Thursday, 10 May 2012

Pacarku Juniorku [10-Last] -IC Version-


Pacarku Juniorku [10] –Gue juga sayang sama Elo-
SHILLA menjemput Ify tepat waktu. Satu jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Shilla memarkir mobilnya dan bergegas menarik tangan Ify menuju kamar tempat Rio dirawat.
“Pelan-pelan dong, Shill,” protes Ify.
Shilla nggak peduli. Sebelah tangannya malah sibuk menekan-nekan tombol handphone-nya.
“Lo di mana?” tanya Shilla lewat HP. “Gue sama ify udah sampai.” Shilla mematikan handphone-nya dan memasukkannya ke saku celananya.
“Siapa?” tanya Ify.
“Agni,” jawab Shilla singkat lalu menggiring Ify masuk ke lift.

Keluar dari lift mereka menyusuri koridor menuju kamar tempat Rio dirawat. Koridor itu agak ramai. Sepertinya sedang jam besuk. Shilla berhenti di depan kamar yang berada di ujung koridor.

“Ini kamarnya,” Shilla memberitahu Ify.
Ify cuma mengangguk.
Shilla mengetuk pintu kamar itu dua kali, lalu membuka pintu dan masuk. Ify mengekor di belakang.
Di kamar itu cuma ada satu tempat tidur pasien. Perabotannya lengkap: ada TV, lemari pakaian, kulkas mini, dan sofa yang dijamin pasti empuk.
Rio berbaring di tempat tidur pasien dengan alat bangu pernapasan menutupi hidungnya dan slang infus yang terpasang di tangannya. Matanya tertutup rapat.
Bia mengedarkan pandangan. Selain dia, di kamar ini ada Shilla, Agni, Sivia dan Kiky yang berdiri berjajar di samping tempat tidur.
Shilla bergabung dengan teman-temannya dan berdiri di sisi tempat tidur. Ify berjalan mendekati Rio yang tampaknya tertidur lelap.

“Ag, bener nggak sih, Rio sakit flu burung?” tanya Ify.

“Betul, Fy,” jawab Agni cepat. “Tapi masih belum positif sih.”

“Lalu orangtuanya mana?” tanya Ify lagi.

“Mmm... tadi sih udah ke sini, tapi sekarang lagi pulang buat istirahat,” kali ini Kiky yang menjawab.
“Fy..., lo nggak kasihan sama Rio?” tanya Sivia pelan. “Dia udah dirawat sejak dua hari yang lalu.”
Ify nggak menjawab. Dia cuma menatap wajah Rio.
“Fy, gimana kalau Rio nggak bisa diselamatkan?” ujar Agni. “Apa elo nggak sedih kehilangan dia?”
Ify tetap bungkam.
“Rio benar-benar suka sama elo,” kata Kiky. “Kalau memang dia nggak bisa diselamatkan, paling nggak, lo balas cintanya di sisa umurnya.”
Ify mengunci bibirnya rapat-rapat.
“Fy, kok elo diam aja sih?” protes Shilla.
Ify mendongakkan kepalanya. Dia memandang teman-teman yang berdiri di hadapannya dengan diam.
“Gue nggak peduli,” akhirnya Ify buka suara. “Gue nggak peduli dia sakit atau sekarat. Puas?”

Mata Shilla, Sivia, Agni, dan Kiky melotot. Mereka kaget mendengar ucapan Ify.

“Lo kejam, Fy!” kata Agni.

“Rio sayang banget sama elo, tapi elo malah jahat sama dia,” sambung Sivia. “Lo keterlaluan.”

“Yo, dengar kata-kata gue dengan baik!” Ify nggak memedulikan ucapan teman-temannya, dia malah bicara dengan Rio yang terbaring di tempat tidur. “Gue nggak suka cowok lemah!”
Setelah itu Ify beranjak meninggalkan tempatnya.
“Tunggu, Fy!” suara seseorang menahan Ify.
Ify membalikkan badan. Dilihatnya Rio duduk tegak dan melepas alat bantu pernapasan yang menutup hidungnya. Lalu dia mencabut jarum infus yang ternyata hanya menempel di tangannya.

“Ify... gue bukan cowok lemah!” ujarnya, lalu berdiri dan berjalan mendekati Ify.

“Syukur deh,” kata Ify, lalu berbalik lagi untuk meninggalkan kamar itu.

Baru saja Rio hendak menahan Ify, pintu kamar terbuka sehingga Ify berhenti melangkah.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian dokter muncul dari balik pintu dengan senyum ramah sambil bertanya, “Bagaimana latihan syutingnya?”

Ify merasa pernah melihat laki-laki itu. Ah, dia ingat. Laki-laki itu paman Shilla yang waktu itu pernah mengobrol dengan papanya waktu papa Shilla meninggal.
“Latihannya baik, Oom,” jawab Ify.
Rio, Shilla, Sivia, Agni dan Kiky terpana mendengar jawaban Ify.
“Bagus kalau begitu,” sahut paman shilla. “Tapi jangan lama-lama ya, takutnya nanti ada pasien yang mau masuk.”

“Baik, Oom,” Ify kembali menjawab. “Lagi pula latihannya udah selesai kok.”
“Oh, begitu ya.” Paman Shilla tersenyum. “Kalau begitu, nanti kalian lapor pada suster jaga agar kamar ini bisa segera dirapikan.”

“Baik, Oom.”
Paman Shilla keluar dari kamar sambil tetap tersenyum.

“Jadi, lo udah tau kalau semua ini cuma pura-pura, Fy?” tanya Shilla begitu pintu kamar tertutup kembali.

“Memangnya kalian pikir gue bego?” Ify balik bertanya.

“Lo jangan marah, Fy,” kata Rio. “Mereka cuma bermaksud menolong gue agar bisa baikan sama elo. Mereka nggak salah.”

“Gue nggak bilang mereka salah...,” sahut Ify.

“Maaf, Fy, ini semua ide gue,” aku Sivia.

“Dan gue yang jadi sutradaranya,” ujar Shilla. “Dokter tadi oom gue. Dia punya kedudukan yang cukup tinggi di rumah sakit ini dan dia yang meminjamkan kamar ini dengan alasan gue mau latihan syuting buat pertunjukan saat kelulusan nanti,” sambung Shilla.
Agni  nggak mau ketinggalan. Dia ikut buka suara, “Gue penulis skenarionya, Fy.”
Ify diam saja. Ekspresinya datar.
“Fy, kami tuh cuma mau ngebantuin Rio buat baikan sama elo,” kata Sivia. “Dia tulus sayang sama elo.”

“Siapa yang punya ide tentang penyakit flu burung?” tanya Ify tanpa merespons kata-kata Sivia.

Agni mengangkat tangan kanannya. “Gue.”

“Sebenarnya, idenya maksa sih...,” celetuk Kiky.
Tiba-tiba Ify tertawa. “Kalian tuh tolol banget sih! Cari penyakit kok yang aneh gitu. Mana mungkin gue percaya.”

“Jadi lo curiga?” tanya Shilla.

“Jelaslah!” jawab Ify. “Flu burung kan bukan penyakit sembarangan. Orang yang diduga terjangkit virus flu burung bakal diisolasi. Jadi mana mungkin kalian diizinin ngumpul di sini bareng Rio yang katanya kena flu burung. Udah gitu, masa anak sakit parah orangtuanya nggak nemenin. Satu lagi yang perlu kalian tau, biasanya pasien yang dicurigai kena flu burung itu bakal dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso. Masa kalian nggak pernah dengar sih?”

“Tuh kan, gue bilang juga apa!” ujar Shilla. “Jangan bilang kena flu burung. Demam berdarah aja. Lebih masuk akal.”

“Tapi kan flu burung lagi ngetren, Shill,” Agni ngotot.
“Tapi buktinya, rencana kita gagal gara-gara ide lo itu,” balas Shilla.
Agni  cuma manyun.
“Apa kalian pikir semua yang udah kalian rancang ini bisa membuat gue baikan sama Rio?” tanya Ify.
“Itu harapan kami, Fy,” jawab Sivia. “Paling nggak, kami udah usaha.”
Suasana mendadak jadi hening. Mata Ify beradu pandang dengan Rio yang berdiri di hadapannya.

Lalu Ify berkata pelan, “Apa buktinya kalau elo sayang sama gue dan nggak akan pernah membuat gue kecewa?”

“Gue nggak bisa menunjukkan buktinya ke elo, karena bukti itu ada di dalam hati gue dan hanya bisa gue perlihatkan seiring berjalannya waktu...,” jawab Rio sungguh-sungguh.

“Berarti, gue harus percaya sama ucapan elo begitu aja?”
Rio mengangguk. Bola matanya menatap Ify dengan lembut, membuat jantung Ify berdebar nggak keruan. Ify menunduk agar Rio nggak bisa melihat wajahnya yang mulai terasa memerah dan panas.

“Kalau ternyata elo ngecewain gue?” tanya Ify dengan kepala masih tertunduk, “gue jamin lo nggak bakal bisa tersenyum lagi.”

Rio terkesima mendengar kata-kata Ify. Begitu pula Sivia, Shilla, Agni dan Kiky yang menonton dari belakang.

“Apa ini berarti lo nerima cinta gue, Fy?” Rio mencoba menerka.
Wajah Ify makin memerah. Dia menyahut sambil pura-pura membuang muka, ”Nggak tau ah!”
Senyum Rio merekah. Dia melompat dan berteriak kencang, “YES!
Ify nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dia jadi salah tingkah. Apalagi ketika Rio tiba-tiba menarik tubuhnya dan memeluknya erat.
“Gila, apa-apaan sih lo!” protes Ify sambil meronta.
Tapi Rio  nggak mau melepasnya. “Makasih, Fy. Sekarang lo resmi jadi pacar gue...”
“Heh, siapa yang bilang gue mau pacaran sama lo?” Ify berusaha melepaskan diri dari pelukan Ify.

“Kali ini lo nggak akan gue lepasin,” bisik Rio lembut di dekat telinga Ify. “Kata-kata lo tadi udah gue terjemahkan sebagai pernyataan bahwa elo bersedia jadi pacar gue. Dan elo nggak bisa menariknya lagi.”
Ify berhenti meronta. Tubuhnya terasa lemas saat merasakan desah napas Rio di telinganya. Ify menyerah. Dia nggak lagi melawan. Dia membiarkan cinta merasuki dirinya.
“Gue sayang elo, Fy...,” bisik Rio lagi.
Ify nggak menjawab, tapi tangannya perlahan bergerak dan membalas pelukan Rio dengan sepenuh hati. Direbahkannya kepalanya di pundak Rio, dibiarkannya sensasi yang belum pernah dia rasakan menjalar lembut ke seluruh pembuluh darahnya.
Gue juga sayang elo, Yo, kata Ify tanpa suara. Senyumnya merekah dalam pelukan hangat Rio.

No comments:

Post a Comment