Sebelas
SEBELUM berangkat ke kampus, Ify memutuskan untuk menelepon
orangtuanya. Meski tidak yakin apakah orangtuanya sudah tahu tentang kebakaran
itu atau belum, ia tetap berpikir sebaiknya mereka diberitahu. Siapa tahu
mereka malah sudah mendapat kabar dan tidak bisa menghubunginya karena ia
sendiri baru mengaktifkan ponsel hadiah dari Jung Tae-Rio tadi pagi.
Orangtuanya tentu akan khawatir setengah mati.
Beberapa saat yang lalu Bibi Chon sudah datang untuk membereskan
rumah. Sebelum berangkat ke bandara tadi pagi, Jung Tae-Rio memberitahu Ify,
bibi itu biasa datang membereskan rumah tiga kali seminggu. Jung Tae-Rio juga
menambahkan Bibi Chon sudah bekerja untuk keluarganya sejak lama dan bahwa dia
bisa dipercaya seratus persen, sehingga Ify lebih tenang. Bagaimanapun keadaan
tidak terlalu aman saat ini. Kalau kenyataan ia tinggal di rumah Jung Tae-Rio
tercium wartawan, entah kehebohan apa lagi yang akan terjadi.
Setelah memperkenalkan diri kepada Bibi Chon dan membiarkan wanita
setengah baya bertubuh gemuk itu menjalankan tugasnya, Ify mengambil telepon
rumah dan masuk ke kamar untuk menelepon orangtuanya. Seperti dugaan
pertamanya, ternyata orangtuanya tidak tahu-menahu tentang kebakaran itu dan
sekarang Ify malah harus berusaha keras menenangkan mereka.
Pertama-tama ia berbicara dengan ibunya, jadi ia berbicara dalam
bahasa Indonesia.
“Ya, Ify nggak apa-apa, Ma. Nggak ada yang luka. Apinya memang
besar dan Ify nggak sempat mengambil barang-barang… Apa? … Oh, setahu Ify sih
nggak ada yang meninggal. Semuanya selamat… Tapi pemadam kebakarannya agak
terlambat, jadi apartemen Sandy sudah hangus semua.”
Tiba-tiba Ify mendengar suara ayahnya di ujung sana dan ia ganti
berbicara dalam bahasa Korea. “Ayah, Ayah tidak usah khawatir begitu. Aku tidak
apa-apa. Sungguh. Tidak terluka sedikit pun. Mama kenapa?”
Sepertinya ibunya sedang berusaha merebut telepon dari tangan
ayahnya. Ify tersenyum sendiri mendengar ibunya yang tidak sabaran. Akhirnya
ibunya kembali menguasai telepon sehingga Ify kembali berbicara dalam bahasa
Indonesia.
“Ufy, bagaimana kalau kamu pulang dulu ke sini untuk sementara?”
ibunya menawarkan.
Ify tertawa kecil. “Ify kan masih harus kuliah. Mama ini
bagaimana?”
“Jadi, sekarang kamu tinggal di rumah siapa?” tanya ibunya
langsung.
Ify bingung harus menjawab apa. “Sekarang? … Ng, sementara ini
Sandy tinggal di rumah teman. Dia tinggal sendiri jadi nggak keberatan kalau Ify
numpang sebentar. Lagi pula di rumahnya ada kamar kosong. Hari ini rencananya Ify
mau cari tempat tinggal baru.”
“Kamu bukan tinggal di rumah Young-Via?” tanya ibunya lagi.
“Bukan. Mama kan tahu sendiri rumah Young-Via hanya cukup untuk
mereka sekeluarga. Kalau tinggal di sana, Ify hanya bakal menambah beban Paman
dan Bibi, kan? Young-Via sudah meminjamkan pakaiannya untuk Ify, jadi Ify nggak
mau lebih merepotkan lagi.”
“Oh, begitu? Terus, siapa nama teman kamu itu? Berapa nomor
teleponnya? Alamatnya di mana?”
Sekarang Ify agak enggan menjawab, “Teman Ify?”
“Iya, teman kamu yang mengizinkan kamu tinggal di rumahnya itu.
Siapa namanya? Mama kenal dia?”
“Oh… oh… itu…” Dilema. Apakah ia harus berterus terang?
“Jangan-jangan kamu sekarang ada di rumah artis itu.”
Kata-kata ibunya seperti petir di siang bolong. Jadi ibunya sudah
tahu? Bagaimana bisa?
“Mama ini ngomong apa sih?” Ify masih berusaha mengelak.
“Ada teman Mama yang cerita.” Suara ibunya berubah datar. “Jadi?”
Ify tidak bersuara. Ia duduk bersila di tempat tidur sambil
menatap jari-jari kakinya.
“Coba bilang terus terang sama Mama, apa kamu memang punya
hubungan dengan artis itu?”
Ify menelan ludah dan menarik napas pelan. “Memang kenal,”
sahutnya agak takut-takut.
“Kenal? Seperti apa?” desak ibunya. “Terus, bagaimana ceritanya
sampai kamu sekarang ada di rumahnya?”
Ify menggigit bibir dan akhirnya memilih berterus terang. “Ma,
kami sama sekali nggak ada hubungan apa-apa. Ify hanya bermaksud membantu Jung
Tae-Rio ssi, nggak lebih dari itu. Mama harus percaya sama Ify. Memang
benar, Ify sekarang tinggal di rumahnya, tapi ini juga hanya untuk sementara.”
Ify mendengar ibunya mendesah lirih. “Mama nggak tahu, Ify.
Memangnya kamu nggak punya teman lain yang bisa membantu? Kenapa harus di
rumahnya?”
Ify memejamkan mata, salah satu tangannya terangkat ke kening.
Ibunya melanjutkan lagi, “Entahlah, Ify, Mama benar-benar nggak
tahu harus ngomong apa. Terus terang saja, Mama merasa… Kenapa artis itu lagi?”
Ify juga pernah berpikir seperti itu. Sejak ia mengatakan setuju
membantu Jung Tae-Rio, setiap hari ia selalu teringat pada hal-hal yang tidak
seharusnya diingat-ingat lagi. “Tapi, Ma, Jung Tae-Rio ssi orang yang
baik,” katanya.
“Kamu sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang nggak. Terserah keputusanmu saja,” kata ibunya. “Mama akan mengirimkan
pakaian untukmu. Kamu perlu apa lagi?”
Setelah ibunya menutup telepon, Ify duduk merenung. Dadanya terasa
sesak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan. Cara itu
biasa dilakukannya untuk menenangkan diri.
”Nona.”
Ify menoleh ke arah pintu kamar ketika mendengar suara Bibi Chon
memanggilnya dari luar. Ify segera turun dari tempat tidur dan berjalan ke
pintu. Ia membuka pintu dan melihat wajah Bibi Chon yang berseri-seri.
Sebelum Ify sempat membuka mulut, Bibi Chon sudah lebih dulu
mengulurkan tangan dan berkata, “Saya menemukan ini di lantai. Apakah ini milik
Anda?”
Ify menatap benda yang ada di telapak tangan Bibi Chon. Benda itu
bros berbentuk hati dan berwarna merah mengilat dengan pinggiran keemasan.
Tenggorokannya tercekat. Ia baru ingat, di malam kebakaran itu ia sedang
memandangi bros tersebut. Ternyata waktu itu tanpa sadar ia lalu memasukkannya
ke saku piama. Ify bahkann sudah hampir melupakannya sampai benda itu muncul
lagi di hadapannya sekarang.
“Apakah ini milik Anda?” Bibi Chon mengulangi pertanyaannya.
Ify tersentak. “Ya, benar. Terima kasih sudah menemukannya.”
Ify menerima bros itu dan Bibi Chon kembali mengerjakan tugasnya. Ify
menutup pintu kamar. Ia kembali duduk di tempat tidur sambil menatap bros itu.
Ia mendongak memandang langit-langit kamar, menarik napas panjang sekali lagi,
lalu mengembuskannya perlahan. Sekali, dua kali, tiga kali, dan tiba-tiba saja
air matanya bergulir turun. Ia menghapusnya dengan telapak tangan, lalu menarik
napas panjang dan mengembuskannya lagi.
Kang Young-Via merapikan rambutnya yang tertiup angin dengan
jari-jari tangan. Ia dan Ify sedang duduk-duduk di kafe langganan mereka.
Karena cuaca sore hari ini bagus sekali, mereka memilih meja di luar yang
dinaungi payung besar bergaris-garis biru dan putih. Young-Vaia mengamati
temannya yang duduk di hadapannya dengan dahi berkerut. Ify sedang
mengaduk-aduk cappuccino-nya dengan gerakan lambat. Young-Via merasa
sikap temannya agak lain. Akhir-akhir ini Ify sering melamun, sepertinya banyak
sekali yang dipikirkannya. Young-Via pernah berusaha mencari tahu apa yang ada
dalam benak Ify, tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
“Soon-Alyssa, hari ini Jung Tae-Rio pulang, ya?” tanya Young-Via
sambil lalu.
Ify tidak menjawab, bahkan
mengangkat wajah pun tidak. Ia masih terus mengaduk cappuccino-nya.
Kang Young-Via menarik napas dalam-dalam. “Hei, Han Soon- Alyssa!”
Kali ini Ify tersentak dan menatapnya dengan pandangan bertanya.
“Apa? Kenapa?”
“Aku tanya, Jung Tae-Rio kembali hari ini, bukan?”
“Oh, tidak. Tadi siang dia menelepon dan bilang tidak jadi pulang
hari ini,” jawab Ify sambil mengangkat bahu. “Katanya ada urusan mendadak atau
semacamnya. Mungkin besok baru pulang.”
“Begitu?” Young-Via mengangguk-angguk dan terdiam. Setelah
berpikir sebentar, ia bertanya lagi, “Wah, jangan-jangan dia selingkuh dengan
artis Jepang?”
Ify tertawa ringan. “Kalau dia memang bisa selingkuh atau
setidaknya punya hubungan dengan wanita, bukankah sejak awal aku tidak
dibutuhkan?”
Young-Via ikut tertawa. “Benar juga,” katanya. “Jadi kau akan
pindah setelah dia pulang nanti?”
Ify mengangkat wajah dan memiringkan kepala. “Mmm, begitulah.
Rasanya tidak enak kalau aku pindah begitu saja tanpa bilang dulu padanya,
kan?”
Young-Via mencondongkan tubuhnya ke depan. “Maksudku, kenapa kau
tidak tetap tinggal di rumah Jung Tae-Rio saja? Aku rasa dia tidak akan
keberatan.”
Mata Ify melebar. “Kau gila? Kalau ketahuan, itu bisa jadi skandal
besar! Para wartawan tabloid gosip bakal jungkir balik saking senangnya,”
katanya. “Lagi pula ibuku juga marah-marah. Akan jauh lebih baik kalau aku
punya tempat tinggal sendiri. Masa aku
bisa berdiam diri membiarkan Jung Tae-Rio menanggungku? Masa dia mau
menanggungku? Yang benar saja.”
Young-Via berdehem, menatap kesepuluh kuku jari tangannya yang
dipotong rapi dan berkata, “Bukankah dia suka padamu?”
Walaupun Ify tidak menunjukkan ekspresi apa pun, sudah tentu
Young-Via bisa menduga hubungan Soon-Alyssa dan Jung Tae-Rio tidak sesederhana
yang mereka katakan. Ia yakin Jung Tae-Rio tertarik pada Ify. Kenapa ia bisa
yakin? Karena Jung Tae-Rio mengizinkan gadis itu tinggal di rumahnya,
membelikan ponsel untuknya, dan merayakan ulang tahunnya. Lalu selama berada di
Jepang, laki-laki itu sering menelepon Ify, kalau tidak menelepon, ia akan
mengirim pesan singkat melalui ponsel. Young-Via nyaris yakin sebenarnya Ify
juga tertarik pada Jung Tae-rio, tapi ia tidak punya alasan kuat yang mendukung
keyakinannya itu. Ify sendiri tidak pernah secara blakblakan mengatakan ataupun
menunjukkan perasaan tentang masalah yang satu ini.
“Bagaimana?” tanya Young-Via. “Kau sendiri juga bisa merasakannya,
kan?”
Ify menatapnya sambil tersenyum samar. “Merasakan apa? Kau ini
ada-ada saja. Oh ya, aku belum berterima kasih padamu karena sudah seharian ini
kau menemaniku mencari apartemen baru. Kau mau membantuku memilih perabot, kan?
Harus kukatakan dulu bahwa aku hanya sanggup membeli beberapa perabot dasar.
Kalau pindah nanti, aku pasti akan membutuhkan bantuanmu lagi.”
Young-Via tidak berkomentar apa-apa. Ia mengembuskan napas
perlahan dan bersandar kembali ke kursi plastiknya. “Tentu saja,” katanya
setelah terdiam beberapa saat. “Aku akan membantumu.”
Tae-rio melepaskan kacamata hitam setelah mobil yang ditumpanginya
melaju di jalan dan meninggalkan bandara. Ia menyandarkan kepala ke kursi dan
menoleh ke arah Park Hyun-Shik yang duduk di sampingnya.
“Hyong, sekarang kita ke mana?” tanyanya.
Park Hyun-Shik menjawab, “Bukankah tadi kita bilang mau
minum-minum bersama yang lain? Para anggota staf juga sudah bekerja keras di
Jepang. Sudah sepantasnya mereka bersenang-senang sedikit. Kau juga.”
Tae-Rio berpikir sejenak, lalu mengeluarkan ponsel dari balik
jasnya. Ia menekan tombol sembilan dan menempelkan ponselnya ke telinga.
Park Hyun-Shik tersenyum. “Menelepon dia?”
Tae-Rio memandang manajernya dan mengedipkan mata.
“Irinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mendesah. “Mungkin aku juga
harus mencari pacar.”
Tae-Rio tidak menanggapi kata-kata manajernya karena suara Ify
sudah terdengar di ujung sana.
“Oh, ini aku,” kata Tae-Rio. Ia merasa semangatnya naik begitu
mendengar suara gadis itu.
“Kau sudah sampai?”
“Mmm, kau di mana?”
“Di rumahmu. Eh, kau masih ada kerjaan?”
“Tidak. Kenapa?”
“Pulang makan?”
Tae-Rio tertawa pelan. “Memangnya di rumah ada yang bisa dimakan?”
“Tentu saja ada. Pulang makan ya? Aku tunggu.”
“Oke,” kata Tae-Rio. “Aku pulang sekarang.”
“Hei, kau tidak jadi minum-minum dengan kami?” tanya Park
Hyun-Shik begitu Tae-Rio menutup ponsel.
Tae-Rio tersenyum meminta maaf. “Maaf, Hyong. Lain kali
saja, aku yang traktir.” Kemudian ia meminta sopir mengantarnya ke rumah.
“Wah, sebenarnya kita sedang merayakan apa? Kenapa makanannya
banyak sekali?” tanya Tae-Rio begitu ia masuk ke dapur.
Ify yang mengenakan celemek dan sarung tangan tahan panas sedang
meletakkan sepanci kimchi jjigae* panas di meja. Ia mengangkat kepala
ketika Tae-Rio muncul. Senyumnya mengembang. “Sudah pulang? Bagaimana
perjalananmu?”
Melihat makanan yang ada di meja juga Ify yang mengenakan celemek,
lalu mendengar gadis itu menanyakan bagaimana perjalanannya, Tae-Rio jadi
merasa agak kikuk.
“Jung Tae-Rio ssi, kau kenapa?”
Tae-Rio tersentak dan memandang gadis di hadapannya. “Apa? Oh,
perjalananku baik-baik saja.”
Ify memeriksa kesiapan hidangan di meja, lalu beralih memandang
Tae-Rio. “Ayo, kita makan.” Ia melepaskan celemek dan sarung tangannya.
Tae-Rio duduk dan bertanya, “Kau yang masak semua ini?”
* Sup kimchi. Kimchi adalah acar khas Korea, terbuat
dari sawi putih yang dipedaskan.
Ify duduk di hadapannya. “Aku ingin menjawab ‘Benar, akulah yang
memasaknya’, tapi kenyataannya bukan.” Ia tertawa kecil. “Tadi pagi aku meminta
Bibi Chon memasaknya. Aku hanya tinggal memanaskan.”
Tae-Rio tersenyum dan mulai makan.
Ify mencondongkan tubuh ke depan. “Bagaimana? Enak?”
Tae-Rio mengangguk. “Mmm, tentu saja. Ngomong-ngomong, apakah ada
yang sedang dirayakan?”
Ify memiringkan kepala dan berpikir-pikir. “Mmm, tentu saja ada.
Banyak.”
“Banyak? Seperti apa?”
“Kita merayakan kepulanganmu dari Jepang,” kata Ify. “Apakah kau
tahu hari ini tepat satu bulan sejak pertama kali kita bertemu? Itu bisa
dirayakan. Kau juga boleh menganggap ini sebagai ucapan terima kasih karena kau
sudah banyak membantuku.”
Tae-Rio tersenyum dan mengangguk-angguk. “Ada lagi?”
“Kita juga bisa merayakan apartemen baruku.”
Tae-Rio mengangkat wajah dan menatap Ify. “Kau sudah mendapatkan
apartemen?”
Ify mengangguk tegas. “Ya, besok aku akan pindah.”
“Kenapa?” tanyanya tanpa berpikir.
Ify tertawa kecil. “Jung Tae-Rio ssi, kau tidak mungkin
berpikir aku akan tinggal di sini dan menjadi bebanmu selamanya, bukan?”
“Beban apa?” kata Tae-Rio.
Ify tidak mengacuhkan pertanyaan itu dan terus berbicara, “Lagi
pula, kalau wartawan tahu kita tinggal bersama, mereka pasti berpikir kita
sudah bertunangan dan akan segera menikah. Memangnya kau mau membuat skandal
baru lagi?”
Ah, perjanjian untuk menghapus gosip gay. Akhir-akhir ini
Tae-Rio sering melupakan hal yang satu itu.
“Menurut persetujuan yang dulu, aku hanya akan menjadi pacarmu
dalam foto. Jadi aku tidak bisa menikah denganmu,” kata Ify dan tertawa.
Tae-Rio tahu Ify hanya bergurau, tapi ia sedang tidak ingin ikut
tertawa. Ia hanya menunduk dan meneruskan makannya.
Ify berdehem. “Jung Tae-Rio ssi, sebenarnya perjanjian kita
sampai kapan? Aku sudah melakukan semua yang disebutkan dalam kesepakatan,
bukan? Kita sudah berfoto, aku bahkan sampai dikejar-kejar wartawan. Gosip gay
sudah tidak terdengar lagi, kurasa sudah cukup.”
Tae-Rio mengangkat kepalanya. “Apa maksudmu?”
“Apa maksudku? Jung Tae-Rio ssi, aku kan tidak bisa
membantumu selamanya. Aku juga punya kesibukan sendiri, punya kehidupan
sendiri. Sejak orang-orang mengenalku sebagai ‘kekasih Jung Tae-Rio’, hidupku
tidak sama lagi. Aku bukan artis dan aku tidak terbiasa dengan hal-hal semacam
itu.”
“Begitu? Kupikir banyak
orang ingin punya kekasih orang terkenal.”
Ify tersenyum. “Kau benar. Aku juga pernah berandai-andai seperti
itu. Alangkah senangnya kalau kekasihku artis. Teman-temanku pasti iri setengah
mati.” Ia memandang Tae-Rio dengan sorot mata geli. “Tapi kenyataan tidak
persis seperti itu. Walaupun aku hanya kekasih gadungan Jung Tae-Rio, itu saja
sudah cukup sulit bagiku.”
“Jadi kau tidak mau punya kekasih artis?” tanya Tae-Rio hati-hati.
Ify memiringkan kepala sambil merenung, lalu menjawab, “Tidak.
Sebaiknya tidak.”
Tae-Rio meletakkan sendoknya. “Kalau begitu, apakah aku harus
berhenti?”
Ia mengangkat wajah dan melihat Ify sedang menatapnya dengan
pandangan bertanya. “Kau bilang apa?” tanya gadis itu.
“Apakah harus berhenti menjadi penyanyi?” Tae-Rio mengulangi
kata-katanya.
“Memangnya kenapa harus berhenti?”
Tae-rio menatap mata Ify dan berkata, “Karena sepertinya aku
menyukaimu.”
“Karena sepertinya aku menyukaimu.”
Apakah ia salah dengar? Tidak, Jung Tae-Rio memang mengatakannya. Ify
kaget mendengar pengakuan itu keluar dari mulut Jung Tae-Rio. Apakah dia sedang
bercanda? Tidak, sepertinya tidak. Raut wajahnya serius. Lalu? Bagaimana?
“Jadi bagaimana? Apakah aku harus mulai mencari pekerjaan lain?”
tanya Jung Tae-Rio lagi, lebih pada dirinya sendiri.
Ify mengerjapkan mata dan menyadari Jung Tae-Rio sedang
memerhatikannya lekat, menanti jawaban.
“Aku tidak sedang bercanda,” kata Jung Tae-Rio, seakan bisa
membaca isi pikiran Ify.
“Aku tahu,” sahut Ify. Itulah yang ditakutkannya, bahwa Jung Tae-Rio
tidak bercanda. Lalu ia tersenyum, “Tapi sebaiknya kau tetap jadi penyanyi
saja.”
“Menurutmu begitu?”
Ify mengalihkan pandangan dari Jung Tae-Rio dan berkata, “Tentu
saja. Karena kau memang cocok menjadi penyanyi.” Ia bangkit dari kursinya.
“Kalau kau sudah selesai makan, biar kubereskan. Kau baru pulang. Istirahat
saja.”
Jung Tae-Rio tepekur sejenak, lalu ia mengangguk dan bangkit.
“Baiklah. Maaf merepotkanmu. Besok… mungkin aku tidak bisa membantumu pindah
rumah. aku harus pergi pagi-pagi sekali.”
Ify tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Young-Via akan membantuku.”
Jung Tae-Rio mengangguk lagi, kemudian ia berbalik dan berjalan ke
arah tangga.
Ify memandangi punggung laki-laki itu. Ketika Jung Tae-Rio
menginjak anak tangga kedua, ia memanggilnya, “Jung Tae-Rio ssi.”
Jung Tae-Rio menoleh. “Ada apa?”
“Terima kasih.”
“Terima kasih? Untuk apa?”
Karena menyukaiku.
“Untuk segalanya. Terima kasih.”
Dua Belas
“KAU sedang membaca atau tidak?”
Ify tersadar dari lamunan dan mengangkat wajah. Kang Young-Via
yang duduk di hadapannya sedang memerhatikannya dengan alis terangkat.
“Mm?”
Young-Via menutup buku yang dibacanya dan melipat tangan di meja. “Kita
masuk ke perpustakaan ini satu jam lalu. Tapi selama setengah jam terakhir kau
hanya memelototi halaman yang itu-itu terus. Kau memegang bolpoin, tapi tidak
menulis. Kau melihat buku, tapi tidak membaca. Han Soon-Alyssa, apa yang sedang
kaupikirkan?”
Ify tertawa kecil dan membalikkan halaman bukunya. “Tidak ada.
Hanya sempat bosan dan melamun sebentar.”
Young-Via mengetuk-ngetukkan jari di meja. “Jung Tae-Rio tidak
menghubungi-mu?”
“Mm,” gumam Ify tanpa memandang temannya. “Sudah hampir satu bulan
aku tidak berhubungan dengannya. Lagi pula untuk apa? Masalah di antara kami
sudah selesai. Aku sudah membantunya seperti yang dia minta. Tidak ada lagi
yang bisa kulakukan.”
“Untunglah wartawan berhenti mengejar-ngejarmu,” kata Young-Via.
“Akhirnya, meski sudah tahu namamu, mereka belum pernah mendapatkan foto-fotomu
yang jelas. Kau tidak mungkin hidup setenang ini kalau wajah aslimu terpampang
di media cetak.”
Saat itu ponsel Ify yang tergeletak di meja bergetar pelan. Ia
meraihnya dan membaca tulisan yang muncul di layar. Lee Jeong-Iel.
“Halo?”
“Soon-Alyssa, punya waktu sekarang?” suara laki-laki itu terdengar
lesu.
Ify ragu sejenak. “Ada apa?”
“Keluarlah sebentar. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
Ify menutup ponsel dan memandang Young-Via.
“Kenapa? Lee Jeong-Iel mau bertemu lagi?” tebak Young-Via.
Ify tersenyum samar dan membereskan buku-bukunya. “Aku pergi dulu
ya?”
Langit sudah nyaris gelap ketika Ify tiba di depan kafe yang
disebutkan Jeong-Iel. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat laki-laki itu
sudah menunggunya di dalam. Lee Jeong-Iel sedang duduk bersandar di sana dengan
segelas air putih di meja. Sesekali ia melirik jam tangan dan mengusap wajah
dengan kedua telapak tangan.
Ify masih ingat betapa dulu ia sangat memercayai laki-laki itu.
Betapa dulu ia sangat menyukainya.
Ify membuka pintu kafe dan terdengar bunyi dentingan halus.
Pelayan menghampirinya dan Ify segera berkata padanya bahwa temannya sudah
menunggu. Dengan langkah ringan, Ify menghampiri Lee Jeong-Iel. Laki-laki itu duduk
membelakangi pintu, sehingga tidak menyadari kehadiran Ify.
“Sudah menunggu lama?” tanya Ify sambil menarik kursi di hadapan
Jeong-Su lalu duduk.
Jeong-Iel tersentak dan senyumnya mengembang. “Oh, tidak. Aku juga
baru datang.”
“Jus jeruk,” kata Ify kepada pelayan yang menanyakan pesanannya.
Setelah pelayan itu pergi, Ify memandang Lee Jeong-Iel. “Ada apa
memanggilku ke sini?”
“Bagaimana kabarmu?”
Ify tersenyum. “Baik-baik saja. Seperti yang kaulihat. Kau
sendiri?”
Lee Jeong-Iel meneguk airnya, lalu terdiam sejenak. Akhirnya ia
berkata, “Aku sudah berpisah dengannya.”
“Oh? Memangnya kenapa?”
Jeong-Iel menatap mata Sandy dan menjawab dengan nada yakin,
“Karena kukatakan padanya aku masih belum bisa melupakanmu.”
Alis Ify terangkat karena terkejut. “Apa?”
“Itu benar,” kata Jeong-Iel menegaskan.
Saat itu pelayan mengantarkan jus jeruk yang dipesan Ify. Ify
mengucapkan terima kasih dengan kikuk, lalu kembali memandang Lee Jeong-Iel.
Laki-laki itu begitu tampan, dan selama mereka bersama ia selalu bersikap baik
kepada Ify. Tentunya sampai laki-laki itu meninggalkannya. Namun dari dulu,
salah satu kelemahan Lee Jeong-Iel adalah tidak bisa memantapkan keputusan. Ia
tidak bisa bertahan lama pada satu pendirian.
“Soon-Alyssa, bisakah kau
memberiku kesempatan sekali lagi?” tanyanya. Raut wajahnya begitu
bersungguh-sungguh. Ify bisa merasakan laki-laki itu memang serius.
Perlahan Ify mengaduk jus jeruknya. “Aku akan jujur padamu. Ketika
kita berpisah dulu, selama beberapa waktu perasaanku kacau sekali. Aku tidak
mengerti kenapa kau meninggalkanku. Aku selalu berpikir, apa yang sudah
kulakukan... apa yang belum kulakukan... sampai kau bisa membuat keputusan
seperti itu.”
Lee Jeong-Iel bergerak-gerak gelisah di kursinya.
“Selama beberapa waktu, aku sering memikirkanmu dan segala hal
yang berhubungan denganmu,” Ify melanjutkan. “Tapi kemudian segalanya berubah.
Perlahan-lahan, entah sejak kapan dan entah bagaimana, ada sesuatu yang lain
yang menggantikan dirimu dalam pikiranku.”
Lee Jeong-Iel menatap gelasnya. “Maksudmu?”
Ify tidak menjawab. Ia hanya meminum jus jeruknya dengan pelan.
Lee Jeong-Iel mengangkat wajahnya dan menatap Ify. “Kau
sungguh-sungguh tidak bisa—setidaknya mau mencoba—kembali padaku?”
Ify menarik napas, lalu berkata, “Aku bisa melupakan semuanya,
tapi aku tidak akan kembali pada orang yang sudah meninggalkanku.”
Lee Jeong-Iel tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Sandy
dengan pandangan menerawang.
“Sudah lihat?”
Tae-Rio tidak menjawab. Ia terus memandangi tabloid yang tadi
disodorkan manajernya. Ada artikel yang menyebutkan hubungan Jung Tae-Rio dan
kekasihnya mulai retak karena kekasihnya itu menemui pria lain. Pria lain?
Apakah mantan pacar Ify?
“Kau sudah menghubungi Ify?”
Tae-Rio mendengar pertanyaan itu, tapi tidak menjawab. Ia tidak
bisa menjawab. Ia sedang berpikir.
“Tae-Rio.”
Sepertinya Park Hyun-Shik mulai kehilangan kesabaran. Tae-Rio
mengangkat wajah dan meletakkan tabloid itu di meja kerja manajernya.
“Belum, aku belum menghubunginya,” jawabnya tenang.
“Kenapa kau bisa setenang itu? Kau sudah punya rencana?” desak
Park Hyun-Shik.
Tae-Rio menggeleng dan tersenyum. “Tidak juga. Hyong mau
aku melakukan apa? Bukankah sudah pernah kukatakan bantuan Ify kepada kita
sudah selesai. Dia bukan kekasih Jung Tae-Rio lagi, baik di dalam maupun di
luar foto.”
Park Hyun-Shik jelas terlihat bingung mendengarnya. “Jadi
maksudmu, kau akan membiarkan masalah ini? Bagaimana kau akan menghadapi
wartawan kalau mereka bertanya?”
“Aku bisa menghadapinya. Hyong tenang saja.”
“Aku heran, sudah satu bulan terakhir ini kau tidak menghubungi Ify,”
kata Park Hyun-Shik setelah terdiam beberapa saat. “Kau benar-benar tidak mau
bertemu dengannya lagi?”
Tae-Rio hanya tersenyum.
Park Hyun-Shik mengerutkan kening. “Biasanya aku tidak pernah
salah tentang hal-hal seperti ini.”
“Hal-hal seperti apa?”
“Kukira kau menyukainya. Apakah aku salah?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku sudah ditolaknya.”
“Ah, begitu? Lalu kau menyerah begitu saja?”
“Tidak.”
“Aku tidak mengerti. Sekarang kau sama sekali tidak
menghubunginya. Apa maksudmu dengan tidak menyerah?”
Senyum Tae-Rio bertambah lebar. Ia mengedipkan mata ke arah
manajernya, tapi tidak berkata apa-apa.
“Soon-Alyssa! Soon-Alyssa!”
Ify sedang duduk melamun di bangku panjang di taman kampus ketika
ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat Kang Young-Via berlari
ke arahnya. Benar-benar berlari. Ia tak pernah melihat temannya itu berlari
sebelumnya.
“Astaga, capek sekali,” kata Young-Via dengan napas terengah-engah
begitu ia tiba di samping Ify.
“Sini, duduk dulu,” kata Ify sambil bergeser memberi tempat untuk
temannya.
Tanpa berkata apa-apa, Young-Mi menyodorkan tabloid yang sedang dipegangnya
kepada Sandy. Perhatian Ify langsung tertuju pada artikel yang terpampang di
hadapannya.
“Apa ini?” tanyanya dengan kening berkerut.
Young-Via masih sibuk mengatur napas sehingga tidak bisa menjawab.
Ify membaca artikel itu tanpa bersuara. Setelah selesai, ia
melipat kembali tabloid tersebut dan menarik napas.
“Bagaimana?” tanya Young-Via.
Ify mengangkat bahu. “Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa menulis
berita seperti ini.”
Young-Via mengibaskan tangan dengan tidak sabar. “Bukan itu.
Maksudku, apakah menurutmu Jung Tae-Rio yang mengatakan pada wartawan? Bukankah
kau memang tidak membantunya lagi? Jadi bagaimanapun Jung Tae-Rio memang harus
‘putus’ dengan ‘pacarnya’.”
Ify tertegun, lalu memiringkan kepala. “Entahlah,” katanya.
“Kau tidak mau bertanya kepadanya?”
Ify berpaling ke arah temannya dengan kaget. “Tanya apa?”
Young-Via mendengus jengkel. “Astaga, kau...”
Bagaimana ia bisa bertanya pada Jung Tae-Rio? Sudah satu bulan
mereka tidak bertemu dan berbicara. Lagi pula, Jung Tae-Rio memang tidak
mungkin memperta-hankan cerita tentang kekasihnya, sementara orang yang
membantunya menjadi “pacar” sudah tidak mau membantu lagi.
Young-Via menatap temannya yang duduk di sampingnya dengan kesal.
Ia tidak bisa percaya Ify tidak mau melakukan apa-apa tentang artikel yang
ditunjukkannya itu. Menurutnya, setidaknya Ify bisa menelepon Jung Tae-Rio dan
bertanya atau menjelaskan situasi yang sebenarnya. Atau apa pun. Tapi anak
bodoh itu hanya duduk melamun. Walaupun orang-orang masih tidak mengenali Han
Soon-Alyssa yang sedang duduk melamun seperti orang bodoh ini sebagai Han Soon-Alyssa
pacarnya Jung Tae-Rio, Young-Via merasa temannya ini harus tetap menjaga nama
baiknya. Kenapa anak itu tidak keberatan disebut-sebut sebagai tukang
selingkuh?
Young-Via mengibaskan rambut ke belakang dengan perasaan jengkel.
Bisa jadi malah Jung Tae-Rio yang mengatakan semua cerita itu pada wartawan
untuk menyelamatkan reputasinya sendiri. Ya, itu mungkin saja.
“Hei, Soon-Alyssa. Bagaimana kalau Jung Tae-Rio yang melakukan
semua itu?” desaknya sekali lagi.
Alis Soon-Alyssa terangkat. “Menurutmu begitu?”
Young-Via mengangkat bahu. “Mungkin saja, bukan? Makanya, kenapa
kau tidak bertanya langsung kepadanya?”
Sebelum Ify sempat menjawab, ponselnya berbunyi. Young-Via melihat
temannya buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan membukanya.
Jung Tae-Rio?
“Halo?” Raut wajah Soon-Alyssa berubah sedikit.
Bukan Jung Tae-Rio.
“Ya, Mister Kim... Ya? Sekarang? ... Ya, saya mengerti.”
Ify menutup ponselnya dan tersenyum kepada Young-Via. “Young-Via,
aku harus pergi sekarang, Mister Kim memintaku menemuinya.”
“Bosmu memang drakula penghisap darah,” celetuk Young-Via. “Kau
selalu bilang mau berhenti, tapi tidak pernah sekali pun mulai menulis surat
pengunduran diri.”
“Setidaknya jadwal kuliahku tidak pernah terganggu gara-gara dia,”
Soon-Alyssa membela atasannya. “Aku pergi dulu ya?”
Young-Via memandangi temannya yang berjalan pergi, lalu memandang
tabloid yang sedang dipegangnya.
Sebaiknya masalah ini cepat diluruskan, sebelum para penggemar
Jung Tae-Rio mengamuk. Han Soon-Alyssa tidak tahu bagaimana liarnya para
penggemar Jung Tae-Rio kalau sudah dipancing. Mereka tidak akan rela idola
mereka dicampakkan seorang wanita.
Semoga saja masalah in cepat selesai.
“Miss Han, terima kasih karena sudah datang. Oh, terima kasih,”
Mister Kim menyambut Ify dengan penuh semangat di dalam studionya yang seperti
biasa; berantakan. Hari ini rambut Mister Kim dicat kuning dan tubuhnya
dibungkus jaket kulit panjang yang kelihatannya sangat tebal. Ify
bertanya-tanya apakah Mister Kim tidak merasa gerah.
Mister Kim menggerak-gerakkan jari tangannya ke arah beberapa
pakaian yang dibungkus plastik bening yang tergeletak di meja bundar di sudut
ruangan. “Tolong antarkan kepada Jung Tae-Rio, ya?”
Ify mengerjap-ngerjapkan matanya. Siapa?
“Seperti yang kaulihat, Miss Han, aku sedang sibuk sekali dan
tidak ada yang bisa membantuku...”
Harus diantarkan kepada siapa?
“... Antarkan saja ke rumahnya. Kau sudah punya alamat rumahnya,
bukan? ...”
Ke rumahnya? Rumah Jung Tae-Rio?
“... Jangan bilang kau sudah menghilangkan alamat itu, Miss Han.
Aku sendiri tidak tahu lagi di mana kusimpan alamatnya...”
Apa yang harus kukatakan kalau kami bertemu?
“... Katakan saja model pakaian itu bisa menjadikannya trendsetter
di kalangan anak muda...”
Apakah Mister Kim membaca pikiranku?
“... Nah, ide-ideku sedang berontak ingin keluar dari otak. Aku
sedang merasa kreatif sekali...”
Tidak, dia tidak membaca pikiranku.
“... Jadi pergilan sekarang juga, Miss Han, dan biarkan aku
sendiri dengan ide-ideku.”
“Menemui Jung Tae-Rio?” tanya Ify agak bingung karena terlalu
banyak hal yang berlalu-lalang di benaknya.
“Bukan, ayahnya,” celetuk Mister Kim dari balik meja kerjanya,
lalu melanjutkan tanpa menunggu tanggapan, “tentu saja Jung Tae-Rio. Bukankah
pakaian itu untuk dia? Ayo, Miss Han, gerakkan kakimu.”
“Oh, ya.” Ify cepat-cepat menghampiri meja bundar dan mengangkat
pakaian-pakaian yang ditunjukkan atasannya tadi.
Ketika ia memegang kenop pintu untuk membukanya, Mister Kim
memanggil. Ify berbalik menunggu perintah selanjutnya.
Mister Kim sedang memegang tabloid, tabloid yang sama dengan yang
ditunjukkan Young-Via tadi.
“Asal kau tahu saja, Miss Han. Aku tidak percaya sedikit pun
berita ini,” kata Mister Kim tiba-tiba sambil menunjuk artikel yang membahas Ify
itu. “Jadi cepat selesaikan.”
Ify kaget. apakah Mister Kim tahu tentang dirinya dan Jung Tae-Rio?
Tidak mungkin.
Karena tidak tahu harus bersikap bagaimana, Ify hanya memaksakan
seulas senyum, lalu cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
Ify sendiri tidak mengerti kenapa ia enggan bertemu Jung Tae-Rio.
Mungkin karena kata-kata Jung Tae-Rio ketika mereka bertemu terakhir kali itu.
Mungkin juga karena sudah lama tidak saling berbicara, jadi kalau harus mulai
bicara lagi, sepertinya agak aneh. Apa yang harus dikatakannya?
Ify mendesah pelan sambil berjalan menyusuri jalan menuju rumah
Jung Tae-Rio.
“Mm? Mobil itu... seperti mobil Jung Tae-Rio,” Ify bergumam
sendiri ketika melihat mobil merah yang diparkir di jalan itu, tidak terlalu
jauh di depannya. Ia menyipitkan mata memerhatikan mobil tersebut.
Seiring setiap langkah, semakin jelas terlihat ada tiga orang yang
berdiri di dekat mobil itu. Seorang laki-laki dan dua wanita. Laki-laki itu
mengenakan topi dan kacamata hitam. Dari jauh saja Ify sudah bisa mengenali
pria itu Jung Tae-Rio. Ify melihatnya sedang berbicara dengan dua wanita,
bukan... lebih tepatnya dua gadis yang sepertinya siswi sekolah menengah. Kedua
gadis itu berbicara penuh semangat sementara Jung Tae-Rio mendengarkan sambil
sesekali tersenyum.
“Bagaimana, Oppa?”
Ify mendengar salah satu gadis itu bertanya penuh harap.
Jung Tae-Rio tersenyum dan baru akan menjawab ketika matanya
menangkap sosok Ify. “Oh.”
Ify menghentikan langkahnya tidak jauh dari tiga orang itu. Ia
tidak tahu harus berbuat apa. Menyapa Jung Tae-Rio? Ya, tentu. Setidaknya itu
pasti harus dilakukan terlebih dulu.
Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Jung Tae-Rio sudah buru-buru
menghampirinya dengan wajah cerah.
“Sudah datang?” tanya Jung Tae-Rio begitu berdiri di sampingnya.
Ify mengerjapkan mata dan menatap Jung Tae-Rio lalu beralih
memandang kedua gadis tadi. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sepertinya
baru pulang sekolah. Kedua-duanya berambut panjang dan bertubuh tinggi kurus.
Mereka juga sedang memerhatikan Ify dengan perasaan ingin tahu.
“Mereka Lee Mi-Ra dan Chon Jin-Ae,” kata Jung Tae-Rio
memperkenalkan kedua gadis tadi. Bagi Ify nama-nama itu tidak berarti apa-apa.
Ia yakin sebentar lagi ia pasti lupa, tapi ia mengangguk.
Kedua gadis itu tersenyum kepadanya. Menurut Ify senyum mereka
agak menakutkan.
“Apa kabar, Onni?” sapa mereka berdua bersamaan.
“Kami penggemar Tae-Rio Oppa,” kata salah seorang gadis
itu, rambutnya agak pirang. Ify sudah lupa siapa namanya.
Oh... ternyata penggemar.
“Onni ini pacarnya Tae-Rio Oppa, ya?” tanya yang
satunya lagi yang berambut agak keriting.
Bagaimana menjawabnya? Ify memandang Jung Tae-Rio yang diam saja,
lalu kembali memandang dua gadis di depannya itu.
“Kenapa?” tanyanya pada akhirnya.
Si keriting memandangi Ify dari kepala sampai ke ujung kaki, lalu
berkata pelan, “Onni berbeda sekali dengan yang di dalam foto.”
Ify baru menyadari bahwa selama ini, walau semua orang tahu Han
Soon-Alyssa adalah pacar Jung Tae-Rio,
mereka tidak pernah melihat wajah Han Soon-Alyssa yang sesungguhnya dengan
jelas.
“Kami membaca di tabloid kalian berdua sudah berpisah karena Onni
suka pada pria lain,” sela si pirang dengan cepat.
Alis Ify terangkat.
“Makanya kalian jangan langsung percaya pada apa yang kalian baca
di tabloid,” Jung Tae-Rio menyela. “Kalian lihat sendiri, kami masih baik-baik
saja.”
Kedua gadis itu berpandangan, lalu mereka memandangi Ify. Kini
mata mereka beralih ke Jung Tae-Rio.
Jung Tae-Rio menampilkan senyumnya yang paling menawan dan
berkata, “Baiklah, sekarang kalian pulang saja ya, sebelum orangtua kalian
cemas. Hati-hati di jalan.”
Ify agak kaget ketika Jung Tae-Rio meraih pakaian-pakaian yang
sedang dijinjingnya.
“Sini, biar kumasukkan bawaanmu ke mobil,” kata Jung Tae-Rio.
Ify membiarkan Jung Tae-Rio menuntunnya ke mobil. Jung Tae-Rio
membuka pintu mobil untuk Ify, lalu langsung berjalan memutar ke sisi
pengemudi.
Sebelum masuk ke mobil, Jung Tae-Rio sempat melambai kepada kedua
penggemarnya itu sambil berkata, “Sampai ketemu. Jangan keluyuran lagi.
Langsung pulang ke rumah, mengerti?”
“Ya,” jawab kedua gadis itu serentak.
Ify juga ikut tersenyum kepada mereka, lalu masuk ke mobil.
Memangnya apa lagi yang bisa dilakukannya?
Ketika mobil sudah mulai melaju, Jung Tae-Rio mengembuskan napas
lega. “Untunglah kau datang,” katanya sambil menoleh ke arah Ify. “Aku sudah
kehabisan akal tadi. Mereka memaksa mau ke rumahku. Masa tadi mereka sampai
mencegatku di tengah jalan.”
Sikap Jung Tae-Rio kelihatan biasa-biasa saja. Ia berbicara
seakan-akan waktu hampir sebulan tanpa berhubungan tidak pernah ada di antara
mereka. Ternyata kekhawatiran yang menguasai Ify sejak tadi tidak beralasan.
Jung Tae-Rio masih seperti dulu.
Ify memerhatikan Jung Tae-Rio yang memegang kemudi dan menatap
lurus ke jalan. Jung Tae-Rio sudah melepaskan kacamata hitamnya, tapi ia masih
memakai topi. Ify bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya Jung Tae-Rio baru
pulang dari mana. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung
sampai ke siku dan celana jins yang agak longgar. Apakah baru dari acara pemotretan?
Pandangan Ify kembali beralih ke wajah Jung Tae-Rio. Sepertinya sudah lama
sekali ia tidak melihat laki-laki itu. Sekarang Jung Tae-Rio ada di sampingnya.
Ia bisa melihatnya, bisa mendengar suaranya. Entah kenapa, mendadak Ify merasa
lega. Saking leganya sampai dadanya terasa sesak dan matanya terasa panas.
“Kenapa diam saja?” tanya
Jung Tae-Rio tiba-tiba.
Ify tersentak dan menyadari Jung Tae-Rio sedang menatapnya heran.
“Tidak apa-apa,” sahutnya sambil berpaling, memandang lurus ke
depan. “Kenapa kau tidak mengundang mereka ke rumahmu saja? Biar mereka puas.
Bukankah kau sangat memerhatikan penggemarmu?”
“Yang benar saja. Kalau mereka kuizinkan masuk, bagaimana kalau
lain kali mereka datang berbondong-bondong dan semua mau masuk?” kata Jung Tae-Rio
sambil tertawa.
Ify ikut tersenyum, tapi kemudian ia teringat sesuatu. Pikiran ini
membuatnya mengerutkan kening. “Tadi sepertinya salah satu gadis itu memegang
ponsel, tepat sebelum aku masuk ke mobil. Gadis yang pirang.”
“Lalu kenapa? Apa yang aneh?” tanya Jung Tae-Rio tidak mengerti.
Ify memiringkan kepala. “Tidak ada. Mungkin... mungkin hanya
perasaanku.”
Beberapa saat kemudian Jung Tae-Rio menghentikan mobil di depan rumahnya.
Ify mencondongkan tubuh ke depan dan memandangi rumah itu lewat
kaca depan mobil. Sudah lama ia tidak melihat rumah ini dan tiba-tiba ia merasa
rindu. Aneh sekali.
“Ayo, turunlah,” kata Jung Tae-Rio sambil melepaskan sabuk
pengaman.
“Mm?”
Jung Tae-Rio memandangnya. “Bukankah kau ke sini untuk menemuiku?”
Ify tersadar. “Oh, ya. Benar.” Ia segera membuka sabuk pengaman
dan keluar dari mobil.
Jung Tae-Rio sudah mengeluarkan pakaian-pakaian dari kursi
belakang mobil.
Ify mengikuti Jung Tae-Rio masuk ke rumah. Rumah itu sama seperti
terakhir kali ia tinggalkan. Tentu saja, pikirnya dalam hati. Memangnya sudah
berapa tahun aku tidak melihat rumah ini?
“Ayo, masuk,” kata Jung Tae-Rio sambil meletakkan pakaian-pakaian
dari Mister Kim di meja ruang duduk. “Kenapa malu-malu begitu? Kau kan juga
sudah pernah tinggal di sini.”
Ify mendengus, membuka sepatu, dan memakai sandal rumah yang sudah
tersedia. Kemudian ia menghampiri laki-laki itu.
“Nah, kenapa kau datang ke sini?” tanya Jung Tae-Rio. Ia berjalan
ke dapur. “Mau minum apa?”
“Itu.” Ify menunjuk pakaian-pakaian di meja ruang duduk. “Mister
Kim memintaku membawakannya untukmu.”
Jung Tae-Rio hanya memandang tumpukan pakaian itu sekilas lalu
membuka lemari es. “Oh, kenapa repot-repot? Bukankah sudah kukatakan padanya
aku akan ke butiknya besok.”
Oh ya? Lalu kenapa Mister Kim menyuruhnya ke sini? Ify heran.
Sebenarnya sejak pertama kali disuruh membawakan pakaian untuk
Jung Tae-Rio, ia sudah heran. Kenapa Mister Kim menyuruhnya membawakan pakaian
untuk Jung Tae-Rio? Biasanya tugas Ify bukan itu. Tugas Ify sebelumnya adalah
semacam asisten pribadi Mister Kim, bukan kurir.
“Mau minum apa?”
“Tidak usah.”
“Ya sudah, minum jus saja. Ini.”
Ify menerima sebotol jus apel yang disodorkan Jung Tae-Rio.
“Jadi hanya itu?” tanya Jung Tae-Rio lagi.
“Mm?”
“Kau kemari hanya untuk itu?”
“Oh,” gumam Ify, lalu bertanya, “apa kabarmu? Baik-baik saja?”
Jung Tae-Rio meneguk air dan mengangguk. “Baik-baik saja.”
“Sibuk sekali?” tanya Sandy hati-hati.
Jung Tae-Rio berpikir sebentar. “Tidak juga,” jawabnya.
Ify menarik napas dan mengangguk-angguk. Tidak sibuk. Tidak sibuk
katanya.
“Kenapa?” Jung Tae-Rio menundukkan kepala sedikit untuk melihat
wajah Ify.
“Mm?” Lalu sebagai jawaban, Ify hanya tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Rio tersenyum. “Rindu padaku?”
Mata Ify membesar. Apa katanya?
Senyum Jung Tae-Rio melebar. “Rindu padaku, kan? Aku benar, kan?”
Ify mendengus pelan dan tertawa kecil. “Tidak.”
Jung Tae-Rio memasang wajah kecewa. “Tidak?”
“Tidak,” kata Ify sekali lagi.
“Wah, berarti usahaku sia-sia,” kata Jung Tae-Rio sambil berjalan
ke arah piano putihnya.
“Usaha apa?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio duduk menghadap pianonya. “Tidak apa-apa. Lupakan
saja.”
Ify menghampirinya. “Sudah lama tidak mendengarmu main piano,”
kata Ify sambil berdiri bertopang dagu di piano Jung Tae-Rio. “Mainkan satu
lagu.”
Jung Tae-Rio berpikir-pikir sejenak. “Aku akan main dengan satu
syarat.”
Ify mengangkat dagu, menantangnya. “Syarat apa?”
“Kalau suatu saat nanti kau rindu padaku, kau mau memberitahuku?”
tanya Jung Tae-Rio.
Ify mengerutkan kening karena merasa lucu. “Syarat apa itu?”
“Setuju atau tidak?” tanya Jung Tae-Rio sambil memosisikan sepuluh
jarinya di atas tuts-tuts piano. Ia menatap Ify lurus-lurus, menunggu jawaban.
“Kenapa aku harus memberitahumu?” tanya Ify lagi.
“Supaya aku bisa langsung berlari menemuimu,” jawab Jung Tae-Rio
ringan.
Ify tertegun. Ia merasa jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.
Apakah laki-laki itu sungguh-sungguh? Apa maksudnya?
Akhirnya Ify berdehem dan berkata, “Baiklah, aku akan
memberitahumu kalau suatu saat nanti aku rindu padamu. Tapi kau tidak perlu
berlari menemuiku, nanti kau capek.”
Jung Tae-Rio tertawa. Tiba-tiba ia berseru pelan, “Ah, ada satu hal
lagi sebelum aku main!”
“Apa?”
Ia menatap Ify. “Artikel itu,” katanya ragu-ragu. “Artikel tentang
‘perselingkuhanmu’ itu... bukan aku yang mengatakannya.”
“Oh...”
“Aku hanya ingin kau tahu,” kata Jung Tae-Rio lagi. “Jad kau tidak
usah mencemaskan masalah itu lagi. Serahkan saja padaku.”
Dalam hati, Ify sudah tahu bukan Jung Tae-Rio yang menyebarkan
gosip tersebut. Maka tanpa ragu ia pun langsung mengangguk.
“Tapi, apakah kau memang... maksudku, apakah sekarang kau memang
dekat dengan seseorang?”
“Kau sendiri yang bilang gosip-gosip seperti itu tidak bisa
dipercaya. Kenapa bertanya seperti itu?” tanya Ify kesal.
“Aku memang tidak percaya. Makanya aku bertanya langsung padamu,”
kata Jung Tae-Rio membela diri. Aku ingin tahu jawabannya darimu.”
Ify meringis. “Tidak, semua yang ditulis di artikel itu tidak
benar.”
Jung Tae-Rio mengangguk. “Oke, aku percaya padamu. Ah, satu hal
lagi.”
Ify menghela napas. “Apa lagi? Kau sebenarnya mau main atau
tidak?”
“Kalau suatu saat nanti aku rindu padamu, bolehkah kukatakan
padamu?”
Pertanyaan itu membuat hati Ify berdebar-debar lagi.
“Boleh...,” sahut Ify, berusaha agar suaranya tidak terdengar
gugup. “Terserah kau saja.”
“Aku rindu padamu.”
Kali ini Ify merasa jantungnya berhenti berdegup. Ia hanya bisa
menatap laki-laki yang sedang tersenyum itu. Ia tidak bisa mengucapkan apa pun,
tidak bisa memikirkan apa pun.
“Baiklah,” kata Jung Tae-Rio akhirnya. “Sekarang lagu apa yang
harus kumainkan?”
No comments:
Post a Comment