Tuesday, 8 May 2012

Pacarku Juniorku [5] -IC Version-


Pacarku Juniorku [5] –Pengobat Luka Sivia-
SUDAH tiga hari berlalu sejak kejadian di lapangan itu. Dan dalam tiga hari itu Ify seakan berubah jadi selebriti yang dibicarakan banyak orang. Tiap kali jalan di koridor sekolah, pasti puluhan mata menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Udah gitu, mereka pakai acara bisik-bisik segala, lagi. Risih banget rasanya. Ify benar-benar kesal dibuatnya. Entah udah berapa kali Ify memaki-maki orang yang ngeliatin dia, tapi bukannya pada kapok, mereka malah tambah parah. Cerita tentang kejadian di lapangan itu bahkan jadi hot news yang paling banyak diminati saat ini. Pokoknya menduduki rating tertinggi deh. Dan yang lebih luar biasa lagi, cerita yang beredar dari mulut ke mulut itu terus berkembang sampai sekarang. Ify sendiri sampai heran dengan daya kreativitas orang-orang yang udah ngembangin cerita itu.
Cerita terakhir yang Ify dengar tentang kejadian di lapangan hari itu sih begini:
1. Rio nyanyi di lapangan buat nyatain perasaannya ke Ify.
2. Ify shock sampai pingsan soalnya selama ini kan nggak ada cowok yang senekat itu ngejar-ngejar dia.
3. Pas sadar Ify nangis bombay saking terharunya karena ada cowok yang mau sama dia.
Gila nggak tuh cerita! Mungkin nggak sih Ify kayak gitu? Nangis buat cowok, nggak ada tuh dalam kamus hidup Ify. Benar-benar nggak masuk akal, kan? Yang ngarang tuh cerita pasti benar-benar udah sinting. Tapi menurut Ify, yang ngedengerin cerita itu jauh lebih sinting lagi karena mereka percaya sama cerita itu.
Ini benar-benar tiga hari terberat dalam hidup Ify. Baru kali ini ia merasakan hal-hal semacam ini. Jadi pusat perhatian dan digosipin. Rasanya mau marah dan teriak, tapi ke siapa? Ke RIO? Mana mungkin.
Masalahnya, udah tiga hari ini Rio menghilang gitu aja dari peredaran. Cowok itu nggak pernah lagi datang ke kelas Ify, nyamperin ke kantin, nungguin Ify pulang sekolah, atau nelepon ke rumah. Pokoknya lenyap gitu aja deh.
Dan sekarang, entah kenapa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ify. Rasanya ada yang hilang. Ify nggak tahu itu apa, yang dia tahu rasanya aneh banget. Apa iya itu gara-gara Rio?
@(^-^)@

Siang itu Ify, Sivia, dan Agni duduk di kantin sambil menikmati semangkuk soto mi hangat. Biasalah, tiga cewek itu lagi malas pulang cepat. Jadi mereka nongkrong di kantin sama-sama.
Ify menggulung-gulung mi dengan garpunya. “Shilla mana?”
“Katanya mau pulang duluan,” jawab Agni sambil menuangkan sesendok sambal ke dalam mangkuk soto mi-nya. “Dia bilang sih ada janji sama bokapnya.”
“Bokapnya?” Ify mengernyitkan dahinya heran. “Bukannya bokapnya lagi ke Pekanbaru?”
Agni mengedikkan bahu. “Tau deh. Udah pulang, kali.”
Ify manggut-manggut lalu menyuapkan sesendok mi ke mulutnya.
“Fy, si Rio apa kabarnya?” tanya Sivia tiba-tiba.

Ify diam saja, pura-pura nggak dengar.
“Iya, Fy,” tambah Agni. “Gosip tentang kalian berdua kan lagi hot-hotnya nih. Masa nggak ada perkembangan baru sih?”
“Tau ah,” jawab Ify kesal. “Tuh anak udah mati, kali.”

“Ih...! Kejam amat sih ngomongnya,” goda Agni. “Nggak baik lho kayak gitu. Ntar kalo orangnya mati beneran, lo bakalan nyesel!”
“Nggak bakal!”
“Jangan sewot gitu dong, Fy,” ujar Sivia. “Kami kan cuma mau tau aja.”
“Asal lo berdua tau,” kata Ify, “gue nggak pernah punya hubungan apa pun sama cowok rese itu. Jadi nggak bakal ada hal apa pun yang berkembang antara gue dan dia. Lagi pula, gue rasa dia udah malas deketin gue. Mungkin dia udah dapat cewek lain yang bisa dia mainin.”
“Ada apa sih, Fy?” tanya Sivia heran.
“Apanya yang ada apa?” Ify balik nanya.
“Yah elo itu...,” jawab ify. “Gue merasa ada yang aneh sama elo.”
“Nggak ada apa-apa kok. Apanya yang aneh sama gue?”
Agni yang menjawab, “Lo emang lagi aneh, Fy. Apa gara-gara Rio?”
“Kenapa gue mesti aneh gara-gara dia?”

“Karena lo merasa kehilangan Rio yang udah beberapa hari ini nggak lagi gangguin elo. Iya, kan?” Agni tersenyum nakal.

“Ngapain gue merasa kehilangan dia!” seru Ify. “Gue malah senang karena dia nggak gangguin gue lagi!”
Agni dan Sivia malah tertawa. Ify meelototi kedua temannya itu, tapi Sivia dan Agni terus tertawa heboh.
Tanpa mereka bertiga sadari,Alvin udah berdiri di samping meja mereka.
“Sivia, gue mau bicara sama elo,” kata Alvin tajam. “Ini penting, dan gue harus bicara sama elo saat ini juga.”
Sivia berhenti tertawa dan menatap Alvin. Dia menghela napas panjang dan membuang muka sambil berkata, “Nggak ada lagi yang perlu kita bicarain.”
“Ada!” bentak Alvin. “Lo nggak bisa pura-pura nggak ada masalah, Vi.”
“Gue nggak mau mendengar apa pun dari mulut lo!”
Alvin mencekal tangan Sivia. “Lo harus dengar kata-kata gue, nggak peduli lo suka atau nggak!”
Ify berdiri dari tempat duduknya dan menepuk bahu Alvin pelan. “Jangan kasar gitu dong, Vin. Kalo dia nggak mau bicara sama elo, ya udah. Lo nggak berhak maksa dia.”
“Dia harus mau bicara sama gue!” bentak Alvin kasar. “Gue nggak peduli!”
Alvin  masih mencengkeram tangan Sivia. Matanya menatap tajam ke arah Ify seakan memberi perintah agar Ify nggak usah ikut campur.
“Lepasin tangan gue, Vin!” Sivia bangkit dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Alvin. “Gue nggak mau mendengar apa pun dari mulut lo!”
“Gue nggak bakal melepas tangan lo sampai lo mau bicara sama gue.”
“Vin, lepasin tangan Sivia!” seru Agni cemas. “Dia kesakitan, tau!”
“Vin, gue minta sekali lagi...,” pinta Ify menahan emosi, “lepasin Via...”
“Lebih baik tangannya merah dan sakit daripada gue harus ngeliat dia sakit hati lebih dalam lagi,” ujar Alvin keras kepala. Tangannya malah semakin keras mencengkeram pergelangan Sivia.

“Lebih baik lo lepasin tangan Sivia dan kita bicara baik-baik, Vin,” Ify berusaha berkata bijak untuk meredakan emosi alvin yang meluap-luap.
Alvin menatap Ify lama, lalu perlahan melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Sivia. Sivia buru-buru menarik tangannya dan memijitnya pelan-pelan. Alvin memandangi Sivia dalam-dalam. Mata Sivia yang mulai berair menahan tangis menyayat hatinya. Dia sama sekali nggak bermaksud menyakiti Sivia, gadis yang begitu disayanginya. Dia cuma mau Sivia mendengarkannya. Itu saja. Dia cuma nggak mau Sivia terluka lebih dalam nantinya. Dia nggak mau ada seorang pun yang menyakiti Sivia. Dia nggak rela ada seorang pun yang mempermainkan Sivia.

“Vi, gue mohon pikirkan lagi kata-kata gue waktu itu,” kata Alvin pelan. “Gue emang nggak punya bukti, tapi gue nggak bohong. Gue ngeliat dengan mata gue sendiri. Dan itu nggak mungkin salah. Please, Vi... percaya sama gue.”
“Gimana mungkin gue bisa percaya sama elo?!” sahut Sivia, air mata mengalir di kedua pipinya. “Kalau gue percaya sama elo, itu artinya gue mengkhianati cinta gue sendiri. Itu artinya gue nggak percaya sama pacar gue sendiri.”
“Tapi dia memang nggak layak untuk elo percaya!”
“Vi, gue pacaran sama dia udah lama. Gue udah tahu siapa dia, dia nggak mungkin berbuat gitu sama gue. Dia nggak mungkin mengkhianati gue.”
“Elo tuh udah buta, Vi!” maki Alvin. “Elo buta karena cinta, dan elo sama sekali nggak sadar bahwa elo cuma dipermainkan sama dia!”
“Alvin, dengerin gue sekali lagi. Dia nggak mungkin mempermainkan gue!” sahut Sivia. “Gue rasa elo yang nggak punya malu. Gue tau sejak dulu elo suka sama gue. Terus sekarang lo ngejelek-jelekin cowok gue biar gue putus sama dia. Iya, kan?!”
BRAAKK! Alvin memukul meja dengan keras sampai sisa-sisa makanan yang masih ada di mangkuk tumpah dan mengotori meja kantin.
“Gue memang suka sama elo,” Alvin menatap Sivia tajam, “tapi gue nggak pernah punya pikiran serendah tudingan lo itu. Gue masih punya moral dan harga diri.”
Ify dan Agni nggak bisa berkutik. Mereka cuma mendengarkan pertengkaran itu, menoleh dari wajah Sivia ke wajah Alvin.
“Lalu, apa mau lo?!” seru Sivia. “Kenapa lo terus-terusan mengganggu gue dengan kebohongan-kebohongan itu?”
“Itu bukan kebohongan, Vi,” suara Alvin melemah. Hatinya benar-benar terluka mendengar ucapan Sivia. “Gue cuma nggak mau ada seorang pun yang menyakiti dan mempermainkan elo. Gue terlalu sayang sama elo...”
Usai mengatakan itu, Alvin menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, kemudian berlalu meninggalkan Sivia yang masih menangis.
Ify dan Agni bertatapan heran, juga puluhan anak yang sejak tadi memerhatikan mereka dengan rasa ingin tahu.
Agni  merangkul pundak Sivia dan membiarkannya menangis di bahunya, sedangkan Ify cuma bisa menatap  Sivia, menunggu penjelasan atas kejadian ini.

@(^-^)@

Ify, Sivia dan Agni duduk bertiga di bangku panjang di pinggir lapangan basket. Sivia tampak lebih tenang, tapi mata dan hidungnya masih merah karena habis menangis.

“Oke,” Ify memulai pembicaraan. “Sekarang lo jelasin deh, apa yan gudah lo sembunyikan selama ini dari kami.”
“Gue... nggak bermaksud menyembunyikan apa pun dari kalian.” Sivia mulai sesenggukan, berusaha menahan air mata yang hendak bergulir lagi di pipinya.
“Vi, elo nganggap kami sobat lo, kan?” Agni merangkulkan tangannya ke pundak Yuki, berusaha menenangkan cewek itu.
Sivia mengangguk.
“Kalo gitu, lo harus cerita ke kami, apa pun masalah yang sedang elo hadapi,” lanjut Agni. “Walaupun kami belum tentu bisa membantu, paling nggak kita bisa saling berbagi dan mendukung.”
Sivia menangis lebih keras.
Ify menghela napas dan menengadahkan kepalanya menatap langit biru yang tumben banget lagi cerah siang ini.
Setelah beberapa saat akhirnya Sivia mulai tenang dan bicara lagi, “Tiga hari yang lalu, waktu Rio nyanyi di lapangan, Alvin ngajak gue bicara.”
Ify menolehkan kepalanya menatap Sivia.
“Kata Alvin, Gabriel udah mengkhianati gue,” lanjut Sivia. “Gabriel selingkuh di belakang gue. Tapi gue nggak percaya. Dia bilang dia pernah melihat gabriel jalan sama cewek yang sama dua kali.”   
Agni mengernyitkan keningnya mendengar cerita Sivia. “Ah, masa Gabriel  kayak gitu?”
“Gue juga bilang gitu sama Alvin,” kata Sivia. “Tapi Alvin ngotot. Dia bilang dia yakin banget. Dan... dan terakhir kali dia melihat mereka seminggu yang lalu, mereka sedang berciuman di depan bioskop.”
“Hah... ciuman?!” seru Agni nggak percaya.
Sivia mengangguk. “Makanya gue nggak percaya... gue nggak percaya Gabriel bisa berbuat seperti itu sama gue. Tapi Alvin terus-menerus berusaha meyakinkan gue tentang hal itu.”
Ify menatap Sivia lekat-lekat, kemudian berkata, “Vi, menurut gue, Alvin nggak mungkin berbohong.”
Sivia dan Agni menatap Ify. Mereka terkejut dengan apa yang baru saja Ify katakan.
Ify berdiri dan berjalan ke hadapan Sivia. “Vi, gue tau, Alvin itu bukan cowok tukang adu domba. Gue pernah sebangku sama dia waktu kelas dua, dan gue tau banget dia bukan tipe cowok seperti dugaan lo.”
“Jadi maksud lo... Alvin benar... Gabriel udah ngekhianatin gue?” tanya Sivia dengan suara bergetar.
“Kalau untuk hal itu gue nggak bisa memastikannya,” jawab Ify.
Sivia mulai menangis lagi. “Kalau gitu... kalau gitu gue harus gimana?”
“Vi, daripada lo nangis kayak gitu, lebih baik lo tanyain kejelasannya secara langsung ke Gabriel.”
“Ya ampun, Fy... mana mungkin Gabriel mau ngaku kalau dia memang benar-benar salah,” sahut Agni.
“Yah, itu soal kedua. Yang penting sekarang kita tau dulu apa pembelaan dia. Hakim juga nggak pernah langsung memutuskan apa tersangka itu benar-benar salah atau nggak sebelum mendengar pembelaan dari tersangka, saksi, dan bukti-bukti yang ada,” argumen Ify.

Agni tersenyum membenarkan kata-kata Ify. “Ify benar, Vi. Lebih baik sekarang lo nenangin diri lo, lalu cari waktu yang tepat untuk menanyakan semuanya langsung ke Gabriel.”
Sivia menyeka sudut matanya yang berair, berusaha menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. “Thanks, ya,” katanya lirih. “Kalian udah nemenin gue dan mendengarkan semua keluhan gue. Fy, maaf ya, gue emang cengeng banget.”

“Ember,” jawab Ify tersenyum lebar. “Tapi... yah... itulah elo.”
Sivia tersenyum. Kali ini lebih lebar dan sama sekali nggak terpaksa. Sahabat memang obat terbaik di kala kita sedang terluka. Dan itulah yang saat ini dirasakan Sivia.

@(^-^)@
Ify mengeluarkan beberapa butir telur dari dalam kulkas. Setelah memecahkannya dan menuangkan isinya ke mangkuk, Ify mengambil garpu dan mengocok telur itu hingga rata.

Lalu ia mengupas bawang putih dan bawang merah, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menaburkannya ke atas telur kocok. Tak lupa ditaburkannya garam dan merica ke atas telur kocok secukupnya.
Ify menyalakan kompor dan meletakkan wajan di atasnya. Sedikit minyak dituangkannya ke atas wajan, dan setelah minyak itu panas dia mulai membuat telur dadar favoritnya.
Hari ini menu makan malamnya telur dadar, kangkung cah, dan tempe orek, semua disusunnya di meja makan. Sekarang tinggal menunggu Mama pulang dan makan bersama.
Ify melirik jam dinding. Sudah hampir jam 19.00. Seharusnya Mama sudah pulang sejak tadi.
Gadis itu berjalan menuju ruang tamu. Ada suara mobil yang berhenti di depan rumahnya. Ify menyibak tirai yang menutupi jendela dan mengintip keluar.
Itu Mama! Mama turun dari mobil. Jendela mobil itu terbuka, dan Mama kelihatan sedang berbicara dengan seseorang yang mengendarai mobil itu. Ify berusaha menajamkan penglihatannya.
Laki-laki! Mama bicara dengan seorang laki-laki. Jantung Ify berdetak cepat. Siapa laki-laki itu? Kenapa Mama pulang diantar dia? Apa itu orang yang sama dengan yang mengantar Mama waktu itu? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Mama? Apa yang dia mau dari Mama?
Berpuluh pertanyaan memenuhi batinnya. Ify menutup tirai lalu berjalan cepat menuju meja makan. Terdengar suara pintu dibuka. Pasti Mama sudah masuk.
Ify duduk di depan meja makan lalu mengambil gelas dan menuangkan air dingin ke dalamnya.
Mama yang sudah masuk tersenyum melihat meja makan sudah tertata rapi. “Maaf ya, Mama pulang kemalaman. Kamu pasti udah kelaparan, Fy?”
Ify diam saja. Ia menuangkan air dingin ke dalam gelas lainnya tanpa memedulikan sapaan Mama.
“Mama tadi ada keperluan sebentar, jadi pulangnya agak terlambat,” tambah Mama sambil berjalan menuju kamar.

Ify tetap diam saja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Mama heran. “Kamu marah sama Mama?”
Mama berhenti di depan kamar dan menatap Ify.
“Mana mungkin aku marah sama Mama,” jawab Ify sinis. “Aku nggak punya hak untuk marah sama Mama meskipun Mama lagi menyembunyikan sesuatu dari aku.”
Alis Mama bertaut. “Apa maksud kamu? Memangnya Mama menyembunyikan apa dari kamu?”
“Aku nggak bermaksud apa-apa kok. Tadi cuma pengandaian aja.”
Mama menatap Ify tajam, lalu membuka pintu kamar sambil berkata, “Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Mama mandi dulu, lalu kita bisa makan sama-sama.”
Ify diam. Dia mengambil piring dan menyendok nasi tanpa bersuara. Namun hati kecilnya berkata lirih, Nggak ada yang perlu dilanjutkan, Ma. Selama Mama nggak mau jujur sama aku, nggak ada gunanya kita bicara.

@(^-^)@

Ify meletakkan tas ranselnya di meja. Kelas udah ramai oleh anak-anak yang sibuk menyalin PR. Ify duduk di bangkunya dengan tampang bete. Dia masih kesal dengan kejadian semalam. Sesuai dengan perkiraannya, Mama udah nggak jujur. Mama hanya membahas tentang pekerjaan yang membuatnya pulang terlambat, tapi nggak sedikit pun menyinggung laki-laki yang belakangan ini sering kali mengantar Mama pulang.
Ify nggak mau memaksa Mama bercerita. Dia ingin menunggu sampai Mama terbuka dan jujur sama dia. Dia mau memercayai Mama meskipun nggak bisa dia pungkiri bahwa saat ini hatinya agak kecewa.
“Hei!” tegur Agni, mengambil tempat di sebelah Ify. “Pagi-pagi udah melamun. Kesambet baru tau loh!”
“Biarin!” jawab Ify asal.
“Ngelamunin siapa sih lo?” tambah Agni. “Rio?”
“Enak aja! Rugi gue ngelamunin cowok kayak dia. Bikin otak gue jadi tumpul.”
Agni mencibir. “Lain di hati lain di mulut, lo!”
“Lo kenapa sih, Ag?” seru Ify kesal. Pagi ini Ify udah cukup bete dan dia merasa nggak perlu lagi dibuat bete gara-gara cowok aneh itu.
“Duile... gitu aja marah,” goda Agni. “Iya deh... gue nggak akan sebut-sebut nama Egi lagi.”
Ify mengambil buku matematika dari dalam tasnya. Pelajaran pertama hari ini pelajaran killer. Nggak hanya pelajarannya, gurunya juga. “Tammy sama Sivia mana?” tanya Ify.
“Shilla sih tadi katanya mau ke kantin, kalau Sivia belum datang tuh.”
“Sivia belum datang?” tanya Ify heran. Diliriknya jam tangan yang nangkring manis di pergelangan tangannya. “Kan sebentar lagi bel...”
“Tadi gue udah coba telepon ke HP-nya, tapi mailbox.”

“Aneh. Nggak biasanya dia telat.”

“Mungkin dia nggak masuk hari ini. Bolos, kali.”

“Sivia  bolos? Mana mungkin. Di antara kita berempat, dia kan paling rajin. Apalagi sebentar lagi udah mau ujian semester.”

“Iya juga ya. Atau... mungkin dia ada urusan, kali. Atau sakit.”
Suara bel yang berdering nyaring meyakinkan Ify dan Agni bahwa Sivia hari ini memang nggak masuk sekolah.
“Nanti pulang sekolah kita ke rumah dia yuk?” ajak Ify.
“Oke. Nanti istirahat gue ke kelas Shilla buat ngajak dia.”

@(^-^)@

“Lho, Shilla-nya mana, Ag?” tanya Ify saat Agni melajukan mobilnya tanpa menunggu Tammy. Rencananya mereka mau ke rumah Sivia.
Agninggak menjawab pertanyaan Ify. Dia malah asyik menyetel CD Jennifer Lopez dan menggerak-gerakkan badannya.

“Heh, serius dong nyopirnya. Jangan sambil goyang begitu.”

“Iya, ini gue serius. Hehehe... Si Shilla nggak bisa ikutan, Fy. Katanya sih dia ada janji sama teman lamanya yang baru balik dari Jerman. Dia nggak enak ngebatalinnya. Dia bilang sih kalau urusannya udah selesai, dia bakal nyusul ke rumah Sivia,” kata Agni akhirnya.
Ify semakin heran. Belakangan ini sepertinya ada yang aneh sama Shilla. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa, tapi nggak biasanya Shilla sok sibuk begini. Ify menghela napas panjang.
“Kenapa sih, Fy?” tanya Agni.

“Nggak tau. Gue ngerasa ada yang aneh aja sama Shilla.”

“Aneh?” tanya Agni lagi. “Apanya yang aneh?”

“Ya aneh. Kok mendadak Shilla kayak orang sibuk gitu. Dia udah jarang kumpul dan susah banget dihubungi.”
“Mungkin dia emang lagi sibuk beneran. Nggak usah negative thinking gitu, Fy.”

“Iya... mungkin lo benar.”

@(^-^)@
Agni menghentikan mobilnya nggak jauh dari rumah Sivia. Rumah yang didominasi warna putih itu nggak terlalu besar, tapi kelihatan paling rimbun di antara rumah-rumah lainnya yang ada di kompleks itu. Semua orang yang lewat di depan rumah itu pasti langsung tahu bahwa penghuni rumah itu pencinta tanaman.Bayangin aja, dari balik pagar terlihat jelas beraneka tanaman, mulai dari tanaman bunga aneka warna sampai pohon cemara, pohon belimbing, dan pohon jambu. Pokoknya lengkap deh!

Ify turun lebih dulu dari mobil dan langsung menekan bel di tembok pagar rumah Sivia. Agni menyusul di belakangnya.
Sesosok perempuan tua tergopoh-gopoh datang untuk membukakan pintu. “Halo, Bi Ita,” sapa Ify ramah. “Sivia ada, Bi?”

“Ada, Non,” jawab Bi Ita, pembantu Sivia yang setia banget, karena udah belasan tahun kerja di keluarga Sivia. Sambil membukakan pintu pagar untuk Ify dan Agni, Bi Ita berkata,

“Tapi Non Sivia-nya lagi sakit.”

“Sakit apa, Bi?” tanya Ify.

“Bibi nggak tau, Non. Badannya Non Sivia anget, udah gitu muntah terus. Bibi jadi kasihan ngelihatnya.”

“Kalau kami langsung masuk ke kamar Sivia, boleh nggak, Bi?”

“Boleh atuh, Non. Nyonya lagi di dapur buatin bubur spesial buat Non Sivia. Nanti Bibi yang bilangin ke Nyonya kalau Neng Ify sama Neng Agni datang.”
“Sip deh, Bi,” sahut Ify setuju.
Ify dan Agni masuk dan langsung menuju kamar Sivia di lantai atas. Kedua cewek itu udah sering banget main ke rumah Sivia, makanya mereka hafal seluk-beluk rumah ini.
Sampai di depan kamar Sivia, Ify menghentikan langkahnya dan mengetuk pintu pelan-pelan. Nggak ada sahutan. Sekali lagi Ify mengetuk pelan, tapi kali ini sambil memanggil nama Sivia.

“Masuk aja,” terdengar jawaban lirih dari dalam kamar.
Ify dan Agni beradu mata sesaat, lalu pelan-pelan mereka masuk ke kamar.
“Halo, Vi,” sapa Ify mendekati tempat tidur Sivia dan duduk di sisi sobatnya yang sedang terbaring itu. “Tumben lo bisa sakit.”
Agni  juga nggak mau ketinggalan. Tanpa basa-basi dia mengambil kursi dan duduk.
“Hei, lo sakit apa sih?” tanya Ify lagi. “Kata Bi Ita badan lo panas, terus lo muntah-muntah melulu. Bener nggak sih?”
“Jangan-jangan lo kena flu burung ya,” timpal Agni asal.
Yang ditanya diam seribu bahasa. Selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Vi, kenapa sih lo?” tanya Ify mulai keki. “Kami kan datang buat jenguk elo, jangan malah dicuekin gini dong! Apa sakit lo parah banget sampai nggak bisa ngomong atau ngelihat kami berdua?”

Sivia tetap mengurung diri di balik selimut. Tapi kali ini tubuhnya bergetar pelan. Lama-kelamaan semakin kencang dan disertai isak pelan. Sivia menangis.
Ify dan Agni kaget plus heran. Saking nggak sabarnya, Ify menarik selimut yang menutupi tubuh Sivia. “Lo kenapa sih?!”
Wajah  Sivia yang pucat dan bersimbah air mata muncul dari balik selimut. Matanya bengkak, bibirnya kering, wajahnya merah, dan peluh mengalir di keningnya. Ify dan Agni melotot kaget.
“Sivia, lo kenapa?” pekik Agni.
Sivia malah menangis lebih kencang dari sebelumnya. Agni menarik tubuh Sivia dan memeluknya.
“Gue benci Gabriel... gue benci dia,” kata Sivia di tengah isak tangisnya.
Ify mengambil tisu yang ada di atas meja tepat di sebelah tempat tidur Sivia dan menyodorkannya pada cewek itu. Sivia mengambilnya dan menghapus air mata yang turun di pipinya.

“Ada apa, Vi?” tanya Ify tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya. “Apa yang udah terjadi?”
“Gue benci Gabriel. Gue benci dia!” pekik Sivia histeris.
“Kenapa dengan Gabriel? Apa yang membuat elo begitu marah sama dia?” tanya Ify nggak sabar.
Sivia menghapus air matanya dan melepaskan diri dari pelukan Agni. Ia menarik napas panjang untuk mengontrol emosi yang meluap dalam dirinya.
“Fy... ternyata Alvin benar,” ujar Sivia lirih. “Gabriel nyeleweng. Dia ngeduain gue. Kemarin malam gue nanya langsung ke dia. Awalnya dia nggak mau ngaku, tapi waktu gue bilang gue lihat dia jalan sama cewek di mal, akhirnya dia ngaku.”
“Jadi... gabriel  benar-benar... nyeleweng?” agni  masih nggak percaya. Masalahnya, Gabriel  yang selama ini dia kenal benar-benar tipikal cowok idaman. Baik hati, gentleman, ramah, sopan, dan yang pasti setia. Rasanya siapa pun nggak akan percaya kalau cowok seperti Gabriel  ternyata mendua hati.
Sivia  mengangguk sebagai jawaban untuk keraguan Agni. “Dia bilang, dia bosan pacaran sama anak SMA. Katanya nggak ada serunya, kayak pacaran sama anak kecil. Gue nggak ngerti apa maunya, padahal sebentar lagi gue juga lulus SMA dan bakal jadi mahasiswa kayak dia. Kenapa dia nggak mau menunggu? Kenapa dia malah memilih cewek itu dan mutusin gue gitu aja? Apa hubungan gue sama dia selama ini nggak punya arti apa-apa buat dia? Kenapa dia dengan begitu mudahnya mutusin gue? Kenapa?”
Tangis Sivia bertambah kencang. Dia benar-benar patah hati dan kecewa. Mungkin itu yang bikin dia jadi sakit seperti ini. Kata orang penyakit kan bisa juga disebabkan oleh gangguan psikologis kayak yang dialami Sivia sekarang ini.
Ify bangkit dan berjalan menuju pintu kamar Sivia dengan tangan terkepal.
“Fy, lo mau ke mana?” tanya Agni.
“Gue mau bikin perhitungan sama cowok brengsek itu. Gue nggak akan tinggal diam melihat sahabat gue dicampakkan gitu aja. Dia harus gue kasih pelajaran sampai kapok!” jawab Ify geram.
“Jangan, Fy... jangan. Gue mohon jangan!” tahan Sivia memelas.
“Kenapa?” tanya Ify. “Apa lo masih cinta sama dia? Apa lo masih mau ngebelain dia?”
“Bukan... bukan...”
“Terus kenapa?”
“Gue nggak mau dia tau bahwa gue terluka gara-gara dia. Jangan permalukan gue di depan dia, Fy. Kalau dia sampai tau gue kayak gini gara-gara dia, gue nggak akan punya muka lagi di depan dia. Dia akan merasa menang dan hebat karena bisa mencampakkan gue.”
Ify terdiam. Lalu perlahan dia kembali ke samping Sivia.
“Kalau lo nggak mau dia merasa menang dan hebat, jangan siksa diri lo seperti ini. Buktikan sama dia bahwa dia nggak ada artinya buat elo. Buktikan sama dia, bukan dia yang mencampakkan elo tapi elo yang mencampakkan dia,” cecar Ify.
“Gue tau, tapi gue nggak bisa, Fy. Gue nggak tau gimana caranya bangkit lagi...”
“Gue yang akan membantu lo bangkit lagi.” Tiba-tiba Alvin  muncul dari balik pintu kamar sivia.
Ify, Agni, dan Sivia menatap Alvin kaget. Mereka sama sekali nggak menyadari kehadiran cowok itu.
“Udah berapa lama lo di situ?” tanya Ify ketus.
“Cukup lama,” jawab Alvin tenang. “Yang pasti, gue udah dengar semua pembicaraan kalian.”
“Ngapain lo nguping di rumah orang?” ketus Ify.
“Sori, gue nggak bermaksud nguping. Tujuan gue ke sini mau jenguk Sivia, tapi pas gue mau ngetuk pintu, gue dengar Sivia nangis. Gue nggak jadi masuk dan akhirnya malah mendengar semuanya. Sekali lagi sori.”
“Tapi lo sekarang puas kan, Vin? Omongan lo soal Gabriel  ternyata benar, dan lo bisa ngetawain gue, kan? Apa lo ke sini buat ngelihat penderitaan gue?” tanya Sivia sinis.
“Nggak begitu, Vi. Please, jangan berpikiran senegatif itu tentang uge.”
“Lalu buat apa lo ke sini?”
“Karena gue khawatir sama elo, karena gue peduli sama elo, karena gue sayang sama elo...”

Sivia terdiam. Air matanya mengalir pelan.
“Vi, lo tau, gue udah lama suka sama elo. Dan sampai sekarang, perasaan gue nggak berubah sedikit pun. Vi, izinkan gue berada di samping lo. Nggak perlu sebagai pacar, tapi cukup... sebagai tempat lo bersandar.”
Tanpa sadar air mata Sivia mengalir lebih deras. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis kencang.
Alvin jadi kebingungan. Dia langsung panik melihat Alvin menangis histeris begitu. Ify tersenyum geli melihat kepanikan Alvin dan buru-buru menahan Agni yang udah mau memeluk Sivia.

Ify menghampiri Alvin dan mendorongnya ke arah Sivia. Alvin semakin salah tingkah. Mukanya berubah merah. Entah karena panik atau karena malu. Tapi pelan-pelan Alvin  mengulurkan tangan, lalu dengan lembut membelai rambut sivia. Sivia  tetap menangis, tapi dia membiarkan tangan Alvin membelai rambutnya.
“Vi... gue ada di sini. Jangan khawatir. Gue akan selalu di samping lo, apa pun yang terjadi,” bisik Alvin  lembut.

Tiba-tiba Sivia langsung memeluk alvin dan menangis di pundaknya. Sesaat Alvin terpana lalu perlahan membalas pelukan Sivia, semakin lama semakin erat.
Ify dan Agni tersenyum di sisi tempat tidur. Adegan barusan persis kayak di film-film romantis Korea. Itu lho, yang lagi ngetren belakangan ini. Meskipun menurut Ify kata-kata Alvin rada gombal, tapi bolehlah. Semoga aja kehadiran Alvin bisa jadi obat mujarab untuk luka di hati Sivia.

No comments:

Post a Comment