Boy Sitter [9] : Signed by Webber
AKU menutup novel itu dan
meletakkannya di atas meja. Kulirik jam dinding, pukul satu pagi. Oh, lama
sekali aku membaca. Tapi nggak apa-apa,
menarik. Kisah yang sangat hebat. Baru
seperempat kubaca, novel ini membuatku penasaran.
Kutolehkan kepala menatap Rio
yang tertidur pulas. Nggak nyangka banget, deh. Seorang Rio sedang
di bawah pengasuhanku sekarang! Cowok yang jujur aku pernah ngeceng di
awal-awal semester. Cowok yang paling
disukai banyak cewek. Cowok yang paling menjaga image di sekolah. Cowok yang selalu
terlihat cool. Bandel. Tukang ngejek.
Hm. Rio.. Rio.. meskipun aku
kaget kamu itu orang yang sangat beda
dengan personality di sekolah,
aku nggak pernah ada rasa buat ngejek kamu, kok. Sumpah. Aku nggak pengin.
Malahan, aku tambah care sama kamu. Aku makin sayang……..
Aku menatap Rio lebih dalam
lagi. Hm.. lucu banget ya, kalo cowok lagi tidur. Lihat tuh,matanya bener-bener
tertutup demi melepaskan kepenatan seharian.
Mulutnya yang mengatup. Ekspresi wajahnya yang benar-benar datar,
polos. Juga hembusan nafasnya yang
hangat… semua itu menyenangkan kalau
diperhatikan. Hanya dengan memerhatikan cowok tidur… Hihiii, penting ya?!
“Hmmmmmhh..” Rio menghembuskan
napas panjang.
Dia tertidur pulas. Kulihat bibirnya mulai bergerak-gerak
kecil. Mengemut sesuatu. Setelah itu,
dia tertidur lagi.
AKU meletakkan dengan cepat piringku, berlari mengambil HP yang bersuara. Sambil bergegas melalui ruang makan besar,
kusempati pula menengok Rio. Dia masih
asyik dengan PS-nya. Aman. Aku berlari lagi dan
mengambil HP.
Hah.. Shilla nelepon?
“Hai! Ada apa nih?” sapaku
langsung.
“hiks.. hiks..” suaranya aneh.
“Kamu tuh kenapa sih?”
“Ify.. tolongin gue. pliss!”
“kenapa,sih? Kamu lagi kesasar
di pulau Madagaskar?”
“Bukan.. tapi di Mauritius.”
“Hah?!”
“sori-sori. Ify.. gue lagi dapet masalah, nih. Plis. Gue nggak mau banget. Tolongin gue dong. I
really need you to help me!”
“Aduh, Nyai! Kamu teh cerita dulu atuh , biar jelas duduk permasalahannya!”
“wait-wait-wait. Elo Ify,kan? Bukan Via?”
“Aku ini Ify. Masa sih, bisa
ketuker sama Via. Sekembar-kembarnya
kita bertiga, tapi kan nomer HP beda-beda semua. Honey bunny sweety!”
“Kok, elo centil sih, hari ini?”
“Centil? Ah, nggak deh.
Cepetan kamu cerita. Ada apa, sih?”
“Ngngn.. gini.. Last night, gue
chat sama someone di Internet. We’ve been chat for a
weeks. But as long that time, kita berdua
sama sekali nggak tau wajah masing-masing. Dan malem tadi, dia ngirim fotonya
ke gue. dan gue ngirim foto gue juga.”
“Lha? Terus kenapa? Kamu kan,
punya koleksi foto sendiri. Kasih aja
satu.”
“tapi kan, dia itu… Plis deh. Dia itu nggak cute sama sekali.”
“Oya? Emang namanya siapa? Orang mana? Ciri-cirinya kayak gimana?”
“Namanya Didin Mulyono Pangestu. Nicknamenya Dino. Dia orang Banjaran.
Fotonya, ueeekk.. kucing gue aja yang lagi pregnant tiga bulan, muntah-muntah di wastafel.
Bukan karena ngelihat mukanya,
tapi karena sedang mengandung bayi. Do you know something? Gue cukup
banget ngelihat fotonya sekali.
Iihhh.. amit-amit jabang-jebong.What a disgusting thing to see!”
“Aduh, ya. Pelan-pelan dong.
Cerita yang bener. Sehancur apa, sih mukanya? Kok semangat banget pengin
muntahin dia?”
“Hiiii.. elo lihat sendiri deh. I’ve sent his picture to your
e-mail. Jadi.. kalo elo bisa buka Komputer yang ada internetnya di rumah majikan elo
sekarang, Open it right now! Tapi,
aku nggak jamin kalo komputernya tiba-tiba rusak. Kalo nggak ada Internet, cepet ke warnet,
bentar! Bawa aja tuh baby. Pokonya,
cepetan buka e-mail elo!”
“Ya ampun. Tenang aja. Pelan-pelan. Aku bisa kok, buka
bentar lagi.”
“hiiii.. dan lebih buruknya.. lebih buruknya. Coba tebak?!”
“Ngng.. dia pake kemeja
kotak-kotak dengan dasi kupu-kupu?”
“Bukan itu. Bukan itu. Lebih buruk lagi!”
“Dia.. menderita pilek
menahun.”
“Oh-my-gosh! Lebih buruk lagi. Adalah.. adalah.. jeng-jeng! Dia ngajak gue
ketemuan!”
Sejenak dunia hening, sunyi senyap.
“Ketemuan?” tanyaku heran.
“iya! Ya ampun Ify! Gue nggak tau lagi harus ngapain. Gue nggak mau
ketemuan ama dia. waktu gue minta Sivia
gantiin gue buat ketemuan ama dia, eh..
si Via juga gathering sama someone
di Internetnya. Everyone seems quite
busy right now. Nah.. makanya.. gue.. pengin minta bantuan
elo. Gue.pengin.. elo gantiin gue buat
ketemuan sama dia.”
“Shilla, plis deh. Kok, jadi aku,
sih?”
“pliss, Ify. I have nobody
who is still available to help me.”
“Neither do I.”
“Ify. Elo kok, gitu, sih sekarang?
Gue kan, Cuma minta elo ketemuan aja. Nggak lebih. Nggak ada unsur laiinya. Kita berdua have
never talked something crazy or weird
till now. Kita fine-fine aja. Please, Ify. Cuma ketemuan. Setelah itu.. ya.. elo bebas pergi.”
“Aduhh,Shilla. Aku sih, mau-mau aja ngebantuin kamu. Tapi, just like the others, aku juga lagi really busy sama pekerjaanku.
Aku kan, masih perlu banyak duit buat gantiin notebooknya Angel. I’m very
busy.!”
“malam minggu sekarang. Elo kan, Cuma kerja seminggu. Please. Elo pasti udah bebas deh,hari itu. Gimana?”
“Hm.. Shilla ada-ada aja deh.
Kalo gitu, aku pikirin dulu. Nanti aku
telepon kamu.”
“hah? Bener ya? Kamu harus jadi!”
“Iya-iya. Aku pikirin dulu.
Udah dulu, ya! Baby-ku udah manggil
tuh!”
“Iya-iya. Tapi harus jadi. Harus!!”
Aku mematikan HP dan meletakkannya lagi di
atas container. Dasar Shilla bodoh!
Kenapa dia mau chatting ama orang jelek, sih?! Kuhampiri lagi sarapanku yang sisa
dua puluh persen, namun Rio tiba-tiba
manggil dari ruang tengah.
“Ify, Ify! Sini deh. Maen
berdua yuk! balap F-1 Championship. Ayo! Sini!”
“Bentar! Aku bentar lagi
beres.”
Selasa, pukul dua belas siang…..
ARGH! Kenapa bisa ada di
situ?!
Bajuku yang tadi dijemur,
sekarang bisa ada di atas pohon belakang rumah.
Padahal, aku harus mengambilnya karena langit begitu mendung di atas
sana. Aku nggak mau baju itu basah karna hujan!
Kenapa angin bisa menerbangkan baju itu dari
jemuran di lantai dua ke atas pohon
ini? Cuma bajuku. Sial!
Aku berlari mendekati pohon
jambu yang tinggi nian. Di atas sebuah
dahan, bajuku tergantung melambai-lambai.
Itu adalah baju pemberian mama.
Yang gambarnya koala dengan tanda tangan Mark Webber asli waktu balap di
Melbourne tahun lalu. Baju itu penuh kenangan.
Kenangan karena Mark Webber begitu herannya
mendapatkan papa mengejar-ngejar dia hanya untuk mendapatkan tanda tangan di atas kaus bergambar koala. Padahal, aku udah membeli kaus
Williams-BMW, bahkan dengan angka tujuh.
Angkanya mark saat itu. Tapi papaku
salah ngambil, dan meminta Mark menandatangani kaus gambar koala itu.
Oh.. sekarang kenapa baju itu
harus nyangkut di pohon itu?! Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memanjat?
Ya, nggak ada cara lain. Nggak
ada waktu lagi bagiku untuk meminta tolong seseorang mengambilnya. Langit udah
sangat gelap, bisa-bisa, baju itu basah. Aku nggak peduli seberapa besar
rintangan di pohon ini. Dahannya memang
sangat besar, tapi lumutnya begitu menakutkan.
Kemiringannya pun, sangat nggak pantas buat kulewati. Nggak banget deh, seorang Alyssa manjat pohon
jambu segede ini? Aku nggak punya jam terbang buat manjat pohon jambu. Jangankan pohon jambu, pohon taoge aja aku
bingung cara memanjatnya.
Argh, akhirnya aku harus
memanjat juga. Berdoalah Ify, nggak ada yang aneh-aneh di atas pohon ini.
Jangan berpikiran bahwa di pohon ini ada kuntilanak, atau sundel bolong, yang
suka nongkrong di pohon-pohon gede kaya begini.! berpikirlah bahwa ada penguin dan lumba-lumba
lucu lagi minum minum dekat dahan bajuku tergantung.
Apa saja.asal jangan hal-hal mistis.
Oke, penguin.. lumba-lumba,…
koala.. panda… hamster… tuyul… kuntilanak. Arrrgggh! Aku masih nggak bisa melepaskan benakku dari
hal-hal menyeramkan itu kalo udah berhadapan dengan pohon sebesar ini. Apalagi langit begitu mendungnya.
Aku kepikiran cerita hantu
yang diceritakan Pak Agus semalam.
Hey, apakah Tante Kunti suka
hujan? Kurasa tidak. Dalam film-film, munculnya Tante Kunti hanyalah
malam-malam dan sedang tidak hujan. Jadi
kupikir, mungkin dia sedang menghangatkan diri
di depan perapian rumahnya. Nggak mungkin di atas pohon.
Bailklah, pohon ini aman.
Aku langsung melancarkan aksiku, memanjat
pohon. Tanganku meraih sebuah dahan besar, lalu menarik badanku ke atas hingga kakiku cukup untuk meraih dahan besar lainnya di level
berikutnya. Setelah itu, harus kususuri dahan yang memanjang yang semakin lama semakin mengarah ke langit, dengan
dahan-dahan kecil sebagai cabangnya. Sampai
sekitar tiga meter dari pijakan pertamaku tadi, dan kurasa ini sudah begitu
tinggi dari permukaan tanah, aku masih
harus menggapai baju itu.
Hop! Dapat! Dapat!
Aku begitu hebatnya hingga
pada raihan pertama, udah bisa menggapai baju ini. Aaah.. begitu leganya hatiku.
Dan kurasa, tanganku
kepanjangan. Oke, lupakan. Langit
benar-benar nggak bercahaya lagi. Aku
harus segera turun. Nggak etis berada di
atas pohon ketika hendak hujan. Berbahaya.
“AAAAAARGH!” jeritku sangat
keras.
Ada satu hal yang lebih menakutkan
dibandingkan mendapatkan kuntilanak menatap mukaku dari atas pohon…. Yaitu….
ENAM EKOR ULAT BULU BERWARNA
HIJAU KEKUNINGAN MERAYAP KE ARAHKU!!!!
“AAAARRGGHH!”jeritku lagi.
“kenapa, Fy?” seru Rio
panik. Tiba-tiba dia muncul, dan
meletakkan tangannya di pijakan pohon pertama.
“aaaarrggh.” Jeritku
terus-menerus. Sengaja nggak kusebutkan
kata “ulat” karena itu “nggak banget!”.
Rio menatap ketakutanku. Dia melihat juga ulat-ulat itu tengah
merayap,mendekatiku. Tapi, Rio malah
cekikikan.
“Hmmpf.. hmpf..”
“Jangan ketawa! Singkirkan
monster ini!” Aku mundur, sangat ketakutan.
Gimana ulat ini gak menakutkan! Ini sama
sekali nggak ada lucu-lucunya. Lihatlah bentuknya! Begitu panjang, bulat, dan berbulu.
“Tunggu bentar!” Rio turun
lagi dan masuk ke rumah.
Dasar cowok bodoh! Kenapa dia
harus masuk ke rumah?! Emergency, nih! Emergency! Aku membutuhkan
unit gawat darurat buat nyingkirin ulat ini.
Oh.. someone out there, please.., hubungi pemadam kebakaran untuk
menyelamatkanku dari musibah mengerikan ini!!
Ulat-ulat itu semakin dekat merayap ke arahku! Begitu DEKAT!
Rio kembali dari dalam rumah. kukira dia akan
membawa tangga dan menyelamatkanku dengan tangga itu. Tapi yang dia bawa
malahan……..
“Gitar?” aku mengerutkan alis, sangat heran. Saking herannya, aku lupa kalau ulat-ulat itu begitu dekat
denganku.
“Tenang aja,” katanya santai.
Sambil melewati pijakan pertama, kemudian
menyusuri dahan besar menghampiriku, Rio
mengepit gitar yang ia bawa di antara
lengan tubuhnya. Ulat-ulat yang mulai
pedekate denganku langsung disingkirkannya.
Rio meraup ulat-ulat itu, lalu dilemparkannya
ke tanah. Semuanya. Dan begitu mudahnya?
Tidakkah ia jijik dengan hewan mengerikan ini?
“Tenang aja,dong.” Katanya
lagi. Aku mengatur napas, lalu mencoba
duduk dengan bersiaga. Mataku langsung
menerawang menatap dahan-dahan lain, mencari ulat. Bukan untuk kudekati, tapi
untuk dijauhi! Bisa saja masih ada ulat
di sekitar sini.
“udah, yuk kita turun!”
pintaku.
Tapi, Rio malah cekikikan. Ia
malah memblokir jalan, dengan cara duduk
di atas jalan.
“Rio, turun!”
“Kok, buru-buru sih? Tenang
dulu, dong.”
“Tenang apanya? Bentar lagi
hujan, Rio. Bahaya kalo ujan-ujanan di
atas pohon.”
“tenang aja, cuman aer
kok. Sekaligus bikin terobosan baru,
ujan-ujanan di atas pohon. Hahaha..” katanya diikuti tawa.
“Apanya yang terobosan baru?
Bisa-bisa kamu sakit.”
“Ntar dulu, ah. bentar
aja.” Tiba-tiba Rio mainin gitarnya,
lalu bernyanyi. Lagunya Michelle Branch,
Everywhere………
Cause everytime I look you’re
never there
And everytime I sleep you’re
always there
Cause you’re everywhere to me
And when I close my eyes it’s
you I see
You’re everything I know that’s make me believe..
I’m not alone..
I’m not alone..
Baru saja mencapai akhir dari chorus pertama, hujan sudah turun.
Tus.. tus.. tus..
Siraman air dari langit,
mengguyur tanah, dan sebagian dedaunan di dekatku. Air-air itu pun mulai menetesi rambutku, juga
si kaus koala.
Rio menghentikan permainan
gitar juga bernyanyi. Kemudian, dia
mendongak dan menatap hujan terus
menerus menetesi dirinya.
“yah, hujan.” Keluhnya.
“Tuh, kan? Udah aku bilangin
kalo sebentar lagi bakal ujan. Udah, cepetan turun!”
“Wah, asyik dong!” katanya
ngaco.
“ Rio, turun Rio! Ntar kamu
sakit.”
Saat itulah, tiba-tiba Rio menoleh padaku dan
menatapku tajam, tanpa ekspresi.
Tatapannya hangat… dii bawah
rintikan air hujan yang terus membasahi wajahnya. Entah dia sedang mencoba serius… atau
memandangku dengan cara lain.
Rio terus menatapku sampai rambutnya
benar-benar basah. Air mengalir dari
rambutnya, membasahi kening, melewati matanya yang indah.
Di antara tatapannya yang
menusuk itulah….. Terasa lama… kurasakan hangat di bawah hujan. Kemudian… dia
tersenyum.
“Sori..” katanya tersenyum
manis.
Rio langsung mengangkat gitarnya, dan
memayungi kepalaku yang udah sangat basah.
Gitar itu jadi payung.. aku melirik ke arahnya.
Cowok ini……
“Aduh, Rio nggak bawa payung.”
Keluh Rio lagi.
Dasar bodoh! Kenapa malah bawa gitar? Aku menggeram.
“Sori. Ayo kita turun.” Kata
Rio akhirnya.
Dia pun mulai menyusuri dahan panjang itu ke bawah, ke pijakan pertama
tadi. Gitarnya aku yang pegang.
Tuk-tuk-tuk-tuk-tuk. Maklumlah, gitar kan dari kayu. Dikenain air
jadinya bunyi. Makanya, Rio tiba-tiba
membuka kausnya dan menutupi gitar itu
dengan kausnya.
“ Rio, kamu ngapain? Ayo pake
lagi baju kamu!” suruhku.
“Nggak.” Jawabnya pendek.
Bahkan nggak peduli sama omonganku. Dia
maju begitu aja, lalu turun.
“Rio, ntar kamu sakit.”
“Siniin gitarnya!” serunya.
Aku menyerahkan gitar yang berbalutkan kaus
itu padanya. Tapi, ternyata Rio nggak
mengenakan kausnya lagi. Dia malah membantuku turun. Sama sekali nggak
kelihatan mau make kausnya lagi.
“Rio….”
“Sini., Rio gendong.”
Tawarnya.
“Apa? Ah, nggak. Dari sini ke
sana tuh deket. Jalan juga bisa.”
“Tapi becek, Fy..”
Ya, emang bener. Rerumputan
belakang rumah udah digenangi air. Aku
baru menyadarinya begitu berada di
bawahh pohon. Hujan pun ternyata lebih besar dari yang kubayangkan.
“Nggak usah, aku jalan aja.”
Aku ngedahuluin dia jalan,
dengan nginjek lahan yang lebih rendah dari pohon itu. Kakiku langsung masuk ke genangan air, sampai
kusadari banjir ini sudah sampai ke mata kakiku.
Kciplak.kciplak.kciplak. di
bawah suara hujan, becek-becek itu kuinjak.
Namun……
“Aaaaarrgghh!” aku menjerit
sekeras-kerasnya. Baru aja beberapa
langkah, aku berbalik ke pohon tadi.
“Kenapa, Fy?” Tanya Rio
khawatir.
“Ulat yang tadi!” Aku
menunjuk tiga ekor ulat yang menggeliat
di atas genangan air. Mengambang dan
menggeliat. Ulat hijau kekuningan, mencoba merayap.
“Aaaaaagghh!”
Rio cekikikan lagi, tapi
tiba-tiba dia jongkok, membungkuk,
memintaku naik ke atas punggungnya. “Udah dibilangin, biar Rio gendong.”
Selasa, pukul dua siang…..
“DAN sang putri akhirnya
tinggal bersama pangeran, kemudian hidup bahagia untuk selama-lamanya.” Aku menutup buku dongeng di tanganku, lalu
membungkuk memeriksa Rio.
Hm.. Rio udah tidur.. tapi
hujan belum berhenti.
Oke, aku ngapain ya sekarang? Iya. Lihat e-mail!
Aku bergegas keluar kamar dan
menuju ruang kerja Bu Nira. Kuhampiri notebook
itu dan langsung connect server ke
e-mailku. Bener aja, ada satu e-mail masuk. Dari shilla. Aku langsung membukanya dan…..!
Apa-apaan ini? Makhluk dari mana nih? Iihh…!
Ya ampun.. ternyata benar apa
yang dikatakan Shilla. Bukannya aku
nggak menghargai semua makhluk ciptaan Tuhan. Tapi ini….? Iiiihh.. benar-benar nggak punya style dalam kehidupan.
Kulitnya cokelat, rambutnya disisir “sangat” rapi, belah
tengah. Alisnya tebal. Kacamata tebal
juga bertengger di wajahnya,lalu hidungnya yang aneh, pipinya kurus. Bibirnya
tebal lagi. Lalu….. ya ampun, gigi
kelincinya, di luar batas kewajaran.
Terlalu seperti kelinci.
Cowok itu memakai kemeja polos
dengan dikancing sampai atas. Nggak adaa ekspresi waktu difoto. Benar-benar ugly, weird, and terrible. Masa sih,
masih ada orang kaya gini? Ah, aku sih
nggak percaya tuh orang wajahnya kaya gini. Kali aja ini bukan fotonya dia. ya
ampun… kenapa sih.. kuno dan kampungan banget?! Style oldiest aja nggak gini-gini banget.
Aku langsung keluar dari mail itu dan cepat-cepat menuju compose. Kupikir, menulis surat untuk Bu Nira, mungkin
akan sedikit membantuku melupakan wajah aneh tadi.
Dear diary,
Oh, akhirnya aku bisa nulis di buku ini. Kemarin,sorry diary, aku nggak bisa. Masalahnya, si
Rio susah banget tidur. Apalagi aku lagi
baca novel seru banget! Ya ampun..
pokoknya pengin cepet-cepet baca novel itu.
Oh iya, hari ini amazing banget
kalo dipikir-pikir. Dari Shilla yang
nelepon minta bantuan, atau Rio yang dengan romantisnya nyanyi-nyanyi di atas
pohon,bawa gitar, terus kehujanan. Argh,
Rio bodoh yang romantis. rasanya hatiku berdebar-debar.
Okat, let’s talk about Shilla.
Iihh.. aku setuju lho kalo kucing bisa muntah-hamil atau nggak pas
ngelihat muka tuh orang! Tau ngga sih? Ya ampun.. doesn’t have any style, dan nggak banget deh buat manusia jelek
zaman sekarang. Wajahnya, bajunya.. ya ampun.. aku juga heran, kenapa sih, masih ada aja orang kaya gitu
sekarang?
Udah ah! males ngomonginnya juga. Palingan, ntar aku pura-pura sakit
deh, supaya nggak ngegantiin Shilla gathering ama tuh orang. Dia lebih buruk daripada bocah tiga tahun yang lari
kesana-kemari.
Oke.. move to someone yang bikin aku ngerasa heran hari ini. My
baby….. Rio! Oke… sejak kapan aku ngelihat dia bener-bener
gan-teng, lepas dari aku agak-agak sebel sama dia? sejak kapan pula aku ngerasa
dia romantis banget? Sejak kapan pula
aku ngerasa dia yang paling gagah? Aku heran,deh. Perasaan apa sih yang buat
aku terus mikirin dia?
Waktu dia tidur siang tadi! Bahkan aku
sampai keasyikan lihat dia tidur. Sama kayak malem kemarin, kok. Serasa paling lucu ya, cowok kalo lagi tidur! Ekspresinya itu..lho..benar-benar ekspresi
melepas lelah yang paling great!
Katupan matanya, katupan bibirnya, ya
ampun… cute banget getoh! Dan dia,
jeleknya, guling-guling ke sana-sini
coba! Huh, untung kagak jatoh!
Dan sekarang… Rio
sedang tertidur lelap. Lagi mimpi indah!
Kalo gitu, aku tidur juga kali ya??!! Dadaahh… met bobo diary.
No comments:
Post a Comment