Friday, 29 June 2012

Summer In Seoul [15 & 16]


Lima Belas

“HEI, lagi dengerin lagu apa nih?”
Ify menoleh ke arah suara yang bernada ceria dan penuh semangat itu. Zahra, saudara sepupunya yang sebaya dengannya, masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Sebelum Ify menjawab, zahra sudah meraih kotak CD yang sedang dipegang Ify.
“Cakep amat nih cowok,” komentarnya ketika melihat cover depan CD yang gambarnya foto Jung Tae-Rio itu. “Lho, Fy, kok ada tanda tangan segala? Ini beneran tanda tangan penyanyi ini? Lo pernah ketemu?”
Ify tertawa dan merebut kotak CD itu kembali. “Ya. Waktu itu aku pergi ke acara jumpa penggemarnya.”
Ia melihat Zahra  hanya meringis dan mengangkat bahu. Ada kalanya ia ingin seperti sepupunya itu. Zahra gadis yang periang, santai, dan berbakat dalam bahasa. Lihat saja, walaupun menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Paris bersama ayahnya dan hanya sesekali mengunjungi ibunya di Jakarta bila sedang liburan seperti sekarang, bahasa Indonesia Zahra  tanpa cela. Bahkan ia sama sekali tidak kesulitan mengikuti perkembangan bahasa gaul Indonesia. Tidak seperti Zahra yang bahasa Indonesia-nya masih terdengar agak resmi.
“Ada rencana apa hari ini?” tanya Ify. “Kok pagi-pagi sudah ke sini?”
“Gue bosan di rumah,” jawab sepupunya ringan. Ia duduk di tepi tempat tidur Ify dan merapikan ikal-ikal rambutnya. “Ngomong-ngomong, lo kok tiba-tiba nongol di Jakarta. Bikin kaget aja. Lagi patah ati?”
“Apa?”
“Udah punya gebetan belon sih?” Zahra  mengganti pertanyaannya.
“Apa itu gebetan?”
Mata Zahra melebar. “Yee... lo ini orang Indonesia apa bukan?” katanya sambil tertawa kecil. “Maksud gue tuh, lo udah punya cowok yang ditaksir belon? Udah punya cowok belon? Gitu lho.”
Senyum Ify mengembang. “Sudah,” jawabnya sambil menunjuk gambar cover depan CD Jung Tae-Rio. “Ini dia.”
Zahra  meringis. “Iye, gue juga punya affair sama Brad Pitt,” katanya cepat. “Gimana sih, ditanya baek-baek kok jawabnya gitu.”
Ify juga sudah memperkirakan Zahra tidak akan percaya. Ia menatap wajah Jung Tae-Rio di cover CD itu. Sudah satu minggu ia berada di Jakarta, dan selama satu minggu itu ia tidak bisa melihat foto-foto dan artikel Jung Tae-Rio di tabloid dan di televisi. Namun masih ada Young-Via yang sering mengirimkan SMS untuk mencerita-kan kabar terbaru. Jung Tae-Rio juga kadang-kadang mengirim SMS untuk mengabarkan keadaannya.
“Zahra, bisa pinjam handphone-mu sebentar?”
Pourquoi? Kenapa?” tanya Zahra  sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya.
“Pulsaku sudah habis. Aku mau kirim SMS ke temanku di Korea. Aku mau bilang lusa aku akan balik ke Korea,” Ify menjelaskan.
Zahra menggeleng-geleng sambil mendesah. “Lo jangan ngomong pake bahasa yang seresmi itu dong. Gue jadi merinding nih. Pake aku-kamu segala. Emang kita pacaran?”
Ify hanya tertawa. Zahra membantunya mengirim SMS kepada Young-Via dalam bahasa Inggris karena ponsel Zahra tidak memiliki fasilitas huruf hangeul dan karena Ify sendiri tidak begitu bisa bahasa Inggris. Menulis bahasa Korea tanpa hangeul terasa terlalu aneh.
“Nih, udah kekirim,” kata Zahra, lalu ia bangkit dari tempat tidur Ify. “Sekarang kita cabut yuk!”
“Apa? Kamu mau ke mana?”
Zahra memandangi dirinya di cermin yang tergantung di dinding, berbalik ke kiri, berbalik ke kanan, lalu mendekatkan wajah ke cermin, seakan-akan ingin memeriksa apakah ada setitik debu di ujung hidungnya. “Kita ke Bandung. Mau nggak?” usul Zahra sambil menjauhkan wajahnya dari cermin. “Gue lagi pengin jalan nih. Bukan cuma lo yang patah ati. Gue juga lagi bete. Hari ini kita have fun aja. Ayo dong! Lelet amat sih nih anak. Ganti baju sana!”
* * *

“Jadi kamu pasti kembali hari ini?” tanya Young-Via dengan ponsel yang ditempelkan di telinga. Ia mengucapkan terima kasih kepada pelayan toko yang menyerahkan barang belanjaannya dan kembali memusatkan perhatian pada Ify yang sedang berbicara di ujung sana.
“Mm,” jawab Ify. Suaranya kurang jelas karena sambungan internasional. “Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang. Dua jam lagi aku akan berangkat lagi ke bandara. Pesawatku berangkat tengah malam, jadi menurut jadwal aku akan sampai besok pagi.”
Young-Via mendorong pintu kaca toko dan keluar. “Oke. Aku akan menjemputmu di bandara nanti.”
“Tidak usah. Aku bisa naik taksi sendiri. Bukankah kau harus membantu ibumu?”
“Biasanya tidak ada pelanggan yang datang pada jam-jam segitu,” bantah Young-Via. “Jung Tae-Rio sedang di Amerika Serikat, jadi tidak bisa pergi menjemputmu.”
“Aku tahu. Dia pulang hari ini juga, tapi mungkin sampai di Seoul agak malam besok.”
Young-Via meringis. “Rupanya kau masih berhubungan dengan dia. Memangnya ibumu tidak marah-marah?”
Young-Viamendengar temannya tertawa kecil di seberang sana, lalu Ify berkata, “Tidak, sebenarnya ibuku tidak benar-benar marah. Ibuku hanya sedih karena teringat lagi pada Angel. Ibuku juga kesal karena kedua anak perempuannya menjadi bahan pembicaraan di Korea. Tapi sekarang gosipnya sudah mereda, kan?”
Young-Via mengangguk, walaupun ia tahu Ify tidak bisa melihat anggukan kepalanya. “Ya, Jung Tae-Rio sudah menyelesaikannya. Entah bagaimana. Setidaknya sekarang dia memang sibuk sekali.”
“Oh, begit—AHH!”
Young-Via berhenti berjalan. Ia mengerutkan kening. “Halo? Halo? Soon-Alyssa?”
Tidak ada jawaban. Sambungan telepon sudah terputus. Young-Via menatap ponselnya, lalu menelepon ponsel Ify. Tidak bisa. Young-Via mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa.
Awalnya Young-Via tidak begitu merisaukan hubungan telepon yang terputus, tapi ketika tidak bisa menemukan Ify di bandara waktu ia menjemput keesokan harinya, ia mulai cemas. Ia kembali berusaha menghubungi ponsel Ify, tapi tetap tidak bisa tersambung.
Young-Via kebingungan. Ia tidak tahu nomor telepon rumah Ify di Jakarta. Ia harus menghubungi siapa? Tiba-tiba ia teringat pada SMS yang diterimanya dari Ify dengan menggunakan ponsel saudara sepupunya. Young-Via memeriksa ponselnya. Semoga saja SMS dari nomor ponsel sepupu Ify itu masih ada.
Ah, ternyata belum dihapus. Syukurlah.
Young-Via cepat-cepat menghubungi nomor itu dan menunggu dengan tidak sabar.
“Halo?” Terdengar jawaban dari seberang sana. Suara perempuan. Saudara sepupu Ify atau bukan? Sepertinya memang benar.
Young-Via berusaha menyusun kata-kata dalam bahasa Inggris secara kilat. “Hello,” katanya ragu-ragu. “Is this Soon-Alyssa’s cousin?
Yes,” jawab perempuan itu. Suaranya terdengar aneh. “This is Zahra. Who’s speaking?
Untunglah sepupu Ify bisa berbahasa Inggris dengan lancar. “My name is Kang Young-Via. Soon-Alyssa’s friend from Korea,” kata Young-Vua memperkenalkan diri. “I need to ask you something. Soon-Alyssa told me that she would arrive in Korea today, but I couldn’t find her at the airport. She couldn’t make it?
Begitu mendengar jawaban sepupu Ify, mata Young-Via terbelalak. ”Apa?! I’m sorry... what was that? Can you say that again, please?
Young-Via merasa tubuhnya lemas seketika. Begitu memutuskan hubungan, ia langsung menghubungi Jung Tae-Rio melalui ponsel Park Hyun-Shik karena ia tidak punya nomor ponsel Jung Tae-Rio. Tidak tersambung. Mungkin Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio sedang berada dalam pesawat yang membawa mereka pulang ke Korea dari Amerika Serikat.
Young-Viamenutup flap ponselnya dengan keras. Ia mengacak-acak rambut dengan perasaan putus asa. Ia harus segera memberitahu Jung Tae-Rio apa yang sudah terjadi pada Ify.

“Lelah sekali,” gumam Park Hyun-Shik sambil masuk ke mobil yang sudah menunggu mereka di pintu depan bandara.
Tae-Rio menyandarkan kepala ke kursi. Ify seharusnya sudah kembali ke Korea hari ini. Benarkah telah nyaris satu bulan berlalu sejak terakhir ia bertemu gadis itu? Hari ini ia bakal bisa menemuinya. Tae-Rio merasa semangatnya pulih kembali begitu berpikir ia bisa melihat Ify.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri sejak kapan gadis itu menjadi salah satu alasannya untuk menjalani hari-hari. Karena ingin melihat dan bersama gadis itu, maka ia tetap bertahan, tetap bangun di pagi hari, tetap bernapas. Sekarang Tae-Rio bisa memahami apa artinya bila seseorang ingin tetap bertahan hidup demi orang lain. Ia sering menonton drama yang tokoh utamanya mengidap penyakit parah yang mematikan, namun ingin tetap bertahan hidup demi orang yang dicintainya. Sebelum ini, Tae-Rio tidak terlalu memahami perasaan seperti itu tapi sekarang, walaupun tidak mengidap penyakit apa pun, ia ingin tetap hidup. Karena dalam hidup ini, ada seseorang yang sangat berharga baginya. Karena dalam hidup ini, ia ingin selalu bisa melihat dan bersama orang itu.

 “Aneh. Teman Ify yang bernama Kang Young-Via itu sudah meneleponku belasan kali.”
Lamunan Tae-Rio dibuyarkan suara manajernya. Ia menoleh dan melihat Park Hyun-Shik sedang mengerutkan kening menatap ponselnya.
“Kang Young-Via?” tanya Tae-Rio.
Park Hyun-Shik mengangguk. “Aku juga baru tahu setelah kuaktifkan ponselku kembali.”
Tae-Rio ikut mengeluarkan ponsel dan mengaktifkannya.
Tiba-tiba ponsel Park Hyun-Shik berbunyi.
“Dari Kang Young-Via,” kata Park Hyun-Shik dan segera menjawab teleponnya.
Tae-Rio memerhatikan manajernya berbicara dengan teman Ify itu.
“Kang Young-Via ssi, bicaranya pelan-pelan saja. Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan,” kata Park Hyun-Shik. “Jung Tae-Rio? ... Ya, dia ada di sini... Mau bicara dengannya? ... Oke, sebentar.”
Tae-Rio mengerutkan dahi. Mendadak saja perasaannya tidak enak. Apa ada hubungannya dengan Ify?
Ia menerima ponsel dari Park Hyun-Shik. “Ya?”
“Jung Tae-Rio ssi, aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi ponsel Paman Park Hyun-Shik tidak aktif dan aku tidak tahu nomor ponselmu.” Tae-Rio mendengar suara teman Ify itu agak gugup dan kacau.
“Aku dan Hyun-Shik Hyong memang baru turun dari pesawat, jadi ponsel kami berdua tidak aktif tadi,” Tae-Rio menjelaskan. Perasaannya semakin tidak enak. “Ada apa kau mencariku?”
“Soon-Alyssa...”
Kenapa ia tiba-tiba merasa sulit bernapas?
“Ada apa dengan Ify?” tanyanya. Tangannya mulai terasa dingin. Ia sendiri mulai panik. “Di mana dia?”
“Soon-Alyssa masih di Jakarta.”
“Dia tidak pulang hari ini? Kenapa?”
Kang Young-Via tidak bersuara sejenak. Tae-Rio baru akan memanggilnya ketika gadis itu berbicara lagi. “Dia mengalami kecelakaan.”
“Apa?”
Kali ini penjelasan Kang Young-Via mengalir dengan lancar. “Tadi aku sudah menelepon saudara sepupunya yang ada di Jakarta karena ponsel Soon-Alyssa tidak bisa dihubungi. Dia yang mengatakan padaku Soon-Alyssa mengalami kecelakaan lalu lintas. Taksi yang ditumpanginya terlibat dalam tabrakan beruntun di jalan tol.”
Tae-Rio merasa dadanya berat sekali, susah bernapas, darahnya seolah-olah membeku begitu saja. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Belum sadar.” Suara Kang Young-Via mulai pecah. Sepertinya gadis itu mulai menangis.
Belum sadarkan diri... Ya Tuhan...
Tae-Rio berusaha keras untuk menarik napas. “Di rumah sakit mana? ... Aku mengerti... Terima kasih.”
Ify sedang terbaring tidak sadarkan diri...
“Tae-Rio, ada apa? Ify masuk rumah sakit?”
Tae-Rio mendengar suara Park Hyun-Shik, tapi ia tidak punya tenaga untuk menjawab. Pikirannya kalut.
“Hei, Jung Tae-Rio!”
“Aku harus ke sana,” katanya cepat tanpa memandang manajernya. “Aku harus ke Jakarta.”

Zahra memeluk rantang dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain mem-betulkan letak tali tasnya. Rantang berisi makanan itu akan diberikannya kepada orangtua Ify yang sudah menunggui Ify semalaman di rumah sakit. Ibu Zahra yang menyuruhnya membawakan makanan untuk mereka.
Ia melangkah memasuki pintu depan rumah sakit besar itu dan berjalan ke lift. Siang ini ia tidak ada jadwal apa pun, sorenya juga tidak ada acara penting. Zahra berencana membujuk oom dan tantenya itu istirahat. Ia bisa menjaga Ify bila oom dan tantenya mau pulang sebentar. Zahra merasa kasihan pada kedua orang itu. Kemarin ibu Ify banyak menangis dan ayah Ify juga sempat menangis setelah melihat anak perempuan terbaring di kamar rumah sakit dengan tubuh dan wajah penuh luka.
Ting!
Zahra tersentak mendengar denting bel yang menandakan terbukanya pintu lift. Ia mengembuskan napas keras dan keluar dari lift. Ketika akan membelok menuju kamar Ify, ia menghentikan langkahnya. Di depan pintu kamar Ify ia melihat dua laki-laki yang tidak dikenalnya sedang berdiri berhadapan dengan kedua orangtua Ify. Zahra melihat oomnya merangkul tantenya yang sesekali menyeka air mata dengan sapu tangan sambil mengangguk-angguk kecil.
Zahra menyipitkan mata. Sepertinya ia pernah melihat salah satu dari kedua laki-laki itu. Bukan yang berkacamata, tapi yang berdiri di samping temannya dengan kepala tertunduk. Raut wajah laki-laki itu kelihatan kusut. Tunggu... bukankah laki-laki itu sama dengan laki-laki yang fotonya ada di sampul depan CD yang pernah ditunjukkan Ify kepadanya? Zahra memerhatikan lebih cermat lagi. Benar... memang orang itu. Orang itu berarti... artis?
Kemudian Zahra melihat orangtua Ify berjalan mengikuti si laki-laki berkacamata. Si artis menundukkan kepala kepada orangtua Ify, tapi ia tidak ikut pergi. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar tempat Ify dirawat.
Laki-laki itu memegang pegangan pintu kamar sejenak. Tidak bergerak. Lalu dengan perlahan ia membuka pintu dan masuk.

Tae-Rio merasa tubuhnya lelah sekali. Belum pernah ia merasa seperti ini. Seluruh tenaganya seakan sudah terserap habis. Dadanya terasa begitu berat. Ia naik pesawat pertama yang bisa didapatkannya ke Jakarta, lalu langsung ke rumah sakit tempat Ify dirawat. Semuanya berjalan seperti mimpi. Ketika ia bertemu kedua orangtua Ify untuk pertama kalinya, ketika ia berbicara pada mereka, meminta supaya ia diizinkan melihat Ify, ia masih merasa dalam keadaan setengah sadar.
Ia masuk ke kamar Ify dan hatinya seakan diremas begitu kuat ketika melihat gadis itu berbaring dengan mata terpejam. Tae-Rio menghampiri tempat tidur dan memerhatikan wajah Ify yang lebam. Kepalanya diperban, begitu juga siku dan sebelah kakinya.
Tae-Rio menarik kursi dan duduk di sisi tempat tidur. Ia tersenyum lemah.
“Ini aku,” bisiknya pelan.
Gadis itu tetap diam tidak bergerak.
Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh tangan Ify. “Sudah lama tidak melihatmu. Kau tahu, aku hampir melupakan wajahmu. Kalau aku sampai lupa bagaimana wajahmu, aku tidak bakal bisa melakukan apa pun lagi. Kau tahu kenapa? Karena aku akan terlalu sibuk berusaha mengingat wajahmu sampai-sampai tidak mampu memikirkan masalah lain. Gawat, kan?”
Ia membelai pipi Ify dengan ujung jemarinya. “Sekarang setelah melihatmu, aku baru ingat. Ah, benar... Matamu seperti ini... hidungmu seperti ini... mulutmu... dahimu... dan rambutmu.”
Ia menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. “Kenapa aku bisa lupa wajahmu?” Tae-Rio mendesah. “Ingatanku memang buruk, aku tahu. Menurutmu aku harus bagaimana? Menurutku, aku harus melihatmu setiap hari supaya tidak lupa. Itu artinya kau harus selalu di sisiku, bersamaku. Bagaimana?”

Zahra menghampiri pintu kamar Ify dan ragu-ragu sebentar. Ia tidak punya pikiran atau maksud apa pun. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan laki-laki itu di kamar Ify. Karena itu ia memantapkan hati dan membuka pintu itu dengan perlahan.
Ia melihat laki-laki itu duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu tidak menyadari kehadirannya di balik pintu. Zahra  melihatnya menggenggam tangan Ify dengan salah satu tangannya. Zahra tertegun melihat cara laki-laki itu memandang saudara sepupunya. Belum pernah ada orang yang menatapnya dengan cara seperti itu. Zahra bukan tipe orang yang romantis, tapi ia merasa tatapan itu begitu tulus. Ia pasti sudah luluh jika ada orang yang menatapnya penuh perasaan seperti itu.
Laki-laki itu sedang berbicara. Samar-samar Zahra bisa mendengar suaranya, ia tahu laki-laki itu berbicara dalam bahasa Korea, tapi tidak mengerti apa yang sedang dikatakannya. Sambil berbicara, laki-laki itu menyentuh wajah Ify dengan ujung jemarinya. Hanya dengan ujung jemari, dan perlahan sekali, seakan-akan takut akan menyakiti gadis yang terbaring di tempat tidur itu. Tanpa disadarinya, Zahra menahan napas, terkesima melihat laki-laki itu dan Ify. Suara laki-laki itu pelan dan dalam. Walaupun Zahra tidak mengerti sedikit pun apa yang diutarakannya, herannya ia bisa merasakan perasaan yang mengalir melalui ucapan laki-laki itu.
Laki-laki itu menghela napas berat. Ia menatap wajah Ify dan saat itu Zahra mendengar laki-laki itu berbisik, “Sarang hae...”
Kerongkongan Zahra tercekat dan entah kenapa air matanya bergulir turun. Yang membuat Zahra tersentuh adalah cara laki-laki itu mengucapkannya: dengan segenap perasaan, seolah-olah tidak lagi punya tenaga untuk mengucapkan kata-kata lain. Zahra tidak bisa berbahasa Korea, tapi ia tahu arti kalimat barusan.
Aku mencintaimu....


Enam Belas

BEBERAPA hari setelah itu Tae-Rio terus berada di Jakarta. Park Hyun-Shik sibuk membatalkan dan menyusun ulang jadwal kerja Tae-Rio. Tae-Rio ingin berada di dekat Ify. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengenal kedua orangtua Ify. Setelah mengenal mereka secara pribadi, ia baru mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya kedua orangtua Ify tidak membencinya karena kejadian empat tahun lalu.
“Masih sama. Belum sadar,” kata Tae-Rio sambil duduk di bangku panjang di koridor rumah sakit. Ia menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga dan bersandar ke dinding. Ibunya menelepon dari Amerika untuk menanyakan keadaan Ify. “Tentu, Ibu. Kalau ada kabar apa pun, aku akan menelepon Ibu... Ya, Hyong masih di sini menemaniku... Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri... Ya, bye.”
Tae-Rio menutup ponsel dan memejamkan mata. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Ia lelah, tapi tidak bisa terlelap. Orangtua Ify juga begitu. Ayah Ify sudah kembali bekerja tapi datang menjenguk putrinya tiap sore. Ibunya selalu berada di rumah sakit. Tadi sepupu Ify yang bernama Zahra  datang dan kini menemani ibu Ify pergi makan siang di kafetaria rumah sakit.
Sambil menarik napas panjang, Tae-Rio kembali ke kamar Ify. Ia duduk di tempatnya seperti biasa, di sisi tempat tidur. Dokter pernah berkata, bila Ify sadarkan diri, ia akan baik-baik saja. Masalahnya, dokter tidak tahu kapan Ify akan sadar. Gadis itu tetap terbaring tak bergerak, tidak membuka mata.

Tae-Rio menggenggam tangan Ify. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia mengerutkan kening. Apakah ia salah lihat tadi? Sepertinya kelopak mata Ify bergerak. Tidak, ia hanya bermimpi.
Tapi kemudian ia merasakan tangan Ify yang sedang digenggam bergerak. Ia tersentak dan menatap wajah Ify dengan jantung berdebar keras.
Kelopak mata gadis itu bergerak, lalu perlahan-lahan matanya terbuka.
Tae-Rio merasa begitu lega sampai kakinya terasa lemas. Ify sadar! Ia sudah sadar. Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh pipi Ify. Gadis itu menoleh lemas dan matanya bertemu mata Tae-Rio.
“Kau sudah sadar,” kata Tae-Rio kepadanya, senyumnya mengembang. Ia begitu lega, begitu bahagia sampai ia ingin melompat. “Bagaimana perasaanmu?”
Ify membuka mulut, tapi terlalu tak bertenaga untuk berbicara. Tae-Rio cepat-cepat menggeleng. “Jangan bicara dulu. Kau masih lemah. Tunggu sebentar, kita harus memanggil dokter.”
Tae-Rio menekan tombol merah di dekat tempat tidur dan kembali memandangi Ify. Kelihatannya gadis itu masih setengah terjaga, karena matanya sesekali terpejam, lalu terbuka lagi, tapi dari matanya Tae-Rio tahu Ify mengenalinya.
Gadis itu memandangnya, lalu membuka mulut lagi. Tae-Rio mendekatkan telinganya ke wajah Ify untuk mendengarkan kata-katanya.
“Aku... rindu... padamu.”
Tae-Rio tertegun. Suara Ify memang lebih mirip bisikan, tapi ia mendengar kata-kata itu dengan jelas. Tae-Rio tersenyum dan berkata pelan, “Aku juga.”
Tidak lama kemudian, terdengar pintu dibuka. Tae-Rio menoleh dan melihat dokter dan perawat bergegas masuk. Ia menoleh kembali kepada Ify dan berkata, “Dokter sudah datang. Aku akan pergi sebentar untuk memanggil ibumu. Kau sudah tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja.”
“Ibumu sudah tahu aku yang akan mengantarmu pulang,” kata Jung Tae-Rio sambil meletakkan tas Ify di sofa kamar.

Hari ini Ify sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Keadaannya sudah membaik walaupun tubuhnya masih agak lemah. Lagi pula setelah seminggu siuman di rumah sakit, Ify mulai merasa bosan setengah mati.
Ketika tabrakan keras itu terjadi, hal terakhir yang diingatnya adalah Jung Tae-Rio. Bahwa ia belum bertemu laki-laki itu lagi. Belum bicara dengannya. Ia takut tidak akan pernah punya kesempatan melihat Jung Tae-Rio lagi. Lalu semuanya gelap. Ia tidak tahu apa-apa lagi.
Ia nyaris tidak percaya pada apa yang dilihatnya ketika pertama kali membuka mata. Ia melihat wajah Jung Tae-Rio. Seperti sedang bermimpi. Kalau bermimpi, saat itu ia tidak ingin bangun. Tapi ternyata itu kenyataan. Jung Tae-Rio sungguh ada di sana, di sisinya, menggenggam tangannya dan berbicara padanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Ify tersentak dari lamunan dan melihat Jung Tae-Rio sedang menatapnya dengan alis terangkat. Ify tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Rio mendorong kursi roda ke samping tempat tidur. “Ayo, kubantu,” katanya.
Ify membiarkan Jung Tae-Rio menggendongnya dan mendudukkannya di kursi roda. Walaupun sebagian perbannya sudah dilepas, kakinya masih tidak kuat untuk berjalan atau berdiri, karena itu mereka membutuhkan kursi roda.
“Sebelum pulang ke rumah, aku ingin membawamu ke suatu tempat,” kata Jung Tae-Rio sambil meraih tas Ify dan mendorong kursi roda Ify keluar pintu.
“Kita mau ke mana?” tanya Ify heran.
“Aku ingin mengajakmu makan siang. Untuk merayakan kesembuhanmu.”
“Di mana?”
“Kau akan tahu.”
“Kita naik apa?”
“Tentu saja naik mobil. Eh... kau tidak takut, kan?” tanya Jung Tae-Rio agak ragu.
Ify menggeleng. “Bukan begitu maksudku. Ini bukan di Korea. Di Indonesia kemudi mobil ada di sebelah kanan. Memangnya kau bisa?”
Jung Tae-Rio tertawa. “Ada orang yang akan mengemudikan mobil. Aku juga sudah memperingatkannya untuk mengemudi dengan hati-hati sekali.”
“Siapa?”
“Kalau kukatakan, kau tidak akan kenal siapa dia.”
Ify memiringkan kepala dan tidak bertanya-tanya lagi. Bertanya juga tidak ada gunanya kalau Jung Tae-Rio sudah tidak mau mengatakan apa-apa.
Ternyata Ify memang tidak mengenal pria setengah baya yang mengemudikan mobil itu. Ify melihat Jung Tae-Rio berbicara padanya dalam bahasa Inggris, lalu pria setengah baya itu mengangguk mengerti. Mereka pun berangkat.
Mereka berhenti di hotel terkenal di daerah Jakarta Selatan.
“Kita mau makan di sini?” tanya Ify ragu-ragu.
“Ya. Aku sudah memesan tempat. Ayo, kubantu keluar,” kata Jung Tae-Rio.
Ify cepat-cepat menahannya. “Tunggu sebentar, Jung Tae-Rio ssi. Aku... maksudku, aku tidak masuk ke tempat seperti itu dengan kursi roda. Maksudku—“
Kata-kata Ify terputus ketika Jung Tae-Rio memegang wajahnya dengan kedua tangan.
“Tidak apa-apa. Ada aku,” katanya sambil tersenyum menenangkan.
Ify tidak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan dirinya didudukkan di kursi roda dan didorong masuk ke lobi hotel.
Seorang pegawai hotel sepertinya sudah mengenal Jung Tae-Rio. Ia langsung tersenyum ramah dan langsung menunjukkan jalan menuju restoran.
Ify merasa agak aneh ketika masuk ke restoran itu dan tidak melihat seorang pun di sana. Hanya ada beberapa pelayan yang berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. Ify juga memerhatikan ada beberapa pria yang memainkan alat musik di panggung kecil di tengah restoran.
Pegawai hotel yang mengantar mereka menunjukkan meja yang sudah disiapkan untuk mereka, di bagian depan, dekat panggung. Ify juga melihat ada grand piano hitam serta pemusik yang duduk di sana dan memainkannya.
Ketika Jung Tae-Rio sudah duduk berhadapan dengannya, Ify membuka mulut. “Kenapa aku merasa kau sudah mengatur semua ini?”
“Mengatur apa?” Jung Tae-Rio balas bertanya dengan raut wajah tanpa dosa.
Ify tersenyum. “Tidak ada orang di restoran ini, kecuali pelayan dan beberapa pemain musik. Jangan-jangan penyebabnya adalah kau.”
Jung Tae-Rio hanya tertawa.
Tak lama kemudian makanan mereka diantarkan. Sepertinya sudah lama sekali sejak Ify makan bersama Jung Tae-Rio. Ia sangat menikmatinya. Ia selalu merasa senang berada di dekat Jung Tae-Rio. Bila ia bersama laki-laki itu, ia merasa lebih tenang, lebih bahagia.
Saat mereka selesai makan, Ify baru akan mengatakan sesuatu ketika Jung Tae-Rio mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya.
“Aku tahu apa yang kauinginkan,” kata Jung Tae-Rio yakin.
Alis Ify terangkat.
“Dari tadi kau terus melirik piano di sana itu,” kata Jung Tae-Rio. “Aku sudah tahu kau akan memintaku bermain piano. Benar tidak?”
Ify kaget dan tertawa. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.
“Tentu saja,” sahut Jung Tae-Rio. “Karena aku mengenalmu.”
Ify memerhatikan Jung Tae-Rio saat ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah piano. Pria yang tadinya bermain piano berdiri dan mempersilakan Jung Tae-Rio duduk. Saat itu juga lampu sorot entah di mana menyala menyinari piano itu. Jung Tae-Rio duduk di depan piano dan memosisikan jari-jari tangan di tuts-tutsnya.

Jung Tae-Rio menatap If dan bertanya, “Kau ingin aku memainkan lagu apa?”
“Apa saja,” jawab Ify cepat.
“Aku sudah menulis sebuah lagu,” kata Jung Tae-Rio sambil menekan beberapa nada di piano. “Sebenarnya lagu ini kutulis untukmu, tapi belum ada liriknya, juga belum ada judulnya. Untuk sementara ini hanya ada nadanya.”
Biarpun begitu, Ify tetap merasa tersanjung.
Jung Tae-Rio mulai memainkan piano. Ify sangat suka mendengar Jung Tae-Rio bermain. Setiap nada yang keluar dari piano itu begitu hidup, membentuk melodi indah. Walaupun masih belum ada liriknya, Ify sangat senang dengan kenyataan bahwa Jung Tae-Rio menulis lagu itu untuknya.
Ketika lagu itu berakhir, Ify bertepuk tangan bersama para pemusik lain. Ify mengira Jung Tae-Rio akan kembali ke meja mereka, tapi laki-laki itu malah mengambil mikrofon. Lalu salah seorang pemusik tadi mengambilkan bangku tinggi dan meletakkannya di tengah-tengah panggung. Para pemusik lain bersiap-siap kembali dengan alat musik mereka. Apa yang sedang dilakukan Jung Tae-Rio?
Jung Tae-Rio tersenyum padanya. Laki-laki itu menyalakan mikrofon dan berkata, “Sebenarnya aku ingin menyanyikan laguku sendiri untukmu, tapi tidak ada yang cocok dengan apa yang ingin kukatakan padamu sekarang. Jadi, aku akan menyanyikan lagu lain.” Ia terdiam sejenak dan melanjutkan, “Ada satu lagu yang rasanya cocok.”
Jung Tae-Rio akan menyanyi? Ify menunggu dengan hati berdebar.
Jung Tae-Rio memberi tanda kepada para pemusik dan musik mulai mengalun. Ia pun mulai bernyanyi.
Ify menahan napas ketika mengenali lagu itu. Salah satu lagu favoritnya sepanjang masa. Lagu yang dinyanyikan Kang Ta yang berjudul Confession. Dulu, setiap kali mendengarkan lagu ini di CD Kang Ta atau di radio, ia selalu bermimpi suatu saat nanti ada seseorang yang akan menyanyikan lagu ini khusus untuknya. Kini mimpinya menjadi kenyataan. Jung Tae-Rio sedang menyanyikan lagu itu. Khusus untuknya.
Ya... aku ingin hatimu datang padaku
Aku ingin melangkah ke dalam matamu yang sedih
Tidak bisa... kau tidak bisa menerima hatiku semudah itu
Tapi kuharap kau membuka hatimu dan menerimaku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga hanya dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga adalah dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Terima kasih...
Aku akan hidup demi dirimu yang bersedia menerima hatiku
Walaupun cahaya di wajahmu meredup
aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
(Terjemahan lagu Confession)
Ketika lagu itu berakhir, Ify baru menyadari air matanya mengalir tanpa sepengetahuannya.
Jung Tae-Rio turun dari panggung dan menghampirinya. Ify mendongak menatap Jung Tae-Rio yang tersenyum. Lalu laki-laki itu berlutut di samping kursi rodanya.
“Anak bodoh. Kenapa menangis?” tanya Jung Tae-Rio sambil menghapus air mata di pipi Ify dengan jarinya.
Ify tidak tahu harus menjawab apa. Ia diam saja sambil memandangi wajah laki-laki di depannya.  
Jung Tae-Rio menatapnya lurus-lurus. “Aku mencintaimu.”
Ify tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Yang ia tahu pipinya terasa panas, air matanya kembali mengalir, lalu Jung Tae-Rio mencondongkan tubuh untuk menciumnya.

No comments:

Post a Comment