Tuesday, 8 May 2012

Pacarku Juniorku [7] -IC Version-


Pacarku Juniorku [7]

IFY terjaga dari tidurnya sejak subuh. Sekarang matanya terbuka lebar dan enggan menutup kembali. Sambil berbaring, ditatapnya langit-langit kamar. Kepalanya terasa penuh dan berat. Masalah kemarin seperti baru saja terjadi. Tidur pun nggak mampu menghapus beban di hatinya. Ify nggak tahu harus berbuat apa. Nggak mudah baginya untuk menerima kembali seorang ayah yang sudah meninggalkannya, apalagi untuk memaafkannya. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat.
Lampu di luar kamar menyala. Sepertinya Mama juga sudah terbangun. Ify menendang selimutnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar dari kamar tidur menuju arah cahaya. Ternyata lampu dapur yang menyala. Ify mengintip Mama dari balik dinding. Dilihatnya Mama duduk di meja makan sambil memegang gelas berisi air. Mata Mama menerawang. Kerut-kerut pertanda usia yang terus bertambah mulai tampak di wajah Mama. Tampak lingkaran hitam di bagian bawah mata Mama. Sepertinya Mama nggak tidur semalaman.
Ify bersandar di dinding sambil terus menatap Mama. Tujuh belas tahun, pasti waktu yang sangat berat bagi Mama, pikir Ify. Mama berjuang seorang diri membesarkan aku. Mama berusaha tegar menghadapi gunjingan para tetangga. Mama menekan rasa sakit dan kecewa karena pengkhianatan Papa Ivan. Dan Mama terus berusaha menjadi ibu yang baik buat aku. Penderitaan Mama jauh lebih berat dibandingkan apa yang aku rasakan.
Ify menghela napas. Apa yang harus aku lakukan? batinnya. Apa aku harus memaafkan laki-laki itu dan menerimanya kembali? Apa aku bisa melakukan itu? Memanggil laki-laki yang telah meninggalkan aku selama ini sebagai Papa, apa aku bisa? Tapi kalau aku nggak bisa, aku akan terus membuat Mama mengalami kepedihan ini. Kalau di rumah ini ada seorang kepala rumah tangga, mungkin Mama nggak perlu bekerja lagi.

Kata-kata Rio kemarin terngiang kembali di telinga Ify, “Ify, lo tau... sebenarnya lo itu sangat beruntung karena masih dikasih kesempatan sama Tuhan untuk bertemu bokap lo dan mempersatukan lagi keluarga lo...”
Ify menatap wajah Mama. Ia bertekad akan membuat Mama bahagia. Mungkin Rio benar, aku beruntung masih diberi kesempatan untuk mempersatukan lagi keluargaku. Aku hanya perlu belajar untuk menerima laki-laki itu sebagai ayahku dan memberinya kesempatan untuk membayar utangnya selama ini kepada kami, utang berbentuk kewajiban dan tanggung jawab mengurus anak istri.

Ify menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia memejamkan mata, lalu menghitung satu sampai sepuluh. Ditariknya napas dalam-dalam sekali lagi. Ia membuka mata dan tersenyum. Ajaib, beban yang memadati pikirannya seakan lenyap begitu saja. Ify merasa lebih ringan. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Lalu dia berjalan mendekati Mama yang masih duduk termangu di meja makan.
“Ma...,” panggil Ify pelan.

Mama terkejut. “Kamu sudah bangun, Fy? Ini kan masih subuh? Bukannya hari ini hari Minggu? Biasanya kalau hari Minggu kamu selalu bangun siang.”

“Mama sendiri juga sudah bangun,” sahut Ify.

“Ng... ini, Mama cuma mau ambil air minum.”
Ify menarik kursi dan duduk di depan Mama. “Tidur Mama nyenyak?”
“Iya. Kamu sendiri gimana?”

“Nggak begitu nyenyak. Tapi paling nggak lingkaran hitam di mataku nggak sehitam di mata Mama.”

“Ah, masa? Tapi Mama tidur nyenyak kok.” Mama meraba bagian bawah matanya sambil tersenyum.
Ify membalas senyuman itu tapi dia tahu mama berbohong.
“Ma, aku mau ketemu sama laki-laki itu,” kata Ify pelan. “Ajak dia makan malam di sini. Aku mau mendengar penjelasan langsung dari mulutnya. Setelah itu baru aku akan mencoba memikirkan apakah aku akan memaafkannya atau nggak.”
Mama terpana. “Sungguh, Fy? Kamu mau bertemu dengan papamu?”

“Aku belum mengakuinya sebagai papaku, tapi aku akan memberinya kesempatan bicara.”
Mama mengangguk. “Iya, Mama tau. Mama mengerti, Fy.”

“Ya udah, aku mau tidur lagi,” kata Ify, lalu meninggalkan Mama yang masih tersenyum lega.
Ify kembali ke kamarnya dan bersandar di balik pintu sambil berharap semoga keputusannya ini benar-benar tepat.

@(^-^)@

Sore harinya, Ify gelisah. Ia mondar-mandir di kamarnya kayak setrikaan. Jarum jam sudah menunjuk angka 6. Mama sudah menyuruh Oom Frans datang untuk makan malam. Kalau begitu, sebentar lagi laki-laki itu tiba.
Ify benar-benar cemas. Dia nggak tahu bagaimana caranya menenangkan diri. Mama sudah memasak makanan istimewa untuk malam ini. Sedangkan Ify sejak pagi sampai sekarang masih mengurung diri di kamar.
Telapak tangan Ify mulai basah karena keringat. Baru kali ini ia merasa secemas ini. Waktu pertama kali berkenalan dengan Papa Ivan dulu, Ify santai saja. Kali ini entah kenapa Ify merasa kesulitan mengontrol debar jantung, keringat, dan rasa takut yang menyesakkan dadanya. Gila, ada apa pada diriku? rutuk Ify. Aku mau ketemu sama papaku sendiri, buat apa aku takut begini? Ify mengacak-acak rambutnya kesal. Dia semakin frustrasi.
Terdengar suara deru mobil di depan rumah. Ify menajamkan pendengarannya. Lalu ada suara pintu yang dibuka. Laki-laki itu pasti sudah datang.
Ify bangkit lalu berjalan menuju pintu kamarnya. Tapi sesaat kemudian dia berhenti. Nggak, aku nggak boleh keluar duluan, kata Ify pada dirinya sendiri. Aku nggak boleh menunjukkan bahwa aku menunggu kedatangannya. Aku harus menunggu Mama memanggilku keluar.

Ketukan halus terdengar dari luar. “Fy, Oom Frans sudah datang.”

“Aku tau,” jawab Ify. “Sebentar lagi aku keluar.”

“Mama tunggu ya, Fy,” sahut Mama lembut.
Ify nggak menjawab lagi. Jantungnya berdegup semakin kencang dan liar. Ditatapnya jaket hitam milik Rio yang sudah terlipat rapi di meja belajarnya. Rio berjalan mendekati jaket itu dan mengambilnya.

“Gue lakukan ini semua gara-gara elo,Yo,” kata Bia sambil menatap jaket itu lekat-lekat.

“Kalau sampai hasilnya malah buruk, elo orang pertama yang bakal gue damprat.”
Ify meletakkan kembali jaket itu ke meja belajarnya dan berjalan keluar dari kamar.

@(^-^)@

Oom Frans sudah duduk bersama Mama di meja makan. Meja makan yang selama ini hanya terdiri atas dua kursi, hari ini sudah ditambahkan Mama dengan kursi plastik yang diambil dari gudang. Ify ingat, kursi itu sebenarnya kursi yang dipakai Papa Ivan sewaktu Papa Ivan masih menikah dengan Mama.
Ify duduk di tempatnya yang biasa. Suasana terasa berbeda. Atmosfer tegang memenuhi ruangan. Ify menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. Waktu di restoran kemarin Ify nggak sempat memerhatikan wajahnya dengan mendetail karena keburu terbakar emosi.
Oom Frans bertubuh tegap. Lebih tinggi sedikit daripada Mama, mungkin sekitar 165 cm. Alisnya tebal. Rambutnya masih banyak yang hitam. Penampilannya rapi dan bersih. Hidungnya nggak mancung tapi juga nggak terlalu pesek. Ada kumis tipis di atas bibirnya. Wajahnya kelihatan ramah dan lembut. Nggak kayak bapaknya Agni yang tampangnya rada sangar.

“Ify, ini Papa... eh, Oom Frans,” Mama mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan laki-laki yang ada di hadapan Ify.

“Aku udah tau namanya kok, Ma,” jawab Ify ketus.

“Apa kabar, Ify?” tanya laki-laki itu. Kelihatan banget dia berusaha ramah pada Ify.

“Kabarku?” Ify malah balik bertanya. “Kabarku waktu umur berapa yang mau Oom tanyakan? Waktu aku masih bayi, waktu aku pertama kali masuk SD, atau kabarku waktu aku masuk rumah sakit gara-gara usus buntu?”

“Ify!” tegur Mama. “Jaga ucapanmu!”
Oom Frans tersenyum. “Nggak apa-apa, biarkan dia mengeluarkan semua kemarahannya padaku. Bagaimanapun aku memang sudah bersalah padanya.”

“Bukan hanya padaku, tapi juga pada Mama!” bentak Ify. “Oom ke mana aja waktu Mama melahirkanku, waktu aku pertama kali belajar berjalan, waktu aku menangis karena jatuh dari sepeda, waktu Mama jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja?!”
Ify meluapkan emosinya. “Apa Oom tau betapa sakitnya diejek sebagai anak haram, apa Oom tau betapa sedihnya melihat Mama menanggung semua beban rumah tangga, apa Oom tau betapa merananya tidak memiliki ayah?”
Oom Frans terdiam. Senyum di bibirnya lenyap. Mama menundukkan kepala, dan Ify tahu Mama sedang menangis.

“Maaf, Ify,” kata Oom Frans lirih.

“Maaf?” tanya Ify. “Apa kata maaf bisa menghilangan semua penderitaan yang aku dan Mama alami selama ini? Apa satu kata maaf bisa membuat masa kecilku yang menyedihkan menjadi lebih baik?”
Oom Frans nggak menjawab.
“Sejak kecil aku harus menahan rasa sedih dan marah setiap kali mendengar orang-orang menghinaku. Aku harus menahan diri saat aku mendengar mereka menggunjingkan Mama. Aku hanya bisa menangis, tapi nggak bisa melakukan apa pun. Seitap kali orang menanyakan di mana papaku, aku cuma bisa diam. Kalau teman-temanku dengan bangganya menceritakan pekerjaan papanya, aku cuma bisa menghindar supaya mereka nggak menanyakannya padaku. Dan sekarang Oom hanya bisa mengatakan maaf?”

“Lalu apa yang harus Oom lakukan untuk menebus semua kesalahan Oom?” tanya Oom Frans pelan.
Ify diam. Matanya menatap laki-laki di depannya itu.
“Jelaskan padaku alasan Oom meninggalkan kami.”

“Oom nggak pernah berniat meninggalkan kalian. Oom mencintai mamamu dengan tulus. Sewaktu Oom mengetahui kehamilan mamamu, jujur saja, Oom sempat merasa ragu. Oom takut keluarga Oom tidak bisa menerima semua ini. Kami masih terlalu muda. Oom belum punya pekerjaan yang jelas. Oom bingung dengan apa akan menghidupi kalian kelak. Tapi akhirnya Oom memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru dan bicara dengan orangtua Oom, tanpa pamit pada mamamu. Mungkin itu yang membuat mamamu salah paham dan mengira Oom tidak mau bertanggung jawab,” jawab Oom Frans.
“Saat Oom kembali ke Jakarta, mamamu sudah pergi. Oom sudah berusaha mencari, tapi tidak dapat menemukan kalian,” lanjut Oom Frans.

“Dan setelah itu Oom menyerah dan berhenti mencari?” tanya Ify ketus.

“Tidak. Oom terus mencari kalian sampai akhirnya Oom mendapat kabar tentang pabrik tempat mamamu bekerja.”

“Lalu kenapa Oom menikah dengan orang lain?”

“Oom terpaksa. Oom tidak mungkin terus sendirian karena orangtua Oom sangat menginginkan seorang cucu.”

“Aku kan cucu mereka...!”

“Fy, waktu itu Oom sama sekali tidak mengetahui keberadaan kalian dan Oom terpaksa menuruti keinginan mereka.”
“Dan kalian hidup bahagia sementara aku dan Mama berjuang menahan derita.”
Melihat Ify semakin emosi dan Oom Frans semakin terdesak, mama Ify menyela, “Ify, jangan terus menyudutkan Oom Frans. Dia telah kehilangan anak dan istrinya, dia juga telah menyesali semua kesalahannya. Apa kamu tidak bisa memaafkannya?”

“Biar saja, Ma. Anggap saja itu ganjaran dari Tuhan.”

“Ify...,” Mama berkata memelas.

“Sudah, Maya, biarkan Ify menumpahkan kemarahannya. Aku terima,” ujar Oom Frans pada mama Ify.
Ify terdiam sejenak. Tapi tak lama kemudian, ia melontarkan pertanyaan lagi pada Oom Frans, “Terus, dengan apa Oom akan membayar semua penderitaan aku dan Mama selama ini?”

“Oom akan membayar dengan seluruh sisa hidup Oom,” jawab Oom Frans dengan tegas dan tanpa ragu.
Ify terdiam lagi. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Ditatapnya laki-laki di depannya. Pantaskah laki-laki ini menerima maaf darinya? Tapi kalau dia nggak memaafkannya, bagaimana perasaan Mama? Ify  jelas tahu, Mama telah memaafkan Oom Frans dan mau menerimanya kembali. Apa Ify juga harus seperti Mama?

“Makanannya udah dingin,” kata Ify akhirnya. “Lebih baik kita makan karena aku udah lapar. Dan sebaiknya Oom jangan terlalu lama di rumah ini. Aku nggak mau tetangga menyebarkan gosip nggak enak tentang Mama. Kalau memang Oom mau tinggal di rumah ini, nikahi Mama dulu secara resmi.”
Oom Frans nggak menjawab. Ia berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Ify. Sesaat kemudian dia pun mengerti. Ify memang belum benar-benar memaafkannya, tapi Ify bersedia memberinya kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah dia lakukan.
Oom Frans hanya diam dan memandang Ify sambil menyunggingkan senyum kelegaan. Mama juga tersenyum. Air mata haru mengalir dari sudut matanya. Meskipun Ify belum bersedia mengakui Oom Frans sebagai ayahnya, tapi paling nggak, Ify mau menerima Oom Frans sebagai bagian dari keluarga mereka. Bagi mama Ify, itu sudah merupakan hal yang sangat membahagiakannya. Itu sudah lebih dari cukup.

@(^-^)@

Esok harinya, Agni dan Sivia menunggu Ify di depan kelas. Mereka udah pengin banget mendengarkan cerita Ify tentang kejadian Sabtu kemarin.
Begitu Ify muncul dari ujung koridor, Sivia & Agni langsung berlari ke arahnya.

“Ify, ayo buruan jalannya!” seru Agni langsung menarik tangan Ify menuju kelas.

“Apaan sih?” tanya Ify heran. Tapi dia menurut juga. Dipercepatnya langkah kakinya mengikuti Agni. Sivia berjalan di sebelahnya dengan tersenyum.
Sesampainya di kelas, Agni membantu Ify melepas tasnya lalu menekan pundak Ify agar segera duduk. Asli, Ify heran banget melihat tingkah dua sobatnya.

“Ada apa sih?” tanya Ify.

“Mestinya kami yang nanya... ada apa sih kemarin?” tanya Agni.
Mendengar pertanyaan Agni, Ify mulai mengerti kenapa sobat-sobatnya ini menunggunya di depan koridor.
“Kemarin... ng... oh ya, soal kemarin, gue mau bilang sori nih. Gue udah nyusahin kalian berdua,” kata Ify. “Tapi sekarang masalah gue udah selesai kok.”

“Nah itu yang mau kami tanyain. Masalah apa sih?” tanya Sivia. “Cerita dong, Fy!”

“Mmm... kemarin gue ngeliat nyokap gue makan berdua sama laki-laki yang nggak gue kenal.”

So what?” tanya Agni heran.
Sivia langsung memelototi Agni dan menyuruhnya diam.

“Laki-laki itu ternyata... bokap kandung gue.”

“HAH?!” seru Agni kaget tanpa bisa menahan diri.
Sivia kembali memelototi Agni. Agni membekap mulutnya dengan kedua telapak tangan.
“Nyokap gue udah cukup lama berhubungan lagi dengan dia, dan selama ini nyokap gue menutupiya dari gue. Nyokap takut gue nggak mau menerima kehadiran laki-laki itu.”

“Jadi kemarin itu lo ribut sama nyokap lo?” tanya Sivia pelan. Ify mengangguk.

“Jadi... karena itu juga lo ninggalin kami beruda di mall?”

Ify kembali mengangguk sambil menjawab, “Gue benar-benar marah dan kaget. Laki-laki itu, namanya Oom Frans, setelah tujuh belas tahun ninggalin gue dan Nyokap, tiba-tiba muncul di depan gue dan bermesraan dengan nyokap gue. Gue benar-benar marah dan nggak tau harus bagaimana. Saat itu gue cuma pengin sendiri dulu sehingga gue ninggalin kalian begitu aja. Maaf ya.”

“Trus sekarang gimana?” tanya Sivia lagi.

“Gue tau nyokap gue udah memaafkan dan bersedia menerima Oom Frans kembali. Dan gue juga udah bicara dengan laki-laki itu. Dia minta maaf sama gue meskipun nggak semudah itu bagi gue untuk bisa memaafkannya. Dia cerita, sebenarnya dia nggak bermaksud ninggalin gue dan nyokap gue. Tapi kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan nyokap gue membuat semuanya jadi begini.”

“Jadi... elo nggak mau menerima dia?” tanya Sivia.

“Jujur aja, gue belum bisa memaafkan dia,” jawab Ify. “Tapi gue tau, laki-laki itu mungkin bisa membahagiakan nyokap gue. Kalau mereka bersatu lagi, nyokap gue nggak perlu bekerja keras untuk membiayai hidup gue. Dia bisa istirahat dan menikmati hidup. Gue pengin ngeliat nyokap gue bahagia.”

“Elo melakukan semua ini untuk nyokap lo, Fy?” tanya Agni.
Ify mengangguk. “Ada yang bilang ke gue bahwa gue tuh sebenarnya beruntung karena dikasih kesempatan untuk mempersatukan keluarga gue kembali. Gue cuma nggak mau menyia-nyiakan keberuntungan gue itu. Gue rasa ini semua bagian dari rencana Tuhan. Dia membuat gue nggak punya ayah dari kecil agar gue tumbuh jadi perempuan yang tegar dan kuat. Dan sekarang, saat gue dirasaNya udah cukup kuat dan tegar, Dia mengembalikan sosok ayah itu lagi ke gue. Dan Dia pasti punya rencana tersendiri di balik semua kejadian ini. Mungkin aja Dia pengin gue belajar memaafkan, dan nanti seiring berjalannya waktu, gue bisa memaafkan Oom Frans dan menerimanya dengan tulus. Who knows.”
Sivia dan Agni menatap Ify heran.

“Lo makan apa semalem, Fy?” tanya Agni.

“Makan apa?” Ify malah balik bertanya dengan heran. “Gue nggak makan apa-apa. Memangnya kenapa?”

“Kata-kata lo tadi itu loh! Ajaib, dan bikin elo nggak seperti Ify yang biasanya,” jawab Agni.

“Kata-kata gue yang mana?”
“Kata-kata lo tentang rencana Tuhan,” jawab Sivia. “Selama ini yang kami tau, elo bukan orang yang bijak menilai cinta dan kehidupan, Fy. Prinsip hidup lo tuh „lo nggak tubuh orang lain.
“Lo pantang bergantung pada orang lain apalagi pada makhluk adam. Lo merasa yakin elo pasti bisa membahagiakan nyokap lo tanpa bantuan dan kehadiran orang lain. Dan gue tau, elo sangat membenci bokap kandung lo. Tapi sekarang, elo malah menerima kehadirannya dan berkata seakan lo mau belajar untuk memaafkannya. Ini benar-benar ajaib. Apa yang bisa bikin elo berubah seperti ini dalam semalam?”
Wajah Ify bersemu merah. Dia menundukkan kepalanya. Sesaat bayangan Rio melintas di matanya. Jantungnya berdebar cepat. Lalu ia berkata lirih, “Mungkin... memang nggak semua laki-laki sejahat yang gue kira.”

@(^-^)@

Ify melangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah menuju area kelas satu. Tujuannya udah jelas, mau mencari Rio. Dia pengin ngucapin terima kasih sekaligus mengembalikan jaket Rio.
Setelah berhasil mencari-cari alasan untuk pisah dari Sivia dan Agni, Ify bergegas menuju kelas 1 D.
Sesampainya di depan pintu kelas Rio, Ify celingak-celinguk mencari sosok Rio. Nihil. Nggak ada Rio di ruang kelas itu. Rio kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar koridor kelas satu, siapa tahu Rio lagi ngobrol sama teman-temannya di luar kelas. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Atau jangan-jangan Rio lagi ke kantin? Mmm... atau di lapangan? Atau di WC, ya?

Ify melihat ke sekelilingnya. Mau nanya tapi nggak enak. Sekarang aja udah banyak yang merhatiin dia, apalagi kalau dia menanyakan Rio. Anak-anak kan udah tahu bahwa Rio ngejar-ngejar Rio. Kalau ketahuan Ify yang nyari Rio, bisa-bisa muncul gosip baru.
Ify jadi bingung sendiri. Mana sebentar lagi bel masuk berbunyi.

“Cari Rio, ya?” tanya seorang cowok tiba-tiba, membuat Ify terlonjak kaget.

“Eh, iya. Lo tau di mana dia?”

“Dia nggak masuk hari ini,” jawab cowok itu ketus. “Sakit.”

“Sakit?” tanya Ify lagi. “Sakit apa?”

“Mana gue tau.”

“Siapa sih lo?” tanya Ify keki. Lagian nih cowok sok galak gitu, bikin kesal aja.
“Gue Kiky... temen dekatnya Rio,” lagi-lagi Kiky menjawabnya dengan ketus.
Jelas Ify kesal diketusin Kiky. “Lo ada masalah apa sih sama gue, sampai nada suara lo jutek begitu?”
“Nggak ada. Gue cuma kasian sama Rio. Jatuh cinta kok sama cewek kayak elo...”
“Heh, apa maksud lo?!” Ify mulai emosi.

“Rio itu bego. Banyak cewek yang suka sama dia, tapi dia tolak. Eh, dia malah ngejar-ngejar cewek kayak elo.”

“Cewek kayak gue... apa maksud lo?”

“Yah... cewek yang kasar dan sok jual mahal.”

“Brengsek! Lo pikir lo siapa bisa ngatain gue kayak gitu!” maki Ify.
Kiky malah menanggapi Ify dengan tawa.

“Ngapain lo ketawa?”

“Gue pantang ribut sama cewek.”

“Heh, denger ya...” Dering bel menahan gerakan Ify yang udah siap-siap melayangkan tinjunya ke muka Kiky.

“Sana balik ke kelas lo, kakak kelasku yang manis,” ejek Kiky lalu berjalan masuk ke kelasnya.
Ify udah pengin menjambak rambut cowok itu, tapi nggak jadi begitu dilihatnya Pak Handi, guru kimia kelas satu, sedang berjalan ke arahnya. Ify hanya bisa berdecak kesal lalu berjalan kembali menuju kelasnya sendiri.

@(^-^)@

Hari ini Rio nggak masuk lagi. Ify nggak sengaja mendengar hal itu dari cewek-cewek kelas satu yang lagi pada ngerumpi di WC. Ada perasaan nggak enak dalam dirinya. Apa iya Rio sakit? Jangan-jangan Rio sakit karena kehujanan sewaktu menemaninya di jembatan hari itu. Udara dingin dan air hujan pasti membuatnya demam dan masuk angin. Perasaan Ify makin nggak enak.
Akhirnya dia putuskan untuk menahan gengsinya, menurunkan emosinya, dan menemui Kiky untuk menanyakan alamat rumah Rio. Bagaimanapun Kiky kan teman dekat Rio, jadi dia pasti tahu di mana rumah Rio.

Ify berjalan menuju kelas Teddy.
“IFy!” panggil seseorang dari arah belakangnya. Ify membalikkan badannya.

“Eh, elo, Ag. Ada apa?”

“Lo mau ke mana?” tanya Agni.

“Mmm... itu... mau ke WC,” Ify berbohong. Dia nggak mau Agni atau siapa pun juga tahu bahwa ia ingin mencari alamat rumah Rio.

“Kok ke arah sini?” tanya Agni heran. “WC kan di ujung sana.”

“WC di sana penuh. Gue udah kebelet banget, jadi gue mau ke WC anak kelas satu aja. Siapa tau sepi.”

“Gue temenin, ya?” tawar Agni.
“Nggak... nggak usah!” Ify buru-buru menjawab. “Gue pengin buang air besar, Cha. Kan nggak enak kalau ditungguin.”
Agni tersenyum geli. “Ooo... ya udah. Eh, tapi pulang sekolah lo bisa nemenin gue nggak, Fy?”

“Ke mana?”

“Ke toko buku sebentar. Gue mau cari buku Da Vinci Code.”

“Mmm... kayaknya kalau hari ini gue juga nggak bisa. Gue ada urusan penting,” kata Ify.

“Lo coba ajak Sivia aja.”

“Sivia nggak bisa, dia ada janji sama Alvin.”

“Shilla?”

“Shilla juga nggak bisa. Katanya dia mau jenguk tantenya yang sakit.”

“Tapi, Ag, sori banget. Hari ini gue benar-benar nggak bisa.”

“Yah... ya udahlah. Nggak apa-apa kok,” kata Agni, walaupun sedikit kecewa. “Sana cepat ke WC. Bentar lagi udah bel. Gue ke kelas duluan ya.”
Ify mengangguk lalu kembali berjalan menuju kelas Kiky. Dari jauh Ify melihat cowok itu berdiri di depan ruang kelasnya. Ify mempercepat langkahnya.

“Ky, gue mau minta tolong sama elo,” ujar Ify to the point.
Kiky menoleh ke arah Ify. “Mau apa lagi lo?”

“Gue mau minta tolong,” Ify mengulangi kata-katanya.

“Minta tolong? Sama gue?”

“Iya... gue mau minta alamat rumah Rio.”

“Buat apa?”
“Itu urusan gue. Gue cuma minta tolong lo catatin alamat rumah Rio buat gue. Itu aja.”

“Lo pikir gue bakal mau ngasih tau?”

“Nggak ada untungnya lo ngerahasiain alamat Rio dari gue.”

“Nggak ada untungnya juga gue ngasih tau alamat Rio ke elo.”
Ify terdiam. Nih cowok asli keras kepala banget. Ify benar-benar heran kenapa Rio mau berteman sama orang model gini.

“Ky, gue nggak peduli sama penilaian lo tentang gue. Tapi kali ini aja gue mohon, tolong kasih tau alamat rumah Rio,” pinta Ify. “Untuk sekali ini aja.”
Kiky menatap Ify sejenak lalu tertawa terbahak-bahak. Ify sampai kesal melihatnya. Pengin banget rasanya dia melayangkan bogem mentah ke muka Kiky.

“Jago juga si Rio. Akhirnya dia berhasil nundukin hati cewek jutek ini,” ujar Kiky di sela tawanya.
Ify dongkol banget mendengarnya, tapi dia berusaha menahan diri. “Terserah lo mau ngomong apa. Lo bisa kasih tau alamat Rio sekarang?”
“Taman Asri Indah Blok HA nomor 28,” jawab Kiky akhirnya, lalu kembali tertawa.
Ify mencatat alamat itu baik-baik di otaknya, lalu tanpa mengucapkan terima kasih Ify berlalu dari hadapan Kiky. Dia benar-benar berharap mulut Kiky robek gara-gara kebanyakan ketawa. Dasar cowok brengsek!

@(^-^)@

Taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Ify  mengeluarkan uang dan memberikannya pada si sopir taksi.

“Mau ditungguin nggak, Non?” tanya sopir taksi ramah.
Ify berpikir sejenak. Boleh juga tuh. Dia kan belum tahu daerah sini, takutnya nanti malah susah dapat kendaraan buat pulang. Lagi pula dia nggak berniat berlama-lama di rumah Rio.

“Boleh deh, Bang.”

“Oke deh, Non. Saya tunggu di warung situ ya,” kata si sopir taksi senang, sambil menunjuk warung yang berada nggak jauh dari rumah Rio.
Ify mengangguk lalu turun dari taksi. Kini ia berdiri di depan pagar tinggi yang membentengi rumah bergaya Mediterania itu. Rumah Rio ini didominasi warna cokelat bata yang memberi kesan natural, klasik, tapi simpel.
Dua kali Ify menekan bel yang ada di sisi kiri pagar, sampai akhirnya seorang perempuan keluar dari dalam rumah dan mendekatinya.
“Cari siapa ya, Mbak?” sapa perempuan itu.
“Apa benar ini rumah Rio?” tanya Ify sopan.

“Ooh... cari Den Rio. Ada kok. Den Rio-nya lagi di kamar, masih nggak enak badan,” jawab perempuan itu sopan. Dia langsung buru-buru membukakan pintu dan mempersilakan Ify  masuk.
Ify masuk melewati pagar sambil bertanya, “Kalau boleh tau, Mbak siapa?”

“Oh... saya mah cuma pembantu di sini. Nama saya Surti.”

“Eh, saya Ify. Teman sekolah Rio,” ujar Ify sok ramah sambil mengulurkan tangan.
Surti tersenyum senang menyambut uluran tangan Ify.
Bia mengikuti langkah Surti masuk ke rumah yang bagian dalamnya tampak jauh lebih megah.
“Rio sakit apa sih, Mbak?” tanya Ify.

“Demam,” jawab Surti. “Udah dua hari. Waktu itu Den Egi pulang malam-malam dalam keadaan basah kuyup. Tuan sama Nyonya sampai marah-marah. Tapi Den Egi diam aja, nggak mau jawab. Eh tau-tau besoknya badan Den Egi panas gitu.”
Jadi benar dugaan Ify. Rio sakit gara-gara menemaninya hujan-hujanan. Ify jadi merasa bersalah.
“Sekarang keadaannya gimana?”

“Udah lebih baik sih. Panasnya udah turun, tapi sama Nyonya belum boleh sekolah dulu.”
Syukurlah, Ify mendesah lega.

“Siapa yang datang, Sur?” seseorang bertanya dari arah belakang Ify.
Ify dan Surti sama-sama membalikkan badan. Sesosok perempuan setengah baya berjalan
menuruni anak tangga. Rambut panjangnya yang ikal dan cokelat dibiarkan tergerai. Kulitnya yang agak gelap tapi bersih dan mulus dibalut blazer hitam.

“Nyonya...,” ujar Surti, “ini temannya Den Rio.”
Ify menoleh ke arah Surti. Nyonya? Berarti itu mamanya Rio!
“Siang, Tante,” Ify mengucapkan salam dengan sopan.

“Oh, temannya Rio ya?” tanya mama Rio sambil menuruni sisa anak tangga dan berjalan mendekati Ify.
“Iya, Tante, nama saya Ify.”

“Oh... Ify mau jenguk Rio ya? Rio-nya masih nggak enak badan, makanya Tante belum mengizinkannya masuk sekolah,” kata mama Rio ramah.
Ify hanya tersenyum. Diam-diam ia mengamati wajah perempuan setengah baya yang berdiri di hadapannya itu. Wajahnya sama sekali nggak mirip sama wajah Rio yang lebih berkesan oriental. Kulit Rio putih dan matanya agak sipit, beda banget sama mamanya. Mugkin memang benar bahwa Rio anak angkat.

“Kalau begitu kamu langsung ke taman belakang aja. Kebetulan di sana juga lagi ada temannya Rio. Mungkin kamu kenal.”
Temannya? Jangan-jangan Kiky lagi! Yieks! Mampus gue kalau sampai ketemu Kiky di sini. Kalau dia sampai macam-macam lagi, bisa benar-benar ribut gue sama dia, Ify ngedumel dalam hati.
“Nah, Tante pergi dulu ya. Silakan aja langsung ke belakang...”

“Iya, Tante. Saya permisi dulu ya,” pamit Ify sebelum berjalan menuju arah yang ditunjukkan mama Rio.
Ify mengangguk lalu buru-buru berjalan menuju taman belakang. Setelah melewati ruang makan, Ify membuka pintu kaca yang mengarah ke taman. Saat itulah Ify berhenti. Pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya bergolak hebat.
Di taman itu, di dekat kolam ikan... ada Shilla yang duduk di samping Rio, sambil menyuapi makanan ke mulut cowok itu. Mereka berdua tertawa renyah. Siapa pun yang melihat mereka saat ini pasti merasa mereka adalah sepasang kekasih.
Rio yang memakai sweter abu-abu bahkan sesekali mengambil sendok dari tangan Shilla dan berpura-pura hendak menyuapi Shilla yang buru-buru menghindar sambil tertawa. Jantung Ify berdetak kencang. otaknya terasa terbakar. Ify nggak bisa menahan diri lebih lama lagi.
“Jadi ini ceritanya?” tanya Ify ketus. Darahnya mendidih dan emosinya meluap.

“IFY...,” Rio dan Shilla terkejut. Mereka baru menyadari kehadiran Ify di taman itu.

“Jadi ini yang selama ini lo sembunyiin dari gue, Shill? Jadi ini yang bikin elo nggak punya waktu lagi buat ngumpul sama teman-teman lo sendiri? Sejak kapan Rio jadi tante lo yang perlu lo jenguk hari ini karena sakit? Sejak kapan lo jadi pembohong?” cecar Ify.
Shilla bangkit dari duduknya dan buru-buru mendekati Ify. “Sori, Fy. Gue sama sekali nggak bermaksud...”
“Nggak bermaksud bohongin gue? Begitu?” bentak Ify. “Gue benar-benar nggak nyangka lo bisa sejahat ini, Shill. Selama ini gue percaya sama alasan-alasan yang lo ucapkan. Tapi setelah melihat ini semua, gue nggak akan pernah percaya sama elo lagi! Nggak akan pernah!”

“Fy, jangan emosi dulu... Biar gue jelasin.” Rio yang berusaha berdiri menenangkan Ify. Bibirnya yang kering dan wajahnya yang pucat terlihat jelas. Tapi sayang, saat ini Ify benar-benar kecewa, marah, dan sakit hati, sehingga dia nggak peduli kalau lawan bicaranya itu masih sakit.
“Lo sama brengseknya, Yo! Kata-kata lo di jembatan itu semuanya cuma omong kosong! Lo sama aja kayak laki-laki brengsek lainnya! Lo benar-benar busuk! Gue benci sama elo!” maki Ify kesal.
“Ify... ini nggak seperti yang elo sangka. Gue sama Shilla nggak ada hubungan apa-apa...,” Rio berusaha membela diri.
“Lo pikir gue percaya? Lo benar-benar brengsek, Yo! Lo berdua pembohong... penipu!”

“Lo kenapa sih, Fy? Apa salah gue? Apa urusan lo sama hubungan gue dan Rio? Bukannya lo sendiri pernah bilang kalo lo nggak suka sama Rio? Jadi kalaupun gue mau pedekate sama Rio, ini hak gue dan lo nggak berhak marah-marah atau ngelarang gue dong!” Shilla   balik membentak Ify.

“Lo bohong dan lo masih nanya apa kesalahan lo?”

“Gue memang selalu ngarang alasan bohong sama kalian, dan gue punya alasan untuk itu. Lagian, apa peduli kalian! Kalian cuma ngurusin masalah dan perasaan kalian. Apa kalian ada yang peduli sama gue? Belakangan ini, setiap kalian ngobrol, yang diomongin cuma tentang Ify dan Rio. Ify dan Rio. Kalian nggak pernah sekali pun nanyain tentang gue, gimana keadaan di rumah gue, gimana perasaan gue. Kalian nggak pernah peduli sama gue lagi. Kalau sekarang gue dekat sama Rio, apa gue salah? Apa mentang-mentang Rio  suka sama elo jadi gue nggak berhak dekat sama Rio?!” seru Shilla.
“Kalo lo nggak cerita, mana ada yang bisa ngerti perasaan lo!” balas Ify.

“Lo memang egois, Fy! Lo selalu mau menang sendiri! Lo pikir semua orang bisa nerima sifat lo itu. Lo salah! Semua orang cuma kasihan sama masa lalu lo! Bagi mereka, lo tuh cuma cewek penakut yang sok jago!”

“Cukup!” bentak Rio tiba-tiba.
Shilla terdiam. Ify tak bicara.

“Shill, sekali lagi lo bicara macam-macam tentang Ify, gue nggak akan maafin elo,” ancam Rio.
Shilla terhenyak. Dia sama sekali nggak nyangka Rio bakal bersikap seketus itu padanya.

“Jadi itu pandangan lo tentang gue selama ini, Shill?” Ify berkata pelan. “Oke! Semua cukup sampai di sini. Mulai hari ini anggap aja kita nggak pernah saling mengenal atau bersahabat.”
Ify lalu berbalik dan berlari meninggalkan taman itu. Rio berusaha mengejar, tapi baru setengah jalan, mendadak penglihatannya berkunang-kunang. Rio berpegangan erat pada pintu kaca yang ada di sampingnya untuk menahan tubuhnya. Shilla yang melihatnya buru-buru menangkap tubuh Rio dan membantunya berjalan menuju kursi. Dia nggak bisa menyembunyikan rasa cemas di wajahnya.
Shilla menatap wajah Rio yang pucat, dan tanpa dia sadari tangannya bergerak membelai rambut Rio dengan penuh kasih sayang.

No comments:

Post a Comment