nggak mungkin nenek-nenek bisa ngegendong kamu.”
“Jadi, kamu.. nenek-nenek?”
“M.. maksudku, babysitter lain kamu dulu yang  kamu katakana sendiri adalah nenek-nenek, gimana mungkin bisa ngegendong kamu?”
“Ya… dimungkin-mungkinin aja.” Rio tersenyum lebar.
Uh, dasar! Dia ngerjain.
Otakku berputar, mencari cari jalan yang terbaik. “Oke, sebaiknya.. saya bawa kesini aja makanan kamu.”
“Terserah!” Tiba-tiba Rio mengambil sebuah bantal yang jatuh, dan melemparkannya ke mukaku. “Kena!” seru Rio. Lalu melompat senang.
 Aku yang tengah mencoba tenang, hanya  bisa diam ketika bantal itu mendarat tepat di mukaku. Hingga bantal itu mendarat ke lantai, raut mukaku nggak berubah.
Tenang-tenang-tenang. Aku harus tenang!
 Kemudian kusunggingkan senyuman manis. Berkacak pinggang layaknya model. Dan……
“Oke, tunggu disini. Saya akan bawa sarapan kamu.”  Ulangku lagi. Aku berbalik, sangat kesal, namun pergi meninggalkan kamar ini dengan manis. Sempat ingin mulutku mengoceh mengata-ngatai Rio. Tapi sepertinya itu sia-sia. Nggak akan ngerubah apapun.
Kuturuni tangga dengan tenang, mencoba bersikap dengan baik. kebetulan, mbok Jess sedang membersihkan anak tangga dengan lap. Jadi, kutanya dia tentang sarapan Rio. “Mbok Jess. Rio udah bangun. Bisakah kuminta sarapannya sekarang?”
“Akan aku antarkan ke kamarnya. Ses, temenin tuan muda aja. Jangan biarkan dia sendirian.”
“Oh,,..oke.” Aku mengangguk dua kali.  Lalu berbalik, dan kembali menaiki tangga.
 Namun, di lantai dua, sebelum aku masuk ke kamar Rio,  perhatianku tertarik pada sebuah ruangan yang pintunya terbuka.  Jejeran buku dalam jumlah banyak yang disimpan rapi di dalam lemari besar, menjadi satu-satunya yang bisa kulihat dari luar. Aku membelokkan jalur dan mendekati ruangan itu. Dan begitu kubuka pintu  ruangan itu perlahan-lahan, kutemukan Nince sedang membersihkan lemari dengan kemoceng.
Nince bersenandung, mengibas-ngibaskan bulu kemoceng mengusir debu.  Aku masuk ke ruangan itu, dan menemukan ruangan yang sangat besar. Lebih besar dari kamar Rio.
Tepat di tengah ruangan, ada sebuah meja kerja besar yang penuh dengan map dan alat tulis mahal. Lampu meja modern kecil juga menghiasi meja itu. Di sepanjang dinding yang  kulihat, semuanya berwallpaper lemari buku. Maksudku,saking  menutupnya, corak pola dinding yang menurutku bagus, terhalangi oleh lemari-lemari buku yang sangat tinggi dan besar.  Karpet indah dari India atau mungkin dari Pakistan, menghampar di bawah kakiku. Benda-benda antic yang dipajang khusus dipojok ruangan, makin memperjelas kalau ruangan ini benar-benar knowledging and scarying.
“Halo, Nince!” Aku menghampirinya, dan tersenyum. 
“AARRGH!” Nince kaget,dan hampir menjatuhkan kemocengnya. “Dikau?dikau mengapa bisa diruangan ini? Dikau mengagetkan saja!”
 Aku mengernyitkan dahi.
“Wow. Ruangan yang bagus.” Pujiku senang.  Kuhampiri meja kerja, dan dapat kutemuka notebook canggih terbuka begitu saja di atas meja.
“Ini ruang kerja nyonya besar. Jangan ganggu!  Kalo mau minjem buku, simpen lagi di tempatnya kalo udah.  Jangan sembarangan atau berantakan. Oh, iya. Notebook itu kata nyonya boleh digunakan untuk mengirimkan imel. Bukan ceting apalagi brosing.
Aku tersenyum dan mengangguk. Kuhampiri notebook itu, dan mendapatkannya sedikit berbeda dari punya Oik. Layarnya padam, notebook-nya pun nggak nyala.
“Dan.. jangan pernah bawa tuan muda ke ruangan ini. Selain akan berantakan, tuan muda sebenernya ketakutan berada di ruangan ini.”
Aku tersenyum lagi. “Oh, iya Nince.  Apakah benar Rio selalu digendong babysitter sebelum dia mau makan?”
“Jangan menyebut namanya.   Sebut dia tuan muda.”
“Oh, oke. Maksudku tuan muda. Apakah dia suka digendong babysitter?
“ngnng.. setau daku, sih.  Nggak pernah gitu. Ah, palingan juga dikau dijahilin sama dia.!”
 Owh.. tuh kan!  Dijahilin! Untung aja,  aku nggak  bener-bener gendong dia!
“Oke, sampai jumpa Nince. Aku mau menemani tuan muda.”
“Ya-ya. Sampai jumpa lagi di jam makan siang nanti. Itu pun kalau dikau bisa lepas dari genggaman tuan muda.”

No comments:

Post a Comment