Pacarku Juniorku [10]
–Gue juga sayang sama Elo-
SHILLA menjemput Ify tepat
waktu. Satu jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Shilla memarkir mobilnya
dan bergegas menarik tangan Ify menuju kamar tempat Rio dirawat.
“Pelan-pelan dong, Shill,”
protes Ify.
Shilla nggak peduli. Sebelah
tangannya malah sibuk menekan-nekan tombol handphone-nya.
“Lo di mana?” tanya Shilla
lewat HP. “Gue sama ify udah sampai.” Shilla mematikan handphone-nya dan
memasukkannya ke saku celananya.
“Siapa?” tanya Ify.
“Agni,” jawab Shilla singkat
lalu menggiring Ify masuk ke lift.
Keluar dari lift mereka
menyusuri koridor menuju kamar tempat Rio dirawat. Koridor itu agak ramai.
Sepertinya sedang jam besuk. Shilla berhenti di depan kamar yang berada di
ujung koridor.
“Ini kamarnya,” Shilla
memberitahu Ify.
Ify cuma mengangguk.
Shilla mengetuk pintu kamar itu
dua kali, lalu membuka pintu dan masuk. Ify mengekor di belakang.
Di kamar itu cuma ada satu
tempat tidur pasien. Perabotannya lengkap: ada TV, lemari pakaian, kulkas mini,
dan sofa yang dijamin pasti empuk.
Rio berbaring di tempat tidur
pasien dengan alat bangu pernapasan menutupi hidungnya dan slang infus yang
terpasang di tangannya. Matanya tertutup rapat.
Bia mengedarkan pandangan.
Selain dia, di kamar ini ada Shilla, Agni, Sivia dan Kiky yang berdiri berjajar
di samping tempat tidur.
Shilla bergabung dengan
teman-temannya dan berdiri di sisi tempat tidur. Ify berjalan mendekati Rio
yang tampaknya tertidur lelap.
“Ag, bener nggak sih, Rio sakit
flu burung?” tanya Ify.
“Betul, Fy,” jawab Agni cepat.
“Tapi masih belum positif sih.”
“Lalu orangtuanya mana?” tanya
Ify lagi.
“Mmm... tadi
sih udah ke sini, tapi sekarang lagi pulang buat istirahat,” kali ini Kiky yang
menjawab.
“Fy..., lo nggak kasihan sama
Rio?” tanya Sivia pelan. “Dia udah dirawat sejak dua hari yang lalu.”
Ify nggak menjawab. Dia cuma
menatap wajah Rio.
“Fy, gimana kalau Rio nggak
bisa diselamatkan?” ujar Agni. “Apa elo nggak sedih kehilangan dia?”
Ify tetap bungkam.
“Rio benar-benar suka sama
elo,” kata Kiky. “Kalau memang dia nggak bisa diselamatkan, paling nggak, lo
balas cintanya di sisa umurnya.”
Ify mengunci bibirnya
rapat-rapat.
“Fy, kok elo diam aja sih?”
protes Shilla.
Ify mendongakkan kepalanya. Dia
memandang teman-teman yang berdiri di hadapannya dengan diam.
“Gue nggak peduli,” akhirnya
Ify buka suara. “Gue nggak peduli dia sakit atau sekarat. Puas?”
Mata Shilla, Sivia, Agni, dan
Kiky melotot. Mereka kaget mendengar ucapan Ify.
“Lo kejam, Fy!” kata Agni.
“Rio sayang banget sama elo,
tapi elo malah jahat sama dia,” sambung Sivia. “Lo keterlaluan.”
“Yo, dengar kata-kata gue
dengan baik!” Ify nggak memedulikan ucapan teman-temannya, dia malah bicara
dengan Rio yang terbaring di tempat tidur. “Gue nggak suka cowok lemah!”
Setelah itu Ify beranjak
meninggalkan tempatnya.
“Tunggu, Fy!” suara seseorang
menahan Ify.
Ify membalikkan badan.
Dilihatnya Rio duduk tegak dan melepas alat bantu pernapasan yang menutup
hidungnya. Lalu dia mencabut jarum infus yang ternyata hanya menempel di
tangannya.
“Ify... gue bukan cowok lemah!”
ujarnya, lalu berdiri dan berjalan mendekati Ify.
“Syukur deh,” kata Ify, lalu
berbalik lagi untuk meninggalkan kamar itu.
Baru saja Rio hendak menahan
Ify, pintu kamar terbuka sehingga Ify berhenti melangkah.
Seorang laki-laki setengah baya
berpakaian dokter muncul dari balik pintu dengan senyum ramah sambil bertanya,
“Bagaimana latihan syutingnya?”
Ify merasa pernah melihat
laki-laki itu. Ah, dia ingat. Laki-laki itu paman Shilla yang waktu itu pernah
mengobrol dengan papanya waktu papa Shilla meninggal.
“Latihannya baik, Oom,” jawab
Ify.
Rio, Shilla,
Sivia, Agni dan Kiky terpana mendengar jawaban Ify.
“Bagus kalau begitu,” sahut
paman shilla. “Tapi jangan lama-lama ya, takutnya nanti ada pasien yang mau
masuk.”
“Baik, Oom,” Ify kembali
menjawab. “Lagi pula latihannya udah selesai kok.”
“Oh, begitu ya.” Paman Shilla
tersenyum. “Kalau begitu, nanti kalian lapor pada suster jaga agar kamar ini
bisa segera dirapikan.”
“Baik, Oom.”
Paman Shilla keluar dari kamar
sambil tetap tersenyum.
“Jadi, lo udah tau kalau semua
ini cuma pura-pura, Fy?” tanya Shilla begitu pintu kamar tertutup kembali.
“Memangnya kalian pikir gue
bego?” Ify balik bertanya.
“Lo jangan marah, Fy,” kata Rio.
“Mereka cuma bermaksud menolong gue agar bisa baikan sama elo. Mereka nggak
salah.”
“Gue nggak bilang mereka
salah...,” sahut Ify.
“Maaf, Fy, ini semua ide gue,”
aku Sivia.
“Dan gue yang jadi
sutradaranya,” ujar Shilla. “Dokter tadi oom gue. Dia punya kedudukan yang
cukup tinggi di rumah sakit ini dan dia yang meminjamkan kamar ini dengan
alasan gue mau latihan syuting buat pertunjukan saat kelulusan nanti,” sambung Shilla.
Agni nggak mau ketinggalan. Dia ikut buka suara,
“Gue penulis skenarionya, Fy.”
Ify diam saja. Ekspresinya
datar.
“Fy, kami tuh cuma mau
ngebantuin Rio buat baikan sama elo,” kata Sivia. “Dia tulus sayang sama elo.”
“Siapa yang punya ide tentang
penyakit flu burung?” tanya Ify tanpa merespons kata-kata Sivia.
Agni mengangkat tangan
kanannya. “Gue.”
“Sebenarnya, idenya maksa
sih...,” celetuk Kiky.
Tiba-tiba Ify tertawa. “Kalian
tuh tolol banget sih! Cari penyakit kok yang aneh gitu. Mana mungkin gue
percaya.”
“Jadi lo curiga?” tanya Shilla.
“Jelaslah!” jawab Ify. “Flu
burung kan bukan penyakit sembarangan. Orang yang diduga terjangkit virus flu
burung bakal diisolasi. Jadi mana mungkin kalian diizinin ngumpul di sini
bareng Rio yang katanya kena flu burung. Udah gitu, masa anak sakit parah
orangtuanya nggak nemenin. Satu lagi yang perlu kalian tau, biasanya pasien
yang dicurigai kena flu burung itu bakal dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso. Masa
kalian nggak pernah dengar sih?”
“Tuh kan, gue bilang juga apa!”
ujar Shilla. “Jangan bilang kena flu burung. Demam berdarah aja. Lebih masuk
akal.”
“Tapi kan flu burung lagi
ngetren, Shill,” Agni ngotot.
“Tapi
buktinya, rencana kita gagal gara-gara ide lo itu,” balas Shilla.
Agni cuma manyun.
“Apa kalian pikir semua yang
udah kalian rancang ini bisa membuat gue baikan sama Rio?” tanya Ify.
“Itu harapan kami, Fy,” jawab Sivia.
“Paling nggak, kami udah usaha.”
Suasana mendadak jadi hening.
Mata Ify beradu pandang dengan Rio yang berdiri di hadapannya.
Lalu Ify berkata pelan, “Apa
buktinya kalau elo sayang sama gue dan nggak akan pernah membuat gue kecewa?”
“Gue nggak bisa menunjukkan
buktinya ke elo, karena bukti itu ada di dalam hati gue dan hanya bisa gue
perlihatkan seiring berjalannya waktu...,” jawab Rio sungguh-sungguh.
“Berarti, gue harus percaya
sama ucapan elo begitu aja?”
Rio mengangguk. Bola matanya
menatap Ify dengan lembut, membuat jantung Ify berdebar nggak keruan. Ify
menunduk agar Rio nggak bisa melihat wajahnya yang mulai terasa memerah dan
panas.
“Kalau ternyata elo ngecewain
gue?” tanya Ify dengan kepala masih tertunduk, “gue jamin lo nggak bakal bisa
tersenyum lagi.”
Rio terkesima mendengar
kata-kata Ify. Begitu pula Sivia, Shilla, Agni dan Kiky yang menonton dari belakang.
“Apa ini berarti lo nerima
cinta gue, Fy?” Rio mencoba menerka.
Wajah Ify makin memerah. Dia
menyahut sambil pura-pura membuang muka, ”Nggak tau ah!”
Senyum Rio merekah. Dia
melompat dan berteriak kencang, “YES!”
Ify nggak tahu harus bersikap bagaimana.
Dia jadi salah tingkah. Apalagi ketika Rio tiba-tiba menarik tubuhnya dan
memeluknya erat.
“Gila, apa-apaan sih lo!”
protes Ify sambil meronta.
Tapi Rio nggak mau melepasnya. “Makasih, Fy. Sekarang
lo resmi jadi pacar gue...”
“Heh, siapa yang bilang gue mau
pacaran sama lo?” Ify berusaha melepaskan diri dari pelukan Ify.
“Kali ini lo nggak akan gue
lepasin,” bisik Rio lembut di dekat telinga Ify. “Kata-kata lo tadi udah gue
terjemahkan sebagai pernyataan bahwa elo bersedia jadi pacar gue. Dan elo nggak
bisa menariknya lagi.”
Ify berhenti meronta. Tubuhnya
terasa lemas saat merasakan desah napas Rio di telinganya. Ify menyerah. Dia
nggak lagi melawan. Dia membiarkan cinta merasuki dirinya.
“Gue sayang elo, Fy...,” bisik Rio
lagi.
Ify nggak menjawab, tapi
tangannya perlahan bergerak dan membalas pelukan Rio dengan sepenuh hati.
Direbahkannya kepalanya di pundak Rio, dibiarkannya sensasi yang belum pernah
dia rasakan menjalar lembut ke seluruh pembuluh darahnya.
Gue juga
sayang elo, Yo, kata Ify tanpa suara. Senyumnya merekah dalam pelukan hangat Rio.
No comments:
Post a Comment