Pacarku Juniorku [5]
–Pengobat Luka Sivia-
SUDAH tiga hari berlalu sejak
kejadian di lapangan itu. Dan dalam tiga hari itu Ify seakan berubah jadi
selebriti yang dibicarakan banyak orang. Tiap kali jalan di koridor sekolah,
pasti puluhan mata menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Udah gitu,
mereka pakai acara bisik-bisik segala, lagi. Risih banget rasanya. Ify
benar-benar kesal dibuatnya. Entah udah berapa kali Ify memaki-maki orang yang
ngeliatin dia, tapi bukannya pada kapok, mereka malah tambah parah. Cerita
tentang kejadian di lapangan itu bahkan jadi hot news yang paling banyak
diminati saat ini. Pokoknya menduduki rating tertinggi deh. Dan yang
lebih luar biasa lagi, cerita yang beredar dari mulut ke mulut itu terus
berkembang sampai sekarang. Ify sendiri sampai heran dengan daya kreativitas
orang-orang yang udah ngembangin cerita itu.
Cerita terakhir yang Ify dengar
tentang kejadian di lapangan hari itu sih begini:
1. Rio nyanyi di lapangan buat
nyatain perasaannya ke Ify.
2. Ify shock sampai
pingsan soalnya selama ini kan nggak ada cowok yang senekat itu ngejar-ngejar
dia.
3. Pas sadar Ify nangis bombay
saking terharunya karena ada cowok yang mau sama dia.
Gila nggak tuh cerita! Mungkin
nggak sih Ify kayak gitu? Nangis buat cowok, nggak ada tuh dalam kamus hidup
Ify. Benar-benar nggak masuk akal, kan? Yang ngarang tuh cerita pasti
benar-benar udah sinting. Tapi menurut Ify, yang ngedengerin cerita itu jauh
lebih sinting lagi karena mereka percaya sama cerita itu.
Ini benar-benar tiga hari
terberat dalam hidup Ify. Baru kali ini ia merasakan hal-hal semacam ini. Jadi
pusat perhatian dan digosipin. Rasanya mau marah dan teriak, tapi ke siapa? Ke
RIO? Mana mungkin.
Masalahnya, udah tiga hari ini
Rio menghilang gitu aja dari peredaran. Cowok itu nggak pernah lagi datang ke
kelas Ify, nyamperin ke kantin, nungguin Ify pulang sekolah, atau nelepon ke
rumah. Pokoknya lenyap gitu aja deh.
Dan
sekarang, entah kenapa ada sesuatu yang aneh dalam diri Ify. Rasanya ada yang
hilang. Ify nggak tahu itu apa, yang dia tahu rasanya aneh banget. Apa iya itu
gara-gara Rio?
@(^-^)@
Siang itu Ify, Sivia, dan Agni
duduk di kantin sambil menikmati semangkuk soto mi hangat. Biasalah, tiga cewek
itu lagi malas pulang cepat. Jadi mereka nongkrong di kantin sama-sama.
Ify menggulung-gulung mi dengan
garpunya. “Shilla mana?”
“Katanya mau pulang duluan,”
jawab Agni sambil menuangkan sesendok sambal ke dalam mangkuk soto mi-nya. “Dia
bilang sih ada janji sama bokapnya.”
“Bokapnya?” Ify mengernyitkan
dahinya heran. “Bukannya bokapnya lagi ke Pekanbaru?”
Agni mengedikkan bahu. “Tau
deh. Udah pulang, kali.”
Ify manggut-manggut lalu
menyuapkan sesendok mi ke mulutnya.
“Fy, si Rio apa kabarnya?”
tanya Sivia tiba-tiba.
Ify diam saja, pura-pura nggak
dengar.
“Iya, Fy,” tambah Agni. “Gosip
tentang kalian berdua kan lagi hot-hotnya nih. Masa nggak ada perkembangan baru
sih?”
“Tau ah,” jawab Ify kesal. “Tuh
anak udah mati, kali.”
“Ih...! Kejam amat sih
ngomongnya,” goda Agni. “Nggak baik lho kayak gitu. Ntar kalo orangnya mati
beneran, lo bakalan nyesel!”
“Nggak bakal!”
“Jangan sewot gitu dong, Fy,”
ujar Sivia. “Kami kan cuma mau tau aja.”
“Asal lo berdua tau,” kata Ify,
“gue nggak pernah punya hubungan apa pun sama cowok rese itu. Jadi nggak bakal
ada hal apa pun yang berkembang antara gue dan dia. Lagi pula, gue rasa dia
udah malas deketin gue. Mungkin dia udah dapat cewek lain yang bisa dia
mainin.”
“Ada apa sih, Fy?” tanya Sivia
heran.
“Apanya yang ada apa?” Ify
balik nanya.
“Yah elo itu...,” jawab ify.
“Gue merasa ada yang aneh sama elo.”
“Nggak ada apa-apa kok. Apanya
yang aneh sama gue?”
Agni yang menjawab, “Lo emang
lagi aneh, Fy. Apa gara-gara Rio?”
“Kenapa gue mesti aneh
gara-gara dia?”
“Karena lo merasa kehilangan
Rio yang udah beberapa hari ini nggak lagi gangguin elo. Iya, kan?” Agni
tersenyum nakal.
“Ngapain gue merasa kehilangan
dia!” seru Ify. “Gue malah senang karena dia nggak gangguin gue lagi!”
Agni dan Sivia malah tertawa.
Ify meelototi kedua temannya itu, tapi Sivia dan Agni terus tertawa heboh.
Tanpa mereka
bertiga sadari,Alvin udah berdiri di samping meja mereka.
“Sivia, gue mau bicara sama
elo,” kata Alvin tajam. “Ini penting, dan gue harus bicara sama elo saat ini
juga.”
Sivia berhenti tertawa dan
menatap Alvin. Dia menghela napas panjang dan membuang muka sambil berkata,
“Nggak ada lagi yang perlu kita bicarain.”
“Ada!” bentak Alvin. “Lo nggak
bisa pura-pura nggak ada masalah, Vi.”
“Gue nggak mau mendengar apa
pun dari mulut lo!”
Alvin mencekal tangan Sivia.
“Lo harus dengar kata-kata gue, nggak peduli lo suka atau nggak!”
Ify berdiri dari tempat
duduknya dan menepuk bahu Alvin pelan. “Jangan kasar gitu dong, Vin. Kalo dia
nggak mau bicara sama elo, ya udah. Lo nggak berhak maksa dia.”
“Dia harus mau bicara sama
gue!” bentak Alvin kasar. “Gue nggak peduli!”
Alvin masih mencengkeram tangan Sivia. Matanya
menatap tajam ke arah Ify seakan memberi perintah agar Ify nggak usah ikut
campur.
“Lepasin tangan gue, Vin!” Sivia
bangkit dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Alvin. “Gue nggak
mau mendengar apa pun dari mulut lo!”
“Gue nggak bakal melepas tangan
lo sampai lo mau bicara sama gue.”
“Vin, lepasin tangan Sivia!”
seru Agni cemas. “Dia kesakitan, tau!”
“Vin, gue minta sekali
lagi...,” pinta Ify menahan emosi, “lepasin Via...”
“Lebih baik tangannya merah dan
sakit daripada gue harus ngeliat dia sakit hati lebih dalam lagi,” ujar Alvin
keras kepala. Tangannya malah semakin keras mencengkeram pergelangan Sivia.
“Lebih baik lo lepasin tangan Sivia
dan kita bicara baik-baik, Vin,” Ify berusaha berkata bijak untuk meredakan
emosi alvin yang meluap-luap.
Alvin menatap Ify lama, lalu
perlahan melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan Sivia. Sivia
buru-buru menarik tangannya dan memijitnya pelan-pelan. Alvin memandangi Sivia
dalam-dalam. Mata Sivia yang mulai berair menahan tangis menyayat hatinya. Dia
sama sekali nggak bermaksud menyakiti Sivia, gadis yang begitu disayanginya.
Dia cuma mau Sivia mendengarkannya. Itu saja. Dia cuma nggak mau Sivia terluka
lebih dalam nantinya. Dia nggak mau ada seorang pun yang menyakiti Sivia. Dia
nggak rela ada seorang pun yang mempermainkan Sivia.
“Vi, gue mohon pikirkan lagi
kata-kata gue waktu itu,” kata Alvin pelan. “Gue emang nggak punya bukti, tapi
gue nggak bohong. Gue ngeliat dengan mata gue sendiri. Dan itu nggak mungkin
salah. Please, Vi... percaya sama gue.”
“Gimana mungkin gue bisa
percaya sama elo?!” sahut Sivia, air mata mengalir di kedua pipinya. “Kalau gue
percaya sama elo, itu artinya gue mengkhianati cinta gue sendiri. Itu artinya
gue nggak percaya sama pacar gue sendiri.”
“Tapi dia memang nggak layak
untuk elo percaya!”
“Vi, gue pacaran sama dia udah lama. Gue udah tahu siapa dia, dia nggak mungkin berbuat gitu sama gue. Dia nggak mungkin mengkhianati gue.”
“Vi, gue pacaran sama dia udah lama. Gue udah tahu siapa dia, dia nggak mungkin berbuat gitu sama gue. Dia nggak mungkin mengkhianati gue.”
“Elo tuh udah buta, Vi!” maki Alvin.
“Elo buta karena cinta, dan elo sama sekali nggak sadar bahwa elo cuma
dipermainkan sama dia!”
“Alvin, dengerin gue sekali
lagi. Dia nggak mungkin mempermainkan gue!” sahut Sivia. “Gue rasa elo yang
nggak punya malu. Gue tau sejak dulu elo suka sama gue. Terus sekarang lo
ngejelek-jelekin cowok gue biar gue putus sama dia. Iya, kan?!”
BRAAKK! Alvin memukul meja dengan keras sampai sisa-sisa
makanan yang masih ada di mangkuk tumpah dan mengotori meja kantin.
“Gue memang suka sama elo,” Alvin
menatap Sivia tajam, “tapi gue nggak pernah punya pikiran serendah tudingan lo
itu. Gue masih punya moral dan harga diri.”
Ify dan Agni nggak bisa
berkutik. Mereka cuma mendengarkan pertengkaran itu, menoleh dari wajah Sivia
ke wajah Alvin.
“Lalu, apa mau lo?!” seru Sivia.
“Kenapa lo terus-terusan mengganggu gue dengan kebohongan-kebohongan itu?”
“Itu bukan kebohongan, Vi,”
suara Alvin melemah. Hatinya benar-benar terluka mendengar ucapan Sivia. “Gue
cuma nggak mau ada seorang pun yang menyakiti dan mempermainkan elo. Gue
terlalu sayang sama elo...”
Usai mengatakan itu, Alvin
menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, kemudian berlalu
meninggalkan Sivia yang masih menangis.
Ify dan Agni bertatapan heran,
juga puluhan anak yang sejak tadi memerhatikan mereka dengan rasa ingin tahu.
Agni merangkul pundak Sivia dan membiarkannya
menangis di bahunya, sedangkan Ify cuma bisa menatap Sivia, menunggu penjelasan atas kejadian ini.
@(^-^)@
Ify, Sivia dan Agni duduk
bertiga di bangku panjang di pinggir lapangan basket. Sivia tampak lebih
tenang, tapi mata dan hidungnya masih merah karena habis menangis.
“Oke,” Ify memulai pembicaraan.
“Sekarang lo jelasin deh, apa yan gudah lo sembunyikan selama ini dari kami.”
“Gue... nggak bermaksud
menyembunyikan apa pun dari kalian.” Sivia mulai sesenggukan, berusaha menahan
air mata yang hendak bergulir lagi di pipinya.
“Vi, elo nganggap kami sobat
lo, kan?” Agni merangkulkan tangannya ke pundak Yuki, berusaha menenangkan
cewek itu.
Sivia
mengangguk.
“Kalo gitu, lo harus cerita ke
kami, apa pun masalah yang sedang elo hadapi,” lanjut Agni. “Walaupun kami
belum tentu bisa membantu, paling nggak kita bisa saling berbagi dan
mendukung.”
Sivia menangis lebih keras.
Ify menghela napas dan
menengadahkan kepalanya menatap langit biru yang tumben banget lagi cerah siang
ini.
Setelah beberapa saat akhirnya Sivia
mulai tenang dan bicara lagi, “Tiga hari yang lalu, waktu Rio nyanyi di
lapangan, Alvin ngajak gue bicara.”
Ify menolehkan kepalanya
menatap Sivia.
“Kata Alvin, Gabriel udah
mengkhianati gue,” lanjut Sivia. “Gabriel selingkuh di belakang gue. Tapi gue
nggak percaya. Dia bilang dia pernah melihat gabriel jalan sama cewek yang sama
dua kali.”
Agni mengernyitkan keningnya
mendengar cerita Sivia. “Ah, masa Gabriel kayak gitu?”
“Gue juga bilang gitu sama Alvin,”
kata Sivia. “Tapi Alvin ngotot. Dia bilang dia yakin banget. Dan... dan
terakhir kali dia melihat mereka seminggu yang lalu, mereka sedang berciuman di
depan bioskop.”
“Hah... ciuman?!” seru Agni
nggak percaya.
Sivia mengangguk. “Makanya gue
nggak percaya... gue nggak percaya Gabriel bisa berbuat seperti itu sama gue.
Tapi Alvin terus-menerus berusaha meyakinkan gue tentang hal itu.”
Ify menatap Sivia lekat-lekat,
kemudian berkata, “Vi, menurut gue, Alvin nggak mungkin berbohong.”
Sivia dan Agni menatap Ify.
Mereka terkejut dengan apa yang baru saja Ify katakan.
Ify berdiri dan berjalan ke hadapan
Sivia. “Vi, gue tau, Alvin itu bukan cowok tukang adu domba. Gue pernah
sebangku sama dia waktu kelas dua, dan gue tau banget dia bukan tipe cowok
seperti dugaan lo.”
“Jadi maksud lo... Alvin
benar... Gabriel udah ngekhianatin gue?” tanya Sivia dengan suara bergetar.
“Kalau untuk hal itu gue nggak
bisa memastikannya,” jawab Ify.
Sivia mulai menangis lagi.
“Kalau gitu... kalau gitu gue harus gimana?”
“Vi, daripada lo nangis kayak
gitu, lebih baik lo tanyain kejelasannya secara langsung ke Gabriel.”
“Ya ampun, Fy... mana mungkin Gabriel
mau ngaku kalau dia memang benar-benar salah,” sahut Agni.
“Yah, itu
soal kedua. Yang penting sekarang kita tau dulu apa pembelaan dia. Hakim juga
nggak pernah langsung memutuskan apa tersangka itu benar-benar salah atau nggak
sebelum mendengar pembelaan dari tersangka, saksi, dan bukti-bukti yang ada,”
argumen Ify.
Agni tersenyum membenarkan
kata-kata Ify. “Ify benar, Vi. Lebih baik sekarang lo nenangin diri lo, lalu
cari waktu yang tepat untuk menanyakan semuanya langsung ke Gabriel.”
Sivia menyeka sudut matanya
yang berair, berusaha menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. “Thanks,
ya,” katanya lirih. “Kalian udah nemenin gue dan mendengarkan semua keluhan
gue. Fy, maaf ya, gue emang cengeng banget.”
“Ember,” jawab Ify tersenyum
lebar. “Tapi... yah... itulah elo.”
Sivia tersenyum. Kali ini lebih
lebar dan sama sekali nggak terpaksa. Sahabat memang obat terbaik di kala kita
sedang terluka. Dan itulah yang saat ini dirasakan Sivia.
@(^-^)@
Ify mengeluarkan beberapa butir
telur dari dalam kulkas. Setelah memecahkannya dan menuangkan isinya ke
mangkuk, Ify mengambil garpu dan mengocok telur itu hingga rata.
Lalu ia mengupas bawang putih
dan bawang merah, lalu mengirisnya tipis-tipis dan menaburkannya ke atas telur
kocok. Tak lupa ditaburkannya garam dan merica ke atas telur kocok secukupnya.
Ify menyalakan kompor dan
meletakkan wajan di atasnya. Sedikit minyak dituangkannya ke atas wajan, dan
setelah minyak itu panas dia mulai membuat telur dadar favoritnya.
Hari ini menu makan malamnya
telur dadar, kangkung cah, dan tempe orek, semua disusunnya di meja makan.
Sekarang tinggal menunggu Mama pulang dan makan bersama.
Ify melirik jam dinding. Sudah
hampir jam 19.00. Seharusnya Mama sudah pulang sejak tadi.
Gadis itu berjalan menuju ruang
tamu. Ada suara mobil yang berhenti di depan rumahnya. Ify menyibak tirai yang
menutupi jendela dan mengintip keluar.
Itu Mama! Mama turun dari
mobil. Jendela mobil itu terbuka, dan Mama kelihatan sedang berbicara dengan
seseorang yang mengendarai mobil itu. Ify berusaha menajamkan penglihatannya.
Laki-laki! Mama bicara dengan
seorang laki-laki. Jantung Ify berdetak cepat. Siapa laki-laki itu? Kenapa Mama
pulang diantar dia? Apa itu orang yang sama dengan yang mengantar Mama waktu
itu? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Mama? Apa yang dia mau dari Mama?
Berpuluh pertanyaan memenuhi
batinnya. Ify menutup tirai lalu berjalan cepat menuju meja makan. Terdengar
suara pintu dibuka. Pasti Mama sudah masuk.
Ify duduk di
depan meja makan lalu mengambil gelas dan menuangkan air dingin ke dalamnya.
Mama yang sudah masuk tersenyum
melihat meja makan sudah tertata rapi. “Maaf ya, Mama pulang kemalaman. Kamu
pasti udah kelaparan, Fy?”
Ify diam saja. Ia menuangkan
air dingin ke dalam gelas lainnya tanpa memedulikan sapaan Mama.
“Mama tadi ada keperluan
sebentar, jadi pulangnya agak terlambat,” tambah Mama sambil berjalan menuju
kamar.
Ify tetap diam saja.
“Kamu kenapa sih?” tanya Mama
heran. “Kamu marah sama Mama?”
Mama berhenti di depan kamar
dan menatap Ify.
“Mana mungkin aku marah sama
Mama,” jawab Ify sinis. “Aku nggak punya hak untuk marah sama Mama meskipun
Mama lagi menyembunyikan sesuatu dari aku.”
Alis Mama bertaut. “Apa maksud
kamu? Memangnya Mama menyembunyikan apa dari kamu?”
“Aku nggak bermaksud apa-apa
kok. Tadi cuma pengandaian aja.”
Mama menatap Ify tajam, lalu
membuka pintu kamar sambil berkata, “Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Mama
mandi dulu, lalu kita bisa makan sama-sama.”
Ify diam. Dia mengambil piring
dan menyendok nasi tanpa bersuara. Namun hati kecilnya berkata lirih, Nggak ada
yang perlu dilanjutkan, Ma. Selama Mama nggak mau jujur sama aku, nggak ada
gunanya kita bicara.
@(^-^)@
Ify meletakkan tas ranselnya di
meja. Kelas udah ramai oleh anak-anak yang sibuk menyalin PR. Ify duduk di
bangkunya dengan tampang bete. Dia masih kesal dengan kejadian semalam. Sesuai
dengan perkiraannya, Mama udah nggak jujur. Mama hanya membahas tentang pekerjaan
yang membuatnya pulang terlambat, tapi nggak sedikit pun menyinggung laki-laki
yang belakangan ini sering kali mengantar Mama pulang.
Ify nggak mau memaksa Mama
bercerita. Dia ingin menunggu sampai Mama terbuka dan jujur sama dia. Dia mau
memercayai Mama meskipun nggak bisa dia pungkiri bahwa saat ini hatinya agak
kecewa.
“Hei!” tegur Agni, mengambil
tempat di sebelah Ify. “Pagi-pagi udah melamun. Kesambet baru tau loh!”
“Biarin!” jawab Ify asal.
“Ngelamunin siapa sih lo?”
tambah Agni. “Rio?”
“Enak aja! Rugi gue ngelamunin
cowok kayak dia. Bikin otak gue jadi tumpul.”
Agni
mencibir. “Lain di hati lain di mulut, lo!”
“Lo kenapa sih, Ag?” seru Ify
kesal. Pagi ini Ify udah cukup bete dan dia merasa nggak perlu lagi dibuat bete
gara-gara cowok aneh itu.
“Duile... gitu aja marah,” goda
Agni. “Iya deh... gue nggak akan sebut-sebut nama Egi lagi.”
Ify mengambil buku matematika
dari dalam tasnya. Pelajaran pertama hari ini pelajaran killer. Nggak
hanya pelajarannya, gurunya juga. “Tammy sama Sivia mana?” tanya Ify.
“Shilla sih tadi katanya mau ke
kantin, kalau Sivia belum datang tuh.”
“Sivia belum datang?” tanya Ify
heran. Diliriknya jam tangan yang nangkring manis di pergelangan tangannya.
“Kan sebentar lagi bel...”
“Tadi gue udah coba telepon ke
HP-nya, tapi mailbox.”
“Aneh. Nggak biasanya dia
telat.”
“Mungkin dia nggak masuk hari
ini. Bolos, kali.”
“Sivia bolos? Mana mungkin. Di antara kita berempat,
dia kan paling rajin. Apalagi sebentar lagi udah mau ujian semester.”
“Iya juga ya. Atau... mungkin
dia ada urusan, kali. Atau sakit.”
Suara bel yang berdering
nyaring meyakinkan Ify dan Agni bahwa Sivia hari ini memang nggak masuk
sekolah.
“Nanti pulang sekolah kita ke
rumah dia yuk?” ajak Ify.
“Oke. Nanti istirahat gue ke
kelas Shilla buat ngajak dia.”
@(^-^)@
“Lho, Shilla-nya mana, Ag?”
tanya Ify saat Agni melajukan mobilnya tanpa menunggu Tammy. Rencananya mereka
mau ke rumah Sivia.
Agninggak menjawab pertanyaan Ify.
Dia malah asyik menyetel CD Jennifer Lopez dan menggerak-gerakkan badannya.
“Heh, serius dong nyopirnya.
Jangan sambil goyang begitu.”
“Iya, ini gue serius. Hehehe...
Si Shilla nggak bisa ikutan, Fy. Katanya sih dia ada janji sama teman lamanya
yang baru balik dari Jerman. Dia nggak enak ngebatalinnya. Dia bilang sih kalau
urusannya udah selesai, dia bakal nyusul ke rumah Sivia,” kata Agni akhirnya.
Ify semakin heran. Belakangan
ini sepertinya ada yang aneh sama Shilla. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Entah apa, tapi nggak biasanya Shilla sok sibuk begini. Ify menghela napas
panjang.
“Kenapa sih, Fy?” tanya Agni.
“Nggak tau. Gue ngerasa ada
yang aneh aja sama Shilla.”
“Aneh?” tanya Agni lagi.
“Apanya yang aneh?”
“Ya aneh.
Kok mendadak Shilla kayak orang sibuk gitu. Dia udah jarang kumpul dan susah
banget dihubungi.”
“Mungkin dia emang lagi sibuk
beneran. Nggak usah negative thinking gitu, Fy.”
“Iya... mungkin lo benar.”
@(^-^)@
Agni menghentikan mobilnya
nggak jauh dari rumah Sivia. Rumah yang didominasi warna putih itu nggak
terlalu besar, tapi kelihatan paling rimbun di antara rumah-rumah lainnya yang
ada di kompleks itu. Semua orang yang lewat di depan rumah itu pasti langsung
tahu bahwa penghuni rumah itu pencinta tanaman.Bayangin aja, dari balik pagar
terlihat jelas beraneka tanaman, mulai dari tanaman bunga aneka warna sampai
pohon cemara, pohon belimbing, dan pohon jambu. Pokoknya lengkap deh!
Ify turun lebih dulu dari mobil
dan langsung menekan bel di tembok pagar rumah Sivia. Agni menyusul di
belakangnya.
Sesosok perempuan tua
tergopoh-gopoh datang untuk membukakan pintu. “Halo, Bi Ita,” sapa Ify ramah. “Sivia
ada, Bi?”
“Ada, Non,” jawab Bi Ita,
pembantu Sivia yang setia banget, karena udah belasan tahun kerja di keluarga Sivia.
Sambil membukakan pintu pagar untuk Ify dan Agni, Bi Ita berkata,
“Tapi Non Sivia-nya lagi
sakit.”
“Sakit apa, Bi?” tanya Ify.
“Bibi nggak tau, Non. Badannya
Non Sivia anget, udah gitu muntah terus. Bibi jadi kasihan ngelihatnya.”
“Kalau kami langsung masuk ke
kamar Sivia, boleh nggak, Bi?”
“Boleh atuh, Non. Nyonya lagi
di dapur buatin bubur spesial buat Non Sivia. Nanti Bibi yang bilangin ke
Nyonya kalau Neng Ify sama Neng Agni datang.”
“Sip deh, Bi,” sahut Ify
setuju.
Ify dan Agni masuk dan langsung
menuju kamar Sivia di lantai atas. Kedua cewek itu udah sering banget main ke
rumah Sivia, makanya mereka hafal seluk-beluk rumah ini.
Sampai di depan kamar Sivia, Ify
menghentikan langkahnya dan mengetuk pintu pelan-pelan. Nggak ada sahutan.
Sekali lagi Ify mengetuk pelan, tapi kali ini sambil memanggil nama Sivia.
“Masuk aja,” terdengar jawaban
lirih dari dalam kamar.
Ify dan Agni beradu mata
sesaat, lalu pelan-pelan mereka masuk ke kamar.
“Halo, Vi,” sapa Ify mendekati
tempat tidur Sivia dan duduk di sisi sobatnya yang sedang terbaring itu.
“Tumben lo bisa sakit.”
Agni juga nggak mau ketinggalan. Tanpa basa-basi
dia mengambil kursi dan duduk.
“Hei, lo
sakit apa sih?” tanya Ify lagi. “Kata Bi Ita badan lo panas, terus lo
muntah-muntah melulu. Bener nggak sih?”
“Jangan-jangan lo kena flu
burung ya,” timpal Agni asal.
Yang ditanya diam seribu
bahasa. Selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Vi, kenapa sih lo?” tanya Ify
mulai keki. “Kami kan datang buat jenguk elo, jangan malah dicuekin gini dong!
Apa sakit lo parah banget sampai nggak bisa ngomong atau ngelihat kami berdua?”
Sivia tetap mengurung diri di
balik selimut. Tapi kali ini tubuhnya bergetar pelan. Lama-kelamaan semakin
kencang dan disertai isak pelan. Sivia menangis.
Ify dan Agni kaget plus heran.
Saking nggak sabarnya, Ify menarik selimut yang menutupi tubuh Sivia. “Lo
kenapa sih?!”
Wajah Sivia yang pucat dan bersimbah air mata
muncul dari balik selimut. Matanya bengkak, bibirnya kering, wajahnya merah,
dan peluh mengalir di keningnya. Ify dan Agni melotot kaget.
“Sivia, lo kenapa?” pekik Agni.
Sivia malah menangis lebih
kencang dari sebelumnya. Agni menarik tubuh Sivia dan memeluknya.
“Gue benci Gabriel... gue benci
dia,” kata Sivia di tengah isak tangisnya.
Ify mengambil tisu yang ada di
atas meja tepat di sebelah tempat tidur Sivia dan menyodorkannya pada cewek
itu. Sivia mengambilnya dan menghapus air mata yang turun di pipinya.
“Ada apa, Vi?” tanya Ify tanpa
bisa menyembunyikan kecemasannya. “Apa yang udah terjadi?”
“Gue benci Gabriel. Gue benci
dia!” pekik Sivia histeris.
“Kenapa dengan Gabriel? Apa
yang membuat elo begitu marah sama dia?” tanya Ify nggak sabar.
Sivia menghapus air matanya dan
melepaskan diri dari pelukan Agni. Ia menarik napas panjang untuk mengontrol
emosi yang meluap dalam dirinya.
“Fy... ternyata Alvin benar,”
ujar Sivia lirih. “Gabriel nyeleweng. Dia ngeduain gue. Kemarin malam gue nanya
langsung ke dia. Awalnya dia nggak mau ngaku, tapi waktu gue bilang gue lihat
dia jalan sama cewek di mal, akhirnya dia ngaku.”
“Jadi... gabriel benar-benar... nyeleweng?” agni masih nggak percaya. Masalahnya, Gabriel yang selama ini dia kenal benar-benar tipikal
cowok idaman. Baik hati, gentleman, ramah, sopan, dan yang pasti setia.
Rasanya siapa pun nggak akan percaya kalau cowok seperti Gabriel ternyata mendua hati.
Sivia mengangguk sebagai jawaban untuk keraguan Agni.
“Dia bilang, dia bosan pacaran sama anak SMA. Katanya nggak ada serunya, kayak
pacaran sama anak kecil. Gue nggak ngerti apa maunya, padahal sebentar lagi gue
juga lulus SMA dan bakal jadi mahasiswa kayak dia. Kenapa dia nggak mau
menunggu? Kenapa dia malah memilih cewek itu dan mutusin gue gitu aja? Apa
hubungan gue sama dia selama ini nggak punya arti apa-apa buat dia? Kenapa dia dengan
begitu mudahnya mutusin gue? Kenapa?”
Tangis Sivia bertambah kencang.
Dia benar-benar patah hati dan kecewa. Mungkin itu yang bikin dia jadi sakit
seperti ini. Kata orang penyakit kan bisa juga disebabkan oleh gangguan
psikologis kayak yang dialami Sivia sekarang ini.
Ify bangkit dan berjalan menuju
pintu kamar Sivia dengan tangan terkepal.
“Fy, lo mau ke mana?” tanya Agni.
“Gue mau bikin perhitungan sama
cowok brengsek itu. Gue nggak akan tinggal diam melihat sahabat gue dicampakkan
gitu aja. Dia harus gue kasih pelajaran sampai kapok!” jawab Ify geram.
“Jangan, Fy... jangan. Gue
mohon jangan!” tahan Sivia memelas.
“Kenapa?” tanya Ify. “Apa lo
masih cinta sama dia? Apa lo masih mau ngebelain dia?”
“Bukan... bukan...”
“Terus kenapa?”
“Gue nggak mau dia tau bahwa
gue terluka gara-gara dia. Jangan permalukan gue di depan dia, Fy. Kalau dia
sampai tau gue kayak gini gara-gara dia, gue nggak akan punya muka lagi di
depan dia. Dia akan merasa menang dan hebat karena bisa mencampakkan gue.”
Ify terdiam. Lalu perlahan dia
kembali ke samping Sivia.
“Kalau lo nggak mau dia merasa
menang dan hebat, jangan siksa diri lo seperti ini. Buktikan sama dia bahwa dia
nggak ada artinya buat elo. Buktikan sama dia, bukan dia yang mencampakkan elo
tapi elo yang mencampakkan dia,” cecar Ify.
“Gue tau, tapi gue nggak bisa, Fy.
Gue nggak tau gimana caranya bangkit lagi...”
“Gue yang akan membantu lo
bangkit lagi.” Tiba-tiba Alvin muncul
dari balik pintu kamar sivia.
Ify, Agni, dan Sivia menatap
Alvin kaget. Mereka sama sekali nggak menyadari kehadiran cowok itu.
“Udah berapa lama lo di situ?”
tanya Ify ketus.
“Cukup lama,” jawab Alvin
tenang. “Yang pasti, gue udah dengar semua pembicaraan kalian.”
“Ngapain lo nguping di rumah
orang?” ketus Ify.
“Sori, gue nggak bermaksud
nguping. Tujuan gue ke sini mau jenguk Sivia, tapi pas gue mau ngetuk pintu,
gue dengar Sivia nangis. Gue nggak jadi masuk dan akhirnya malah mendengar
semuanya. Sekali lagi sori.”
“Tapi lo sekarang puas kan, Vin?
Omongan lo soal Gabriel ternyata benar,
dan lo bisa ngetawain gue, kan? Apa lo ke sini buat ngelihat penderitaan gue?”
tanya Sivia sinis.
“Nggak begitu, Vi. Please,
jangan berpikiran senegatif itu tentang uge.”
“Lalu buat apa lo ke sini?”
“Karena gue
khawatir sama elo, karena gue peduli sama elo, karena gue sayang sama elo...”
Sivia terdiam. Air matanya
mengalir pelan.
“Vi, lo tau, gue udah lama suka
sama elo. Dan sampai sekarang, perasaan gue nggak berubah sedikit pun. Vi,
izinkan gue berada di samping lo. Nggak perlu sebagai pacar, tapi cukup...
sebagai tempat lo bersandar.”
Tanpa sadar air mata Sivia
mengalir lebih deras. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis
kencang.
Alvin jadi kebingungan. Dia
langsung panik melihat Alvin menangis histeris begitu. Ify tersenyum geli
melihat kepanikan Alvin dan buru-buru menahan Agni yang udah mau memeluk Sivia.
Ify menghampiri Alvin dan
mendorongnya ke arah Sivia. Alvin semakin salah tingkah. Mukanya berubah merah.
Entah karena panik atau karena malu. Tapi pelan-pelan Alvin mengulurkan tangan, lalu dengan lembut
membelai rambut sivia. Sivia tetap
menangis, tapi dia membiarkan tangan Alvin membelai rambutnya.
“Vi... gue ada di sini. Jangan
khawatir. Gue akan selalu di samping lo, apa pun yang terjadi,” bisik Alvin lembut.
Tiba-tiba Sivia langsung
memeluk alvin dan menangis di pundaknya. Sesaat Alvin terpana lalu perlahan
membalas pelukan Sivia, semakin lama semakin erat.
Ify dan Agni
tersenyum di sisi tempat tidur. Adegan barusan persis kayak di film-film
romantis Korea. Itu lho, yang lagi ngetren belakangan ini. Meskipun menurut Ify
kata-kata Alvin rada gombal, tapi bolehlah. Semoga aja kehadiran Alvin bisa
jadi obat mujarab untuk luka di hati Sivia.
No comments:
Post a Comment