Thursday, 10 May 2012

Pacarku Juniorku [9] -IC Version-


Pacarku Juniorku [9]
IFY dan papanya tiba di rumah sakit untuk menemui Shilla. Dari jauh Ify melihat Shilla bersandar sendirian di dinding rumah sakit tepat di sebelah pintu kamar yang terbuka lebar. Isak tangis terdengar dari dalam kamar itu.
Ify dan papanya berjalan mendekat. Jantung Ify berdegup kencang.

“Shilla...,” panggil Ify pelan.
Shilla mendongakkan kepalanya dan terkejut menatap Ify. Matanya merah dan bengkak. Ujung hidungnya juga merah. Bahkan pipinya masih basah oleh air mata.

“Shill, gue turut berdukacita,” kata Ify pelan.
Shilla mengangguk pelan tanpa suara.

“Shill, maafin gue ya...,” mohon Ify. “Lo benar, gue egois dan selalu mau menang sendiri. Gue nggak pernah ada buat lo, bahkan di saat elo benar-benar membutuhkan kehadiran gue. Gue nggak pernah menjadi sahabat yang baik buat elo. Maafin gue, Shill.”
Shilla menatap Ify, lalu memeluk Ify dan menumpahkan kesedihannya.

“Maafin gue juga, Fy,” kata Shilla lirih di sela derai air mata. “Gue nggak jujur sama lo, gue marah-marah sama elo seenaknya aja, dan gue udah berkata kasar sama elo.”

“Nggak, shill, gue yang salah. Bokap lo sakit aja gue nggak tau. Sahabat macam apa gue ini?”

Air mata Ify ikut menetes. Hatinya terasa perih. Dia menyesal karena nggak pernah ada untuk Shilla di saat sahabatnya itu butuh seorang sahabat.
Ify melepaskan pelukannya begitu teringat papanya masih berdiri di dekatnya.
“Shill, ini bokap gue...”

“Bokap lo?” Shilla nggak bisa menutupi rasa kagetnya.
Ify mengangguk. “Nanti gue ceritain....”
Shilla mengalihkan pandangannya ke arah papa Ify, lalu mengulurkan tangan.

“Oom turut berdukacita,” kata papa Ify. “Kamu yang tabah, ya.”
Shilla mengangguk, “Makasih, Oom.”
“Oh ya, di mana keluarga kamu yang lain?” tanya papa Ify.

“Mama masih di dalam,” jawab Shilla.
Ify dan papanya mengikuti Shilla menemui mama Shilla. Setelah mengucapkan turut berdukacita, Ify diajak Shilla keluar dari kamar.

@(^-^)@

“Fy, itu bokap lo?” tanya Shilla mengawali pembicaraan. Saat itu mereka duduk di bangku semen di koridor rumah sakit.
Ify tersenyum dan menganggukkan kepala. “Iya, dia bokap kandung gue. Dua hari sebelum kita berantem di rumah Rio, gue baru tau dia bokap gue.” Ify menceritakan kronologi cerita pertemuan dia dengan ayah kandungnya.
“Dan elo udah maafin dia?” tanya Shilla heran. “Bukannya elo benci sama dia?”

“Gue emang benci sama dia, tapi gue udah belajar memaafkannya.”
Shilla menghela napas. “Ternyata ada banyak cerita yang udah gue lewatkan.”


“Shill, sejak kapan bokap lo sakit?”

“Udah sekitar tiga bulanan ini bokap gue keluar-masuk rumah sakit.”

“Kok elo nggak pernah cerita?”

“Karena gue pikir penyakit bokap gue nggak parah. Waktu bokap gue udah mulai dirawat di rumah sakit, gue mau cerita sama kalian. Tapi nggak bisa, nggak ada kesempatan, karena tiap kali kita ngumpul, yang dibicarain cuma tentang elo. Lama-lama gue jadi eksal dan males cerita sama kalian. Sivia dan Agni juga baru gue kasih tau seminggu yang lalu.”

“Maafin, gue, Shill, semua memang gara-gara gue.”

“Nggak, Fy, ini juga salah gue,” kata Shilla. “Kata-kata lo waktu itu benar. Gue seharusnya bicara. Kalau nggak gitu, siapa yang bisa mengerti gue?”
Suasana mendadak hening. Ify dan Shilla sama-sama terdiam.

“Fy, tentang Rio,” suara Shilla memecah keheningan.
Mendengar Shilla menyebut nama Rio, jantung Ify berdegup kencang. Di saat seperti ini, Ify benar-benar nggak ngerti harus bagaimana. Bohong banget kalau dia bilang dia membenci Rio. Dia memang marah dan kecewa, tapi nggak sedetik pun dia mampu mengusir Rio dari dalam benaknya. Rio memang telah berhasil membuatnya jatuh cinta, tapi Rio juga yang udah membuatnya patah hati dan kecewa. Jika sekarang Shilla mengakui bahwa dia menyukai Rio dan meminta Ify untuk mundur, Ify nggak tahu harus bagaimana. Dia nggak mau kehilangan Rio. Tapi di lain pihak, dia juga nggak mau kehilangan sahabat. Keegoisannya ingin mengikat Rio untuk terus mengejar dirinya. Ify nggak rela Rio dekat dengan cewek lain.
“Fy, elo suka sama Rio?” pertanyaan Shilla menambah dilema dalam diri Ify.

“Kenapa tiba-tiba lo nanya gitu?”

“Cuma pengin tau.”

“Elo sendiri?” Ify balik bertanya. “Apa lo suka sama Rio?”

“Iya,” jawab Shilla langsung.
Jawaban Shilla membuat jantung Ify seakan ingin melompat keluar.

“Gue suka Rio, dan sayang banget sama dia,” lanjut Shilla. “Gue suka melihat tawanya, senang mendengar lelucon jayusnya, dan itu membuat gue jadi tambah sayang sama dia.”
Hati Ify terasa perih mendengar pengakuan Shilla. Dadanya mendadak terasa sakit. Sejenak ia merasa akan kehilangan Rio. Dan rasa itu semakin membuatnya takut. Tapi persahabatannya dengan Shilla jauh lebih berharga. Bukankah kata orang pacar bisa dicari lagi tapi kalau sahabat susah untuk ditemukan?

“Kalau elo emang suka sama Rio, gue dukung sepenuh hati agar lo jadian sama dia,” ujar Ify. Dia paksakan dirinya untuk tersenyum.
Shilla menoleh dan menatap Ify. Sesaat kemudian tiba-tiba Shilla tertawa, “Lo gila apa! Mana mungkin gue jadian sama Rio?!”
Ify mengernyitkan keningnya. “Kenapa nggak mungkin?”
“Janji ya, Fy, lo jaga rahasia ini.”
Ify tambah heran, tapi dianggukkan juga kepalanya.

“Rio tuh adik gue...”
Ify melongo.

“Lo pasti nggak percaya, kan?” kata Shilla lagi.

“Jelas gue nggak percaya,” sahut Ify. “Soalnya gue tau pasti, lo tuh anak tunggal. Mana mungkin tiba-tiba Rio jadi adik lo?”
Shilla tersenyum lalu menghela napas panjang. “Gue juga tau hal ini belum lama. Semua berawal waktu gue tanpa sengaja menemukan surat di ruang kerja bokap gue. Surat itu dari seorang wanita yang ternyata selingkuhan bokap gue.”

“Selingkuhan?!”

“Jangan potong cerita gue, Fy, biar gue cerita sampai selesai dulu.”
Ify menutup mulutnya.
“Dari surat itu gue tau bokap gue pernah selingkuh waktu gue masih berumur satu tahun. Dan dari surat itu juga gue tau bahwa bokap gue punya anak laki-laki dari perempuan itu. Anak yang sama sekali nggak pernah mau diakui bokap gue dan kemudian ditinggalkan oleh perempuan itu di panti asuhan,” cerita Shilla.
“Gue kaget dan shock berat waktu pertama kali tau hal itu. Tapi gue pura-pura nggak tau. Gue ngerti kenapa bokap gue nggak mau mengakui anak itu, bahkan sampai akhir usianya. Bokap gue pasti nggak mau nyokap gue ngamuk kalau tau bokap gue pernah selingkuh, bahkan sampai punya anak dari perempuan lain. Perempuan mana sih yang mau dimadu? Tapi ada rasa penasaran yang bikin gue pengin mengetahui gimana keadaan anak itu sekarang. Dan itu yang membuat gue pada akhirnya tau bahwa Rio adik tiri gue.”

“Maksud lo?” tanya Ify nggak percaya dengan cerita yang didengarnya. “Rio anak bokap lo dan selingkuhannya?”
Shilla mengangguk. “Lo pasti tau kan, Rio tuh anak angkat?”
Ify mengangguk. “Tapi...”

“Gue diam-diam mencari panti asuhan yang ditulis perempuan itu dalam suratnya. Gue berusaha mencari tau dari pengurus panti asuhan itu tentang anak yang 16 tahun lalu pernah ditinggalkan di depan panti asuhan itu. Awalnya mereka nggak mau kasih gue informasi apa pun. Tapi setelah gue setengah memaksa dan memberikan sedikit sumbangan ke panti asuhan itu, mereka mau membuka file mereka dan memberi gue informasi tentang anak itu,” jelas Shilla.
Shilla menarik napas dan kembali melanjutkan ceritanya. “Tuhan ternyata mempermudah langkah gue dalam menemukan adik tiri gue itu. File yang mereka punya menyatakan bahwa enam belas tahun lalu cuma ada satu anak laki-laki dan delapan anak perempuan yang ditinggalkan di depan pintu panti asuhan itu. Berarti jelas anak laki-laki itulah adik tiri gue karena di suratnya perempuan itu mengatakan bahwa anaknya laki-laki. Nama anak itu Mario Stevano.”

“Nggak mungkin.” Ify nggak bisa menahan rasa kagetnya.

“Gue juga kaget waktu mendengar nama itu. Gue pikir mungkin itu cuma kebetulan. Gue mananyakan alamat keluarga yang mengadopsi anak itu dengan perjanjian gue hanya melihat dan nggak akan mengusik keluarga mereka. Dan ternyata alamat itu mengantarkan gue sampai ke rumah Mario Stevano, adik kelas kita...”
Ify menatap ekspresi wajah Shilla. Dia masih ragu apakah Shilla sedang mengarang cerita atau ini memang kenyataan. Tapi kelihatannya Shilla serius.

“Rio tau tentang hal ini?” tanya Ify pelan.
Shilla menggeleng. “Sesuai perjanjian, gue nggak boleh mengusik keluarga mereka. Lagi pula buat apa gue menceritakan semua ini ke Rio? Ini malah akan membuatnya menderita. Apalagi kalau dia tau bokap gue nggak pernah mau mengakui dia.”
Ify membenarkan ucapan Shilla. Lalu dia bertanya, “Jadi karena itu lo mendadak dekat sama Rio?”
Shilla tersenyum dan mengangguk. “Gue pengin mengenal dia lebih dekat. Gue juga pengin tau apakah sekarang dia bahagia. Anggap saja gue menggantikan tugas bokap gue untuk memerhatikan dia.”
Ify terdiam. Kalau diingat lagi, pantas waja waktu pertama kali melihat Rio, dia merasa wajah Rio mirip seseorang.

“Sori ya, Fy, waktu di rumah Rio dulu gue marah-marah sama lo. Gue juga udah bikin elo cemburu,” kata-kata Shilla bikin Ify kembali ke alam sadar.
“Cemburu?” Ify mengelak, tapi dia nggak bisa menahan rona merah yang muncul di pipinya. “Siapa juga yang cemburu?”

“Nggak usah pura-pura deh, Fy,” ujar Shilla. “Gue tau kok elo sebenarnya suka sama Rio. Waktu itu lo marah-marah sama dia karena ngeliat kami berduaan, dan itu membuat lo merasa selama ini Rio cuma mempermainkan elo, kan? Jujur aja deh!”
Ify nggak menjawab. Wajahnya semakin memerah.
Shilla berusaha menahan tawa melihat wajah Ify yang merah. “Hebat juga ya si Rio. Bisa meruntuhkan karang di hati seorang Ify...”

“Shilla….” rajuk Ify.
Shilla malah tertawa. “Akhirnya lo bisa jadi cewek juga, Fy.”

“Rese lo!”

“Ssstt...” Shilla mendadak diam lalu menyenggok pundak Ify sambil memandang ke arah kanan koridor.
Ify mengikuti arah mata Shilla dan menemukan sosok Rio sedang berjalan mendekati mereka.
Shilla berdiri dan berjalan mendekati Rio. Ify tetap duduk diam di tempatnya.

“Gue turut berdukacita ya, Shill,” ucap Rio tulus. Dia mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Shilla.

“Makasih, Yo,” balas Shilla. “Makasih juga karena lo udah mau datang malam-malam gini.”

“Tapi masih ada orang yang datang lebih cepat daripada gue,” jawab Rio sambil melirik ke arah Ify.
Ify yang melihat Rio melirik ke arahnya langsung buang muka.

“Lo udah ketemu keluarga gue?” Tanya Shilla.
Rio mengangguk. Matanya sesekali melirik ke arah Ify.

“Gue lega melihat elo masih tersenyum,” kata Rio pada Shilla. “Gue tadi udah takut banget kalau harus ngelihat elo nangis-nangis. Jujur aja, gue paling nggak bisa menghibur orang yang lagi sedih.”

“Bohong!” celetuk Ify. “Waktu di jembatan dulu elo kan yang...” Ify berhenti bicara. Dia baru sadar udah kelepasan. Ify buru-buru buang muka biar Rio dan Shilla nggak bisa melihat wajahnya yang lagi-lagi berubah jadi merah.
Rio dan Shilla menatap Ify sambil tersenyum geli.

“Gue memang nggak bisa menghibur orang lain,” kata Rio. “Gue cuma bisa menghibur orang yang gue cintai.”
Ify melotot mendengar kata-kata Rio, tapi dia juga nggak bisa menahan debaran jantungnya yang seolah berteriak histeris.
Meski begitu, cuma satu kata yang kemudian keluar dari mulut Ify: “GOMBAL!”, dan Ify pun berlari meninggalkan Shilla dan Rio begitu aja.
Ternyata Ify ya tetap Ify. Gengsinya masih setinggi langit.
@(^-^)@

Dua minggu telah berlalu sejak papa Tammy dimakamkan. Hubungan Bia dan Tammy sudah kembali normal. Mereka sudah dekat lagi seperti dulu. Sekarang Bia, Tammy, Cha-Cha, dan Yuki sedang menikmati indahnya persahabatan sebelum akhirnya nanti harus berpisah kalau sudah lulus dari sekolah ini.
Ujian akhir yang tinggal sebulan lagi sama sekali nggak mereka pedulikan. Belajar sih belajar, tapi ngumpul-ngumpul melepas ketegangan tetap jadi prioritas utama. Seperti sore ini, mereka berempat ngumpul di halaman belakang rumah Tammy cuma buat sekadar bersantai ria plus ngerujak.
Sambil mendesah-desah kepedesan, mereka seru mengobrol.

“Ngomong-ngomong nih, Yu, gimana kabar hubungan lo sama Maxi?” tanya Tammy. “Udah sampai tahap mana nih kemajuannya?”

“Hubungan gue sama dia baik-baik aja.” Yuki tersenyum kecil, wajahnya merona. “Kami lagi mesra-mesranya nih...”

“Duile...!” ledek ketiga temannya.

“Kalo elo, Bi?” Tammy langsung beralih ke Bia.

“Lho, kok gue juga kena tanya?” Bia nggak terima.

“Udah... jawab aja,” sahut Tammy.

“Gue nggak pernah ada hubungan apa pun sama dia, jadi nggak ada yang perlu gue jawab, kan?”

“Bi, gue dengar, udah dua hari lho, Egi nggak masuk sekolah,” kata Yuki dengan perasaan lega karena teman-temannya udah berhenti ngegodain dia. “Lho nggak khawatir, Bi?”

“Buat apa gue mengkhawatirkan dia?” Bia malah balik tanya. “Dia bukan siapa-siapa gue.”

“Kenapa sih elo jutek banget sama Egi?” serang Cha-Cha. “Seakan-akan Egi tuh udah melakukan kesalahan besar sama elo.”

“Nggak usah sebut-sebut lagi nama dia deh. Kita ngumpul di sini bukan buat ngomongin dia, kan?”
Bia kayaknya udah mulai kesal. Yuki, Cha-Cha, dan Tammy memilih tutup mulut. Mereka mencomot irisan mangga di piring dan memasukkannya ke mulut sambil bertatapan.

@(^-^)@

Sorenya, di rumah, Bia tergopoh-gopoh menuju meja telepon untuk mengangkat telepon yang berdering. Tangannya membawa sepiring mi goreng instan.
“Halo,” sapanya.
“Halo, Bia,” balas Tammy dari seberang.

“Napa, Tam?” tanya Bia to the point. “Gue lagi mau makan nih.”

“Makannya nanti aja, Bi. Lo harus ke rumah sakit sekarang juga.”

“Rumah sakit?” tanya Bia heran. “Siapa lagi yang sakit?”

“Egi.”

“Hah?!” jantung Bia berdegup kencang. “Kenapa Egi?”

“Makanya lo ke rumah sakit deh sekarang juga. Kondisinya nggak begitu baik.”

“Lo tau dari mana kalau dia masuk rumah sakit? Memangnya dia sakit apa?”
“Gue kakaknya, Bi, jelas gue tau lah. Kata dokter dia kemungkinan kena flu burung...,” jawab Tammy.

“Flu burung?!” hampir aja piring di tangan Bia terlepas.

“Iya, itu baru dugaan sementara,” jawab Tammy. “Darahnya masih diperiksa dan masih menunggu hasil laboratorium.”

“Sekarang Egi di rumah sakit mana?”

“Rumah sakit tempat bokap gue dirawat.”
Bia diam. Dia tampak berpikir keras. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang ganjil.

“Lo mikir apa lagi sih, Bi?” tanya Tammy. “Anak-anak udah pada jalan buat jenguk dia. Gue juga lagi on the way ke rumah lo buat ngejemput lo. Sepuluh menit lagi gue sampai. Jadi lo siap-siap ya. Kita berangkat ke sana sama-sama.”

“Tapi... gue mau mak...,” sahut Bia.

“Lima menit buat lo makan dan lima menit buat lo siap-siap. Oke!” Shilla langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban Ify.
Ify meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Matanya menatap mi goreng instan yang ada di tangannya. Nggak tahu kenapa rasa laparnya lenyap begitu aja.
Bia berjalan menuju ruang makan dan meletakkan mi goreng itu di bawah tudung saji. Lalu dia menuju kamar untuk mengganti kaus rumahnya dengan kaus untuk bepergian. Rasa cemas melingkupi dirinya. Ify nggak mau hal buruk terjadi pada Rio. Dia takut kehilangan Rio Takut banget.

No comments:

Post a Comment