Boy Sitter [7] : Oh-My-God!
OH-MY-GOD!!!
Ya Tuhan.! Ya Tuhan..! ya Tuhan!
Ya Tuhan.! Ya Tuhan..! ya Tuhan!
Rio.. Rio…!! RAG leader sedang tertidur pulas di hadapanku!
Rio... putranya Bu Nira.. yang akau kuasuh selama seminggu ke depan.
Aku melongo dan menatap Bu
Nira heran. Bu Nira menghembuskan napas besar, kelihatan sekali pasrah, “Tuh,
kan. Udah saya bilang. Setiap babysitter yang
melihat anak saya, Dede…….”
Aku masih melongo, kaget,
heran.
Rio.. dia bayi monster!
“Ya-ya. Anak saya tujuh belas
tahun. Dan kemarin… saya tau kalau kamu
adalah teman sekolahnya. Jadi….. gimana?”
Meskipun masih kaget, akhirnya
aku mengatupkan mulut dan bernapas terburu-buru. Aku hanya menoleh Bu Nira sekilas dan kembali
menatap kaget wajah Rio.
“Oke, pasti kamu sekarang akan
bilang, tidak!” Tiba-tiba Bu Nira pesimis.
Aku menghembuskan napas besar
dua kali, “Bu-bukan begitu Bu… maksudku………” Bu Nira menatapku dalam. Sorot
matanya penuh harapan.
Lalu, aku menghela napas
panjang, menutup mataku sejenak, dan menjawab. “Oke, bukan masalah..”
Bu Nira tersenyum. “Baiklah.
Terima kasih. Tapi…… apa kamu bisa menjaga rahasia ini?”
Aku yang masih kaget,
mendongak, menatap Bu Nira. “Maksudnya?”
“Yaaaaa.. yang saya tau, cewek
suka ngumbar berita. Jadi… bisakah saya
memastikan kalau kamu nggak akan ngasih tau hal ini pada temanmu yang lain?”
Dahiku mengernyit. “Ngng..
maaf. Saya bukan tipe cewek yang suka mengumbar seperti orang lain. Saya selalu
menjaga rahasia orang sesepele apapun itu.
Pernahkan Rio menceritakan tentang sekolahnya ketika saya benar-benar
menjaga rahasia cewek-cewek model meskipun kami bermusuhan?”
Bu Nira berpikir sebentar, “
ngngn.. Ya-ya. Dede menceritakan hal itu. Waktu itu, kamu tau rahasia tentang
Mozon, dan ketika Rebonding Galz
menginterogasimu, kamu tetap menjaga rahasia itu. Ditambah pada saat itu kamu sedang dalam
ancaman besar… dan kata Dede juga, rahasianya nggak pernah terbongkar sampai
saat ini.”
“Sepertinya, Rio menceritakan
setiap detil yang ada di sekolah. Sampai-sampai ibu tau tentang Mozon,
Rebonding galz.”
“Tentu saja, Dede nggak pernah
lupa menceritakan kesehariannya di sekolah,
termasuk cewek-cewek nyebelin yang bernama Tweenies. Yang ternyata itu
kamu. Dede selalu curhat sebelum tidur.”
Tik, tok! Tik, tok!
Detakan jam dinding membuatku melirik ke
arahnya, lalu melirik Bu Nira. “Bu… pesawat anda jam Sembilan, bukan?”
Bu Nira mengangguk dan
tersenyum. “jadi….. bisakah.. saya.. tau, kenapa Rio bisa seperti ini padahal
di sekolah sama sekali nggak mungkin?” tanyaku tersenyum memperlihatkan semua
gigi.
Bu Nira tertawa kecil, lalu
mengajakku duduk di sofa. Aku bangkit dan mengikutinya, bersiap mendengarkan
ceritanya.
“Ya, mungkin kamu kaget dengan
anak saya, Dede. Atau biasa kamu sebut, Rio. Atau juga Bison. Di sekolah,pasti yang kamu temukan darinya
adalah sosok cuek, judes, sombong, dan yaa… dia selalu jijik sama cewek-cewek
yang coba deket sama dia.” aku tersenyum kecil, mengangguk.
“Tapi,, di rumah.. dia lain
banget. Dia anak saya satu-satunya yang tinggal di Indonesia. Sisanya sih, pada
going abroad and live there. Dan kasih
sayang, harta, juga perhatian yang melimpah membuat Dede tumbuh menjadi anak
manja. Tapi untungnya, Dede juga bandel.
Malu dong, punya anak manja doang. Kalo punya yang bandel juga oke-oke
aja,meskipun manja. Dede juga childish
banget. Terkadang jahil, usil, dan ngeselin.
Pokonya komplikasi banget, deh. Susah diurus sama satu orang.”
Aku tersenyum heran, “Oya?”
“Untuk itulah, saking susahnya
ngurus seorang Dede, kamu adalah babysitter
yang ke enam puluh tujuh sampai saat ini.
Saya udah nyewa babysitter sebanya
itu, karena memang nggak pernah ada yang kuat buat ngurus Dede. Kebanyakan
berhenti di tengah jalan. Ah, itu alasan saja. Buktinya, saya ibu kandungnya
masih kuat tinggal dengannya hingga tujuh belas tahun terakhir. Dan meskipun
beberapa orang berhasil menyelesaikan tugasnya, namun begitu pulang, langsung
terserang demam tujuh hari tujuh malam, dan menderita trauma sepanjang hidup.”
Aku menghembuskan napas besar.
Pfuih.. I’m heading for my next big things in my life now…benarkah pengasuh-pengasuh sebelumku separah itu??
“Kebanyakan, babysitter-nya udah berumur, dan jarang
ngerti perasaan Dede. Menyedihkan. Pernah juga saya sewa psikiater dan psikolog
sekaligus, tapi dua-duanya malah disiram teh
manis sama Dede dari balkon. Kabur juga, deh! Oh iya, pernah juga ada
cewek seusia kamu yang saya terima disini buat ngasuh Dede. Tapi, Dede malah
genit godain cewek itu,dan cewek itu nggak tahan. Lalu, pergi gitu aja.”
“Nggak tahan?”
“Ya, nggak tahan buat nolak.
Cewek itu takut terjadi sesuatu yang ngga diinginkan, makanya dia langsung
pergi sebelum terjadi sesuatu yang terlalu jauh. Makanya, saya berani nerima kamu, karena
kamuu musuh Dede, dan…sepertinya nggak mungkin mau nerima godaan Dede. Dede pun
nggak mungkin ngegodain kamu.”
Aku mengangkat alisku sebelah.
“Belum tentu kan, Bu?”
“Ya… setidaknya Dede bakalan
takut sama kamu.”
“Takut? Maksudnya?”
“Yang saya tau sih, Dede takut
banget sama yang namanya Tweenies. Dia
sebenernya agak grogi, lho ngobrol sama kalian.” Tiba-tiba HP Bu Nira berbunyi,
“Maaf, sebentar!” Bu Nira bangkit, menjauh menerima telepon.
Aku juga ikut bangkit dari
duduk, melangkah pelan mendekati Rio.
Oh-my- god! Oh-my-god! Entah berapa kali, aku harus mengucapkan
kalimat itu.
Oh my god! Bener-bener nggak nyangka. Seorang Rio…. Hari ini berada di
bawah asuhanku… di bawah asuhanku! Oh, aku mimpi apa semalem? Perasaan sih, aku mimpiin si Ardhya! Kok,
bisa-bisanya aku ngasuh cowok keren ini…bahkan.. digaji dua belas juta! Ya
ampun…. Ada apa ini? Kenapa ini?!
Menyenangkan yang aneh.
“Baiklah.. baiklah.. aku
segera kesana.” Bu Nira menutup HP-nya, berbalik kembali mengajakku bicara,
“Ngng.. Ify, bisa.. saya tinggalkan kamu sekarang?”
Aku berbalik dan menatap
bingung Bu Nira.
“Pesawat dimajukan
keberangkatannya. Sayaa udah ditunggu semua rekan saya di bandara. Saya harus
ke Jakarta dulu. Masalahnya, nggak ada pesawat yang menggunakan rute
Bandung-New York saat ini. Terlalu jauh. Sedangkan pesawat yang di Jakarta,
memajukan keberangkatannya tiga puluh menit. Jadi.. yaa… apa kamu bisa saya
tinggalkan sekarang?”
Aku menoleh menatap Rio,
berpikir sekilas, menoleh lagi menatap Bu Nira. Kuanggukkan kepala, sambil
tersenyum ramah.
“Oh, terima kasih!” Bu Nira
mendekatiku, memelukku. “Ku mohon, jagalah Dede dengan baik. kalau kau ingin
menanyakan sesuatu Tanya saja ke Mbok Jess. Atau Nince juga boleh. Tapi kalau mau langsung menggunakan notebook di ruangan kerjaku, kirimlah e-mail padaku. Alamatnya tepat di bawah notebook. Mengerti?” aku mengangguk
cepat.
“Baiklah, aku keluar dulu.
Salam untuk Rio.” Bu Nira keluar kamar Rio, menenteng blazernya. Kuikuti dia
sampai pintu depan, dan kami udah disambut pembantu genit tadi, juga pembantu
lain yang udah berumur. Bu Nira melambai pada kedua pembantu itu, lalu memakai
kacamata hitam, dan mengangkat kopernya.
Aku langsung berjejer di antara kedua pembantu
itu, menatap Bu Nira yang meninggalkan kediaman ini di atas sebuah Mercy
beserta sopir pribadi.
“Hm.. sepi lagi, deh!” keluh
pembantu genit itu. Aku menoleh. Menatapnya ingin berkenalan.
“Halo… saya.. saya..” Aku
ingin sekali berkenalan diri, tapi rasanya canggung.
“Oke, daku tau. Kau babysittah baru, kan?” Tanya pembantu
genit itu, masih dengan gayanya yang genit. Telunjuknya pun masih memilin
rambutnya yang ikal. “Nama daku… Unie. Lengkapnya, Unie Sarunie Marunie Nanonie
Simponie Jasmanie Rohanie Lahunie Ninie Ninie. Panggil aja aku Unie. Atau,
panggilan sayangku, Nince...”
“Hihihii.. “ Tiba-tiba
pembantu yang agak tua tertawa kecil. “Ses, jangan heran melihat tingkah
lakunya. Nince emang begitu. Tenang aja, nggak gigit kok! Namaku Jessica
Jennifer Jaenab. Nama aslinya, sih Juju Juariah. Tapi.,,panggil eke Mbok Jess
aja. Ses sendiri namanya siapa?”
“Saya.. saya Ify. Babysitter-nya Rio. Eh maksud saya,
Dede. Saya temen sekolahnya, kok!”
“Ooohh.. gitu, ta? Met berjuang deh! Kalo ses ada sesuatu panggil aja eke di
belakang. Eke siap membantu kok!”
“Daku juga bisa..” Nince nimbrung, lalu berjalan
ke tengah layaknya seperti model.
“Kalo gitu, eke ke belakang
dulu, ya! Jam Sembilan nanti, tuan muda
bangun. makanya, sekarang eke mau bikin sarapan buat tuan muda. Ses cepetan ke
atas. Temenin tuan muda. Kali aja dia udah bangun.” Mbok Jess pun melenggang
meninggalkanku di pintu depan.
Aku menatap sekilas ke
belakang, menatap halaman rumah, lalu masuk, dan menutup pintu depan.
RIO menggeliat, mencoba
bangun. Diempaskannya selimut yang menutupi dadanya. Matanya membuka
perlahan-lahan, menatap langit-langit kamarnya yang luas. Sejurus kemudian,
matanya melirik jam weker di meja ranjangnya. Tepat sekali aku dan Rio dapat
melihat pukul sebelas siang sekarang.
“Akhirnya kamu bangun juga!”
seruku tersenyum. Kuhampiri dia dan berdiri manis di sampingnya.
Rio menyapu wajahnya dari
kening hingga dagu dan belum menyadari kehadiranku. Lalu, dia menguap dengan
mata masih sipit-sipit menutup dan menengokkan kepalanya kearah tubuhku.
“AAAARG!” erangnya kaget, dia
tersentak dan mundur, wajahnya terlihat begitu ketakutan. “Kamu! Kamu! Kamu
ngapain disini?!”
Aku yang tersentak mencoba tenang. Keep smile and nice. “Saya jadi babysitter kamu sekarang.” Jawabku
tersenyum lebar.
“Kamu..? kamu…?” Rio masih
terkaget-kaget. Dia sedikit panik, karena aku dapat melihat keringat dingin
mengalir dari tengkuknya.
“Tenang.. nggak usah panik.
Saya ngga akan ngegigit kamu,kok!”
“Kamu…?” Rio melirik sekilas
jam weker. “Pasti.. pasti Rio masih tidur ya? Rio masih mimpi, ya?” ungkapnya
mencoba tenang.
Heh! Kenapa nih cowok pake namanya sendiri buat kata ganti aku?
Aku mengernyitkan dahi. “Rio..
oh maksudku Dede, ayo bangun, Sayang.
Ayo berdiri!” Aku mengulurkan tangan.
Rio menggeleng, masih nggak
percaya dengan situasi yang dilihatnya.
Bahkan dia bergerak mundur begitu aku mendekat. Dia mundur. “Kamu.. kamu
ngapain disini?”
Aku mendengus. “Huh.. udah
saya bilang, kan? Saya babysitter kamu
sekarang.”
“Kamu? Babysitter Rio?”
“Iya.. Ibu kamu yang milih
saya buat jadi babysitter kamu.”
“K.. kenapa kamu sih? Kenapa
nggak nenek-nenek yang semalem?”
“Lho? Emangnya saya kurang
baik apa?”
“Tapi…..” Rio ragu.
Belum selesai Rio menyelesaikan kalimatnya,
aku udah mendorongnya agar turun dari ranjang. “Udah, ayo cepet bangun!”
“Nggak mau!” Rio menangkis,
melepaskan cengramanku. Dia berlari,
terjatuh dari ranjang, dan menjauh di
sudut dekat lemari. Sekarang dengan
jelas aku dapat melihat dia hanya memakai
kemeja biru muda dan celana pendek berwarna merah di atas lutut.
Kutiup poni yang jatuh di
pelipisku. “Rio… sekarang udah pukul sebelas siang. Kata Nince,kamu tidur dari jam Sembilan malam. Udah empat belas jam kamu tidur. Adakah
keinginanmu untuk memberikan kesempatan
pada lambungmu hidup enak layaknya lambung lain?”
“Bahasa kamu aneh banget!
Mentang-mentang ranking ketiga. Biasa aja bisa, kan?”
Aku tersenyum lagi, lebar, tanpa menunjukkan
gigi. “Oke, singakatnya… ayo sarapan! Saya nggak mauu jadwal saya ngasih kamu
makan tiga kali terlewatkan.”
Rio diam. Dia menatapku heran. “Kamu.. kamu bener
babysitter Rio?” tanyanya masih nggak
percaya.
“Iya-iya. Saya babysitter kamu.” Aku mencoba
menenangkan emosi, melambatkan seretan
nafasku. Tiba-tiba aku teringat kata mama to
keep calm heading some bad babies. “Ayo sayang.. kita sarapan dulu.” Ajakku lagi
tersenyum,
Oke Ify tenanglah! Rio nggak
lebih buruk dibandingkan Anton-bocah tiga tahun yang baru bisa diajak makan
setelah jogging seharian. Setidaknya aku
hanya butuh sedikit rayuan agar Rio mau turun.
Masih dirunding kebingungan, akhirnya Rio maju
perlahan.”tapi, kan… babysitter Rio yang lain dulu suka gendong Rio kalo mau
makan..”
“Jangan jadi anak manja!”
“Ya udah. Rio nggak mau
makan!” Ancamnya serius.
Oke tenang. Namanya juga anak kecil. Harus dilayani dengan baik.
“Baiklah.” Aku maju satu
langkah mendekatinya, namun tiba-tiba mundur selangkah menjauhinya. Aku teringat sesuatu. “Jangan coba-coba membodohiku. Nggak mungkin nenek-nenek bisa ngegendong
kamu.”
“Jadi, kamu.. nenek-nenek?”
“M.. maksudku, babysitter lain kamu dulu yang kamu katakana sendiri adalah nenek-nenek,
gimana mungkin bisa ngegendong kamu?”
“Ya… dimungkin-mungkinin aja.”
Rio tersenyum lebar.
Uh, dasar! Dia ngerjain.
Otakku berputar, mencari cari
jalan yang terbaik. “Oke, sebaiknya.. saya bawa kesini aja makanan kamu.”
“Terserah!” Tiba-tiba Rio
mengambil sebuah bantal yang jatuh, dan melemparkannya ke mukaku. “Kena!” seru
Rio. Lalu melompat senang.
Aku yang tengah mencoba tenang, hanya bisa diam ketika bantal itu mendarat tepat di
mukaku. Hingga bantal itu mendarat ke lantai, raut mukaku nggak berubah.
Tenang-tenang-tenang. Aku
harus tenang!
Kemudian kusunggingkan senyuman manis.
Berkacak pinggang layaknya model. Dan……
“Oke, tunggu disini. Saya akan
bawa sarapan kamu.” Ulangku lagi. Aku
berbalik, sangat kesal, namun pergi meninggalkan kamar ini dengan manis. Sempat
ingin mulutku mengoceh mengata-ngatai Rio. Tapi sepertinya itu sia-sia. Nggak
akan ngerubah apapun.
Kuturuni tangga dengan tenang,
mencoba bersikap dengan baik. kebetulan, mbok Jess sedang membersihkan anak
tangga dengan lap. Jadi, kutanya dia tentang sarapan Rio. “Mbok Jess. Rio udah
bangun. Bisakah kuminta sarapannya sekarang?”
“Akan aku antarkan ke
kamarnya. Ses, temenin tuan muda aja. Jangan biarkan dia sendirian.”
“Oh,,..oke.” Aku mengangguk
dua kali. Lalu berbalik, dan kembali
menaiki tangga.
Namun, di lantai dua, sebelum aku masuk ke
kamar Rio, perhatianku tertarik pada
sebuah ruangan yang pintunya terbuka.
Jejeran buku dalam jumlah banyak yang disimpan rapi di dalam lemari
besar, menjadi satu-satunya yang bisa kulihat dari luar. Aku membelokkan jalur
dan mendekati ruangan itu. Dan begitu kubuka pintu ruangan itu perlahan-lahan, kutemukan Nince
sedang membersihkan lemari dengan kemoceng.
Nince bersenandung,
mengibas-ngibaskan bulu kemoceng mengusir debu.
Aku masuk ke ruangan itu, dan menemukan ruangan yang sangat besar. Lebih
besar dari kamar Rio.
Tepat di tengah ruangan, ada
sebuah meja kerja besar yang penuh dengan map dan alat tulis mahal. Lampu meja
modern kecil juga menghiasi meja itu. Di sepanjang dinding yang kulihat, semuanya berwallpaper lemari buku. Maksudku,saking menutupnya, corak pola dinding yang menurutku
bagus, terhalangi oleh lemari-lemari buku yang sangat tinggi dan besar. Karpet indah dari India atau mungkin dari
Pakistan, menghampar di bawah kakiku. Benda-benda antic yang dipajang khusus
dipojok ruangan, makin memperjelas kalau ruangan ini benar-benar knowledging and scarying.
“Halo, Nince!” Aku
menghampirinya, dan tersenyum.
“AARRGH!” Nince kaget,dan
hampir menjatuhkan kemocengnya. “Dikau?dikau mengapa bisa diruangan ini? Dikau
mengagetkan saja!”
Aku mengernyitkan dahi.
“Wow. Ruangan yang bagus.”
Pujiku senang. Kuhampiri meja kerja, dan
dapat kutemuka notebook canggih
terbuka begitu saja di atas meja.
“Ini ruang kerja nyonya besar.
Jangan ganggu! Kalo mau minjem buku,
simpen lagi di tempatnya kalo udah.
Jangan sembarangan atau berantakan. Oh, iya. Notebook itu kata nyonya boleh digunakan untuk mengirimkan imel. Bukan ceting apalagi brosing.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
Kuhampiri notebook itu, dan
mendapatkannya sedikit berbeda dari punya Oik. Layarnya padam, notebook-nya pun nggak nyala.
“Dan.. jangan pernah bawa tuan
muda ke ruangan ini. Selain akan berantakan, tuan muda sebenernya ketakutan
berada di ruangan ini.”
Aku tersenyum lagi. “Oh, iya
Nince. Apakah benar Rio selalu digendong babysitter sebelum dia mau makan?”
“Jangan menyebut namanya. Sebut dia tuan muda.”
“Oh, oke. Maksudku tuan muda.
Apakah dia suka digendong babysitter?”
“ngnng.. setau daku, sih. Nggak pernah gitu. Ah, palingan juga dikau
dijahilin sama dia.!”
Owh.. tuh kan!
Dijahilin! Untung aja, aku
nggak bener-bener gendong dia!
“Oke, sampai jumpa Nince. Aku
mau menemani tuan muda.”
“Ya-ya. Sampai jumpa lagi di
jam makan siang nanti. Itu pun kalau dikau bisa lepas dari genggaman tuan
muda.”
No comments:
Post a Comment