Lima Belas
“HEI, lagi dengerin lagu apa nih?”
Ify menoleh ke arah suara yang bernada ceria dan penuh semangat
itu. Zahra, saudara sepupunya yang sebaya dengannya, masuk ke kamarnya dan
langsung merebahkan diri di tempat tidur. Sebelum Ify menjawab, zahra sudah
meraih kotak CD yang sedang dipegang Ify.
“Cakep amat nih cowok,” komentarnya ketika melihat cover depan
CD yang gambarnya foto Jung Tae-Rio itu. “Lho, Fy, kok ada tanda tangan segala?
Ini beneran tanda tangan penyanyi ini? Lo pernah ketemu?”
Ify tertawa dan merebut kotak CD itu kembali. “Ya. Waktu itu aku
pergi ke acara jumpa penggemarnya.”
Ia melihat Zahra hanya
meringis dan mengangkat bahu. Ada kalanya ia ingin seperti sepupunya itu. Zahra
gadis yang periang, santai, dan berbakat dalam bahasa. Lihat saja, walaupun
menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Paris bersama ayahnya dan hanya
sesekali mengunjungi ibunya di Jakarta bila sedang liburan seperti sekarang,
bahasa Indonesia Zahra tanpa cela.
Bahkan ia sama sekali tidak kesulitan mengikuti perkembangan bahasa gaul
Indonesia. Tidak seperti Zahra yang bahasa Indonesia-nya masih terdengar agak
resmi.
“Ada rencana apa hari ini?” tanya Ify. “Kok pagi-pagi sudah ke
sini?”
“Gue bosan di rumah,” jawab sepupunya ringan. Ia duduk di tepi
tempat tidur Ify dan merapikan ikal-ikal rambutnya. “Ngomong-ngomong, lo kok
tiba-tiba nongol di Jakarta. Bikin kaget aja. Lagi patah ati?”
“Apa?”
“Udah punya gebetan belon sih?” Zahra mengganti pertanyaannya.
“Apa itu gebetan?”
Mata Zahra melebar. “Yee... lo ini orang Indonesia apa bukan?”
katanya sambil tertawa kecil. “Maksud gue tuh, lo udah punya cowok yang
ditaksir belon? Udah punya cowok belon? Gitu lho.”
Senyum Ify mengembang. “Sudah,” jawabnya sambil menunjuk gambar cover
depan CD Jung Tae-Rio. “Ini dia.”
Zahra meringis. “Iye, gue
juga punya affair sama Brad Pitt,” katanya cepat. “Gimana sih, ditanya
baek-baek kok jawabnya gitu.”
Ify juga sudah memperkirakan Zahra tidak akan percaya. Ia menatap
wajah Jung Tae-Rio di cover CD itu. Sudah satu minggu ia berada di
Jakarta, dan selama satu minggu itu ia tidak bisa melihat foto-foto dan artikel
Jung Tae-Rio di tabloid dan di televisi. Namun masih ada Young-Via yang sering
mengirimkan SMS untuk mencerita-kan kabar terbaru. Jung Tae-Rio juga
kadang-kadang mengirim SMS untuk mengabarkan keadaannya.
“Zahra, bisa pinjam handphone-mu sebentar?”
“Pourquoi? Kenapa?” tanya Zahra sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas
tangannya.
“Pulsaku sudah habis. Aku mau kirim SMS ke temanku di Korea. Aku
mau bilang lusa aku akan balik ke Korea,” Ify menjelaskan.
Zahra menggeleng-geleng sambil mendesah. “Lo jangan ngomong pake
bahasa yang seresmi itu dong. Gue jadi merinding nih. Pake aku-kamu segala.
Emang kita pacaran?”
Ify hanya tertawa. Zahra membantunya mengirim SMS kepada Young-Via
dalam bahasa Inggris karena ponsel Zahra tidak memiliki fasilitas huruf hangeul
dan karena Ify sendiri tidak begitu bisa bahasa Inggris. Menulis bahasa
Korea tanpa hangeul terasa terlalu aneh.
“Nih, udah kekirim,” kata Zahra, lalu ia bangkit dari tempat tidur
Ify. “Sekarang kita cabut yuk!”
“Apa? Kamu mau ke mana?”
Zahra memandangi dirinya di cermin yang tergantung di dinding,
berbalik ke kiri, berbalik ke kanan, lalu mendekatkan wajah ke cermin,
seakan-akan ingin memeriksa apakah ada setitik debu di ujung hidungnya. “Kita
ke Bandung. Mau nggak?” usul Zahra sambil menjauhkan wajahnya dari cermin. “Gue
lagi pengin jalan nih. Bukan cuma lo yang patah ati. Gue juga lagi bete. Hari
ini kita have fun aja. Ayo dong! Lelet amat sih nih anak. Ganti baju
sana!”
* * *
“Jadi kamu pasti kembali hari ini?” tanya Young-Via dengan ponsel
yang ditempelkan di telinga. Ia mengucapkan terima kasih kepada pelayan toko
yang menyerahkan barang belanjaannya dan kembali memusatkan perhatian pada Ify
yang sedang berbicara di ujung sana.
“Mm,” jawab Ify. Suaranya kurang jelas karena sambungan
internasional. “Sekarang aku sedang dalam perjalanan pulang. Dua jam lagi aku
akan berangkat lagi ke bandara. Pesawatku berangkat tengah malam, jadi menurut
jadwal aku akan sampai besok pagi.”
Young-Via mendorong pintu kaca toko dan keluar. “Oke. Aku akan
menjemputmu di bandara nanti.”
“Tidak usah. Aku bisa naik taksi sendiri. Bukankah kau harus
membantu ibumu?”
“Biasanya tidak ada pelanggan yang datang pada jam-jam segitu,”
bantah Young-Via. “Jung Tae-Rio sedang di Amerika Serikat, jadi tidak bisa
pergi menjemputmu.”
“Aku tahu. Dia pulang hari ini juga, tapi mungkin sampai di Seoul
agak malam besok.”
Young-Via meringis. “Rupanya kau masih berhubungan dengan dia.
Memangnya ibumu tidak marah-marah?”
Young-Viamendengar temannya tertawa kecil di seberang sana, lalu Ify
berkata, “Tidak, sebenarnya ibuku tidak benar-benar marah. Ibuku hanya sedih
karena teringat lagi pada Angel. Ibuku juga kesal karena kedua anak
perempuannya menjadi bahan pembicaraan di Korea. Tapi sekarang gosipnya sudah
mereda, kan?”
Young-Via mengangguk, walaupun ia tahu Ify tidak bisa melihat
anggukan kepalanya. “Ya, Jung Tae-Rio sudah menyelesaikannya. Entah bagaimana.
Setidaknya sekarang dia memang sibuk sekali.”
“Oh, begit—AHH!”
Young-Via berhenti berjalan. Ia mengerutkan kening. “Halo? Halo?
Soon-Alyssa?”
Tidak ada jawaban. Sambungan telepon sudah terputus. Young-Via
menatap ponselnya, lalu menelepon ponsel Ify. Tidak bisa. Young-Via mencoba
sekali lagi. Tetap tidak bisa.
Awalnya Young-Via tidak begitu merisaukan hubungan telepon yang
terputus, tapi ketika tidak bisa menemukan Ify di bandara waktu ia menjemput
keesokan harinya, ia mulai cemas. Ia kembali berusaha menghubungi ponsel Ify,
tapi tetap tidak bisa tersambung.
Young-Via kebingungan. Ia tidak tahu nomor telepon rumah Ify di
Jakarta. Ia harus menghubungi siapa? Tiba-tiba ia teringat pada SMS yang
diterimanya dari Ify dengan menggunakan ponsel saudara sepupunya. Young-Via
memeriksa ponselnya. Semoga saja SMS dari nomor ponsel sepupu Ify itu masih
ada.
Ah, ternyata belum dihapus. Syukurlah.
Young-Via cepat-cepat menghubungi nomor itu dan menunggu dengan
tidak sabar.
“Halo?” Terdengar jawaban dari seberang sana. Suara perempuan.
Saudara sepupu Ify atau bukan? Sepertinya memang benar.
Young-Via berusaha menyusun kata-kata dalam bahasa Inggris secara
kilat. “Hello,” katanya ragu-ragu. “Is this Soon-Alyssa’s cousin?”
“Yes,” jawab perempuan itu. Suaranya terdengar aneh. “This
is Zahra. Who’s speaking?”
Untunglah sepupu Ify bisa berbahasa Inggris dengan lancar. “My
name is Kang Young-Via. Soon-Alyssa’s friend from Korea,” kata Young-Vua
memperkenalkan diri. “I need to ask you something. Soon-Alyssa told me that
she would arrive in Korea today, but I couldn’t find her at the airport. She
couldn’t make it?”
Begitu mendengar jawaban sepupu Ify, mata Young-Via terbelalak.
”Apa?! I’m sorry... what was that? Can you say that again, please?”
Young-Via merasa tubuhnya lemas seketika. Begitu memutuskan
hubungan, ia langsung menghubungi Jung Tae-Rio melalui ponsel Park Hyun-Shik
karena ia tidak punya nomor ponsel Jung Tae-Rio. Tidak tersambung. Mungkin Park
Hyun-Shik dan Jung Tae-Rio sedang berada dalam pesawat yang membawa mereka
pulang ke Korea dari Amerika Serikat.
Young-Viamenutup flap ponselnya dengan keras. Ia
mengacak-acak rambut dengan perasaan putus asa. Ia harus segera memberitahu
Jung Tae-Rio apa yang sudah terjadi pada Ify.
“Lelah sekali,” gumam Park Hyun-Shik sambil masuk ke mobil yang
sudah menunggu mereka di pintu depan bandara.
Tae-Rio menyandarkan kepala ke kursi. Ify seharusnya sudah kembali
ke Korea hari ini. Benarkah telah nyaris satu bulan berlalu sejak terakhir ia
bertemu gadis itu? Hari ini ia bakal bisa menemuinya. Tae-Rio merasa
semangatnya pulih kembali begitu berpikir ia bisa melihat Ify.
Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri sejak kapan gadis itu
menjadi salah satu alasannya untuk menjalani hari-hari. Karena ingin melihat
dan bersama gadis itu, maka ia tetap bertahan, tetap bangun di pagi hari, tetap
bernapas. Sekarang Tae-Rio bisa memahami apa artinya bila seseorang ingin tetap
bertahan hidup demi orang lain. Ia sering menonton drama yang tokoh utamanya
mengidap penyakit parah yang mematikan, namun ingin tetap bertahan hidup demi
orang yang dicintainya. Sebelum ini, Tae-Rio tidak terlalu memahami perasaan
seperti itu tapi sekarang, walaupun tidak mengidap penyakit apa pun, ia ingin
tetap hidup. Karena dalam hidup ini, ada seseorang yang sangat berharga
baginya. Karena dalam hidup ini, ia ingin selalu bisa melihat dan bersama orang
itu.
“Aneh. Teman Ify yang
bernama Kang Young-Via itu sudah meneleponku belasan kali.”
Lamunan Tae-Rio dibuyarkan suara manajernya. Ia menoleh dan
melihat Park Hyun-Shik sedang mengerutkan kening menatap ponselnya.
“Kang Young-Via?” tanya Tae-Rio.
Park Hyun-Shik mengangguk. “Aku juga baru tahu setelah kuaktifkan
ponselku kembali.”
Tae-Rio ikut mengeluarkan ponsel dan mengaktifkannya.
Tiba-tiba ponsel Park Hyun-Shik berbunyi.
“Dari Kang Young-Via,” kata Park Hyun-Shik dan segera menjawab
teleponnya.
Tae-Rio memerhatikan manajernya berbicara dengan teman Ify itu.
“Kang Young-Via ssi, bicaranya pelan-pelan saja. Aku tidak
mengerti apa yang kaukatakan,” kata Park Hyun-Shik. “Jung Tae-Rio? ... Ya, dia
ada di sini... Mau bicara dengannya? ... Oke, sebentar.”
Tae-Rio mengerutkan dahi. Mendadak saja perasaannya tidak enak.
Apa ada hubungannya dengan Ify?
Ia menerima ponsel dari Park Hyun-Shik. “Ya?”
“Jung Tae-Rio ssi, aku ingin memberitahumu lebih awal, tapi
ponsel Paman Park Hyun-Shik tidak aktif dan aku tidak tahu nomor ponselmu.”
Tae-Rio mendengar suara teman Ify itu agak gugup dan kacau.
“Aku dan Hyun-Shik Hyong memang baru turun dari pesawat,
jadi ponsel kami berdua tidak aktif tadi,” Tae-Rio menjelaskan. Perasaannya
semakin tidak enak. “Ada apa kau mencariku?”
“Soon-Alyssa...”
Kenapa ia tiba-tiba merasa sulit bernapas?
“Ada apa dengan Ify?” tanyanya. Tangannya mulai terasa dingin. Ia
sendiri mulai panik. “Di mana dia?”
“Soon-Alyssa masih di Jakarta.”
“Dia tidak pulang hari ini? Kenapa?”
Kang Young-Via tidak bersuara sejenak. Tae-Rio baru akan
memanggilnya ketika gadis itu berbicara lagi. “Dia mengalami kecelakaan.”
“Apa?”
Kali ini penjelasan Kang Young-Via mengalir dengan lancar. “Tadi
aku sudah menelepon saudara sepupunya yang ada di Jakarta karena ponsel Soon-Alyssa
tidak bisa dihubungi. Dia yang mengatakan padaku Soon-Alyssa mengalami
kecelakaan lalu lintas. Taksi yang ditumpanginya terlibat dalam tabrakan
beruntun di jalan tol.”
Tae-Rio merasa dadanya berat sekali, susah bernapas, darahnya
seolah-olah membeku begitu saja. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Belum sadar.” Suara Kang Young-Via mulai pecah. Sepertinya gadis
itu mulai menangis.
Belum sadarkan diri... Ya Tuhan...
Tae-Rio berusaha keras untuk menarik napas. “Di rumah sakit mana?
... Aku mengerti... Terima kasih.”
Ify sedang terbaring tidak sadarkan diri...
“Tae-Rio, ada apa? Ify masuk rumah sakit?”
Tae-Rio mendengar suara Park Hyun-Shik, tapi ia tidak punya tenaga
untuk menjawab. Pikirannya kalut.
“Hei, Jung Tae-Rio!”
“Aku harus ke sana,” katanya cepat tanpa memandang manajernya.
“Aku harus ke Jakarta.”
Zahra memeluk rantang dengan sebelah tangan sementara tangannya
yang lain mem-betulkan letak tali tasnya. Rantang berisi makanan itu akan
diberikannya kepada orangtua Ify yang sudah menunggui Ify semalaman di rumah
sakit. Ibu Zahra yang menyuruhnya membawakan makanan untuk mereka.
Ia melangkah memasuki pintu depan rumah sakit besar itu dan
berjalan ke lift. Siang ini ia tidak ada jadwal apa pun, sorenya juga tidak ada
acara penting. Zahra berencana membujuk oom dan tantenya itu istirahat. Ia bisa
menjaga Ify bila oom dan tantenya mau pulang sebentar. Zahra merasa kasihan
pada kedua orang itu. Kemarin ibu Ify banyak menangis dan ayah Ify juga sempat
menangis setelah melihat anak perempuan terbaring di kamar rumah sakit dengan
tubuh dan wajah penuh luka.
Ting!
Zahra tersentak mendengar denting bel yang menandakan terbukanya
pintu lift. Ia mengembuskan napas keras dan keluar dari lift. Ketika akan
membelok menuju kamar Ify, ia menghentikan langkahnya. Di depan pintu kamar Ify
ia melihat dua laki-laki yang tidak dikenalnya sedang berdiri berhadapan dengan
kedua orangtua Ify. Zahra melihat oomnya merangkul tantenya yang sesekali
menyeka air mata dengan sapu tangan sambil mengangguk-angguk kecil.
Zahra menyipitkan mata. Sepertinya ia pernah melihat salah satu
dari kedua laki-laki itu. Bukan yang berkacamata, tapi yang berdiri di samping
temannya dengan kepala tertunduk. Raut wajah laki-laki itu kelihatan kusut.
Tunggu... bukankah laki-laki itu sama dengan laki-laki yang fotonya ada di
sampul depan CD yang pernah ditunjukkan Ify kepadanya? Zahra memerhatikan lebih
cermat lagi. Benar... memang orang itu. Orang itu berarti... artis?
Kemudian Zahra melihat orangtua Ify berjalan mengikuti si
laki-laki berkacamata. Si artis menundukkan kepala kepada orangtua Ify, tapi ia
tidak ikut pergi. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar tempat Ify dirawat.
Laki-laki itu memegang pegangan pintu kamar sejenak. Tidak
bergerak. Lalu dengan perlahan ia membuka pintu dan masuk.
Tae-Rio merasa tubuhnya lelah sekali. Belum pernah ia merasa
seperti ini. Seluruh tenaganya seakan sudah terserap habis. Dadanya terasa
begitu berat. Ia naik pesawat pertama yang bisa didapatkannya ke Jakarta, lalu
langsung ke rumah sakit tempat Ify dirawat. Semuanya berjalan seperti mimpi.
Ketika ia bertemu kedua orangtua Ify untuk pertama kalinya, ketika ia berbicara
pada mereka, meminta supaya ia diizinkan melihat Ify, ia masih merasa dalam
keadaan setengah sadar.
Ia masuk ke kamar Ify dan hatinya seakan diremas begitu kuat
ketika melihat gadis itu berbaring dengan mata terpejam. Tae-Rio menghampiri
tempat tidur dan memerhatikan wajah Ify yang lebam. Kepalanya diperban, begitu
juga siku dan sebelah kakinya.
Tae-Rio menarik kursi dan duduk di sisi tempat tidur. Ia tersenyum
lemah.
“Ini aku,” bisiknya pelan.
Gadis itu tetap diam tidak bergerak.
Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh tangan Ify. “Sudah lama
tidak melihatmu. Kau tahu, aku hampir melupakan wajahmu. Kalau aku sampai lupa
bagaimana wajahmu, aku tidak bakal bisa melakukan apa pun lagi. Kau tahu kenapa?
Karena aku akan terlalu sibuk berusaha mengingat wajahmu sampai-sampai tidak
mampu memikirkan masalah lain. Gawat, kan?”
Ia membelai pipi Ify dengan ujung jemarinya. “Sekarang setelah
melihatmu, aku baru ingat. Ah, benar... Matamu seperti ini... hidungmu seperti
ini... mulutmu... dahimu... dan rambutmu.”
Ia menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. “Kenapa aku bisa
lupa wajahmu?” Tae-Rio mendesah. “Ingatanku memang buruk, aku tahu. Menurutmu
aku harus bagaimana? Menurutku, aku harus melihatmu setiap hari supaya tidak
lupa. Itu artinya kau harus selalu di sisiku, bersamaku. Bagaimana?”
Zahra menghampiri pintu kamar Ify dan ragu-ragu sebentar. Ia tidak
punya pikiran atau maksud apa pun. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan
laki-laki itu di kamar Ify. Karena itu ia memantapkan hati dan membuka pintu
itu dengan perlahan.
Ia melihat laki-laki itu duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu
tidak menyadari kehadirannya di balik pintu. Zahra melihatnya menggenggam tangan Ify dengan salah
satu tangannya. Zahra tertegun melihat cara laki-laki itu memandang saudara
sepupunya. Belum pernah ada orang yang menatapnya dengan cara seperti itu. Zahra
bukan tipe orang yang romantis, tapi ia merasa tatapan itu begitu tulus. Ia
pasti sudah luluh jika ada orang yang menatapnya penuh perasaan seperti itu.
Laki-laki itu sedang berbicara. Samar-samar Zahra bisa mendengar
suaranya, ia tahu laki-laki itu berbicara dalam bahasa Korea, tapi tidak
mengerti apa yang sedang dikatakannya. Sambil berbicara, laki-laki itu menyentuh
wajah Ify dengan ujung jemarinya. Hanya dengan ujung jemari, dan perlahan
sekali, seakan-akan takut akan menyakiti gadis yang terbaring di tempat tidur
itu. Tanpa disadarinya, Zahra menahan napas, terkesima melihat laki-laki itu
dan Ify. Suara laki-laki itu pelan dan dalam. Walaupun Zahra tidak mengerti
sedikit pun apa yang diutarakannya, herannya ia bisa merasakan perasaan yang
mengalir melalui ucapan laki-laki itu.
Laki-laki itu menghela napas berat. Ia menatap wajah Ify dan saat
itu Zahra mendengar laki-laki itu berbisik, “Sarang hae...”
Kerongkongan Zahra tercekat dan entah kenapa air matanya bergulir
turun. Yang membuat Zahra tersentuh adalah cara laki-laki itu mengucapkannya:
dengan segenap perasaan, seolah-olah tidak lagi punya tenaga untuk mengucapkan
kata-kata lain. Zahra tidak bisa berbahasa Korea, tapi ia tahu arti kalimat
barusan.
Aku mencintaimu....
Enam Belas
BEBERAPA hari setelah itu Tae-Rio terus berada di Jakarta. Park
Hyun-Shik sibuk membatalkan dan menyusun ulang jadwal kerja Tae-Rio. Tae-Rio
ingin berada di dekat Ify. Ia juga menggunakan kesempatan itu untuk lebih
mengenal kedua orangtua Ify. Setelah mengenal mereka secara pribadi, ia baru
mengetahui dengan pasti bahwa sebenarnya kedua orangtua Ify tidak membencinya
karena kejadian empat tahun lalu.
“Masih sama. Belum sadar,” kata Tae-Rio sambil duduk di bangku
panjang di koridor rumah sakit. Ia menggenggam ponsel yang ditempelkan di
telinga dan bersandar ke dinding. Ibunya menelepon dari Amerika untuk
menanyakan keadaan Ify. “Tentu, Ibu. Kalau ada kabar apa pun, aku akan
menelepon Ibu... Ya, Hyong masih di sini menemaniku... Ibu tidak usah mencemaskan
aku. Aku bisa menjaga diri... Ya, bye.”
Tae-Rio menutup ponsel dan memejamkan mata. Sudah beberapa hari
ini tidurnya tidak nyenyak. Ia lelah, tapi tidak bisa terlelap. Orangtua Ify
juga begitu. Ayah Ify sudah kembali bekerja tapi datang menjenguk putrinya tiap
sore. Ibunya selalu berada di rumah sakit. Tadi sepupu Ify yang bernama Zahra datang dan kini menemani ibu Ify pergi makan
siang di kafetaria rumah sakit.
Sambil menarik napas panjang, Tae-Rio kembali ke kamar Ify. Ia
duduk di tempatnya seperti biasa, di sisi tempat tidur. Dokter pernah berkata,
bila Ify sadarkan diri, ia akan baik-baik saja. Masalahnya, dokter tidak tahu
kapan Ify akan sadar. Gadis itu tetap terbaring tak bergerak, tidak membuka
mata.
Tae-Rio menggenggam tangan Ify. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia
mengerutkan kening. Apakah ia salah lihat tadi? Sepertinya kelopak mata Ify
bergerak. Tidak, ia hanya bermimpi.
Tapi kemudian ia merasakan tangan Ify yang sedang digenggam
bergerak. Ia tersentak dan menatap wajah Ify dengan jantung berdebar keras.
Kelopak mata gadis itu bergerak, lalu perlahan-lahan matanya
terbuka.
Tae-Rio merasa begitu lega sampai kakinya terasa lemas. Ify sadar!
Ia sudah sadar. Tae-Rio menjulurkan tangan dan menyentuh pipi Ify. Gadis itu
menoleh lemas dan matanya bertemu mata Tae-Rio.
“Kau sudah sadar,” kata Tae-Rio kepadanya, senyumnya mengembang.
Ia begitu lega, begitu bahagia sampai ia ingin melompat. “Bagaimana
perasaanmu?”
Ify membuka mulut, tapi terlalu tak bertenaga untuk berbicara.
Tae-Rio cepat-cepat menggeleng. “Jangan bicara dulu. Kau masih lemah. Tunggu
sebentar, kita harus memanggil dokter.”
Tae-Rio menekan tombol merah di dekat tempat tidur dan kembali
memandangi Ify. Kelihatannya gadis itu masih setengah terjaga, karena matanya
sesekali terpejam, lalu terbuka lagi, tapi dari matanya Tae-Rio tahu Ify
mengenalinya.
Gadis itu memandangnya, lalu membuka mulut lagi. Tae-Rio
mendekatkan telinganya ke wajah Ify untuk mendengarkan kata-katanya.
“Aku... rindu... padamu.”
Tae-Rio tertegun. Suara Ify memang lebih mirip bisikan, tapi ia
mendengar kata-kata itu dengan jelas. Tae-Rio tersenyum dan berkata pelan, “Aku
juga.”
Tidak lama kemudian, terdengar pintu dibuka. Tae-Rio menoleh dan
melihat dokter dan perawat bergegas masuk. Ia menoleh kembali kepada Ify dan
berkata, “Dokter sudah datang. Aku akan pergi sebentar untuk memanggil ibumu.
Kau sudah tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja.”
“Ibumu sudah tahu aku yang akan mengantarmu pulang,” kata Jung
Tae-Rio sambil meletakkan tas Ify di sofa kamar.
Hari ini Ify sudah boleh meninggalkan rumah sakit. Keadaannya
sudah membaik walaupun tubuhnya masih agak lemah. Lagi pula setelah seminggu
siuman di rumah sakit, Ify mulai merasa bosan setengah mati.
Ketika tabrakan keras itu terjadi, hal terakhir yang diingatnya
adalah Jung Tae-Rio. Bahwa ia belum bertemu laki-laki itu lagi. Belum bicara
dengannya. Ia takut tidak akan pernah punya kesempatan melihat Jung Tae-Rio
lagi. Lalu semuanya gelap. Ia tidak tahu apa-apa lagi.
Ia nyaris tidak percaya pada apa yang dilihatnya ketika pertama
kali membuka mata. Ia melihat wajah Jung Tae-Rio. Seperti sedang bermimpi.
Kalau bermimpi, saat itu ia tidak ingin bangun. Tapi ternyata itu kenyataan.
Jung Tae-Rio sungguh ada di sana, di sisinya, menggenggam tangannya dan
berbicara padanya.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Ify tersentak dari lamunan dan melihat Jung Tae-Rio sedang
menatapnya dengan alis terangkat. Ify tersenyum dan menggeleng.
Jung Tae-Rio mendorong kursi roda ke samping tempat tidur. “Ayo, kubantu,”
katanya.
Ify membiarkan Jung Tae-Rio menggendongnya dan mendudukkannya di
kursi roda. Walaupun sebagian perbannya sudah dilepas, kakinya masih tidak kuat
untuk berjalan atau berdiri, karena itu mereka membutuhkan kursi roda.
“Sebelum pulang ke rumah, aku ingin membawamu ke suatu tempat,”
kata Jung Tae-Rio sambil meraih tas Ify dan mendorong kursi roda Ify keluar
pintu.
“Kita mau ke mana?” tanya Ify heran.
“Aku ingin mengajakmu makan siang. Untuk merayakan kesembuhanmu.”
“Di mana?”
“Kau akan tahu.”
“Kita naik apa?”
“Tentu saja naik mobil. Eh... kau tidak takut, kan?” tanya Jung
Tae-Rio agak ragu.
Ify menggeleng. “Bukan begitu maksudku. Ini bukan di Korea. Di
Indonesia kemudi mobil ada di sebelah kanan. Memangnya kau bisa?”
Jung Tae-Rio tertawa. “Ada orang yang akan mengemudikan mobil. Aku
juga sudah memperingatkannya untuk mengemudi dengan hati-hati sekali.”
“Siapa?”
“Kalau kukatakan, kau tidak akan kenal siapa dia.”
Ify memiringkan kepala dan tidak bertanya-tanya lagi. Bertanya
juga tidak ada gunanya kalau Jung Tae-Rio sudah tidak mau mengatakan apa-apa.
Ternyata Ify memang tidak mengenal pria setengah baya yang
mengemudikan mobil itu. Ify melihat Jung Tae-Rio berbicara padanya dalam bahasa
Inggris, lalu pria setengah baya itu mengangguk mengerti. Mereka pun berangkat.
Mereka berhenti di hotel terkenal di daerah Jakarta Selatan.
“Kita mau makan di sini?” tanya Ify ragu-ragu.
“Ya. Aku sudah memesan tempat. Ayo, kubantu keluar,” kata Jung
Tae-Rio.
Ify cepat-cepat menahannya. “Tunggu sebentar, Jung Tae-Rio ssi.
Aku... maksudku, aku tidak masuk ke tempat seperti itu dengan kursi roda.
Maksudku—“
Kata-kata Ify terputus ketika Jung Tae-Rio memegang wajahnya
dengan kedua tangan.
“Tidak apa-apa. Ada aku,” katanya sambil tersenyum menenangkan.
Ify tidak berkata apa-apa lagi. Ia membiarkan dirinya didudukkan
di kursi roda dan didorong masuk ke lobi hotel.
Seorang pegawai hotel sepertinya sudah mengenal Jung Tae-Rio. Ia
langsung tersenyum ramah dan langsung menunjukkan jalan menuju restoran.
Ify merasa agak aneh ketika masuk ke restoran itu dan tidak
melihat seorang pun di sana. Hanya ada beberapa pelayan yang berdiri di sudut
ruangan, menunggu perintah. Ify juga memerhatikan ada beberapa pria yang
memainkan alat musik di panggung kecil di tengah restoran.
Pegawai hotel yang mengantar mereka menunjukkan meja yang sudah
disiapkan untuk mereka, di bagian depan, dekat panggung. Ify juga melihat ada grand
piano hitam serta pemusik yang duduk di sana dan memainkannya.
Ketika Jung Tae-Rio sudah duduk berhadapan dengannya, Ify membuka
mulut. “Kenapa aku merasa kau sudah mengatur semua ini?”
“Mengatur apa?” Jung Tae-Rio balas bertanya dengan raut wajah
tanpa dosa.
Ify tersenyum. “Tidak ada orang di restoran ini, kecuali pelayan
dan beberapa pemain musik. Jangan-jangan penyebabnya adalah kau.”
Jung Tae-Rio hanya tertawa.
Tak lama kemudian makanan mereka diantarkan. Sepertinya sudah lama
sekali sejak Ify makan bersama Jung Tae-Rio. Ia sangat menikmatinya. Ia selalu
merasa senang berada di dekat Jung Tae-Rio. Bila ia bersama laki-laki itu, ia
merasa lebih tenang, lebih bahagia.
Saat mereka selesai makan, Ify baru akan mengatakan sesuatu ketika
Jung Tae-Rio mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya.
“Aku tahu apa yang kauinginkan,” kata Jung Tae-Rio yakin.
Alis Ify terangkat.
“Dari tadi kau terus melirik piano di sana itu,” kata Jung Tae-Rio.
“Aku sudah tahu kau akan memintaku bermain piano. Benar tidak?”
Ify kaget dan tertawa. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.
“Tentu saja,” sahut Jung Tae-Rio. “Karena aku mengenalmu.”
Ify memerhatikan Jung Tae-Rio saat ia bangkit dari kursi dan
berjalan ke arah piano. Pria yang tadinya bermain piano berdiri dan
mempersilakan Jung Tae-Rio duduk. Saat itu juga lampu sorot entah di mana
menyala menyinari piano itu. Jung Tae-Rio duduk di depan piano dan memosisikan
jari-jari tangan di tuts-tutsnya.
Jung Tae-Rio menatap If dan bertanya, “Kau ingin aku memainkan
lagu apa?”
“Apa saja,” jawab Ify cepat.
“Aku sudah menulis sebuah lagu,” kata Jung Tae-Rio sambil menekan
beberapa nada di piano. “Sebenarnya lagu ini kutulis untukmu, tapi belum ada
liriknya, juga belum ada judulnya. Untuk sementara ini hanya ada nadanya.”
Biarpun begitu, Ify tetap merasa tersanjung.
Jung Tae-Rio mulai memainkan piano. Ify sangat suka mendengar Jung
Tae-Rio bermain. Setiap nada yang keluar dari piano itu begitu hidup, membentuk
melodi indah. Walaupun masih belum ada liriknya, Ify sangat senang dengan
kenyataan bahwa Jung Tae-Rio menulis lagu itu untuknya.
Ketika lagu itu berakhir, Ify bertepuk tangan bersama para pemusik
lain. Ify mengira Jung Tae-Rio akan kembali ke meja mereka, tapi laki-laki itu
malah mengambil mikrofon. Lalu salah seorang pemusik tadi mengambilkan bangku
tinggi dan meletakkannya di tengah-tengah panggung. Para pemusik lain
bersiap-siap kembali dengan alat musik mereka. Apa yang sedang dilakukan Jung
Tae-Rio?
Jung Tae-Rio tersenyum padanya. Laki-laki itu menyalakan mikrofon
dan berkata, “Sebenarnya aku ingin menyanyikan laguku sendiri untukmu, tapi tidak
ada yang cocok dengan apa yang ingin kukatakan padamu sekarang. Jadi, aku akan
menyanyikan lagu lain.” Ia terdiam sejenak dan melanjutkan, “Ada satu lagu yang
rasanya cocok.”
Jung Tae-Rio akan menyanyi? Ify menunggu dengan hati berdebar.
Jung Tae-Rio memberi tanda kepada para pemusik dan musik mulai
mengalun. Ia pun mulai bernyanyi.
Ify menahan napas ketika mengenali lagu itu. Salah satu lagu
favoritnya sepanjang masa. Lagu yang dinyanyikan Kang Ta yang berjudul Confession.
Dulu, setiap kali mendengarkan lagu ini di CD Kang Ta atau di radio, ia selalu
bermimpi suatu saat nanti ada seseorang yang akan menyanyikan lagu ini khusus
untuknya. Kini mimpinya menjadi kenyataan. Jung Tae-Rio sedang menyanyikan lagu
itu. Khusus untuknya.
Ya... aku ingin hatimu datang padaku
Aku ingin melangkah ke dalam matamu yang sedih
Tidak bisa... kau tidak bisa menerima hatiku semudah itu
Tapi kuharap kau membuka hatimu dan menerimaku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga hanya dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Aku bisa merelakan hari-hariku untukmu
Tidakkah kau tahu yang paling berharga adalah dirimu?
Seluruh cintaku akan menjadi bintang
yang akan melindungimu di sisimu
Aku ingin terlelap bersamamu di malam yang sejuk
Tidak banyak yang kumiliki
tapi akan kuserahkan semuanya untukmu
Tolong terimalah cinta dan sedikit mimpiku
Terima kasih...
Aku akan hidup demi dirimu yang bersedia menerima hatiku
Walaupun cahaya di wajahmu meredup
aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
Aku akan tetap mencintaimu...
(Terjemahan lagu Confession)
Ketika lagu itu berakhir, Ify baru menyadari air matanya mengalir
tanpa sepengetahuannya.
Jung Tae-Rio turun dari panggung dan menghampirinya. Ify mendongak
menatap Jung Tae-Rio yang tersenyum. Lalu laki-laki itu berlutut di samping
kursi rodanya.
“Anak bodoh. Kenapa menangis?” tanya Jung Tae-Rio sambil menghapus
air mata di pipi Ify dengan jarinya.
Ify tidak tahu harus menjawab apa. Ia diam saja sambil memandangi wajah
laki-laki di depannya.
Jung Tae-Rio menatapnya lurus-lurus. “Aku mencintaimu.”
Ify tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Yang
ia tahu pipinya terasa panas, air matanya kembali mengalir, lalu Jung Tae-Rio
mencondongkan tubuh untuk menciumnya.