Pacarku Juniorku [8]
DUA minggu telah berlalu.
Sampai hari ini Ify selalu menghindar dari Shilla dan Rio. Sivia dan Agni yang
nggak mengerti apa yang telah terjadi hanya berusaha menempatkan diri sebagai
sahabat yang baik buat Ify maupun Shilla yang enggan bertegur sapa.
“Fy, besok mau ikut belajar
bersama di rumah gue nggak?” tanya Agni.
Ify, Sivia dan Agni duduk di
kelas, menghabiskan sisa jam istirahat mereka.
“Shilla ikut?” tanya Ify to
the point.
“Mmm... dia sih udah bilang
oke,” jawab Agni jujur. Agni nggak mau bohong lagi sama Ify. Waktu itu dia dan Sivia
udah pernah bohong dan berusaha mempertemukan Ify dengan Shilla. Mereka
berharap dengan begitu masalah di antara Ify dan Shilla bisa selesai, tapi
nyatanya keduanya malah marah besar dan pergi begitu aja tanpa bicara.
“Kalau ada Shilla, gue nggak
ikutan,” kata Ify. “Gue udah bilang sama kalian, gue nggak mau bicara lagi sama
dia.”
“Fy, lo kenapa sih?” tanya Sivia
kesal. “Kalian berdua kayak anak kecil, tau! Kalau memang ada masalah, ya
dibicarain dong, jangan bersikap seperti ini!”
“Gue nggak ada masalah, tapi
dia yang bermasalah,” jawab Ify.
“Iya, tapi apa masalahnya?”
tanya Sivia lagi. “Kita udah temenan selama tiga tahun. Sebentar lagi kita
bakal lulus SMA dan pisah. Apa lo mau kita terus-terusan seperti ini? Apa
persahabatan kita berempat sama sekali nggak ada artinya buat elo?”
“Lo jangan bicara seperti ini
ke gue, tapi ke Shilla,” sahut Ify. “Lo tanyain ke dia apa selama tiga tahun
ini dia berteman dengan gue karena kasihan dengan masa lalu gue.”
“Siapa yang bilang gitu?” tanya
Agni. “Lo pasti salah dengar. Ini pasti cuma salah paham.”
Ify tertawa. “Kalian juga nggak
percaya, kan?”
“Fy, apa masalah lo dengan Shilla
ada hubungannya dengan Rio?” tanya Sivia.
“Jangan sebut-sebut nama
bajingan itu di depan gue!” bentak Ify.
Sivia dan
Agni terdiam.
“Sori, Vi. Gue nggak bermaksud
ngebentak elo,” kata Ify, nyesel karena nggak bisa menahan emosinya. “Gue ke WC
dulu ya.”
Ify bangkit dari duduknya dan
keluar kelas menyusuri koridor menuju WC.
Saat Ify berjalan sendirian,
ada yang memanggilnya dari arah belakang.
“Ify!”
Ify menoleh, tapi begitu
melihat sosok orang yang memanggilnya, dia langsung buang muka dan kembali
berjalan.
“Ify, tunggu!” Rio menahan
tangan Ify.
“Lepasin, brengsek!” seru Ify.
“Gue nggak kenal sama lo, jadi jangan panggil-panggil nama gue seenak jidat
lo!”
“Fy, kasih gue kesempatan untuk
ngejelasin semuanya,” mohon Rio. “Gue sama Shilla nggak ada hubungan apa-apa.
Dia memang baik sama gue. Belakangan ini dia sering ke rumah gue, nelepon gue,
ngobrol sama gue, nanyain tentang masa kecil gue, tapi cuma sebatas itu, nggak
pernah lebih. Gue nggak punya perasaan khusus sama dia.”
“Lo pikir gue percaya sama
elo?” tanya Ify ketus. “Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, gimana
mesranya elo sama dia, dan lo bilang elo nggak ada hubungan apa-apa sama dia?
Lo pikir gue percaya sama kata-kata lo itu?”
Ify membalikkan badannya dan
berjalan meninggalkan Rio.
“Ify!” panggil Rio. “Lo
cemburu, ya?”
Ify berhenti dan membalikkan
badannya, menatap Rio yang tersenyum di hadapannya. “Dasar cowok nggak punya
malu. Cemburu gara-gara elo cuma buang-buang tenaga. Pikir pakai otak, apa
kelebihan lo yang bisa bikin gue cemburu gara-gara elo?”
“Jangan menipu diri sendiri, Fy,”
kata Rio sambil tetap tersenyum. “Akui aja kalau elo memang udah jatuh cinta
sama gue dan elo cemburu karena gue dekat sama Shilla. Iya, kan?”
Ify tertawa mengejek. “Lebih
baik gue jatuh cinta sama monyet daripada sama elo!”
Ify membalikkan badannya dan
berjalan cepat tanpa memedulikan Rio yang memanggil namanya berulang kali.
@(^-^)@
Satu hari lagi telah berlalu.
Ify melempar selimut yang
menutup tubuhnya. Disambarnya handuk yang tergantung di belakang pintu kamar,
lalu bergegas menuju kamar mandi buat siap-siap ke sekolah.
Selesai
mandi, Ify membawa ranselnya menuju ruang makan. Mama sudah menunggu dengan
segelas kopi panas.
“Pagi, Ma,” sapa Ify.
“Pagi, Sayang,” sahut Mama.
“Gimana tidur kamu semalam?”
“Mimpi buruk,” jawab Ify. “Aku
mimpi ketemu monster serem. Dia ngejar-ngejar aku sambil bawa bunga. Aku kabur
sampai-sampai aku kecebur got, tapi makhluk itu sama sekali nggak mau berhenti
ngejar aku.”
Mama tertawa. “Untung
monsternya bawa bunga, itu tandanya monsternya baik hati.”
“Ih, Mama... Mau bawa bunga
kek, mau bawa cokelat kek, yang namanya mosnter ya tetap aja nakutin.”
“Monsternya cowok atau cewek?”
“Mana aku tau...,” jawab Ify.
“Memangnya aku sempat wawancara sama tu monster? Mama nih ada-ada aja.”
Mama kembali tertawa. Ify
mengambil setangkup roti tawar yang sudah diolesi selai kacang oleh Mama dan
melahapnya.
“Fy, nanti malam papamu mau
makan malam bersama di sini. Boleh, kan?” tanya Mama.
“Terserah.”
“Kok terserah sih, Fy?” tanya
Mama. “Papamu udah kangen sama kamu. Sejak makan malam waktu itu, kamu nggak
pernah bicara lagi sama dia. Setiap dia datang, kamu ngumpet di dalam kamar.
Kasihan kan dia.”
“Aku tuh lagi banyak tugas dan
ujian, Ma. Dua bulan lagi kan aku udah mau ujian akhir.”
“Mama ngerti. Tapi paling
tidak, kamu kan bisa menyempatkan diri untuk sekadar menyapa papamu sebentar.”
“Ma, jujur sama aku,” kata Ify menghentikan kegiatan makannya, “apa Mama
nggak takut kalau ternyata dia nggak sebaik yang Mama kira? Apa Mama nggak takut
kalau suatu hari nanti dia ninggalin kita lagi? Apa Mama nggak takut kalau
nanti dia selingkuh kayak Oom Ivan?”
Mama diam. Sesaat kemudian ia
menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia berkata, “Kadang-kadang rasa
takut itu muncul, Fy. Mama tidak ingin kecewa dan sakit hati lagi. Tapi Mama
belajar percaya dan pasrah. Kegagalan bukan berarti kita berhenti untuk
berusaha, kan?”
“Kenapa Mama mau memaafkan
dia?”
“Entahlah, Mama juga tidak tau.
Mungkin karena dia ayah kandungmu.”
“Lalu kapan Mama mau menikah
dengannya?”
Mama tertawa. “Sudahlah, jangan
bicarakan itu lagi. Habiskan sarapanmu, lalu cepat berangkat sekolah.”
Ify menurut.
Dia menghabiskan rotinya lalu meneguk susu cokelat di hadapannya tanpa sisa.
“Ya udah. Aku berangkat dulu
ya, Ma,” pamit Ify sambil menyambar tas ransel di sebelahnya lalu bangkit dan
bergegas keluar.
Mama ikut berdiri dan mengantar
putri semata wayangnya itu ke depan.
“Jangan pulang terlalu sore,
ya!” pesan Mama sambil membukakan pintu buat Ify.
“Iya, aku tau,” jawab Ify lalu
segera keluar dari rumah. Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti.
Pemandangan di depannya membuat mulutnya terbuka lebar karena terkejut.
Mama Ify yang heran melihat
tingkah putrinya segera mendekati Ify sambil bertanya, “Ada apa sih, Fy?”
Tapi pertanyaan mama nggak
perlu Ify jawab. Pemandangan yang terhampar di hadapannya merupakan jawaban
yang membuat Mama terpesona.
Di depan pagar rumah mereka,
terpajang buket bunga berukuran besar, berisi beraneka mawar, dan spanduk
bertulisan: ”IFY, I’M SORRY!”
“Siapa yang melakukan ini
semua?” tanya Mama heran sekaligus takjub. “Ini benar-benar luar biasa.”
Ify nggak menjawab. Matanya
menatap spanduk yang terikat di pagar rumahnya. Kata-kata di spanduk itu
membuat dia tahu siapa pelakunya. Tapi Ify memilih bungkam. Dia berjalan ke
arah pagar dan berhenti tepat di depan spanduk. Dalam sekali tarikan, keras, Ify
mencopot spanduk yang ternyata nggak terikat kuat di pagar. Lalu Ify menggulung
dan menjejalkannya ke dalam tas ranselnya.
“Ma, tolong buang bunga-bunga
ini ke tong sampah,” pinta Ify. “Kalau perlu dibakar aja. Aku nggak mau saat
aku pulang nanti bunga-bunga ini masih ada di halaman.”
“Tapi, Fy...”
“Tolong, Ma,” mohon Ify.
Mama akhirnya mengangguk
pasrah. “Iya, nanti Mama rapikan sebelum berangkat kerja.”
“Makasih, Ma. Aku berangkat
dulu ya,” pamit Ify.
Ify membuka pintu pagar dan
bergegas ke sekolah. Ada seseorang yang harus dia temui sekarang juga.
@(^-^)@
Ify melangkah dengan cepat
menyusuri koridor sekolah menuju kelas Rio. Ranselnya masih nangkring dengan
manis di punggungnya, tapi gulungan spanduk udah pindah ke dalam genggaman
tangannya.
Mata Ify
mencari sosok Rio di dalam kelas yang udah lumayan ramai pagi itu. Begitu
matanya menemukan Rio yang lagi duduk di meja bersama beberapa temannya, Ify
langsung memanggilnya.
“Rio!”
Cowok itu terkejut mendengar
teriakan itu. Dia menoleh ke asal suara dan mendapati Ify sedang berdiri di
depan pintu kelasnya. Rio tersenyum lalu berdiri dan berjalan mendekati Ify.
“Ada apa, Fy, pagi-pagi udah
cari gue?” tanya Rio manis.
“Nggak usah sok innocent deh!”
bentak Ify tanpa memedulikan tatapan anak-anak kelas satu yang mengarah
padanya. “Apa maksud lo dengan semua ini?” Ify menunjukkan gulungan spanduk di
tangannya, tepat di depan hidung Rio.
“Ini...,” Rio mengambil
gulungan spanduk dari tangan Ify sambil tersenyum, “adalah wujud permintaan
maaf gue ke elo.”
“Lo pikir gue cewek gampangan
yang langsung klepek-klepek kalau dikasih bunga?”
“Ify, kenapa sih elo selalu
menganggap negatif semua hal yang gue lakukan buat elo?” tanya Rio pelan. “Gue
melakukan semua itu dengan tulus, sama sekali nggak ada maksud apa-apa. Gue
cuma mau minta maaf sama elo.”
“Trus, lo pikir dengan begitu
gue bakal maafin elo?”
“Paling nggak, gue udah usaha,
kan?”
“Lo salah!” bentak Ify. “Gue
bukan cewek gampangan yang seneng dirayu sama bunga. Lo mau kasih gue seratus
mawar kek, gue nggak akan peduli. Asal lo tau, Yo, gue paling benci cowok
gombal kayak elo!”
Ify membalikkan badannya dan
segera berlalu dari kelas Rio.
“Tunggu, Fy!” tahan Egi. “Gue
cuma mau minta maaf sama elo, dan bukan membuat elo semakin membenci gue.”
Ify menatap kedua bola mata Rio
dengan tajam dan tanpa suara. Sorot matanya seakan ingin menusuk lawan
bicaranya. Rio perlahan melepaskan tangannya dari lengan Ify.
“Fy, please, maafin
gue,” Rio memohon dengan wajah memelas. Jujur, dia benar-benar tertekan
menghadapi gadis keras kepala ini. Dia nggak tahu bagaimana lagi caranya
meluluhkan hati Ify. Dia tersiksa menghadapi sikap ketus Ify. Dia nggak mau
gadis ini sampai benar-benar membencinya. Dia takut kehilangan Ify.
Tapi Ify tetap cuek. Dia nggak
peduli dengan usaha-usaha Rio untuk meluluhkan hatinya. Dia nggak peduli dengan
permohonan maaf Rio. Dia juga nggak peduli dengan wajah memelas di depannya
itu. Ify telanjur sakit hati, dan dia nggak mau itu terulang untuk kedua
kailnya. Baginya, membuka hatinya untuk Rio adalah sebuah kesalahan.
@(^-^)@
Malam itu Ify duduk di ruang
tamu sambil membaca catatan matematika buat ulangan besok. Mama sedang sibuk di
dapur membersihkan piring-piring bekas makan malam. Sebenarnya Ify mau ikut
bantuin sih, tapi batal gara-gara Oom Frans udah duluan turun tangan membantu
Mama membereskan meja makan. Ify malas kalau harus nimbrung di tengah-tengah
mereka. Meskipun Oom Frans ayah kandungnya, Ify tetap belum bisa menerima
kehadiran laki-laki itu. Ify masih merasa asing dan belum sepenuhnya memaafkan
dia.
Ify pengin segera masuk kamar
setelah makan malam tadi dan menghindar dari laki-laki itu. Tapi Ify ingat
percakapannya tadi pagi dengan Mama: Ify nggak mau mengecewakan Mama. Jadi dia
terpaksa duduk manis di ruang tamu, meskipun nggak ngobrol dengan Oom Frans
seperti permintaan Mama. Paling tidak, dia nggak mengunci diri di kamarnya.
Ify membalik halaman buku
catatannya dan mulai mempelajari materi buat ulangan besok. Mulutnya komat
kamit menghafalkan rumus dan bola matanya berputar-putar. Dia nggak sadar Oom
Frans sudah berdiri di dekatnya.
“Besok ada ulangan ya, Fy?”
suara Oom Frans mengagetkan Ify.
“Iya,” jawab Ify sekadarnya.
Oom Frans duduk di dekat Ify
sambil tersenyum. Ify menatap laki-laki itu kesal. Pede banget dia, duduk
dekat-dekat tanpa permisi dulu, rutuk Ify dalam hati.
“Katanya tadi pagi ada kiriman
bunga ya di halaman?” tanya Oom Frans.
“Itu bukan urusan Oom,” jawab Ify
keki. Sejak kapan laki-laki ini mulai berani ikut campur dalam masalahnya?
“Pasti cowok yang mengirim
mawar itu sangat menyukai kamu...” Oom Frans seakan nggak peduli dengan
kekesalan yang tersirat di wajah Ify.
“Udah aku bilang, ini bukan
urusan Oom!”
“Kamu memang cantik seperti
mamamu, wajar saja kalau banyak cowok yang jatuh hati padamu.”
“Laki-laki semua sama aja,”
sindir Ify. “Cuma manis di mulut, tapi hatinya lebih busuk daripada sampah.”
“Tidak semua laki-laki seburuk
yang kamu pikirkan, Fy.”
“Tapi semua laki-laki yang
hadir dalam hidupku malah membuat dugaanku semakin tepat.”
Oom Frans menghela napas, lalu
berkata lembut, “Apa yang Oom lakukan dulu memang tidak layak untuk mendapatkan
maaf. Oom telah membuat hidupmu menderita, dan Oom pula yang telah membuatmu
selalu berpikir negatif tentang laki-laki.”
Ify cuma diam. Kali ini dia
nggak bereaksi dengan ucapan Oom Frans.
“Kalau dulu Oom berpamitan
dengan mamamu sebelum berangkat ke Pekanbaru dan mengatakan kesediaan Oom untuk
bertanggung jawab, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kita pasti akan
menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Dan mungkin kamu tidak akan
bersikap dingin pada laki-laki,” lanjut Oom Frans. “Tapi apalah guna sebuah
penyesalan. Yang sudah terjadi tak mungkin dapat diulang kembali. Saat ini Oom
hanya berusaha memperbaiki semua kesalahan Oom dulu dan memperjuangkan
kebahagiaan yang sangat Oom inginkan saat ini, yaitu membahagiakan kamu dan
mamamu.”
“Membahagiakan aku dan Mama?”
“Benar, itulah tujuan hidup Oom
saat ini,” jawab Oom Frans. “Ify, saat kamu mencintai seseorang dengan tulus,
maka bagimu yang terpenting adalah melihat orang yang kamu cintai itu bahagia.
Dan itulah yang Oom rasakan saat ini.”
Ify menatap laki-laki yang
duduk di sebelahnya. Laki-laki yang sejak dulu begitu dibencinya. Entah kenapa
untaian kata yang keluar dari mulut lelaki itu mengusik hatinya. Ify berusaha
mencari kejujuran dan ketulusan di wajah Oom Frans. Apa kata-kata yang keluar
dari mulutnya berasal dari hati? Dan Ify menemukan jawabannya. Oom Frans nggak
akan menipu. Tatapannya yang lembut dan penuh kasih membuat hati Ify terasa
hangat dan nyaman.
“Boleh aku bertanya satu hal?”
tanya Ify pelan.
Oom Frans mengangguk sambil
tersenyum.
“Jika seseorang yang Oom
percaya dan cintai mengkhianati Oom, apa yang akan Oom lakukan?”
“Tentu saja Oom akan marah,”
jawab Oom Frans. “Tapi dalam cinta selalu ada maaf yang tiada batasnya. Dan itu
pula yang akan Oom lakukan.”
“Seperti Mama memaafkan Oom?”
“Mungkin seperti itu.”
Ify teringat percakapannya
dengan Mama tadi pagi tentang alasan Mama memaafkan Oom Frans. Sekarang bia
baru mengerti alasan itu. Alasan yang sederhana tapi memiliki kekuatan yang
begitu dahsyat sehingga Mama dengan mudah melupakan sakit hatinya dan menerima
laki-laki ini kembali. Alasan itu adalah cinta.
Ify bangkit dari duduknya dan
berjalan meninggalkan Oom Frans tanpa sepatah kata pun. Oom Frans hanya diam.
Dia menatap punggung Ify sambil tersenyum. Dia sadar, kesalahannya terlalu
besar dan nggak mudah untuk membuat Ify mau memaafkannya. Dia telah
menelantarkan anaknya selama bertahun-tahun. Terlalu muluk rasanya jika dia mengharapkan
Ify dengan tersenyum lebar langsung menerimanya kembali. Meskipun sesungguhnya
hatinya nggak dapat menahan rasa rindu untuk dapat memeluk anak yang terus
dicarinya selama ini.
Tiba-tiba Ify menghentikan
langkahnya dan berbalik menatap Oom Frans. Matanya beradu dengan tatapan hangat
lelaki itu.
Lalu Ify berkata, “Jangan
pulang malam-malam. Bahaya, Oom...”
Suara Ify yang lembut membuat
Oom Frans terbelalak kaget. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban.
Ify masih
berdiri di tempatnya sambil menatap Oom Frans, lalu kembali berkata, “Aku mau
tidur dulu karena besok harus sekolah...”
Lagi-lagi Oom Frans hanya
mengangguk.
Ify membalikkan badannya dan
kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbalik
menatap ayahnya lagi.
“Aku memang sangat membenci
Oom,” katanya pelan. Lalu dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Tapi
aku juga sangat merindukan Papa...”
Oom Frans terdiam. Jantungnya
berdetak kencang dan darahnya seakan bergolak. Perasaan bahagia perlahan meluap
dalam dirinya. Senyum tersungging di bibirnya dan air mata menggenangi pelupuk
matanya. Lelaki itu tak bisa menahan haru yang membungkus hatinya. Lidahnya
terasa kelu dan tubuhnya terasa kaku. Saat ini ia terlalu bahagia.
Sama seperti Ify. Rasa lega memasuki
kalbunya. Kehangatan dan kebahagiaan menyelimuti dirinya. Dia sama sekali nggak
menyangka, lidahnya mampu memanggil laki-laki itu “Papa”. Dan panggilan itu
telah menyembuhkan begitu banyak koreng yang membuat cacat hatinya. Ify nggak
bisa memungkiri, jauh di lubuk hatinya dia merindukan laki-laki itu. Laki-laki
yang mulai detik ini dan selamanya akan dipanggilnya Papa.
@(^-^)@
“Ify...” Suara Mama terdengar
dari balik pintu kamar Ify. “Kamu sudah tidur, Sayang?”
Ify menutup catatan
matematikanya dan berjalan membukakan pintu.
“Ada apa, Ma?” tanyanya begitu
pintu kamarnya terbuka. “Aku masih belajar buat ulangan besok.”
Mama tersenyum. “Papamu sudah
pulang.”
“Aku tau,” sahut Ify. “Aku
dengar suara mobilnya.
“Papamu nggak mau mengganggu
kamu,” kata Mama. “Dia takut kamu sudah tidur.”
Ify menganggukan kepala.
Mama diam. Ify juga diam.
“Fy...” Mama buka suara.
“Makasih, ya.”
“Makasih buat apa, Ma?”
“Makasih karena kamu sudah
memaafkan papamu.”
Ify diam. Dia menyandarkan
tubuhnya di pintu kamar.
“Ma, apa sekarang Mama
bahagia?” tanya Ify kemudian.
“Mama bahagia,” jawab Mama
mantap. “Mama bahagia karena Mama memiliki putri seperti kamu.”
“Aku juga
bahagia, Ma,” sahut Ify. “Mama nggak perlu bilang makasih sama aku karena
memang sudah wajib hukumnya seorang anak mengakui ayahnya.”
Mama tersenyum lalu merengkuh
tubuh Ify ke dalam pelukannya. “Mama sayang kamu, Fy, dan Mama bangga padamu.”
Ify membalas pelukan Mama. “Ma,
di pesta pernikahan Mama dan Papa nanti, aku jadi pengiring pengantin
wanitanya, ya?”
Mama tertawa. “Iya, Sayang.”
Ify ikut tertawa. Rasanya belum
pernah ia merasa begitu bahagia seperti hari ini. Begitu hebatkah kekuatan
cinta dan maaf?
Dering telepon membuat pelukan
ibu dan anak itu terlepas.
“Mama angkat telepon dulu, ya.”
Ify mengangguk lalu menutup
pintu kamarnya begitu Mama pergi. Ia menghela napas panjang lalu merebahkan
tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasanya nggak
percaya, dia dan Mama bisa tertawa seperti tadi. Hatinya kini terasa seringan
kapas.
“Ify!” suara Mama memanggil Ify.
Ify terlonjak kaget dan
langsung bangkit dari tidurnya.
“Telepon, Fy! Dari Sivia!” ujar
Mama. “Katanya penting!”
“Iya, Ma!” sahut Ify lalu
bergegas keluar dari kamar.
Mama menyerahkan gagang telepon
kepada Ify lalu menghilang ke kamarnya.
“Halo,” sapa Ify.
“Sori, Fy, gue ganggu
malam-malam gini.”
“Nggak apa-apa, Vi,” kata Ify.
“Gue juga belum tidur kok.”
“Gue cuma mau menyampaikan
kabar buruk.”
“Kabar buruk?” tanya Ify heran.
“Kabar buruk apa?”
“Bokapnya Shilla meninggal.”
“MENINGGAL?!” pekik Ify.
“Iya, baru aja.”
“Kenapa?”
“Gue juga nggak tau,” jawab Sivia.
“Terakhir kali gue jenguk bokapnya di rumah sakit, bokapnya masih bisa ngomong.
Mungkin memang penyakitnya udah benar-benar parah.”
“Bokapnya Shilla masuk rumah
sakit, kok lo nggak kasih tau gue?”
“Bukannya lo lagi musuhan sama Shilla?”
Sivia malah balik bertanya dengan nada sinis.
“Bukannya lo nggak mau denger
gue dan Agni nyebut nama Shilla?”
Ify terdiam. Sivia benar.
Selama ini dia yang melarang Sivia dan Agni membicarakan Shilla. Dia yang
marah-marah waktu Sivia dan Agni mempertemukannya dengan Tammy. Dia yang
menutup telinganya rapat-rapat setiap kali Sivia dan Agni menyebut nama Shilla.
Jadi wajar saja kalau kedua temannya ini tidak memberitahunya kabar tentang
papanya Shilla.
“Vi, boleh
gue tau bokapnya Shilla disemayamkan di mana?”
“Sekarang masih di rumah
sakit,” jawab Sivia. “Besok baru dipindah ke rumah duka. Gue belum tau bakal
dimakamkan di mana.”
Penyesalan masih merasuki hati Ify.
Dia nggak tahu harus berkata apa. Sampai telepon ditutup, Ify nggak banyak
bicara. Perasaannya saat ini benar-benar kacau.
Ify berjalan gontai menuju
kamar Mama, lalu mengetuk pintunya pelan.
Pintu terbuka dan wajah Mama
muncul dari baliknya.
“Ada apa, Fy?” tanya Mama.
“Aku boleh ke rumah sakit, Ma?
Sekarang.”
“Ke rumah sakit?” Mama bertanya
heran. “Ada apa?”
“Papanya Shilla meninggal.”
“Meninggal?”
Ify mengangguk. “Boleh ya, Ma?”
“Apa nggak bisa ditunda besok
saja, Fy. Ini sudah malam.”
“Nggak bisa, Ma. Perasaanku
nggak tenang.”
Mama menatap Ify dalam-dalam.
Ia ragu memberikan izin untuk Ify. Ini sudah malam, berbahaya bagi anak
perempuan pergi sendirian
“Please, Ma,” mohon Ify.
“Aku nggak akan lama. Aku cuma mau ketemu dan bicara sama Shilla sebentar
saja.”
Mama menghela napas. “Baiklah,
tapi biar papamu yang mengantar kamu.”
“Jangan, Ma,” tolak Ify segera.
“Kasihan Papa. Dia baru aja pulang, masa harus balik lagi ke sini dan mengantar
aku ke rumah sakit. Papa pasti capek.” “Papamu pasti bersedia,” tegas Mama,
“karena ini untuk putrinya.”
Ify nggak
membantah lagi. Mama langsung berjalan menuju meja telepon dan menghubungi
nomor handphone Papa.
No comments:
Post a Comment