Pacarku Juniorku [7]
IFY terjaga dari tidurnya sejak
subuh. Sekarang matanya terbuka lebar dan enggan menutup kembali. Sambil
berbaring, ditatapnya langit-langit kamar. Kepalanya terasa penuh dan berat.
Masalah kemarin seperti baru saja terjadi. Tidur pun nggak mampu menghapus
beban di hatinya. Ify nggak tahu harus berbuat apa. Nggak mudah baginya untuk
menerima kembali seorang ayah yang sudah meninggalkannya, apalagi untuk
memaafkannya. Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat.
Lampu di luar kamar menyala.
Sepertinya Mama juga sudah terbangun. Ify menendang selimutnya dan bangkit dari
tempat tidur. Ia berjalan keluar dari kamar tidur menuju arah cahaya. Ternyata
lampu dapur yang menyala. Ify mengintip Mama dari balik dinding. Dilihatnya
Mama duduk di meja makan sambil memegang gelas berisi air. Mata Mama
menerawang. Kerut-kerut pertanda usia yang terus bertambah mulai tampak di
wajah Mama. Tampak lingkaran hitam di bagian bawah mata Mama. Sepertinya Mama
nggak tidur semalaman.
Ify bersandar di dinding sambil
terus menatap Mama. Tujuh belas tahun, pasti waktu yang sangat berat bagi Mama,
pikir Ify. Mama berjuang seorang diri membesarkan aku. Mama berusaha tegar
menghadapi gunjingan para tetangga. Mama menekan rasa sakit dan kecewa karena
pengkhianatan Papa Ivan. Dan Mama terus berusaha menjadi ibu yang baik buat
aku. Penderitaan Mama jauh lebih berat dibandingkan apa yang aku rasakan.
Ify menghela napas. Apa yang
harus aku lakukan? batinnya. Apa aku harus memaafkan laki-laki itu dan
menerimanya kembali? Apa aku bisa melakukan itu? Memanggil laki-laki yang telah
meninggalkan aku selama ini sebagai Papa, apa aku bisa? Tapi kalau aku nggak
bisa, aku akan terus membuat Mama mengalami kepedihan ini. Kalau di rumah ini
ada seorang kepala rumah tangga, mungkin Mama nggak perlu bekerja lagi.
Kata-kata Rio
kemarin terngiang kembali di telinga Ify, “Ify, lo tau... sebenarnya lo itu
sangat beruntung karena masih dikasih kesempatan sama Tuhan untuk bertemu bokap
lo dan mempersatukan lagi keluarga lo...”
Ify menatap wajah Mama. Ia
bertekad akan membuat Mama bahagia. Mungkin Rio benar, aku beruntung masih
diberi kesempatan untuk mempersatukan lagi keluargaku. Aku hanya perlu belajar
untuk menerima laki-laki itu sebagai ayahku dan memberinya kesempatan untuk
membayar utangnya selama ini kepada kami, utang berbentuk kewajiban dan
tanggung jawab mengurus anak istri.
Ify menarik napas dalam-dalam
lalu mengembuskannya perlahan. Dia memejamkan mata, lalu menghitung satu sampai
sepuluh. Ditariknya napas dalam-dalam sekali lagi. Ia membuka mata dan
tersenyum. Ajaib, beban yang memadati pikirannya seakan lenyap begitu saja. Ify
merasa lebih ringan. Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
Lalu dia berjalan mendekati
Mama yang masih duduk termangu di meja makan.
“Ma...,” panggil Ify pelan.
Mama terkejut. “Kamu sudah
bangun, Fy? Ini kan masih subuh? Bukannya hari ini hari Minggu? Biasanya kalau
hari Minggu kamu selalu bangun siang.”
“Mama sendiri juga sudah
bangun,” sahut Ify.
“Ng... ini, Mama cuma mau ambil
air minum.”
Ify menarik kursi dan duduk di
depan Mama. “Tidur Mama nyenyak?”
“Iya. Kamu sendiri gimana?”
“Nggak begitu nyenyak. Tapi
paling nggak lingkaran hitam di mataku nggak sehitam di mata Mama.”
“Ah, masa? Tapi Mama tidur
nyenyak kok.” Mama meraba bagian bawah matanya sambil tersenyum.
Ify membalas senyuman itu tapi
dia tahu mama berbohong.
“Ma, aku mau ketemu sama
laki-laki itu,” kata Ify pelan. “Ajak dia makan malam di sini. Aku mau
mendengar penjelasan langsung dari mulutnya. Setelah itu baru aku akan mencoba
memikirkan apakah aku akan memaafkannya atau nggak.”
Mama terpana. “Sungguh, Fy?
Kamu mau bertemu dengan papamu?”
“Aku belum mengakuinya sebagai
papaku, tapi aku akan memberinya kesempatan bicara.”
Mama mengangguk. “Iya, Mama
tau. Mama mengerti, Fy.”
“Ya udah, aku mau tidur lagi,”
kata Ify, lalu meninggalkan Mama yang masih tersenyum lega.
Ify kembali ke kamarnya dan
bersandar di balik pintu sambil berharap semoga keputusannya ini benar-benar
tepat.
@(^-^)@
Sore
harinya, Ify gelisah. Ia mondar-mandir di kamarnya kayak setrikaan. Jarum jam
sudah menunjuk angka 6. Mama sudah menyuruh Oom Frans datang untuk makan malam.
Kalau begitu, sebentar lagi laki-laki itu tiba.
Ify benar-benar cemas. Dia
nggak tahu bagaimana caranya menenangkan diri. Mama sudah memasak makanan
istimewa untuk malam ini. Sedangkan Ify sejak pagi sampai sekarang masih
mengurung diri di kamar.
Telapak tangan Ify mulai basah
karena keringat. Baru kali ini ia merasa secemas ini. Waktu pertama kali
berkenalan dengan Papa Ivan dulu, Ify santai saja. Kali ini entah kenapa Ify
merasa kesulitan mengontrol debar jantung, keringat, dan rasa takut yang
menyesakkan dadanya. Gila, ada apa pada diriku? rutuk Ify. Aku mau ketemu sama
papaku sendiri, buat apa aku takut begini? Ify mengacak-acak rambutnya kesal.
Dia semakin frustrasi.
Terdengar suara deru mobil di
depan rumah. Ify menajamkan pendengarannya. Lalu ada suara pintu yang dibuka.
Laki-laki itu pasti sudah datang.
Ify bangkit lalu berjalan
menuju pintu kamarnya. Tapi sesaat kemudian dia berhenti. Nggak, aku nggak
boleh keluar duluan, kata Ify pada dirinya sendiri. Aku nggak boleh menunjukkan
bahwa aku menunggu kedatangannya. Aku harus menunggu Mama memanggilku keluar.
Ketukan halus terdengar dari
luar. “Fy, Oom Frans sudah datang.”
“Aku tau,” jawab Ify. “Sebentar
lagi aku keluar.”
“Mama tunggu ya, Fy,” sahut
Mama lembut.
Ify nggak menjawab lagi.
Jantungnya berdegup semakin kencang dan liar. Ditatapnya jaket hitam milik Rio
yang sudah terlipat rapi di meja belajarnya. Rio berjalan mendekati jaket itu
dan mengambilnya.
“Gue lakukan ini semua
gara-gara elo,Yo,” kata Bia sambil menatap jaket itu lekat-lekat.
“Kalau sampai hasilnya malah
buruk, elo orang pertama yang bakal gue damprat.”
Ify meletakkan kembali jaket
itu ke meja belajarnya dan berjalan keluar dari kamar.
@(^-^)@
Oom Frans sudah duduk bersama
Mama di meja makan. Meja makan yang selama ini hanya terdiri atas dua kursi,
hari ini sudah ditambahkan Mama dengan kursi plastik yang diambil dari gudang. Ify
ingat, kursi itu sebenarnya kursi yang dipakai Papa Ivan sewaktu Papa Ivan
masih menikah dengan Mama.
Ify duduk di tempatnya yang
biasa. Suasana terasa berbeda. Atmosfer tegang memenuhi ruangan. Ify menatap
laki-laki yang duduk di hadapannya. Waktu di restoran kemarin Ify nggak sempat
memerhatikan wajahnya dengan mendetail karena keburu terbakar emosi.
Oom Frans bertubuh tegap. Lebih
tinggi sedikit daripada Mama, mungkin sekitar 165 cm. Alisnya tebal. Rambutnya
masih banyak yang hitam. Penampilannya rapi dan bersih. Hidungnya nggak mancung
tapi juga nggak terlalu pesek. Ada kumis tipis di atas bibirnya. Wajahnya
kelihatan ramah dan lembut. Nggak kayak bapaknya Agni yang tampangnya rada
sangar.
“Ify, ini Papa... eh, Oom
Frans,” Mama mengawali pembicaraan dengan memperkenalkan laki-laki yang ada di
hadapan Ify.
“Aku udah tau namanya kok, Ma,”
jawab Ify ketus.
“Apa kabar, Ify?” tanya
laki-laki itu. Kelihatan banget dia berusaha ramah pada Ify.
“Kabarku?” Ify malah balik
bertanya. “Kabarku waktu umur berapa yang mau Oom tanyakan? Waktu aku masih
bayi, waktu aku pertama kali masuk SD, atau kabarku waktu aku masuk rumah sakit
gara-gara usus buntu?”
“Ify!” tegur Mama. “Jaga
ucapanmu!”
Oom Frans tersenyum. “Nggak
apa-apa, biarkan dia mengeluarkan semua kemarahannya padaku. Bagaimanapun aku
memang sudah bersalah padanya.”
“Bukan hanya padaku, tapi juga
pada Mama!” bentak Ify. “Oom ke mana aja waktu Mama melahirkanku, waktu aku
pertama kali belajar berjalan, waktu aku menangis karena jatuh dari sepeda,
waktu Mama jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja?!”
Ify meluapkan emosinya. “Apa
Oom tau betapa sakitnya diejek sebagai anak haram, apa Oom tau betapa sedihnya
melihat Mama menanggung semua beban rumah tangga, apa Oom tau betapa merananya
tidak memiliki ayah?”
Oom Frans terdiam. Senyum di
bibirnya lenyap. Mama menundukkan kepala, dan Ify tahu Mama sedang menangis.
“Maaf, Ify,” kata Oom Frans
lirih.
“Maaf?” tanya Ify. “Apa kata
maaf bisa menghilangan semua penderitaan yang aku dan Mama alami selama ini?
Apa satu kata maaf bisa membuat masa kecilku yang menyedihkan menjadi lebih
baik?”
Oom Frans nggak menjawab.
“Sejak kecil aku harus menahan
rasa sedih dan marah setiap kali mendengar orang-orang menghinaku. Aku harus
menahan diri saat aku mendengar mereka menggunjingkan Mama. Aku hanya bisa
menangis, tapi nggak bisa melakukan apa pun. Seitap kali orang menanyakan di
mana papaku, aku cuma bisa diam. Kalau teman-temanku dengan bangganya
menceritakan pekerjaan papanya, aku cuma bisa menghindar supaya mereka nggak
menanyakannya padaku. Dan sekarang Oom hanya bisa mengatakan maaf?”
“Lalu apa yang harus Oom
lakukan untuk menebus semua kesalahan Oom?” tanya Oom Frans pelan.
Ify diam. Matanya menatap
laki-laki di depannya itu.
“Jelaskan padaku alasan Oom
meninggalkan kami.”
“Oom nggak pernah berniat
meninggalkan kalian. Oom mencintai mamamu dengan tulus. Sewaktu Oom mengetahui
kehamilan mamamu, jujur saja, Oom sempat merasa ragu. Oom takut keluarga Oom
tidak bisa menerima semua ini. Kami masih terlalu muda. Oom belum punya
pekerjaan yang jelas. Oom bingung dengan apa akan menghidupi kalian kelak. Tapi
akhirnya Oom memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru dan bicara dengan orangtua
Oom, tanpa pamit pada mamamu. Mungkin itu yang membuat mamamu salah paham dan
mengira Oom tidak mau bertanggung jawab,” jawab Oom Frans.
“Saat Oom kembali ke Jakarta,
mamamu sudah pergi. Oom sudah berusaha mencari, tapi tidak dapat menemukan kalian,”
lanjut Oom Frans.
“Dan setelah itu Oom menyerah
dan berhenti mencari?” tanya Ify ketus.
“Tidak. Oom terus mencari
kalian sampai akhirnya Oom mendapat kabar tentang pabrik tempat mamamu
bekerja.”
“Lalu kenapa Oom menikah dengan
orang lain?”
“Oom terpaksa. Oom tidak
mungkin terus sendirian karena orangtua Oom sangat menginginkan seorang cucu.”
“Aku kan cucu mereka...!”
“Fy, waktu itu Oom sama sekali
tidak mengetahui keberadaan kalian dan Oom terpaksa menuruti keinginan mereka.”
“Dan kalian hidup bahagia
sementara aku dan Mama berjuang menahan derita.”
Melihat Ify semakin emosi dan
Oom Frans semakin terdesak, mama Ify menyela, “Ify, jangan terus menyudutkan
Oom Frans. Dia telah kehilangan anak dan istrinya, dia juga telah menyesali
semua kesalahannya. Apa kamu tidak bisa memaafkannya?”
“Biar saja, Ma. Anggap saja itu
ganjaran dari Tuhan.”
“Ify...,” Mama berkata memelas.
“Sudah, Maya, biarkan Ify
menumpahkan kemarahannya. Aku terima,” ujar Oom Frans pada mama Ify.
Ify terdiam sejenak. Tapi tak
lama kemudian, ia melontarkan pertanyaan lagi pada Oom Frans, “Terus, dengan
apa Oom akan membayar semua penderitaan aku dan Mama selama ini?”
“Oom akan membayar dengan
seluruh sisa hidup Oom,” jawab Oom Frans dengan tegas dan tanpa ragu.
Ify terdiam lagi. Kebimbangan
menyelimuti dirinya. Ditatapnya laki-laki di depannya. Pantaskah laki-laki ini
menerima maaf darinya? Tapi kalau dia nggak memaafkannya, bagaimana perasaan
Mama? Ify jelas tahu, Mama telah
memaafkan Oom Frans dan mau menerimanya kembali. Apa Ify juga harus seperti
Mama?
“Makanannya
udah dingin,” kata Ify akhirnya. “Lebih baik kita makan karena aku udah lapar.
Dan sebaiknya Oom jangan terlalu lama di rumah ini. Aku nggak mau tetangga
menyebarkan gosip nggak enak tentang Mama. Kalau memang Oom mau tinggal di
rumah ini, nikahi Mama dulu secara resmi.”
Oom Frans nggak menjawab. Ia
berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Ify. Sesaat kemudian dia pun
mengerti. Ify memang belum benar-benar memaafkannya, tapi Ify bersedia
memberinya kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah dia lakukan.
Oom Frans hanya diam dan
memandang Ify sambil menyunggingkan senyum kelegaan. Mama juga tersenyum. Air
mata haru mengalir dari sudut matanya. Meskipun Ify belum bersedia mengakui Oom
Frans sebagai ayahnya, tapi paling nggak, Ify mau menerima Oom Frans sebagai
bagian dari keluarga mereka. Bagi mama Ify, itu sudah merupakan hal yang sangat
membahagiakannya. Itu sudah lebih dari cukup.
@(^-^)@
Esok harinya, Agni dan Sivia
menunggu Ify di depan kelas. Mereka udah pengin banget mendengarkan cerita Ify
tentang kejadian Sabtu kemarin.
Begitu Ify muncul dari ujung
koridor, Sivia & Agni langsung berlari ke arahnya.
“Ify, ayo buruan jalannya!”
seru Agni langsung menarik tangan Ify menuju kelas.
“Apaan sih?” tanya Ify heran.
Tapi dia menurut juga. Dipercepatnya langkah kakinya mengikuti Agni. Sivia
berjalan di sebelahnya dengan tersenyum.
Sesampainya di kelas, Agni
membantu Ify melepas tasnya lalu menekan pundak Ify agar segera duduk. Asli, Ify
heran banget melihat tingkah dua sobatnya.
“Ada apa sih?” tanya Ify.
“Mestinya kami yang nanya...
ada apa sih kemarin?” tanya Agni.
Mendengar pertanyaan Agni, Ify
mulai mengerti kenapa sobat-sobatnya ini menunggunya di depan koridor.
“Kemarin... ng... oh ya, soal
kemarin, gue mau bilang sori nih. Gue udah nyusahin kalian berdua,” kata Ify.
“Tapi sekarang masalah gue udah selesai kok.”
“Nah itu yang mau kami tanyain.
Masalah apa sih?” tanya Sivia. “Cerita dong, Fy!”
“Mmm... kemarin gue ngeliat
nyokap gue makan berdua sama laki-laki yang nggak gue kenal.”
“So what?” tanya Agni
heran.
Sivia langsung memelototi Agni
dan menyuruhnya diam.
“Laki-laki itu ternyata...
bokap kandung gue.”
“HAH?!” seru Agni kaget tanpa
bisa menahan diri.
Sivia
kembali memelototi Agni. Agni membekap mulutnya dengan kedua telapak tangan.
“Nyokap gue udah cukup lama
berhubungan lagi dengan dia, dan selama ini nyokap gue menutupiya dari gue.
Nyokap takut gue nggak mau menerima kehadiran laki-laki itu.”
“Jadi kemarin itu lo ribut sama
nyokap lo?” tanya Sivia pelan. Ify mengangguk.
“Jadi... karena itu juga lo
ninggalin kami beruda di mall?”
Ify kembali mengangguk sambil
menjawab, “Gue benar-benar marah dan kaget. Laki-laki itu, namanya Oom Frans,
setelah tujuh belas tahun ninggalin gue dan Nyokap, tiba-tiba muncul di depan
gue dan bermesraan dengan nyokap gue. Gue benar-benar marah dan nggak tau harus
bagaimana. Saat itu gue cuma pengin sendiri dulu sehingga gue ninggalin kalian
begitu aja. Maaf ya.”
“Trus sekarang gimana?” tanya Sivia
lagi.
“Gue tau nyokap gue udah
memaafkan dan bersedia menerima Oom Frans kembali. Dan gue juga udah bicara
dengan laki-laki itu. Dia minta maaf sama gue meskipun nggak semudah itu bagi
gue untuk bisa memaafkannya. Dia cerita, sebenarnya dia nggak bermaksud
ninggalin gue dan nyokap gue. Tapi kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan
nyokap gue membuat semuanya jadi begini.”
“Jadi... elo nggak mau menerima
dia?” tanya Sivia.
“Jujur aja, gue belum bisa
memaafkan dia,” jawab Ify. “Tapi gue tau, laki-laki itu mungkin bisa
membahagiakan nyokap gue. Kalau mereka bersatu lagi, nyokap gue nggak perlu
bekerja keras untuk membiayai hidup gue. Dia bisa istirahat dan menikmati
hidup. Gue pengin ngeliat nyokap gue bahagia.”
“Elo melakukan semua ini untuk
nyokap lo, Fy?” tanya Agni.
Ify mengangguk. “Ada yang
bilang ke gue bahwa gue tuh sebenarnya beruntung karena dikasih kesempatan
untuk mempersatukan keluarga gue kembali. Gue cuma nggak mau menyia-nyiakan keberuntungan
gue itu. Gue rasa ini semua bagian dari rencana Tuhan. Dia membuat gue nggak
punya ayah dari kecil agar gue tumbuh jadi perempuan yang tegar dan kuat. Dan
sekarang, saat gue dirasaNya udah cukup kuat dan tegar, Dia mengembalikan sosok
ayah itu lagi ke gue. Dan Dia pasti punya rencana tersendiri di balik semua
kejadian ini. Mungkin aja Dia pengin gue belajar memaafkan, dan nanti seiring
berjalannya waktu, gue bisa memaafkan Oom Frans dan menerimanya dengan tulus. Who
knows.”
Sivia dan Agni menatap Ify
heran.
“Lo makan apa semalem, Fy?”
tanya Agni.
“Makan apa?” Ify malah balik
bertanya dengan heran. “Gue nggak makan apa-apa. Memangnya kenapa?”
“Kata-kata lo tadi itu loh!
Ajaib, dan bikin elo nggak seperti Ify yang biasanya,” jawab Agni.
“Kata-kata
gue yang mana?”
“Kata-kata lo tentang rencana
Tuhan,” jawab Sivia. “Selama ini yang kami tau, elo bukan orang yang bijak
menilai cinta dan kehidupan, Fy. Prinsip hidup lo tuh „lo nggak tubuh orang
lain‟.
“Lo pantang bergantung pada
orang lain apalagi pada makhluk adam. Lo merasa yakin elo pasti bisa
membahagiakan nyokap lo tanpa bantuan dan kehadiran orang lain. Dan gue tau,
elo sangat membenci bokap kandung lo. Tapi sekarang, elo malah menerima
kehadirannya dan berkata seakan lo mau belajar untuk memaafkannya. Ini
benar-benar ajaib. Apa yang bisa bikin elo berubah seperti ini dalam semalam?”
Wajah Ify bersemu merah. Dia
menundukkan kepalanya. Sesaat bayangan Rio melintas di matanya. Jantungnya
berdebar cepat. Lalu ia berkata lirih, “Mungkin... memang nggak semua laki-laki
sejahat yang gue kira.”
@(^-^)@
Ify melangkahkan kakinya
menyusuri koridor sekolah menuju area kelas satu. Tujuannya udah jelas, mau
mencari Rio. Dia pengin ngucapin terima kasih sekaligus mengembalikan jaket Rio.
Setelah berhasil mencari-cari
alasan untuk pisah dari Sivia dan Agni, Ify bergegas menuju kelas 1 D.
Sesampainya di depan pintu
kelas Rio, Ify celingak-celinguk mencari sosok Rio. Nihil. Nggak ada Rio di
ruang kelas itu. Rio kembali mengedarkan pandangannya ke sekitar koridor kelas
satu, siapa tahu Rio lagi ngobrol sama teman-temannya di luar kelas. Tapi
lagi-lagi hasilnya nihil. Atau jangan-jangan Rio lagi ke kantin? Mmm... atau di
lapangan? Atau di WC, ya?
Ify melihat ke sekelilingnya.
Mau nanya tapi nggak enak. Sekarang aja udah banyak yang merhatiin dia, apalagi
kalau dia menanyakan Rio. Anak-anak kan udah tahu bahwa Rio ngejar-ngejar Rio.
Kalau ketahuan Ify yang nyari Rio, bisa-bisa muncul gosip baru.
Ify jadi bingung sendiri. Mana
sebentar lagi bel masuk berbunyi.
“Cari Rio, ya?” tanya seorang
cowok tiba-tiba, membuat Ify terlonjak kaget.
“Eh, iya. Lo tau di mana dia?”
“Dia nggak masuk hari ini,”
jawab cowok itu ketus. “Sakit.”
“Sakit?” tanya Ify lagi. “Sakit
apa?”
“Mana gue tau.”
“Siapa sih lo?” tanya Ify keki.
Lagian nih cowok sok galak gitu, bikin kesal aja.
“Gue Kiky... temen dekatnya Rio,”
lagi-lagi Kiky menjawabnya dengan ketus.
Jelas Ify
kesal diketusin Kiky. “Lo ada masalah apa sih sama gue, sampai nada suara lo
jutek begitu?”
“Nggak ada. Gue cuma kasian
sama Rio. Jatuh cinta kok sama cewek kayak elo...”
“Heh, apa maksud lo?!” Ify
mulai emosi.
“Rio itu bego. Banyak cewek
yang suka sama dia, tapi dia tolak. Eh, dia malah ngejar-ngejar cewek kayak
elo.”
“Cewek kayak gue... apa maksud
lo?”
“Yah... cewek yang kasar dan
sok jual mahal.”
“Brengsek! Lo pikir lo siapa
bisa ngatain gue kayak gitu!” maki Ify.
Kiky malah menanggapi Ify
dengan tawa.
“Ngapain lo ketawa?”
“Gue pantang ribut sama cewek.”
“Heh, denger ya...” Dering bel
menahan gerakan Ify yang udah siap-siap melayangkan tinjunya ke muka Kiky.
“Sana balik ke kelas lo, kakak
kelasku yang manis,” ejek Kiky lalu berjalan masuk ke kelasnya.
Ify udah pengin menjambak
rambut cowok itu, tapi nggak jadi begitu dilihatnya Pak Handi, guru kimia kelas
satu, sedang berjalan ke arahnya. Ify hanya bisa berdecak kesal lalu berjalan
kembali menuju kelasnya sendiri.
@(^-^)@
Hari ini Rio nggak masuk lagi. Ify
nggak sengaja mendengar hal itu dari cewek-cewek kelas satu yang lagi pada
ngerumpi di WC. Ada perasaan nggak enak dalam dirinya. Apa iya Rio sakit?
Jangan-jangan Rio sakit karena kehujanan sewaktu menemaninya di jembatan hari
itu. Udara dingin dan air hujan pasti membuatnya demam dan masuk angin. Perasaan
Ify makin nggak enak.
Akhirnya dia putuskan untuk
menahan gengsinya, menurunkan emosinya, dan menemui Kiky untuk menanyakan
alamat rumah Rio. Bagaimanapun Kiky kan teman dekat Rio, jadi dia pasti tahu di
mana rumah Rio.
Ify berjalan menuju kelas
Teddy.
“IFy!” panggil seseorang dari
arah belakangnya. Ify membalikkan badannya.
“Eh, elo, Ag. Ada apa?”
“Lo mau ke mana?” tanya Agni.
“Mmm... itu... mau ke WC,” Ify
berbohong. Dia nggak mau Agni atau siapa pun juga tahu bahwa ia ingin mencari
alamat rumah Rio.
“Kok ke arah sini?” tanya Agni
heran. “WC kan di ujung sana.”
“WC di sana penuh. Gue udah
kebelet banget, jadi gue mau ke WC anak kelas satu aja. Siapa tau sepi.”
“Gue
temenin, ya?” tawar Agni.
“Nggak... nggak usah!” Ify
buru-buru menjawab. “Gue pengin buang air besar, Cha. Kan nggak enak kalau
ditungguin.”
Agni tersenyum geli. “Ooo... ya
udah. Eh, tapi pulang sekolah lo bisa nemenin gue nggak, Fy?”
“Ke mana?”
“Ke toko buku sebentar. Gue mau
cari buku Da Vinci Code.”
“Mmm... kayaknya kalau hari ini
gue juga nggak bisa. Gue ada urusan penting,” kata Ify.
“Lo coba ajak Sivia aja.”
“Sivia nggak bisa, dia ada
janji sama Alvin.”
“Shilla?”
“Shilla juga nggak bisa.
Katanya dia mau jenguk tantenya yang sakit.”
“Tapi, Ag, sori banget. Hari
ini gue benar-benar nggak bisa.”
“Yah... ya udahlah. Nggak
apa-apa kok,” kata Agni, walaupun sedikit kecewa. “Sana cepat ke WC. Bentar
lagi udah bel. Gue ke kelas duluan ya.”
Ify mengangguk lalu kembali
berjalan menuju kelas Kiky. Dari jauh Ify melihat cowok itu berdiri di depan
ruang kelasnya. Ify mempercepat langkahnya.
“Ky, gue mau minta tolong sama
elo,” ujar Ify to the point.
Kiky menoleh ke arah Ify. “Mau
apa lagi lo?”
“Gue mau minta tolong,” Ify
mengulangi kata-katanya.
“Minta tolong? Sama gue?”
“Iya... gue mau minta alamat
rumah Rio.”
“Buat apa?”
“Itu urusan gue. Gue cuma minta
tolong lo catatin alamat rumah Rio buat gue. Itu aja.”
“Lo pikir gue bakal mau ngasih
tau?”
“Nggak ada untungnya lo
ngerahasiain alamat Rio dari gue.”
“Nggak ada untungnya juga gue
ngasih tau alamat Rio ke elo.”
Ify terdiam. Nih cowok asli
keras kepala banget. Ify benar-benar heran kenapa Rio mau berteman sama orang
model gini.
“Ky, gue nggak peduli sama
penilaian lo tentang gue. Tapi kali ini aja gue mohon, tolong kasih tau alamat
rumah Rio,” pinta Ify. “Untuk sekali ini aja.”
Kiky menatap Ify sejenak lalu
tertawa terbahak-bahak. Ify sampai kesal melihatnya. Pengin banget rasanya dia
melayangkan bogem mentah ke muka Kiky.
“Jago juga si Rio. Akhirnya dia
berhasil nundukin hati cewek jutek ini,” ujar Kiky di sela tawanya.
Ify dongkol
banget mendengarnya, tapi dia berusaha menahan diri. “Terserah lo mau ngomong
apa. Lo bisa kasih tau alamat Rio sekarang?”
“Taman Asri Indah Blok HA nomor
28,” jawab Kiky akhirnya, lalu kembali tertawa.
Ify mencatat alamat itu
baik-baik di otaknya, lalu tanpa mengucapkan terima kasih Ify berlalu dari
hadapan Kiky. Dia benar-benar berharap mulut Kiky robek gara-gara kebanyakan
ketawa. Dasar cowok brengsek!
@(^-^)@
Taksi berhenti tepat di depan
sebuah rumah yang lumayan besar. Ify mengeluarkan uang dan memberikannya pada si
sopir taksi.
“Mau ditungguin nggak, Non?”
tanya sopir taksi ramah.
Ify berpikir sejenak. Boleh
juga tuh. Dia kan belum tahu daerah sini, takutnya nanti malah susah dapat
kendaraan buat pulang. Lagi pula dia nggak berniat berlama-lama di rumah Rio.
“Boleh deh, Bang.”
“Oke deh, Non. Saya tunggu di
warung situ ya,” kata si sopir taksi senang, sambil menunjuk warung yang berada
nggak jauh dari rumah Rio.
Ify mengangguk lalu turun dari
taksi. Kini ia berdiri di depan pagar tinggi yang membentengi rumah bergaya
Mediterania itu. Rumah Rio ini didominasi warna cokelat bata yang memberi kesan
natural, klasik, tapi simpel.
Dua kali Ify menekan bel yang
ada di sisi kiri pagar, sampai akhirnya seorang perempuan keluar dari dalam
rumah dan mendekatinya.
“Cari siapa ya, Mbak?” sapa
perempuan itu.
“Apa benar ini rumah Rio?”
tanya Ify sopan.
“Ooh... cari Den Rio. Ada kok.
Den Rio-nya lagi di kamar, masih nggak enak badan,” jawab perempuan itu sopan.
Dia langsung buru-buru membukakan pintu dan mempersilakan Ify masuk.
Ify masuk melewati pagar sambil
bertanya, “Kalau boleh tau, Mbak siapa?”
“Oh... saya mah cuma pembantu
di sini. Nama saya Surti.”
“Eh, saya Ify. Teman sekolah Rio,”
ujar Ify sok ramah sambil mengulurkan tangan.
Surti tersenyum senang
menyambut uluran tangan Ify.
Bia mengikuti langkah Surti
masuk ke rumah yang bagian dalamnya tampak jauh lebih megah.
“Rio sakit apa sih, Mbak?”
tanya Ify.
“Demam,”
jawab Surti. “Udah dua hari. Waktu itu Den Egi pulang malam-malam dalam keadaan
basah kuyup. Tuan sama Nyonya sampai marah-marah. Tapi Den Egi diam aja, nggak
mau jawab. Eh tau-tau besoknya badan Den Egi panas gitu.”
Jadi benar dugaan Ify. Rio
sakit gara-gara menemaninya hujan-hujanan. Ify jadi merasa bersalah.
“Sekarang keadaannya gimana?”
“Udah lebih baik sih. Panasnya
udah turun, tapi sama Nyonya belum boleh sekolah dulu.”
Syukurlah, Ify mendesah lega.
“Siapa yang datang, Sur?”
seseorang bertanya dari arah belakang Ify.
Ify dan Surti sama-sama
membalikkan badan. Sesosok perempuan setengah baya berjalan
menuruni anak tangga. Rambut
panjangnya yang ikal dan cokelat dibiarkan tergerai. Kulitnya yang agak gelap
tapi bersih dan mulus dibalut blazer hitam.
“Nyonya...,” ujar Surti, “ini
temannya Den Rio.”
Ify menoleh ke arah Surti.
Nyonya? Berarti itu mamanya Rio!
“Siang, Tante,” Ify mengucapkan
salam dengan sopan.
“Oh, temannya Rio ya?” tanya
mama Rio sambil menuruni sisa anak tangga dan berjalan mendekati Ify.
“Iya, Tante, nama saya Ify.”
“Oh... Ify mau jenguk Rio ya? Rio-nya
masih nggak enak badan, makanya Tante belum mengizinkannya masuk sekolah,” kata
mama Rio ramah.
Ify hanya tersenyum. Diam-diam
ia mengamati wajah perempuan setengah baya yang berdiri di hadapannya itu.
Wajahnya sama sekali nggak mirip sama wajah Rio yang lebih berkesan oriental.
Kulit Rio putih dan matanya agak sipit, beda banget sama mamanya. Mugkin memang
benar bahwa Rio anak angkat.
“Kalau begitu kamu langsung ke
taman belakang aja. Kebetulan di sana juga lagi ada temannya Rio. Mungkin kamu
kenal.”
Temannya? Jangan-jangan Kiky
lagi! Yieks! Mampus gue kalau sampai ketemu Kiky di sini. Kalau dia sampai
macam-macam lagi, bisa benar-benar ribut gue sama dia, Ify ngedumel dalam hati.
“Nah, Tante pergi dulu ya.
Silakan aja langsung ke belakang...”
“Iya, Tante. Saya permisi dulu
ya,” pamit Ify sebelum berjalan menuju arah yang ditunjukkan mama Rio.
Ify mengangguk lalu buru-buru
berjalan menuju taman belakang. Setelah melewati ruang makan, Ify membuka pintu
kaca yang mengarah ke taman. Saat itulah Ify berhenti. Pemandangan yang
dilihatnya membuat darahnya bergolak hebat.
Di taman itu,
di dekat kolam ikan... ada Shilla yang duduk di samping Rio, sambil menyuapi
makanan ke mulut cowok itu. Mereka berdua tertawa renyah. Siapa pun yang
melihat mereka saat ini pasti merasa mereka adalah sepasang kekasih.
Rio yang memakai sweter abu-abu
bahkan sesekali mengambil sendok dari tangan Shilla dan berpura-pura hendak
menyuapi Shilla yang buru-buru menghindar sambil tertawa. Jantung Ify berdetak
kencang. otaknya terasa terbakar. Ify nggak bisa menahan diri lebih lama lagi.
“Jadi ini ceritanya?” tanya Ify
ketus. Darahnya mendidih dan emosinya meluap.
“IFY...,” Rio dan Shilla
terkejut. Mereka baru menyadari kehadiran Ify di taman itu.
“Jadi ini yang selama ini lo
sembunyiin dari gue, Shill? Jadi ini yang bikin elo nggak punya waktu lagi buat
ngumpul sama teman-teman lo sendiri? Sejak kapan Rio jadi tante lo yang perlu
lo jenguk hari ini karena sakit? Sejak kapan lo jadi pembohong?” cecar Ify.
Shilla bangkit dari duduknya
dan buru-buru mendekati Ify. “Sori, Fy. Gue sama sekali nggak bermaksud...”
“Nggak bermaksud bohongin gue?
Begitu?” bentak Ify. “Gue benar-benar nggak nyangka lo bisa sejahat ini, Shill.
Selama ini gue percaya sama alasan-alasan yang lo ucapkan. Tapi setelah melihat
ini semua, gue nggak akan pernah percaya sama elo lagi! Nggak akan pernah!”
“Fy, jangan emosi dulu... Biar
gue jelasin.” Rio yang berusaha berdiri menenangkan Ify. Bibirnya yang kering
dan wajahnya yang pucat terlihat jelas. Tapi sayang, saat ini Ify benar-benar
kecewa, marah, dan sakit hati, sehingga dia nggak peduli kalau lawan bicaranya
itu masih sakit.
“Lo sama brengseknya, Yo!
Kata-kata lo di jembatan itu semuanya cuma omong kosong! Lo sama aja kayak
laki-laki brengsek lainnya! Lo benar-benar busuk! Gue benci sama elo!” maki Ify
kesal.
“Ify... ini nggak seperti yang
elo sangka. Gue sama Shilla nggak ada hubungan apa-apa...,” Rio berusaha
membela diri.
“Lo pikir gue percaya? Lo
benar-benar brengsek, Yo! Lo berdua pembohong... penipu!”
“Lo kenapa sih, Fy? Apa salah
gue? Apa urusan lo sama hubungan gue dan Rio? Bukannya lo sendiri pernah bilang
kalo lo nggak suka sama Rio? Jadi kalaupun gue mau pedekate sama Rio, ini hak
gue dan lo nggak berhak marah-marah atau ngelarang gue dong!” Shilla balik
membentak Ify.
“Lo bohong dan lo masih nanya
apa kesalahan lo?”
“Gue memang selalu ngarang
alasan bohong sama kalian, dan gue punya alasan untuk itu. Lagian, apa peduli
kalian! Kalian cuma ngurusin masalah dan perasaan kalian. Apa kalian ada yang
peduli sama gue? Belakangan ini, setiap kalian ngobrol, yang diomongin cuma
tentang Ify dan Rio. Ify dan Rio. Kalian nggak pernah sekali pun nanyain
tentang gue, gimana keadaan di rumah gue, gimana perasaan gue. Kalian nggak
pernah peduli sama gue lagi. Kalau sekarang gue dekat sama Rio, apa gue salah?
Apa mentang-mentang Rio suka sama elo
jadi gue nggak berhak dekat sama Rio?!” seru Shilla.
“Kalo lo nggak cerita, mana ada
yang bisa ngerti perasaan lo!” balas Ify.
“Lo memang egois, Fy! Lo selalu
mau menang sendiri! Lo pikir semua orang bisa nerima sifat lo itu. Lo salah!
Semua orang cuma kasihan sama masa lalu lo! Bagi mereka, lo tuh cuma cewek
penakut yang sok jago!”
“Cukup!” bentak Rio tiba-tiba.
Shilla terdiam. Ify tak bicara.
“Shill, sekali lagi lo bicara
macam-macam tentang Ify, gue nggak akan maafin elo,” ancam Rio.
Shilla terhenyak. Dia sama
sekali nggak nyangka Rio bakal bersikap seketus itu padanya.
“Jadi itu pandangan lo tentang
gue selama ini, Shill?” Ify berkata pelan. “Oke! Semua cukup sampai di sini.
Mulai hari ini anggap aja kita nggak pernah saling mengenal atau bersahabat.”
Ify lalu berbalik dan berlari
meninggalkan taman itu. Rio berusaha mengejar, tapi baru setengah jalan,
mendadak penglihatannya berkunang-kunang. Rio berpegangan erat pada pintu kaca
yang ada di sampingnya untuk menahan tubuhnya. Shilla yang melihatnya buru-buru
menangkap tubuh Rio dan membantunya berjalan menuju kursi. Dia nggak bisa
menyembunyikan rasa cemas di wajahnya.
Shilla
menatap wajah Rio yang pucat, dan tanpa dia sadari tangannya bergerak membelai
rambut Rio dengan penuh kasih sayang.
No comments:
Post a Comment