Saturday 11 August 2012

Boy Sitter [20] -Last


Boy Sitter [20] –last : Pineapple Juice, Sweet and Spicy.
NYERITAIN tentang cowok yang terlahir dari keluarga kaya. Sebelum cowok itu lahir, ayahnya punya tujuh istri, dan ibunya, istri kedelapan. Tujuh istri yang lain meninggal karna penyakit., dan masing-masing meninggalkan satu anak yang sehat.
Ibu cowok ini gak berpenyakit, dia sehat. Namun, punya anak berpenyakit. Memang bukan penyakit biasa. Cowok itu tumbuh menjadi anak bandel, manja, jahil, pokonya butuh perawatan khusus kalo mau dia jadi anak yang manis.
Sang ibu rajin menyewa jasa pengasuh anak, mencoba membuat anaknya berubah. Namun, gak satupun berhasil. Dan akhirnya, teman cowok itu sendiri yang mengasuhnya, gara-garaa ingin memiliki gaun untuk pergi ke prom night  akhir bulannya. Dia cewek berperangai baik, sabar, sopan dan memiliki banyak ide. Lalu di akhir masa akhir kerjanya, cewek itu tau kalau sang cowok menyukainya. Terjadilah semacam getaran hangat, cinta di antara mereka..dan mereka menjadi sepasang kekasih.
Cowok itu melamar si cewek dengan sebuah gaun yang indah yang jadi cover novel ini lalu mereka berdua datang ke prom night bareng.
Di akhir cerita, akhirnya aku mengerti apa maksud dari judul Pineapple juice, Sweet and Spicy. Layaknya nanas, sebelum dikupas, kalau kita menggenggamnya, kita akan merasakan duri-duri menggelikan di tangan kita. Ketika berbentuk jus, kita dapat merasakan serabut-serabut menggelikan di telapak tangan kita. Rasanya pun terkadang manis, terkadang sepat-sepat dan pedas ala nanas.dan hubungannya dengan cerita itu adalah,  cewek itu mesti merasakan manis dan pedasnya bekerja, duri dan serabut menggelikan, sebelum akhirnya mendapatkan gaun merah itu.
Yup, semula aku gak ngerti kenapa pineapple juice cover-nya gaun merah.
Dan, entah kenapa, cerita di novel ini sama banget dengan yang aku alamin beberapa minggu ke belakang. Hanya berbeda sedikit.
Aku meletakkan buku ini di rak aku mengambilnya tempo hari.  Ah, kutemukan juga celah itu.
“Makasih ya, Bu.” Ucapku sambil berjinjit meletakkan buku itu.
Bu Nira yang sedang mengetik di notebook-nya hanya mengangguk dan tersenyum. “Kamu juga boleh pinjem yang lain, kok.”
Aku tersenyum dan bergegas keluar ruangan. Sebelum nyamperin Rio, HP-ku bergetar. Ardhya menelponku.
“Halo.”sapaku.
oh, Ify. gue gak nemuin pelembap muka kayak punya lo di Pameungpeuk sini. Bisa nggak lo kirimin lewat pos?”
“Bukannya sabtu kemaren udah kubeliin lulur sama deodorant baru? Ditambah maskara putih lagi.”
“Beliin lagi, dong!”
Aku mendengus, “Oke, yang mereknya apa?”
Ngngn…pencuci muka yang mereknya Kaki Sehat yang Mulus dan Indah, terus pelembapnya yang merek Panu jangan Dipikirin!”
“Iya-iya. Ntar aku beliin. Tapi kalo nggak ada, aku beliin merek lain, ya?”
boleh, deh. Tapi yang mahal, ya! Jangan lupa kirimin bonnya! Aku mau nunjukin ke temen-temenku!”
“Iya-iya, udah ya, aku lagi sibuk, nih!”
“Daaah.”
Aku memasukkan HP ke dalam saku, dan menggeleng-geleng.
Huh, dasar gila! Dari mana sih, merek yang tadi dia sebutin?! Seenaknya aja buat brand sendiri! kayak bagus aja.
Rio menghampiriku. “Yuk kita pergi. Huh, nggak sabar nih, pengin cepat-cepat maen ke pantai. Pantai mana, sih?”
“Sayang Heulang. Di Pameungpeuk Garut. Deket rumahnya Ardhya.”

          And love has just  beginning…
          It would start with beautiful…
           Without ending, but immortal..

To someone that took my mind…
To someone that fill my heart…
To someone that had the best smile…

I love you…





Boy Sitter [19]


Boy Sitter [19] : 3 IPA 4
KUKEJAR kupu-kupu itu meski ternyata nggak berhasil. Kupu-kupu itu langsung melayang di antara bunga-bunga yang lain.
Hm.. padang bunga yang sejuk. Di mana lagi aku bisa menemukan tempat seindah ini?
Rio menyeretku ke bagian padang bunga yang lain. Kulihat dari kejauhan, Ardhya, Oik, Yuni, Angel lagi asyik memetik bunga matahari.
Heh, Ardhya! Jangan menyisipkan bunga matahari di telingamu. Nggak pantes!
Lalu di bagian lain, Sivia dan Shilla berbaring, asyik ngobrol, tepat di tengah kumpulan bunga tulip. Nince dan Mbok Jess juga berkejaran di antara bunga anggrek ungu. Kulihat pula, Mama dan Bu Nira sedang asyik minum teh di padang rumput. Oh..sungguh indah. Fenomena yang indah.
Dan Rio, di sampingku, kini benar- benar melindungiku. Dia akan memperhatikanku, akan menjagaku…begitulah ikrarnya sebelum aku benar-benar menerima cintanya.
Aku membuka mata. Huh! Mimpi lagi. Mimpi indah yang  terulang. Oh..kenapa sih sejak malam tujuh lilin itu, malam-malamku selalu diisi dengan mimpi indah?
Tik,tok,tik,tok. Detak beker membuatku bangkit, dan mematikan beker yang akan nyala lima menit lagi.
Hm..ternyata aku bangun lebih cepat dari bekerku sendiri. aku turun dari tempat tidur, lalu memakai sandal. Oh, menyedihkan. Aku nggak menemukan lagi Yuni, Angel, Oik dan Ardhya yang bertindihan di ranjang ini.
Pagi yang biasanya ramai, kami isi dengan teriakan-teriakan, “Siapa yang menjatuhkanku semalam?”, “siapa yang mendendang perutku semalam?”, “Siapa yang mengambil bantalku semalam?”, kini harus kulewati dengan sepi. Seperti biasanya. Kamar yang kosong. Hanya adaa aku, selimut tebal berwarna coklat, juga lahan yang kini terbuka luas untuk tidurku.
Hari ini adalah hari pertama aku kembali sekolah, sebagai kelas tiga SMA. Saudara sepupuku udah pulang kemarin. Sekarang rumahku benar-benar sepi dari sepupuku yang gila semua.
Oke, aku marah saat Ardhya make pencuci mukaku buat luluran. Tapi, botol kosong pencuci muka itu masih tersimpan di kamar mandi, mengingatkan aku kenangan-kenangan manis tentang Ardhya. Botol itu membuatku merindukannya.
Aku mungkin nggak akan nemuin lagi cewek yang membuntutiku kemana-mana. cewek yang sok tau dan selalu ingin tahu. Cewek yang selalu duduk di antara orang lain. Pokonya yang judes, tapi fun dan bodoh! Oh, aku nggak menemukannya lagi.
Oik? Yah, kabel modem yang ketinggalan di meja riasku, mungkin menjadi barang yang akan mengingatkanku padanya.aku mungkin nggak akan nemuin lagi cewek yang selalu kejedot pintu dan memarahi, “Siapa yang pasang pintu di sini?”, cewek yang selalu jatuh dari tangga dan berteriak, “Siapa yang pasang tangga di sini?”
Hm.. udah deh, nggak usah terlalu dipikirin. Aku yakin, libur semester nanti, mereka pasti maen lagi ke sini. Aku yakin itu.
Apalagi setelah tau, aku menjalin hubungan serius dengan Rio. Sepertinya, mereka akan bersemangat datang kesini.
SEKOLAH dipenuhi anak kelas satu yang berseragam SMP. Ya, sekarang hari pertama Masa Orientasi Siswa alias MOS. Dan beruntungnya, nggak ada kegiatan belajar mengajar untuk kelas tiga dan kelas dua. Yang ada hanyalah pengumuman pembagian kelas.
Oh, aku nggak sabar akan sekelas dengan siapa tahun ini. Dengan Sivia dan Shilla? Aku harap iya. Kami bertiga memang masuk IPA. Jadi, kemungkinan sekelas sangat besar. Dengan Rio sih, nggak mungkin. Dia masuk jurusan IPS. Atau kecuali, dia minta pindah jurusan di atas materai, dan berkemungkinan berkompetisi sama aku di IPA.
Mading khusus kelas tiga dipenuhi murid. Semua murid berebutan mencari namanya masuk kelas mana. Aku hanya mengirimkan utusanku, Shilla, untuk mengecek kami masuk kelas mana. Dan dalam lima menit, Shilla keluar dengan wajah aneh.
“O-ouw….” Ungkkapnya pertama kali. “Kita..kita sekelas lagi!”
“YESS!” Sivia loncat senang karna kami bertiga sekelas lagi.
Ya ampun, tiga tahun bo! Kita semua sekelas lagi. Hm,,, pasti karna pihak kurikulum tau..kita ini satu geng, berprestasi, jadi..kenapa nggak satu kelas terus ? hehe.. ya ampun.. makasih! Semoga ngga  berubah.
“Kita di kelas mana?” tanyaku.
“Di 3 IPA 4. Tapi.. ada kabar lain lagi.” Raut muka Shilla benar-benar serius.
“Kenapa?” tanyaku dan Sivia berbarengan.
“Wali kelas kita..lagi-lagi..Bu Lina.”

AKU menenteng notebook yang dibungkus kardusnya itu. Kutemuin Angel yang duduk bareng Rebonding galz di kantin.  Aku langsung berdiri menghampiri mereka, tepat di samping meja.
“Hai!” sapaku melambai pada mereka.
Rebonding Galz kaget, malah menatapku sinis dan mengejek.  Ada jerapah nyasar kesini? kemudian mereka tertawa-tawa, mengejekku.
Aku? Jerapah? Setinggi apakah aku di mata mereka?
 Aku yang sebetulnya kesal, mencoba tersenyum manis pada mereka. “Angel, notebook kamu..” ucapanku terhenti.
Angel langsung berdiri, menyilangkan tangannya di depan dada. “Hm.. tepat janji juga ya? Mana?!” ujarnya ketus, mendongak.
ya ampun! Liburan dua minggu, tingginya nggak bertambah!
Aku mengangkatnya, namun nggak menyerahkannya. “Ada di sini. Tapi, sebelum aku ngembaliin notebook ini…” aku langsung mengulurkan tangan ke arah mereka. “aku ingin minta maaf sama kalian. Aku ingin..kita semua nggak musuhan lagi. Aku ingin..selama setahun ke depan..kita jalani tahun terakhir kita di sini.. tanpa permusuhan satu pun.” Aku memiringkan kepala, tersenyum manis sama mereka.
Semua anggota Rebonding galz saling melirik, kemudian..mentertawaiku. “Ya ampun, belum lebarang Neng, ya? Haha…” mereka mentertawaiku lagi, mengejekku.
Sebetulnya aku gondok, kesal, marah, dan sakit hati. Ya ampun,  udah baik-baik gini masih diejek juga? Dasar nggak tau diri! Awas ya.. kalo ntar aku…
Tap! Tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku, sambil menggigiti kukunya.
Aku menoleh dan mendapati Rio yang tersenyum manis dan menatapku mesra.  Kemudian, Rio menoleh menatap Rebonding galz. “Sayang.. kalo mereka nggak mau minta maaf sih, nggak usah dikasih notebooknya.”
Sontak, lima anggota Rebonding Galz kaget melihat fenomena di depannya. Seorang Bison mendekati dearest-nya Tweenies?!
Kutemukan mereka mangap lebar, membiarkan beberapa lalat masuk, karna melihat Rio mendekatiku.
Nggak hanya mereka yang melongo. Ternyata, ada beberapa murid lain di sekitarku.
Tiba-tiba, sengaja kumainkan hidung Rio dan kupencet-pencet gemes. Semua yang melihat sangat heran.
Kuletakkan Notebook itu di atas meja. “Biarinlah..terserah. nggak terima maaf juga nggak apa-apa. Yang penting, aku udah minta maaf.”sahutku sedikit kecewa.
Rebonding Galz rupanya nggak mendengarkan perkataanku barusan. Mereka lebih tertarik memandang wajah Rio, yang ternyata sedekat ini dengan mereka, ditambah lagi bersamaku. Hihi..tiba-tiba pikiranku merasa menang. Aku serasa udah mendapatkan semuanya. Ya, setelah cowok yang paling dikejar- kejar di sekolah itu, berada di bawah asuhanku selama dua minggu lalu. Sekarang, cowok itu berada sangat dekat denganku.
Rio memainkan rambutku. Kutarik tangannya untuk lepas, namun…
Buuk!
“kalian teh dimana-mana pacaran saja. Nggak bosen kalian teh?” bu Lina menggebrak meja, berkacak pinggang lagi layaknya semalam.
Aku dan Rio langsung bangkit tegak. Kami memandang Bu Lina penuh senyum dengan raut muka bertuliskan; “Nggak dimana-mana kok, Bu!”. Dan, aku masih bisa merasakan tangan Rio memegang rambutku, menarikku mendekatinya.
“Ibu mau ikutan?” tawar Rio tiba-tiba. Aku sempat mendongak menatapnya heran. Tapi, Bu Lina malah tertawa-tawa.
“Ibu harus ikutan? Ah nggak usah. Ibu mah masih setia sama suami Ibu. Cukup dengan suami Ibu saja mah!”  Bu Lina menggeleng-geleng sambil tersipu. Aku dan Rio mengerutkan kening, heran, maksud si Ibu apaan sih?
“Bu, Foto, Bu!” seru Shilla dari belakang,  mengambil fokus kami pake kamera HPnya.
“Apa? Foto ini  teh?” Bu Lina kaget dan mendadak membetulkan kerudungnya. “sebentar atuh!”
“Sini, Bu!” Rio menarik Bu Lina untuk berdiri di sampingnya.
Kami bertiga foto, Aku berada di kiri Rio, dan Bu Lina di kanannya.
Klik.klik.
Dua kali Shilla nge-shoot kami. Hasil fotonya bagus. Dan Shilla bilang, mau nge-print besok.
“Makan, yuk! di sana!” seru Sivia, kemudian menduduki kursi panjang.
Ternyata, Gabriel sudah duduk di sampingnya, mengetukngetuk meja menggunakan telunjuk, mencoba menciptakan sebuah irama.
Penghuni kantin lagi-lagi kaget. Another Tweenies with another RAG. Dan, melihat keadaan itu, Sivia malah membuat keadaan semakin menjadi-jadi. Sivia tibatiba mencubit pip Gabriel, gemas, menggeleng-gelengkan kepalanya lucu. Gabriel hanya menunjukkan tampang culun, dan Sivia tertawa-tawa geli.
Tiba-tiba, Alvin datang, dan mencolek bahu Shilla. Shilla menoleh sekilas, tersenyum, lalu menatapku. Muncullah senyum-senyum kecil di  bibirnya, nggak tahan pengin teriak.
“Argh.” Shilla berteriak kecil, lalu merangkulku. “Gue udah..jadian.” bisiknya. “Kemaren.”
Kami berdua pun meloncat-loncat di tempat, seperti Sandra Bullock dalam film  Miss Congeneality 2: Armed and Fabolous. Akhirnya, pasangan missal jadi juga, nih. Tweenies menjalin hubungan sama RAG.
“Ayo! Makan!” Rio udah mesenin sepiring nasi goreng hangat, lengkap dengan telur dan ayam suirnya. Kerupuk-kerupuk kecil pun di taburkan di atasnya.
Kami semua duduk berpasangan, dan Bu Lina nyelip sendirian. Semua melahap makanannya, bahkan Bu Lina pertama kali.  Bersih banget piringnya! Diikuti Gabriel, kemudian Alvin, dan Rio dibelakangnya. Anak-anak Tweenies, mana mungkin makan dalam waktu secepat itu. Semuanya pada jaim.
“Lihat, nih! Kalo makan tuh harus bersih kayak gini.” Bu Lina menyodorkan piringnya ke tengah.
Wow! Bersih. Sama sekali nggak ada remah nasi. Nggak ada lauk yang disisakan. Saking bersihnya,  piring itu kayak abis baru dicuci. Wah-wah, jangan-jangan perusahaan sabun cuci bangkrut kalo semua orang kayak Bu Lina!
plis deh, bersih banget gitu, lho!


Boy Sitter [18]


Boy Sitter [18] : Inget,Ya! Itu Pelembap Muka!
AKU mengikat rambut, rapi di belakang kepala. Kuletakkan lagi sisir di atas meja lalu mengambil pelembap muka. Kuoleskan ke wajah dan meratakannya agar wajahku terlihat bersinar. Ardhya muncul dari balik pintu dan menatapku penasaran, lalu menghampiriku dan merebut pelembap mukaku.
“jangan pake buat luluran!” seruku cepat sebelum Ardhya berbuat kesalahan lagi. Beberapa hari yang lalu, Ardhya menggunakan pelembap mukaku buat luluran. Padahal, aku baru beli. Dan dalam sekejap,isinya habis. Padahal, aku belinya yang kemasan besar.
“Ya enggaklah. Emangnya gue bodoh apa? Ini kan deodorant.” Ardhya siap mengangkat tangannya, namun aku langsung merebut pelembap mukaku dan melemparnya ke dalam laci.
“jangan sentuh barangbarangku. Kalau ingin deodorant atau krim untuk luluran, akan kubelikan nanti. Tapi untuk sekarang, jangan ganggu barang-barangku. Mengerti?”
Ardhya mengangguk. “Oke, janji ya! Pokonya, aku pengin dibeliin krim untuk luluran yang mereknya Bersih Darat Sehat Datang Bulan. Elo kan, seminggu kemaren kerja. Harusnya udah punya duit, dong. Gue pengin di-traktir.”
“Iya-iya. Sabtu nanti kita jalan-jalan.” Sungutku. Huh, untung gajiku dua belas juta. Dan rabu besok bakalan nyampe uangnya. Beli notebook lima juta nitip ke Om Jhonny, kata mama, Om Jhony masih ada di Jakarta.lalu sisanya, yaaa… ditabungin sama traktir-traktir juga deh.
“Rapi bener. Mau kemana nih?” Tanya Ardhya heran menatapku.
“Nggak kemana-mana,kok.”
“Aaah..mau ketemu Bison, ya?”
Aku ngga menjawabnya.
“Kalo gitu, pasti jawabannya iya!” Ardhya langsung lari menuju ranselnya, mengambil sebuah buku dan menyobek belasan lembar kertas kosong. “Ini untuk Afie, untuk Ade, ini untuk Uci, yang ini untuk Tety, yang ini Cika, ini Risma, ini untuk Diah, yang ini Daus, yang ini Fajar, yang ini Angga, dan yang ini untuk Roni.”
“Heh! Ngapain sih?”
“Buat tanda tangan Bison, terus gue jual ke temen-temen gue bareng fotonya. Yang ini buat Mira, yang ini buat Mumu, yang ini special buat Endih, Gasa.”
“Iiih..” desisku berteriak. Aku keluar dari kamar.
Huh, sepertinya semua orang mendadak gila. Si Rio tuh apa,sih? Selebritis aja bukan! Heran deh, kok cewek-cewek tergila-gila ama dia. modal cakep aja pake nge-fan segala sih!
Aku menuruni tangga, dan menemukan Oik, Yuni, dan Angel sedang melihat tumpukan foto.
“Yang ini lucu..eh yang ini juga.. yang ini lucu banget deh! Liat-liat yang ini lebih lucu lagi.” Gumam Oik senang.
Aku menatap foto yang bertebaran di sekitar mereka. Hah?foto Rio semua? Foto Rio dari Internet? Rajin banget deh, sampe ngeprint semuanya. Dan aku heran apasih maksud Oik dengan “Yang ini lucu..eh yang ini juga.. yang ini lebih lucu” tapi yang diliatnya adalah foto yang samaa?!
Tok-tok-tok.  Seseorang mengetuk pintu.
Aku bergegas membuka pintu dan menemukan Rio berdiri di depan pintu. Dia menggenggam sebuket bunga di depan dadanya. Macam-macam mawar.
“Selamat malam.” Sapanya tersenyum senang.
Aku berjalan ke arahnya, tersenyum manis menyambut kedatangannya. Namun, tibaa-tiba aku teringat kejadian malam kemarin ketika aku benar-benar direkam oleh sepupu-sepupu gilaku ketika aku berdebat dengan Rio. Makanya, aku meminta Rio untuk pindah.
“Hai! Selamat malam. Eh, bisa pindah nggak? Nggak aman ngobrol disini.”
Rio celingak-celinguk ke dalam rumahku, lalu kemudian menatap keluar rumah. “Ada lilin sama piring kecil, nggak?” tanyanya.
“Hah? Buat apa?”
“Kita ngobrol di sana. Di luar. Pake cahaya lilin gitu.”
So sweet. Tapi..
“Justru di sana lebih nggak aman, Rio. Nanti saudara-saudaraku pada ngerekam kita ngobrol di luar.”
“Biarin aja. Nggak apa-apa. Mumpung malem ini nggak dingin-dingin amat. Ayo, ada nggak?”
“Tapi,Yo, aku nggak mau kita direkam lagi. Aku takut, nanti rekaman kita disebarin.”
“jadi… kamu masih ogah barengan sama aku?”
“kamu nggak ngerti. Saudara-saudaraku selama ini berusaha mengambil image kamu. Mereka ngeprint foto kamu lewat internet. Mereka ngerekam kita, dan mereka  bakal ngejual foto dan rekaman itu ke  temen-temennya di Bogor, di Garut. Malu, kan?”
Rio tertawa. “biarin aja, nggak apa-apa.  Aku  kan jadi makin terkenal gitu.” Ungkapnya tersenyum manis.
“mas-mas. Tanda tangannya, dong.” Tiba-tiba Ardhya muncul dari belakangku, menyodorkan setumpuk kertas dan sebatang pulpen. “Yang ini untuk Afie, yang ini untuk Ade, yang ini untuk Uci…”
Rio tertawa kecil mendapatkan saudaraku ternyata sangat gila!
“Ya udah. Aku urus yang ini. Kamu cari lilin sama piring kecil aja. Jumlah piringnya harus sesuai sama jumlah lilinnya. Plus korek api juga.”
Aku menghembuskan napas besar. “Oke.” Kutolehkan wajahku menatap Ardhya. “Awas ya, nanti kamu jangan ganggu kita. Inget itu.” Ancamku.
“Sumpah, gue gak akan pake benda itu  buat deodorant…” balas Ardhya ketus.
Aku berbalik dan berjalan menuju dapur. Di bawah tangga, aku menemukan Oik tergeletak, dan Yuni yang mengipasinya.
“Kenapa ama si Oik, Ni?”
“Itu tuh. Ngeliat si Rio. Malah pingsan coba. Biasa aja deh ah.” Yuni kembali mengipasi Oik.
Ya iyalah, Yuni kan udah sering ngeliat Rio karna dia satu sekolah ama kita..
Aku melanjutkan langkah menuju dapur dan menemukan Angel sedang menyantap puluhan kerat nanas. “hm…enak-enak.” Ucapnya nikmat, dengan mulut manyun dibuat-buat.
Huh! Ternyata sepupuku gila semua!

Lima belas menit kemudian……
PENGGANGGU teratasi, diimingi-imingi foto bareng Rio, mereka nurut juga buat nggak akan ganggu kita selama satu jam ke depan.
Rio dengan manisnya memasang tujuh lilin, yang kutemukan beserta piring kecil berpola senada, yang kebetulan jumlahnya tujuh juga. Lilin itu dipasang di atas piring kecil. Dan ketujuh piring berlilin itu diletakkan di atas kap mobil Rio, melingkar.
“Kamu ngapain, sih?” tanyaku heran, berdiri di samping pintu mobil.
“kamu cepet naik!” Rio melompati mobil, lalu naik ke atas kapnya. Kemudian dia duduk  bersila, lalu  membantuku naik.
“Ini nggak apa-apa, Yo?” tanyaku khawatir.
“Nggak apa-apa, nggak usah cemas.”
“Ntar mobilnya jatuh ke mobil ngerusak cat, lho!”
“Alaaa.. Cuma cat ini, kok! Paling juga ngegantinya lima jutaan. Aku udah biasa mecahin guci tujuh juta, lho!”
Aku menggeleng pelan, dasar orang kaya!
HOP! Aku berhasil menaiki kap mobil dengan sekali berpijak, dan langsung duduk bersila di atasnya.
Rio duduk di hadapanku. Di antara kami, terlenggak tujuh lilin yang disimpan melingkar.
Semuanya menyala sehingga aku bisa melihat wajah ganteng Rio dalam remang-remang cahaya lilin. Apalagi bintang malam ini lagi muncul-munculnya. Sungguh sangat menambah keromantisan dan kehangatan malam ini.
Kemudian, kami menghabiskan waktu dengan ngobrol banyak hal. Rio ngomongin gimana kabar Mbok Jess, Nince, Bu Nira bahkan Pak Agus. Juga kabar tentang dirinya yang mulai berubah. Atau, aku ngomongin tentang cowok brengsek yang bernama Dino. Obrolan kami sungguh akrab dan mengasyikkan.
Kemudian, kami berdua terdiam. Kami tenggelam dalam keheningan dan kesunyian. Obrolan kami terhenti dan aku menunduk, nggak tau harus melakukan apa-apa lagi.
“Ify..” kata Rio merayu.
Aku mendongak, tersenyum menatap wajahnya.
Iih! Ganteng banget!
Adakah hal yang lebih romantic dari ini? Oke, ada. Leonardo Dicaprio di atas kapal Titanic beserta Kate Winslet. Namun, berhubung Leonardo nggak pernah meneleponku dan nggak pernah mengajakku naik kapal Titanic dan memintaku untuk merentangkan tangan di bagian depan kapal, sepertinya malam ini momen paling romantic di dalam hidupku.
Duduk berdua, berhadapan di atas kap mobil mewah aku masih nggak tau mereknya sampai saat ini, sepertinya keluaran luar negeri yang diimpor khusus oleh Rio karena bentuknya sangat canggih dan aku baru menemukan ini di Ban-dung. Dengan tujuh lilin putih menyala. Di bawah taburan bintang di angkasa, beserta bulan yang kebetulan purnama. Dan…kehangatan senyuman Rio.
“Aku punya hadiah buat kamu.” Ujar Rio manis.
“Oya? Apa?” tanyaku agak genit.
Rio turun dari mobil, mengambil sekotak besar kardus entah berisi apa, lalu duduk lagi di atas kap mobil, menghadapku. Rio mulai senyam-senyum mencurigakan.
“Ini.buat kamu..maksudnya..buat utang kamu,” ujarnya, memberikan sebuah bingkisan kado segi empat yang dibungkus menarik.
Aku mengernyitkan dahi, tersenyum janggal. “Apaan nih? utang apa?”
“Buka aja.” Pintanya.
Aku merobek pelan-pelan bungkus kado itu. Dan menemukan..ya ampun! Notebook!
Aku melongo menatap Rio, nggak percaya dengan apa yang diberikannya.
“Rio..apa ini?” tanyaku masih nggak percaya.
“Itu notebook. Masa nggak tau sih?” Tanya Rio, mengernyitkan dahi.
“Maksudku..apa-apaan ini? Kamu ngasi ini  buat aku?”
“Bukan. Sebenernya bukan buat kamu. Itu buat Angel.”
Wajahku langsung datar. Yaampun, kirain buat gue!
“Tapi tenang aja, aku punya yang lain buat kamu.” Rio mengambil lagi bingkisan kado lainnya dari kardus. Berbentuk hati-love berwarna pink dengan pita merah. Ternyata bungkusannya dari kain beludru. “Yang ini khusus untukmu.”
“Apa ini?” tanyaku, menerima sodoran kado itu.
Ya ampun, lembut banget,. Kado  ini dibungkus dengan beludru, ditambah bulu-bulu halus yang lembutnya biasa kurasakan pada boneka kucing.
Oh..bungkus kado ini harus kusimpan.
Aku mencari cara membuka kado ini. Oh, ternyata ada resletingnya! Ya ampun! Notebook lagi!  Dan..notebooknya lebih canggih, lebih manis, lebih unik, dan cewek banget!
“Rio!” aku nggak percaya.
Dia tersenyum sangat manis. Jadinya, aku ikut tersenyum manis,manja, dan penuh terima kasih.
“Ini buatku?”
“Ya iyalah, buat kamu. Buat siapa lagi? Dan bunga ini…eh mana bunganya? Ya ampun, bunganya diambil sama saudara kamu.” Rio panik, menepuk dahinya sendiri.
“Nggak apa-apa, kok.” Aku memeluk notebook baru.
Biarin aja kali….mahalan mana sih, bunga sama notebook ini?!
Rio menatapku serius, kemudian membungkuk, membuat keadaan semakin menjadi mendebarkan. Aku nggak sabar menunggu, seandainya ada kejutan lain. Tapi, senyuman Rio yang sangat manis, dan tatapannya, membuatku menyadari bahwa keadaan sedang benar-benar serius sekarang.
“Ify..” panggil Rio pelan, merayu lagi.
Aku menoleh, menatapnya, sambil memeluk notebook baruku erat.
“Kamu..mau maafin aku nggak? maafin aku, ya. Selama ini aku udah ngejek kamu..ama temen-temen kamu juga. Aku yang mungkin ngeselin kamu, nyusahin kamu..yang..pokoknya yang bikin kamu repot.”
Aku tersenyum. “Rio, aku nggak pernah marah sama kamu. Kamu ga usah minta maaf. Jujur aja..aku nggak ngerasa repot berada di dekat kamu. Kamu mau ngejek aku, mau ngeselin aku, mau ngapain juga, nggak akan ngaruh, kok. Kamu juga bisa lihat kan, aku juga Tweenies nggak pernah nanggepin ejekan kalian. Kami tuh, ngga peduli. Lagipula sebenernya, kami seneng, kamu sama temen-temen kamu mau nyoba interaksi sama kami..meskipun ngejek, tapi seenggaknya kita berinteraksi.  Nggak terlalu perang dingin amat.”
Rio mengerutkan alisnya. “Kalian nggak marah?”
Aku menggeleng,lalu tertawa kecil.
“Terus..apa..kita..bisa berteman?” lagi-lagi, Rio menanyakan hal tersebut.
Aku mengernyitkan dahi. “emangnya hubungan kita selama ini apa?”
“Ngng…hubungan antara babysitter dan baby-nya.”
Aku tertawa lepas, terbahak, mendengar pernyataan itu. Rio malah bingung. “Ya ampun…Rio, aku kan udah bilang. Aku bukan babysitter kamu lagi. Aku ini udah jadi temen kamu lagi. Temen sekolah kamu.”
Rio menunduk sedih. “hanya..teman sekolah?” tanyanya agak kecewa.
“Emangnya, kamu pengin kita temenan kayak gimana?” tanyaku, mengerutkan alis.
Rio menyeka bagian belakang rambutnya kemudian menatapku lagi penuh  harap. “Aku kan..pengin kita jadi teman dekat.”
Aku sedikit cekikikan, kemudian membuat gerakan kobaran api di atas lilin. “Oh, kamu pengin kita sobatan?”
Rio mengangguk-angguk senang. Wajahnya lebih baikan kali ini. Meskipun masih diisi olehraut wajah penuh harap.
“Yaah..kenapa nggak?” jawabku tersenyum.
Rio tersenyum riang.dia sangat senang. Kemudian berikutnya, dia memandang lilin itu penuh ide.
“Kebetulan,nih!” seru Rio. Kerutan dahinya menunjuk ke tujuh lilin di hadapan kami. “Lilinnya ada tujuh, jadi….” Rio mengatur-atur lilin-lilin itu.
Tiga lilin diletakkan di hadapanku, tiga lilin di hadapannya, lalu satu lilin yang paling besar diletakkan di tengah. “Masing-masing sebutin our wish. Lalu, tiup satu lilin, dan pindah ke lilin berikutnya. Sampe lilin di hadapan kita padam. Dan…satu lilin di tengah, kita tiup bersama, sambil ngucapin ‘semoga Tuhan mengabulkan doa kita’. Mengerti?”
“Apa-apaan, sih?”
“Ayo, dong! Nggak apa-apa, kan? Dikabulin syukur. Nggak dikabulin juga gak apa-apa. Seenggaknya, kita bisa tahu keinginan masing-masing. Sobatan kan, harus saling terbuka.”
“Nggak ah. nanti kita serasa menyembah pada lilin-lilin ini, meminta-minta pada lilin ini.”
“Ya ampun. Nggak dong, Fy. Kita kan, nggak minta lilin ini mengabulkan permintaan kita. Kita Cuma berdoa pada Tuhan, diomongin, lalu tiup lilin ini, sebagai tanda bahwa kita udah ngasih tahu keinginan kita pada dunia.”
Aku tersenyum. Oke, aku mengerti. Nggak aka nada unsure magis di sini. Nggak juga muysrik pada Allah. Ini  hanya permainan. Nggak terlalu berpengaruh.
“Oke..siapa dulu?” tanyaku.
“Kamu dulu.” Pinta Rio.
Hm..minta apa ya? Aku nggak mau minta sesuatu yang aneh. “Ng…aku pengin..adanya perdamaian di muka bumi ini. World peace. Nggak ada perang. Nggak ada persaingan yang nggak sehat.  Semua orang saling membantu dan saling menyayangi.”
Pffuuiiiihh. Aku meniup lilin itu. Dan apinya langsung padam.
“Giliranku!” rio membungkuk dan menutup matanya. “Aku pengin..semua geng di sekolahku berhenti bermusuhan. Aku pengin Mozon nggak lagi angkuh, Rebonding Galz nggak lagi galak, Kompilasi kembali berbaur sama murid lain. Aku ingin RAG nggak lagi bandel, jahil, dan ngejek-ngejek murid lain. Aku ingin semua murid di sekolahku muncul, menyalurkan kreatifitasnya buat hal yang positif, mengharumkan nama sekolah. Khususnya, aku ingin Tweenies hidup dalam keabadian,  berprestasi, rame, cantik, dan rendah hati pada setiap orang.”
Rio meniup lilin itu, lalu membuka matanya dan memandangku.
Ya ampun…permintaannya sama banget sama permintaanku dan Tweenies tadi siang di rumah Shilla.
Aku lalu memejamkan mata,dan meminta lagi. “aku ingin hari-hari berikutnya, yang semua orang di dunia di hadapi, adalah hari-hari yang hangat, indah, dan nyaman. Aku ingin hari-hari berikutnya adalah hari yang penuh cinta dan kasih sayang.”
Aku meniup lilin itu dan membuka mata. Rupanya, Rio menutup mata lagi, bersiap untuk permintaan keduanya.
“Aku ingin..cewek yang duduk di hadapanku sekarang, setiap malamnya, selalu diberikan mimpi-mimpi yang indah di setiap tidurnya. Sehingga di setiap paginya, cewek ini bangun dengan segar, dan bersiap untuk melindungi bumi ini dalam kasih sayang dan cintanya.” Rio membuka matanya, menatapku, tersenyum, lalu menutup matanya lagi. “Namanya Ify.” bisik Rio, bergumam.
Rio meniup lilin itu hingga padam, lalu membuka matanya. Aku tersenyum menatap wajahnya, juga sedikit geli dengan permintaannya barusan. Kugelengkan kepala, lalu bersiap dengan lilin terakhir.
“Ngngn… aku ingin..cowok yang duduk di hadapanku sekarang, dan aku, selalu berhubungan baik, selamanya.”
Kutiup lilin itu, dan menatap Rio. Aku bersiap mendengarkan permintaan terakhirnya.
Sampai saat ini, menurut hipotesisku, Rio selalu mengkhususkan permintaanku. Perdamaian dunia, dikhususkan menjadi perdamaian antar geng di sekolah. Hari-hari yang penuh dengan cinta, dikhususkan menjadi mimpi-mimpi yang penuh dengan cinta. Sekarang, seandainya Rio akan mengkhususkan lagi permintaan ketigaku, I’m wondering..what he will wish now….
Rio memejamkan matanya. “Aku ingin..cewek yang duduk di depanku..menjadi kekasihku..selamanya.”
Rio meniup lilin itu, kemudian tersenyum  menatapku.
Aku sedikit tersentak mendengar permintaannya barusan.
OMG! Rio menginginkanku..untuk..menjadi kekasihnya?! Ya ampyuuun! Ku kira hanya Sivia yang menerima cinta Gabriel kemudian berpacaran.  Kukira hanya Shilla yang ditembak jadian sama Alvin malam kemarin. Ternyata….sekarang Rio memintaku menjadi kekasihnya?  Hah?apa-apaan nih? Ya ampun, bisa-bisa nikah missal antara RAG sama Tweenies. Nggak kebayang deh.  Kalau di BIP sekarang nemuin, RAG berpasangan sama Tweenies.. Hihihiii…!
“Lilin terakhir, kita ucapin bareng-bareng ‘semoga Tuhan mengabulkan doa saya barusan’ oke?”
Dengan ragu, aku mengangguk. Kami pun membungkuk, dan mengucapkan kalimat permintaan kami untuk lilin yang terakhir.
“Semoga Tuhan mengabulkan doa saya barusan…!”
Pffuiiiih. Lilin itu kami tiup berbarengan.
Lilin pun padam.lalu kami berpandangan. Wajah Rio sedekat ini. Dia benar-benar di depanku. Nyata. Dia sedekat ini…
Tiba-tiba,muncul sebuah tangan, dan mencubit hidungku. “Kamu ngegemesin banget, deh!” goda Rio sambil tersenyum.
Aku yang menggeleng-geleng karna hidungku dicubit, langsung memberontak. Kubalas dengan mencubit hidung Rio pula, hingga kepalanya menggeleng dan menunjukkan wajah bodoh.
Buukk!
“heh kalian teh sedang ngapain di situ? Malam-malam begini pacaran saja. pake cubit-cubitan lagi!”
Aku dan Rio tersentak kaget mendengar suara barusan. Kami llangsung menoleh, dan mendapati Bu Lina berkacak pinggang di bawah kami.
“Kalian teh bukannya belajar, malah pacaran di atas mobil. Nggak kedinginan kalian teh? Ih, ibu mah heran, kenapa sih, baru aja pulang dari pengajian di rumah temen Ibu, malah menemukan murid-murid pacaran di atas mobil.”
Ups, ada Bu Lina.heheh..kebetulan banget. Huh, seharusnya ada lilin kedepalan untukku meminta “jangan ada yang menggangguk kami, siapapun juga, termasuk wali kelas kami.”

Friday 29 June 2012

Summer In Seoul -Epilog-


Epilog

“KAU akan pergi ke Amerika, Miss Han?” tanya Mister Kim dengan kening berkerut. “Aku tidak salah dengar?”
Ify memasang senyum termanisnya dan menjawab, “Benar, Mister Kim. Hanya sepuluh hari. Tidak lebih.”
Mister Kim mendecakkan lidah. “Memangnya untuk apa kau ke sana? Kau mau pindah ke sana atau bagaimana?”
Ify menggeleng-geleng. “Tidak, Mister Kim. Hanya jalan-jalan.”
“Tujuh bulan lalu aku sudah memberimu cuti karena kau mengalami kecelakaan. Masa sekarang kau mau cuti lagi?” Mister Kim masih bersikeras.
“Mister Kim, ayolah,” bujuk Ify. “Hanya sepuluh hari.”
Mister Kim menatapnya dengan mata disipitkan. “Kau pergi dengan siapa?”
“Oh?” Sandy jadi salah tingkah. “Oh... dengan... Jung Tae-Rio.”
“Hah!” seru Mister Kim. “Anak itu! Dia pikir karena dia artis maka bisa sembarangan merebut asistenku kapan saja dia mau? Seenaknya saja! Fine, kau boleh ke Amerika. Sebagai gantinya, suruh Jung Tae-Rio tidak usah pergi. Dia harus menggantikanmu menjadi asistenku selama kau cuti.”
Ify tertawa mendengar atasannya marah-marah. “Jangan begitu, Mister Kim. Tapi bagaimanapun, kalau dipikir-pikir, saya harus berterima kasih pada Anda.”
“Untuk apa?”
“Karena Mister Kim telah memintaku mengantarkan pakaian kepada Jung Tae-Rio sehingga aku bisa berkenalan dengannya.”
“Itu salah satu penyesalanku.”
“Saya senang Anda melakukannya,” kata Ify, tidak mengacuhkan kata-kata Mister Kim.
Mister Kim menatapnya.
“Sungguh,” Ify menegaskan.
Akhirnya atasannya menyerah. “Okay, aku akan mengabulkan permintaan cutimu. Tapi hanya sepuluh hari. Tidak lebih. Understand?
Ify mengangguk dan tersenyum lebar. “Terima kasih, Mister Kim. Anda baik sekali.”

“Kau sungguh tidak mau mengganti nada deringmu?” tanya Ify. Ia berdiri di ambang pintu kamar Jung Tae-Rio sambil menggenggam ponsel laki-laki itu.
Jung Tae-Rio berhenti mengemas pakaian ke koper dan mengangkat wajah. “Kenapa? Kau menjawab teleponku lagi?” ia balas bertanya. “Kau memang tidak sengaja atau jangan-jangan kau sedang memata-mataiku?”
Ify mendengus. “Hoho... kau... Sudahlah, tidak apa-apa. Tidak perlu kau jawab pertanyaanku. Biar aku yang mengganti nada deringmu.”
Ify baru mulai menekan-nekan tombol ponsel Jung Tae-Rio ketika laki-laki itu mengambil ponselnya dari tangan Ify.
“Jangan diganti,” katanya.
“Kenapa?” tanya Ify.
Jung Tae-Rio tersenyum dan kembali mengemasi pakaian. “Aku suka kita punya nada dering yang sama. Silakan saja jawab teleponku sesukamu. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”
Ify meringis, lalu berkata, “Ayo cepat. Kita harus berangkat ke bandara.”
“Sudah hampir selesai,” kata Jung Tae-Rio sambil mengunci koper. “Kau sendiri yakin tidak ada barangmu yang ketinggalan? Kita sudah tidak punya waktu untuk kembali ke apartemenmu.”
“Tidak ada,” kata Ify yakin. Ia meraih topi kuning pemberian Jung Tae-Rio dan memakainya. “Jung Tae-Rio ssi, orangtuamu sudah tahu aku akan ikut ke sana?”
“Kau sudah tanya itu berkali-kali,” sahut Jung Tae-Rio sambil membawa koper ke lantai bawah. Ify menyusulnya dari belakang.
“Aku hanya tidak mau mereka kaget begitu melihatku,” Ify menjelaskan. “Aku memang sudah bertemu ibumu, tapi aku belum bertemu ayahmu.”
Jung Tae-Rio meletakkan kopernya di dekat pintu depan.
“Jung Tae-Rio ssi,” panggil Ify.
Jung Tae-Rio memutar tubuh dan menatap Ify. “Apa?”
“Kenapa aku ada di nomor sembilan ponselmu?”
Ify melihat Jung Tae-Rio agak kaget mendengar pertanyaannya, lalu laki-laki itu tersenyum geli. “Astaga, kukira ada masalah serius apa.”
“Aku hanya penasaran.”
“Karena aku suka nomor sembilan dan karena aku merasa kau cocok dengan angka sembilan,” jawab Jung Tae-Rio ringan.
“Cocok? Hanya karena itu?”
Jung Tae-Rio meletakkan kedua tangan di bahu Ify. “Ya,” jawabnya sambil menatap lurus ke mata Sandy. “Sekarang, ayo pergi, sebelum ketinggalan pesawat.”
“Siapa yang tidak berkemas sejak kemarin?” tanya Ify agak jengkel.
Jung Tae-Rio tertawa dan merangkul bahu Ify. “Baiklah, aku minta maaf. Bisa kita berangkat sekarang?”
“Oke,” sahut Ify. “Jangan lupa kuncimu. Sudah kau kunci semua jendelanya? Kompor gas sudah diperiksa?”

“Hei, kau tidak jadi minum-minum dengan kita?” tanya Park Hyun-Shik begitu ia menutup ponsel.
Tae-Rio tersenyum meminta maaf. “Maaf, Hyong. Lain kali aku yang traktir.” Kemudian ia meminta sopir mengantarnya ke rumah.
“Begitu kembali dari luar negeri, sudah ada yang menunggu di rumah. Menyenangkan sekali,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum.
“Dia memintaku makan di rumah,” kata Tae-Rio.
“Aku heran kenapa kau menyimpan nomor telepon Ify di nomor sembilan,” kata Park Hyun-Shik. Ia mendadak ingat pernah melihat Tae-Rio menekan nomor sembilan di ponsel untuk menghubungi Ify.
“Oh, itu,” kata Tae-Rio sambil tersenyum. “Hyong tahu aku suka bisbol, kan?”
“Aah, sepertinya aku tahu alasannya,” kata Park Hyun Shik sambil mengangguk-angguk mengerti.
Tae-Rio mengabaikan manajernya itu dan tetap melanjutkan, “Dalam bisbol ada sembilan pemain. Kurang satu saja tidak bisa. Sembilan artinya lengkap. Kenapa aku menyimpan nomor Ify di nomor sembilan? Itu karena kalau dia ada, aku baru merasa benar, merasa lengkap. Dia nomor sembilanku.”
“Persis seperti yang kuduga,” kata Park Hyun-Shik puas.


***

okay, selesaaaaii :) follow @dinaarifaa yaa :)

Summer In Seoul [15 & 16]


Lima Belas

“HEI, lagi dengerin lagu apa nih?”
Ify menoleh ke arah suara yang bernada ceria dan penuh semangat itu. Zahra, saudara sepupunya yang sebaya dengannya, masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Sebelum Ify menjawab, zahra sudah meraih kotak CD yang sedang dipegang Ify.
“Cakep amat nih cowok,” komentarnya ketika melihat cover depan CD yang gambarnya foto Jung Tae-Rio itu. “Lho, Fy, kok ada tanda tangan segala? Ini beneran tanda tangan penyanyi ini? Lo pernah ketemu?”
Ify tertawa dan merebut kotak CD itu kembali. “Ya. Waktu itu aku pergi ke acara jumpa penggemarnya.”
Ia melihat Zahra  hanya meringis dan mengangkat bahu. Ada kalanya ia ingin seperti sepupunya itu. Zahra gadis yang periang, santai, dan berbakat dalam bahasa. Lihat saja, walaupun menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Paris bersama ayahnya dan hanya sesekali mengunjungi ibunya di Jakarta bila sedang liburan seperti sekarang, bahasa Indonesia Zahra  tanpa cela. Bahkan ia sama sekali tidak kesulitan mengikuti perkembangan bahasa gaul Indonesia. Tidak seperti Zahra yang bahasa Indonesia-nya masih terdengar agak resmi.
“Ada rencana apa hari ini?” tanya Ify. “Kok pagi-pagi sudah ke sini?”
“Gue bosan di rumah,” jawab sepupunya ringan. Ia duduk di tepi tempat tidur Ify dan merapikan ikal-ikal rambutnya. “Ngomong-ngomong, lo kok tiba-tiba nongol di Jakarta. Bikin kaget aja. Lagi patah ati?”
“Apa?”
“Udah punya gebetan belon sih?” Zahra  mengganti pertanyaannya.
“Apa itu gebetan?”
Mata Zahra melebar. “Yee... lo ini orang Indonesia apa bukan?” katanya sambil tertawa kecil. “Maksud gue tuh, lo udah punya cowok yang ditaksir belon? Udah punya cowok belon? Gitu lho.”
Senyum Ify mengembang. “Sudah,” jawabnya sambil menunjuk gambar cover depan CD Jung Tae-Rio. “Ini dia.”
Zahra  meringis. “Iye, gue juga punya affair sama Brad Pitt,” katanya cepat. “Gimana sih, ditanya baek-baek kok jawabnya gitu.”
Ify juga sudah memperkirakan Zahra tidak akan percaya. Ia menatap wajah Jung Tae-Rio di cover CD itu. Sudah satu minggu ia berada di Jakarta, dan selama satu minggu itu ia tidak bisa melihat foto-foto dan artikel Jung Tae-Rio di tabloid dan di televisi. Namun masih ada Young-Via yang sering mengirimkan SMS untuk mencerita-kan kabar terbaru. Jung Tae-Rio juga kadang-kadang mengirim SMS untuk mengabarkan keadaannya.
“Zahra, bisa pinjam handphone-mu sebentar?”
Pourquoi? Kenapa?” tanya Zahra  sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya.
“Pulsaku sudah habis. Aku mau kirim SMS ke temanku di Korea. Aku mau bilang lusa aku akan balik ke Korea,” Ify menjelaskan.
Zahra menggeleng-geleng sambil mendesah. “Lo jangan ngomong pake bahasa yang seresmi itu dong. Gue jadi merinding nih. Pake aku-kamu segala. Emang kita pacaran?”
Ify hanya tertawa. Zahra membantunya mengirim SMS kepada Young-Via dalam bahasa Inggris karena ponsel Zahra tidak memiliki fasilitas huruf hangeul dan karena Ify sendiri tidak begitu bisa bahasa Inggris. Menulis bahasa Korea tanpa hangeul terasa terlalu aneh.
“Nih, udah kekirim,” kata Zahra, lalu ia bangkit dari tempat tidur Ify. “Sekarang kita cabut yuk!”
“Apa? Kamu mau ke mana?”
Zahra memandangi dirinya di cermin yang tergantung di dinding, berbalik ke kiri, berbalik ke kanan, lalu mendekatkan wajah ke cermin, seakan-akan ingin memeriksa apakah ada setitik debu di ujung hidungnya. “Kita ke Bandung. Mau nggak?” usul Zahra sambil menjauhkan wajahnya dari cermin. “Gue lagi pengin jalan nih. Bukan cuma lo yang patah ati. Gue juga lagi bete. Hari ini kita have fun aja. Ayo dong! Lelet amat sih nih anak. Ganti baju sana!”
* * *

“Jadi kamu pasti kembali hari ini?” tanya Young-Via dengan ponsel yang ditempelkan di telinga. Ia mengucapkan terima kasih kepada pelayan toko yang menyerahkan barang belanjaannya dan kembali memusatkan perhatian pada Ify yang sedang berbicara di ujung sana.
“Mm,” jawab Ify. Suaranya kurang jelas karena sambungan internasional. “Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang. Dua jam lagi aku akan berangkat lagi ke bandara. Pesawatku berangkat tengah malam, jadi menurut jadwal aku akan sampai besok pagi.”
Young-Via mendorong pintu kaca toko dan keluar. “Oke. Aku akan menjemputmu di bandara nanti.”
“Tidak usah. Aku bisa naik taksi sendiri. Bukankah kau harus membantu ibumu?”
“Biasanya tidak ada pelanggan yang datang pada jam-jam segitu,” bantah Young-Via. “Jung Tae-Rio sedang di Amerika Serikat, jadi tidak bisa pergi menjemputmu.”
“Aku tahu. Dia pulang hari ini juga, tapi mungkin sampai di Seoul agak malam besok.”
Young-Via meringis. “Rupanya kau masih berhubungan dengan dia. Memangnya ibumu tidak marah-marah?”
Young-Viamendengar temannya tertawa kecil di seberang sana, lalu Ify berkata, “Tidak, sebenarnya ibuku tidak benar-benar marah. Ibuku hanya sedih karena teringat lagi pada Angel. Ibuku juga kesal karena kedua anak perempuannya menjadi bahan pembicaraan di Korea. Tapi sekarang gosipnya sudah mereda, kan?”
Young-Via mengangguk, walaupun ia tahu Ify tidak bisa melihat anggukan kepalanya. “Ya, Jung Tae-Rio sudah menyelesaikannya. Entah bagaimana. Setidaknya sekarang dia memang sibuk sekali.”
“Oh, begit—AHH!”
Young-Via berhenti berjalan. Ia mengerutkan kening. “Halo? Halo? Soon-Alyssa?”
Tidak ada jawaban. Sambungan telepon sudah terputus. Young-Via menatap ponselnya, lalu menelepon ponsel Ify. Tidak bisa. Young-Via mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa.
Awalnya Young-Via tidak begitu merisaukan hubungan telepon yang terputus, tapi ketika tidak bisa menemukan Ify di bandara waktu ia menjemput keesokan harinya, ia mulai cemas. Ia kembali berusaha menghubungi ponsel Ify, tapi tetap tidak bisa tersambung.
Young-Via kebingungan. Ia tidak tahu nomor telepon rumah Ify di Jakarta. Ia harus menghubungi siapa? Tiba-tiba ia teringat pada SMS yang diterimanya dari Ify dengan menggunakan ponsel saudara sepupunya. Young-Via memeriksa ponselnya. Semoga saja SMS dari nomor ponsel sepupu Ify itu masih ada.
Ah, ternyata belum dihapus. Syukurlah.
Young-Via cepat-cepat menghubungi nomor itu dan menunggu dengan tidak sabar.
“Halo?” Terdengar jawaban dari seberang sana. Suara perempuan. Saudara sepupu Ify atau bukan? Sepertinya memang benar.
Young-Via berusaha menyusun kata-kata dalam bahasa Inggris secara kilat. “Hello,” katanya ragu-ragu. “Is this Soon-Alyssa’s cousin?
Yes,” jawab perempuan itu. Suaranya terdengar aneh. “This is Zahra. Who’s speaking?
Untunglah sepupu Ify bisa berbahasa Inggris dengan lancar. “My name is Kang Young-Via. Soon-Alyssa’s friend from Korea,” kata Young-Vua memperkenalkan diri. “I need to ask you something. Soon-Alyssa told me that she would arrive in Korea today, but I couldn’t find her at the airport. She couldn’t make it?
Begitu mendengar jawaban sepupu Ify, mata Young-Via terbelalak. ”Apa?! I’m sorry... what was that? Can you say that again, please?
Young-Via merasa tubuhnya lemas seketika. Begitu memutuskan hubungan, ia langsung menghubungi Jung Tae-Rio melalui ponsel Park Hyun-Shik karena ia tidak punya nomor ponsel Jung Tae-Rio. Tidak tersambung. Mungkin Park Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio sedang berada dalam pesawat yang membawa mereka pulang ke Korea dari Amerika Serikat.
Young-Viamenutup flap ponselnya dengan keras. Ia mengacak-acak rambut dengan perasaan putus asa. Ia harus segera memberitahu Jung Tae-Rio apa yang sudah terjadi pada Ify.

“Lelah sekali,” gumam Park Hyun-Shik sambil masuk ke mobil yang sudah menunggu mereka di pintu depan bandara.
Tae-Rio menyandarkan kepala ke kursi. Ify seharusnya sudah kembali ke Korea hari ini. Benarkah telah nyaris satu bulan berlalu sejak terakhir ia bertemu gadis itu? Hari ini ia bakal bisa menemuinya. Tae-Rio merasa semangatnya pulih kembali begitu berpikir ia bisa melihat Ify.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri sejak kapan gadis itu menjadi salah satu alasannya untuk menjalani hari-hari. Karena ingin melihat dan bersama gadis itu, maka ia tetap bertahan, tetap bangun di pagi hari, tetap bernapas. Sekarang Tae-Rio bisa memahami apa artinya bila seseorang ingin tetap bertahan hidup demi orang lain. Ia sering menonton drama yang tokoh utamanya mengidap penyakit parah yang mematikan, namun ingin tetap bertahan hidup demi orang yang dicintainya. Sebelum ini, Tae-Rio tidak terlalu memahami perasaan seperti itu tapi sekarang, walaupun tidak mengidap penyakit apa pun, ia ingin tetap hidup. Karena dalam hidup ini, ada seseorang yang sangat berharga baginya. Karena dalam hidup ini, ia ingin selalu bisa melihat dan bersama orang itu.

 “Aneh. Teman Ify yang bernama Kang Young-Via itu sudah meneleponku belasan kali.”
Lamunan Tae-Rio dibuyarkan suara manajernya. Ia menoleh dan melihat Park Hyun-Shik sedang mengerutkan kening menatap ponselnya.
“Kang Young-Via?” tanya Tae-Rio.
Park Hyun-Shik mengangguk. “Aku juga baru tahu setelah kuaktifkan ponselku kembali.”
Tae-Rio ikut mengeluarkan ponsel dan mengaktifkannya.
Tiba-tiba ponsel Park Hyun-Shik berbunyi.
“Dari Kang Young-Via,” kata Park Hyun-Shik dan segera menjawab teleponnya.
Tae-Rio memerhatikan manajernya berbicara dengan teman Ify itu.
“Kang Young-Via ssi, bicaranya pelan-pelan saja. Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan,” kata Park Hyun-Shik. “Jung Tae-Rio? ... Ya, dia ada di sini... Mau bicara dengannya? ... Oke, sebentar.”
Tae-Rio mengerutkan dahi. Mendadak saja perasaannya tidak enak. Apa ada hubungannya dengan Ify?
Ia menerima ponsel dari Park Hyun-Shik. “Ya?”
“Jung Tae-Rio ssi, aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi ponsel Paman Park Hyun-Shik tidak aktif dan aku tidak tahu nomor ponselmu.” Tae-Rio mendengar suara teman Ify itu agak gugup dan kacau.
“Aku dan Hyun-Shik Hyong memang baru turun dari pesawat, jadi ponsel kami berdua tidak aktif tadi,” Tae-Rio menjelaskan. Perasaannya semakin tidak enak. “Ada apa kau mencariku?”
“Soon-Alyssa...”
Kenapa ia tiba-tiba merasa sulit bernapas?
“Ada apa dengan Ify?” tanyanya. Tangannya mulai terasa dingin. Ia sendiri mulai panik. “Di mana dia?”
“Soon-Alyssa masih di Jakarta.”
“Dia tidak pulang hari ini? Kenapa?”
Kang Young-Via tidak bersuara sejenak. Tae-Rio baru akan memanggilnya ketika gadis itu berbicara lagi. “Dia mengalami kecelakaan.”
“Apa?”
Kali ini penjelasan Kang Young-Via mengalir dengan lancar. “Tadi aku sudah menelepon saudara sepupunya yang ada di Jakarta karena ponsel Soon-Alyssa tidak bisa dihubungi. Dia yang mengatakan padaku Soon-Alyssa mengalami kecelakaan lalu lintas. Taksi yang ditumpanginya terlibat dalam tabrakan beruntun di jalan tol.”
Tae-Rio merasa dadanya berat sekali, susah bernapas, darahnya seolah-olah membeku begitu saja. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Belum sadar.” Suara Kang Young-Via mulai pecah. Sepertinya gadis itu mulai menangis.
Belum sadarkan diri... Ya Tuhan...
Tae-Rio berusaha keras untuk menarik napas. “Di rumah sakit mana? ... Aku mengerti... Terima kasih.”
Ify sedang terbaring tidak sadarkan diri...
“Tae-Rio, ada apa? Ify masuk rumah sakit?”
Tae-Rio mendengar suara Park Hyun-Shik, tapi ia tidak punya tenaga untuk menjawab. Pikirannya kalut.
“Hei, Jung Tae-Rio!”
“Aku harus ke sana,” katanya cepat tanpa memandang manajernya. “Aku harus ke Jakarta.”

Zahra memeluk rantang dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain mem-betulkan letak tali tasnya. Rantang berisi makanan itu akan diberikannya kepada orangtua Ify yang sudah menunggui Ify semalaman di rumah sakit. Ibu Zahra yang menyuruhnya membawakan makanan untuk mereka.
Ia melangkah memasuki pintu depan rumah sakit besar itu dan berjalan ke lift. Siang ini ia tidak ada jadwal apa pun, sorenya juga tidak ada acara penting. Zahra berencana membujuk oom dan tantenya itu istirahat. Ia bisa menjaga Ify bila oom dan tantenya mau pulang sebentar. Zahra merasa kasihan pada kedua orang itu. Kemarin ibu Ify banyak menangis dan ayah Ify juga sempat menangis setelah melihat anak perempuan terbaring di kamar rumah sakit dengan tubuh dan wajah penuh luka.
Ting!
Zahra tersentak mendengar denting bel yang menandakan terbukanya pintu lift. Ia mengembuskan napas keras dan keluar dari lift. Ketika akan membelok menuju kamar Ify, ia menghentikan langkahnya. Di depan pintu kamar Ify ia melihat dua laki-laki yang tidak dikenalnya sedang berdiri berhadapan dengan kedua orangtua Ify. Zahra melihat oomnya merangkul tantenya yang sesekali menyeka air mata dengan sapu tangan sambil mengangguk-angguk kecil.
Zahra menyipitkan mata. Sepertinya ia pernah melihat salah satu dari kedua laki-laki itu. Bukan yang berkacamata, tapi yang berdiri di samping temannya dengan kepala tertunduk. Raut wajah laki-laki itu kelihatan kusut. Tunggu... bukankah laki-laki itu sama dengan laki-laki yang fotonya ada di sampul depan CD yang pernah ditunjukkan Ify kepadanya? Zahra memerhatikan lebih cermat lagi. Benar... memang orang itu. Orang itu berarti... artis?
Kemudian Zahra melihat orangtua Ify berjalan mengikuti si laki-laki berkacamata. Si artis menundukkan kepala kepada orangtua Ify, tapi ia tidak ikut pergi. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar tempat Ify dirawat.
Laki-laki itu memegang pegangan pintu kamar sejenak. Tidak bergerak. Lalu dengan perlahan ia membuka pintu dan masuk.

Tae-Rio merasa tubuhnya lelah sekali. Belum pernah ia merasa seperti ini. Seluruh tenaganya seakan sudah terserap habis. Dadanya terasa begitu berat. Ia naik pesawat pertama yang bisa didapatkannya ke Jakarta, lalu langsung ke rumah sakit tempat Ify dirawat. Semuanya berjalan seperti mimpi. Ketika ia bertemu kedua orangtua Ify untuk pertama kalinya, ketika ia berbicara pada mereka, meminta supaya ia diizinkan melihat Ify, ia masih merasa dalam keadaan setengah sadar.
Ia masuk ke kamar Ify dan hatinya seakan diremas begitu kuat ketika melihat gadis itu berbaring dengan mata terpejam. Tae-Rio menghampiri tempat tidur dan memerhatikan wajah Ify yang lebam. Kepalanya diperban, begitu juga siku dan sebelah kakinya.
Tae-Rio menarik kursi dan duduk di sisi tempat tidur. Ia tersenyum lemah.
“Ini aku,” bisiknya pelan.
Gadis itu tetap diam tidak bergerak.
Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh tangan Ify. “Sudah lama tidak melihatmu. Kau tahu, aku hampir melupakan wajahmu. Kalau aku sampai lupa bagaimana wajahmu, aku tidak bakal bisa melakukan apa pun lagi. Kau tahu kenapa? Karena aku akan terlalu sibuk berusaha mengingat wajahmu sampai-sampai tidak mampu memikirkan masalah lain. Gawat, kan?”
Ia membelai pipi Ify dengan ujung jemarinya. “Sekarang setelah melihatmu, aku baru ingat. Ah, benar... Matamu seperti ini... hidungmu seperti ini... mulutmu... dahimu... dan rambutmu.”
Ia menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. “Kenapa aku bisa lupa wajahmu?” Tae-Rio mendesah. “Ingatanku memang buruk, aku tahu. Menurutmu aku harus bagaimana? Menurutku, aku harus melihatmu setiap hari supaya tidak lupa. Itu artinya kau harus selalu di sisiku, bersamaku. Bagaimana?”

Zahra menghampiri pintu kamar Ify dan ragu-ragu sebentar. Ia tidak punya pikiran atau maksud apa pun. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan laki-laki itu di kamar Ify. Karena itu ia memantapkan hati dan membuka pintu itu dengan perlahan.
Ia melihat laki-laki itu duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu tidak menyadari kehadirannya di balik pintu. Zahra  melihatnya menggenggam tangan Ify dengan salah satu tangannya. Zahra tertegun melihat cara laki-laki itu memandang saudara sepupunya. Belum pernah ada orang yang menatapnya dengan cara seperti itu. Zahra bukan tipe orang yang romantis, tapi ia merasa tatapan itu begitu tulus. Ia pasti sudah luluh jika ada orang yang menatapnya penuh perasaan seperti itu.
Laki-laki itu sedang berbicara. Samar-samar Zahra bisa mendengar suaranya, ia tahu laki-laki itu berbicara dalam bahasa Korea, tapi tidak mengerti apa yang sedang dikatakannya. Sambil berbicara, laki-laki itu menyentuh wajah Ify dengan ujung jemarinya. Hanya dengan ujung jemari, dan perlahan sekali, seakan-akan takut akan menyakiti gadis yang terbaring di tempat tidur itu. Tanpa disadarinya, Zahra menahan napas, terkesima melihat laki-laki itu dan Ify. Suara laki-laki itu pelan dan dalam. Walaupun Zahra tidak mengerti sedikit pun apa yang diutarakannya, herannya ia bisa merasakan perasaan yang mengalir melalui ucapan laki-laki itu.
Laki-laki itu menghela napas berat. Ia menatap wajah Ify dan saat itu Zahra mendengar laki-laki itu berbisik, “Sarang hae...”
Kerongkongan Zahra tercekat dan entah kenapa air matanya bergulir turun. Yang membuat Zahra tersentuh adalah cara laki-laki itu mengucapkannya: dengan segenap perasaan, seolah-olah tidak lagi punya tenaga untuk mengucapkan kata-kata lain. Zahra tidak bisa berbahasa Korea, tapi ia tahu arti kalimat barusan.
Aku mencintaimu....


Enam Belas

BEBERAPA hari setelah itu Tae-Rio terus berada di Jakarta. Park Hyun-Shik sibuk membatalkan dan menyusun ulang jadwal kerja Tae-Rio. Tae-Rio ingin berada di dekat Ify. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengenal kedua orangtua Ify. Setelah mengenal mereka secara pribadi, ia baru mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya kedua orangtua Ify tidak membencinya karena kejadian empat tahun lalu.
“Masih sama. Belum sadar,” kata Tae-Rio sambil duduk di bangku panjang di koridor rumah sakit. Ia menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga dan bersandar ke dinding. Ibunya menelepon dari Amerika untuk menanyakan keadaan Ify. “Tentu, Ibu. Kalau ada kabar apa pun, aku akan menelepon Ibu... Ya, Hyong masih di sini menemaniku... Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku bisa menjaga diri... Ya, bye.”
Tae-Rio menutup ponsel dan memejamkan mata. Sudah beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Ia lelah, tapi tidak bisa terlelap. Orangtua Ify juga begitu. Ayah Ify sudah kembali bekerja tapi datang menjenguk putrinya tiap sore. Ibunya selalu berada di rumah sakit. Tadi sepupu Ify yang bernama Zahra  datang dan kini menemani ibu Ify pergi makan siang di kafetaria rumah sakit.
Sambil menarik napas panjang, Tae-Rio kembali ke kamar Ify. Ia duduk di tempatnya seperti biasa, di sisi tempat tidur. Dokter pernah berkata, bila Ify sadarkan diri, ia akan baik-baik saja. Masalahnya, dokter tidak tahu kapan Ify akan sadar. Gadis itu tetap terbaring tak bergerak, tidak membuka mata.

Tae-Rio menggenggam tangan Ify. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia mengerutkan kening. Apakah ia salah lihat tadi? Sepertinya kelopak mata Ify bergerak. Tidak, ia hanya bermimpi.
Tapi kemudian ia merasakan tangan Ify yang sedang digenggam bergerak. Ia tersentak dan menatap wajah Ify dengan jantung berdebar keras.
Kelopak mata gadis itu bergerak, lalu perlahan-lahan matanya terbuka.
Tae-Rio merasa begitu lega sampai kakinya terasa lemas. Ify sadar! Ia sudah sadar. Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh pipi Ify. Gadis itu menoleh lemas dan matanya bertemu mata Tae-Rio.
“Kau sudah sadar,” kata Tae-Rio kepadanya, senyumnya mengembang. Ia begitu lega, begitu bahagia sampai ia ingin melompat. “Bagaimana perasaanmu?”
Ify membuka mulut, tapi terlalu tak bertenaga untuk berbicara. Tae-Rio cepat-cepat menggeleng. “Jangan bicara dulu. Kau masih lemah. Tunggu sebentar, kita harus memanggil dokter.”
Tae-Rio menekan tombol merah di dekat tempat tidur dan kembali memandangi Ify. Kelihatannya gadis itu masih setengah terjaga, karena matanya sesekali terpejam, lalu terbuka lagi, tapi dari matanya Tae-Rio tahu Ify mengenalinya.
Gadis itu memandangnya, lalu membuka mulut lagi. Tae-Rio mendekatkan telinganya ke wajah Ify untuk mendengarkan kata-katanya.
“Aku... rindu... padamu.”
Tae-Rio tertegun. Suara Ify memang lebih mirip bisikan, tapi ia mendengar kata-kata itu dengan jelas. Tae-Rio tersenyum dan berkata pelan, “Aku juga.”
Tidak lama kemudian, terdengar pintu dibuka. Tae-Rio menoleh dan melihat dokter dan perawat bergegas masuk. Ia menoleh kembali kepada Ify dan berkata, “Dokter sudah datang. Aku akan pergi sebentar untuk memanggil ibumu. Kau sudah tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja.”
“Ibumu sudah tahu aku yang akan mengantarmu pulang,” kata Jung Tae-Rio sambil meletakkan tas Ify di sofa kamar.

Hari ini Ify sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Keadaannya sudah membaik walaupun tubuhnya masih agak lemah. Lagi pula setelah seminggu siuman di rumah sakit, Ify mulai merasa bosan setengah mati.
Ketika tabrakan keras itu terjadi, hal terakhir yang diingatnya adalah Jung Tae-Rio. Bahwa ia belum bertemu laki-laki itu lagi. Belum bicara dengannya. Ia takut tidak akan pernah punya kesempatan melihat Jung Tae-Rio lagi. Lalu semuanya gelap. Ia tidak tahu apa-apa lagi.
Ia nyaris tidak percaya pada apa yang dilihatnya ketika pertama kali membuka mata. Ia melihat wajah Jung Tae-Rio. Seperti sedang bermimpi. Kalau bermimpi, saat itu ia tidak ingin bangun. Tapi ternyata itu kenyataan. Jung Tae-Rio sungguh ada di sana, di sisinya, menggenggam tangannya dan berbicara padanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Ify tersentak dari lamunan dan melihat Jung Tae-Rio sedang menatapnya dengan alis terangkat. Ify tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Rio mendorong kursi roda ke samping tempat tidur. “Ayo, kubantu,” katanya.
Ify membiarkan Jung Tae-Rio menggendongnya dan mendudukkannya di kursi roda. Walaupun sebagian perbannya sudah dilepas, kakinya masih tidak kuat untuk berjalan atau berdiri, karena itu mereka membutuhkan kursi roda.
“Sebelum pulang ke rumah, aku ingin membawamu ke suatu tempat,” kata Jung Tae-Rio sambil meraih tas Ify dan mendorong kursi roda Ify keluar pintu.
“Kita mau ke mana?” tanya Ify heran.
“Aku ingin mengajakmu makan siang. Untuk merayakan kesembuhanmu.”
“Di mana?”
“Kau akan tahu.”
“Kita naik apa?”
“Tentu saja naik mobil. Eh... kau tidak takut, kan?” tanya Jung Tae-Rio agak ragu.
Ify menggeleng. “Bukan begitu maksudku. Ini bukan di Korea. Di Indonesia kemudi mobil ada di sebelah kanan. Memangnya kau bisa?”
Jung Tae-Rio tertawa. “Ada orang yang akan mengemudikan mobil. Aku juga sudah memperingatkannya untuk mengemudi dengan hati-hati sekali.”
“Siapa?”
“Kalau kukatakan, kau tidak akan kenal siapa dia.”
Ify memiringkan kepala dan tidak bertanya-tanya lagi. Bertanya juga tidak ada gunanya kalau Jung Tae-Rio sudah tidak mau mengatakan apa-apa.
Ternyata Ify memang tidak mengenal pria setengah baya yang mengemudikan mobil itu. Ify melihat Jung Tae-Rio berbicara padanya dalam bahasa Inggris, lalu pria setengah baya itu mengangguk mengerti. Mereka pun berangkat.
Mereka berhenti di hotel terkenal di daerah Jakarta Selatan.
“Kita mau makan di sini?” tanya Ify ragu-ragu.
“Ya. Aku sudah memesan tempat. Ayo, kubantu keluar,” kata Jung Tae-Rio.
Ify cepat-cepat menahannya. “Tunggu sebentar, Jung Tae-Rio ssi. Aku... maksudku, aku tidak masuk ke tempat seperti itu dengan kursi roda. Maksudku—“
Kata-kata Ify terputus ketika Jung Tae-Rio memegang wajahnya dengan kedua tangan.
“Tidak apa-apa. Ada aku,” katanya sambil tersenyum menenangkan.
Ify tidak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan dirinya didudukkan di kursi roda dan didorong masuk ke lobi hotel.
Seorang pegawai hotel sepertinya sudah mengenal Jung Tae-Rio. Ia langsung tersenyum ramah dan langsung menunjukkan jalan menuju restoran.
Ify merasa agak aneh ketika masuk ke restoran itu dan tidak melihat seorang pun di sana. Hanya ada beberapa pelayan yang berdiri di sudut ruangan, menunggu perintah. Ify juga memerhatikan ada beberapa pria yang memainkan alat musik di panggung kecil di tengah restoran.
Pegawai hotel yang mengantar mereka menunjukkan meja yang sudah disiapkan untuk mereka, di bagian depan, dekat panggung. Ify juga melihat ada grand piano hitam serta pemusik yang duduk di sana dan memainkannya.
Ketika Jung Tae-Rio sudah duduk berhadapan dengannya, Ify membuka mulut. “Kenapa aku merasa kau sudah mengatur semua ini?”
“Mengatur apa?” Jung Tae-Rio balas bertanya dengan raut wajah tanpa dosa.
Ify tersenyum. “Tidak ada orang di restoran ini, kecuali pelayan dan beberapa pemain musik. Jangan-jangan penyebabnya adalah kau.”
Jung Tae-Rio hanya tertawa.
Tak lama kemudian makanan mereka diantarkan. Sepertinya sudah lama sekali sejak Ify makan bersama Jung Tae-Rio. Ia sangat menikmatinya. Ia selalu merasa senang berada di dekat Jung Tae-Rio. Bila ia bersama laki-laki itu, ia merasa lebih tenang, lebih bahagia.
Saat mereka selesai makan, Ify baru akan mengatakan sesuatu ketika Jung Tae-Rio mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya.
“Aku tahu apa yang kauinginkan,” kata Jung Tae-Rio yakin.
Alis Ify terangkat.
“Dari tadi kau terus melirik piano di sana itu,” kata Jung Tae-Rio. “Aku sudah tahu kau akan memintaku bermain piano. Benar tidak?”
Ify kaget dan tertawa. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.
“Tentu saja,” sahut Jung Tae-Rio. “Karena aku mengenalmu.”
Ify memerhatikan Jung Tae-Rio saat ia bangkit dari kursi dan berjalan ke arah piano. Pria yang tadinya bermain piano berdiri dan mempersilakan Jung Tae-Rio duduk. Saat itu juga lampu sorot entah di mana menyala menyinari piano itu. Jung Tae-Rio duduk di depan piano dan memosisikan jari-jari tangan di tuts-tutsnya.

Jung Tae-Rio menatap If dan bertanya, “Kau ingin aku memainkan lagu apa?”
“Apa saja,” jawab Ify cepat.
“Aku sudah menulis sebuah lagu,” kata Jung Tae-Rio sambil menekan beberapa nada di piano. “Sebenarnya lagu ini kutulis untukmu, tapi belum ada liriknya, juga belum ada judulnya. Untuk sementara ini hanya ada nadanya.”
Biarpun begitu, Ify tetap merasa tersanjung.
Jung Tae-Rio mulai memainkan piano. Ify sangat suka mendengar Jung Tae-Rio bermain. Setiap nada yang keluar dari piano itu begitu hidup, membentuk melodi indah. Walaupun masih belum ada liriknya, Ify sangat senang dengan kenyataan bahwa Jung Tae-Rio menulis lagu itu untuknya.
Ketika lagu itu berakhir, Ify bertepuk tangan bersama para pemusik lain. Ify mengira Jung Tae-Rio akan kembali ke meja mereka, tapi laki-laki itu malah mengambil mikrofon. Lalu salah seorang pemusik tadi mengambilkan bangku tinggi dan meletakkannya di tengah-tengah panggung. Para pemusik lain bersiap-siap kembali dengan alat musik mereka. Apa yang sedang dilakukan Jung Tae-Rio?
Jung Tae-Rio tersenyum padanya. Laki-laki itu menyalakan mikrofon dan berkata, “Sebenarnya aku ingin menyanyikan laguku sendiri untukmu, tapi tidak ada yang cocok dengan apa yang ingin kukatakan padamu sekarang. Jadi, aku akan menyanyikan lagu lain.” Ia terdiam sejenak dan melanjutkan, “Ada satu lagu yang rasanya cocok.”
Jung Tae-Rio akan menyanyi? Ify menunggu dengan hati berdebar.
Jung Tae-Rio memberi tanda kepada para pemusik dan musik mulai mengalun. Ia pun mulai bernyanyi.
Ify menahan napas ketika mengenali lagu itu. Salah satu lagu favoritnya sepanjang masa. Lagu yang dinyanyikan Kang Ta yang berjudul Confession. Dulu, setiap kali mendengarkan lagu ini di CD Kang Ta atau di radio, ia selalu bermimpi suatu saat nanti ada seseorang yang akan menyanyikan lagu ini khusus untuknya. Kini mimpinya menjadi kenyataan. Jung Tae-Rio sedang menyanyikan lagu itu. Khusus untuknya.
Ya... aku ingin hatimu datang padaku
Aku ingin melangkah ke dalam matamu yang sedih
Tidak bisa... kau tidak bisa menerima hatiku semudah itu
Tapi kuharap kau membuka hatimu dan menerimaku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga hanya dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga adalah dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Terima kasih...
Aku akan hidup demi dirimu yang bersedia menerima hatiku
Walaupun cahaya di wajahmu meredup
aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
(Terjemahan lagu Confession)
Ketika lagu itu berakhir, Ify baru menyadari air matanya mengalir tanpa sepengetahuannya.
Jung Tae-Rio turun dari panggung dan menghampirinya. Ify mendongak menatap Jung Tae-Rio yang tersenyum. Lalu laki-laki itu berlutut di samping kursi rodanya.
“Anak bodoh. Kenapa menangis?” tanya Jung Tae-Rio sambil menghapus air mata di pipi Ify dengan jarinya.
Ify tidak tahu harus menjawab apa. Ia diam saja sambil memandangi wajah laki-laki di depannya.  
Jung Tae-Rio menatapnya lurus-lurus. “Aku mencintaimu.”
Ify tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Yang ia tahu pipinya terasa panas, air matanya kembali mengalir, lalu Jung Tae-Rio mencondongkan tubuh untuk menciumnya.