Thursday, 10 May 2012

Pacarku Juniorku [8] -IC Version-


Pacarku Juniorku [8]
DUA minggu telah berlalu. Sampai hari ini Ify selalu menghindar dari Shilla dan Rio. Sivia dan Agni yang nggak mengerti apa yang telah terjadi hanya berusaha menempatkan diri sebagai sahabat yang baik buat Ify maupun Shilla yang enggan bertegur sapa.
“Fy, besok mau ikut belajar bersama di rumah gue nggak?” tanya Agni.
Ify, Sivia dan Agni duduk di kelas, menghabiskan sisa jam istirahat mereka.
“Shilla ikut?” tanya Ify to the point.
“Mmm... dia sih udah bilang oke,” jawab Agni jujur. Agni nggak mau bohong lagi sama Ify. Waktu itu dia dan Sivia udah pernah bohong dan berusaha mempertemukan Ify dengan Shilla. Mereka berharap dengan begitu masalah di antara Ify dan Shilla bisa selesai, tapi nyatanya keduanya malah marah besar dan pergi begitu aja tanpa bicara.
“Kalau ada Shilla, gue nggak ikutan,” kata Ify. “Gue udah bilang sama kalian, gue nggak mau bicara lagi sama dia.”
“Fy, lo kenapa sih?” tanya Sivia kesal. “Kalian berdua kayak anak kecil, tau! Kalau memang ada masalah, ya dibicarain dong, jangan bersikap seperti ini!”
“Gue nggak ada masalah, tapi dia yang bermasalah,” jawab Ify.
“Iya, tapi apa masalahnya?” tanya Sivia lagi. “Kita udah temenan selama tiga tahun. Sebentar lagi kita bakal lulus SMA dan pisah. Apa lo mau kita terus-terusan seperti ini? Apa persahabatan kita berempat sama sekali nggak ada artinya buat elo?”
“Lo jangan bicara seperti ini ke gue, tapi ke Shilla,” sahut Ify. “Lo tanyain ke dia apa selama tiga tahun ini dia berteman dengan gue karena kasihan dengan masa lalu gue.”
“Siapa yang bilang gitu?” tanya Agni. “Lo pasti salah dengar. Ini pasti cuma salah paham.”
Ify tertawa. “Kalian juga nggak percaya, kan?”

“Fy, apa masalah lo dengan Shilla ada hubungannya dengan Rio?” tanya Sivia.

“Jangan sebut-sebut nama bajingan itu di depan gue!” bentak Ify.
Sivia dan Agni terdiam.
“Sori, Vi. Gue nggak bermaksud ngebentak elo,” kata Ify, nyesel karena nggak bisa menahan emosinya. “Gue ke WC dulu ya.”
Ify bangkit dari duduknya dan keluar kelas menyusuri koridor menuju WC.
Saat Ify berjalan sendirian, ada yang memanggilnya dari arah belakang.
“Ify!”
Ify menoleh, tapi begitu melihat sosok orang yang memanggilnya, dia langsung buang muka dan kembali berjalan.
“Ify, tunggu!” Rio menahan tangan Ify.
“Lepasin, brengsek!” seru Ify. “Gue nggak kenal sama lo, jadi jangan panggil-panggil nama gue seenak jidat lo!”

“Fy, kasih gue kesempatan untuk ngejelasin semuanya,” mohon Rio. “Gue sama Shilla nggak ada hubungan apa-apa. Dia memang baik sama gue. Belakangan ini dia sering ke rumah gue, nelepon gue, ngobrol sama gue, nanyain tentang masa kecil gue, tapi cuma sebatas itu, nggak pernah lebih. Gue nggak punya perasaan khusus sama dia.”
“Lo pikir gue percaya sama elo?” tanya Ify ketus. “Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, gimana mesranya elo sama dia, dan lo bilang elo nggak ada hubungan apa-apa sama dia? Lo pikir gue percaya sama kata-kata lo itu?”
Ify membalikkan badannya dan berjalan meninggalkan Rio.
“Ify!” panggil Rio. “Lo cemburu, ya?”
Ify berhenti dan membalikkan badannya, menatap Rio yang tersenyum di hadapannya. “Dasar cowok nggak punya malu. Cemburu gara-gara elo cuma buang-buang tenaga. Pikir pakai otak, apa kelebihan lo yang bisa bikin gue cemburu gara-gara elo?”

“Jangan menipu diri sendiri, Fy,” kata Rio sambil tetap tersenyum. “Akui aja kalau elo memang udah jatuh cinta sama gue dan elo cemburu karena gue dekat sama Shilla. Iya, kan?”
Ify tertawa mengejek. “Lebih baik gue jatuh cinta sama monyet daripada sama elo!”
Ify membalikkan badannya dan berjalan cepat tanpa memedulikan Rio yang memanggil namanya berulang kali.

@(^-^)@

Satu hari lagi telah berlalu.
Ify melempar selimut yang menutup tubuhnya. Disambarnya handuk yang tergantung di belakang pintu kamar, lalu bergegas menuju kamar mandi buat siap-siap ke sekolah.
Selesai mandi, Ify membawa ranselnya menuju ruang makan. Mama sudah menunggu dengan segelas kopi panas.
“Pagi, Ma,” sapa Ify.

“Pagi, Sayang,” sahut Mama. “Gimana tidur kamu semalam?”

“Mimpi buruk,” jawab Ify. “Aku mimpi ketemu monster serem. Dia ngejar-ngejar aku sambil bawa bunga. Aku kabur sampai-sampai aku kecebur got, tapi makhluk itu sama sekali nggak mau berhenti ngejar aku.”

Mama tertawa. “Untung monsternya bawa bunga, itu tandanya monsternya baik hati.”
“Ih, Mama... Mau bawa bunga kek, mau bawa cokelat kek, yang namanya mosnter ya tetap aja nakutin.”
“Monsternya cowok atau cewek?”
“Mana aku tau...,” jawab Ify. “Memangnya aku sempat wawancara sama tu monster? Mama nih ada-ada aja.”
Mama kembali tertawa. Ify mengambil setangkup roti tawar yang sudah diolesi selai kacang oleh Mama dan melahapnya.
“Fy, nanti malam papamu mau makan malam bersama di sini. Boleh, kan?” tanya Mama.
“Terserah.”
“Kok terserah sih, Fy?” tanya Mama. “Papamu udah kangen sama kamu. Sejak makan malam waktu itu, kamu nggak pernah bicara lagi sama dia. Setiap dia datang, kamu ngumpet di dalam kamar. Kasihan kan dia.”
“Aku tuh lagi banyak tugas dan ujian, Ma. Dua bulan lagi kan aku udah mau ujian akhir.”

“Mama ngerti. Tapi paling tidak, kamu kan bisa menyempatkan diri untuk sekadar menyapa papamu sebentar.”
“Ma, jujur sama aku,” kata  Ify menghentikan kegiatan makannya, “apa Mama nggak takut kalau ternyata dia nggak sebaik yang Mama kira? Apa Mama nggak takut kalau suatu hari nanti dia ninggalin kita lagi? Apa Mama nggak takut kalau nanti dia selingkuh kayak Oom Ivan?”
Mama diam. Sesaat kemudian ia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia berkata, “Kadang-kadang rasa takut itu muncul, Fy. Mama tidak ingin kecewa dan sakit hati lagi. Tapi Mama belajar percaya dan pasrah. Kegagalan bukan berarti kita berhenti untuk berusaha, kan?”
“Kenapa Mama mau memaafkan dia?”

“Entahlah, Mama juga tidak tau. Mungkin karena dia ayah kandungmu.”

“Lalu kapan Mama mau menikah dengannya?”
Mama tertawa. “Sudahlah, jangan bicarakan itu lagi. Habiskan sarapanmu, lalu cepat berangkat sekolah.”
Ify menurut. Dia menghabiskan rotinya lalu meneguk susu cokelat di hadapannya tanpa sisa.
“Ya udah. Aku berangkat dulu ya, Ma,” pamit Ify sambil menyambar tas ransel di sebelahnya lalu bangkit dan bergegas keluar.
Mama ikut berdiri dan mengantar putri semata wayangnya itu ke depan.

“Jangan pulang terlalu sore, ya!” pesan Mama sambil membukakan pintu buat Ify.

“Iya, aku tau,” jawab Ify lalu segera keluar dari rumah. Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti. Pemandangan di depannya membuat mulutnya terbuka lebar karena terkejut.
Mama Ify yang heran melihat tingkah putrinya segera mendekati Ify sambil bertanya, “Ada apa sih, Fy?”
Tapi pertanyaan mama nggak perlu Ify jawab. Pemandangan yang terhampar di hadapannya merupakan jawaban yang membuat Mama terpesona.
Di depan pagar rumah mereka, terpajang buket bunga berukuran besar, berisi beraneka mawar, dan spanduk bertulisan: ”IFY, IM SORRY!”
“Siapa yang melakukan ini semua?” tanya Mama heran sekaligus takjub. “Ini benar-benar luar biasa.”
Ify nggak menjawab. Matanya menatap spanduk yang terikat di pagar rumahnya. Kata-kata di spanduk itu membuat dia tahu siapa pelakunya. Tapi Ify memilih bungkam. Dia berjalan ke arah pagar dan berhenti tepat di depan spanduk. Dalam sekali tarikan, keras, Ify mencopot spanduk yang ternyata nggak terikat kuat di pagar. Lalu Ify menggulung dan menjejalkannya ke dalam tas ranselnya.
“Ma, tolong buang bunga-bunga ini ke tong sampah,” pinta Ify. “Kalau perlu dibakar aja. Aku nggak mau saat aku pulang nanti bunga-bunga ini masih ada di halaman.”
“Tapi, Fy...”
“Tolong, Ma,” mohon Ify.
Mama akhirnya mengangguk pasrah. “Iya, nanti Mama rapikan sebelum berangkat kerja.”
“Makasih, Ma. Aku berangkat dulu ya,” pamit Ify.
Ify membuka pintu pagar dan bergegas ke sekolah. Ada seseorang yang harus dia temui sekarang juga.

@(^-^)@

Ify melangkah dengan cepat menyusuri koridor sekolah menuju kelas Rio. Ranselnya masih nangkring dengan manis di punggungnya, tapi gulungan spanduk udah pindah ke dalam genggaman tangannya.
Mata Ify mencari sosok Rio di dalam kelas yang udah lumayan ramai pagi itu. Begitu matanya menemukan Rio yang lagi duduk di meja bersama beberapa temannya, Ify langsung memanggilnya.
“Rio!”
Cowok itu terkejut mendengar teriakan itu. Dia menoleh ke asal suara dan mendapati Ify sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Rio tersenyum lalu berdiri dan berjalan mendekati Ify.
“Ada apa, Fy, pagi-pagi udah cari gue?” tanya Rio manis.

“Nggak usah sok innocent deh!” bentak Ify tanpa memedulikan tatapan anak-anak kelas satu yang mengarah padanya. “Apa maksud lo dengan semua ini?” Ify menunjukkan gulungan spanduk di tangannya, tepat di depan hidung Rio.
“Ini...,” Rio mengambil gulungan spanduk dari tangan Ify sambil tersenyum, “adalah wujud permintaan maaf gue ke elo.”
“Lo pikir gue cewek gampangan yang langsung klepek-klepek kalau dikasih bunga?”
“Ify, kenapa sih elo selalu menganggap negatif semua hal yang gue lakukan buat elo?” tanya Rio pelan. “Gue melakukan semua itu dengan tulus, sama sekali nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma mau minta maaf sama elo.”
“Trus, lo pikir dengan begitu gue bakal maafin elo?”

“Paling nggak, gue udah usaha, kan?”

“Lo salah!” bentak Ify. “Gue bukan cewek gampangan yang seneng dirayu sama bunga. Lo mau kasih gue seratus mawar kek, gue nggak akan peduli. Asal lo tau, Yo, gue paling benci cowok gombal kayak elo!”
Ify membalikkan badannya dan segera berlalu dari kelas Rio.
“Tunggu, Fy!” tahan Egi. “Gue cuma mau minta maaf sama elo, dan bukan membuat elo semakin membenci gue.”
Ify menatap kedua bola mata Rio dengan tajam dan tanpa suara. Sorot matanya seakan ingin menusuk lawan bicaranya. Rio perlahan melepaskan tangannya dari lengan Ify.
“Fy, please, maafin gue,” Rio memohon dengan wajah memelas. Jujur, dia benar-benar tertekan menghadapi gadis keras kepala ini. Dia nggak tahu bagaimana lagi caranya meluluhkan hati Ify. Dia tersiksa menghadapi sikap ketus Ify. Dia nggak mau gadis ini sampai benar-benar membencinya. Dia takut kehilangan Ify.
Tapi Ify tetap cuek. Dia nggak peduli dengan usaha-usaha Rio untuk meluluhkan hatinya. Dia nggak peduli dengan permohonan maaf Rio. Dia juga nggak peduli dengan wajah memelas di depannya itu. Ify telanjur sakit hati, dan dia nggak mau itu terulang untuk kedua kailnya. Baginya, membuka hatinya untuk Rio adalah sebuah kesalahan.

@(^-^)@

Malam itu Ify duduk di ruang tamu sambil membaca catatan matematika buat ulangan besok. Mama sedang sibuk di dapur membersihkan piring-piring bekas makan malam. Sebenarnya Ify mau ikut bantuin sih, tapi batal gara-gara Oom Frans udah duluan turun tangan membantu Mama membereskan meja makan. Ify malas kalau harus nimbrung di tengah-tengah mereka. Meskipun Oom Frans ayah kandungnya, Ify tetap belum bisa menerima kehadiran laki-laki itu. Ify masih merasa asing dan belum sepenuhnya memaafkan dia.
Ify pengin segera masuk kamar setelah makan malam tadi dan menghindar dari laki-laki itu. Tapi Ify ingat percakapannya tadi pagi dengan Mama: Ify nggak mau mengecewakan Mama. Jadi dia terpaksa duduk manis di ruang tamu, meskipun nggak ngobrol dengan Oom Frans seperti permintaan Mama. Paling tidak, dia nggak mengunci diri di kamarnya.
Ify membalik halaman buku catatannya dan mulai mempelajari materi buat ulangan besok. Mulutnya komat kamit menghafalkan rumus dan bola matanya berputar-putar. Dia nggak sadar Oom Frans sudah berdiri di dekatnya.

“Besok ada ulangan ya, Fy?” suara Oom Frans mengagetkan Ify.

“Iya,” jawab Ify sekadarnya.
Oom Frans duduk di dekat Ify sambil tersenyum. Ify menatap laki-laki itu kesal. Pede banget dia, duduk dekat-dekat tanpa permisi dulu, rutuk Ify dalam hati.

“Katanya tadi pagi ada kiriman bunga ya di halaman?” tanya Oom Frans.

“Itu bukan urusan Oom,” jawab Ify keki. Sejak kapan laki-laki ini mulai berani ikut campur dalam masalahnya?

“Pasti cowok yang mengirim mawar itu sangat menyukai kamu...” Oom Frans seakan nggak peduli dengan kekesalan yang tersirat di wajah Ify.

“Udah aku bilang, ini bukan urusan Oom!”

“Kamu memang cantik seperti mamamu, wajar saja kalau banyak cowok yang jatuh hati padamu.”

“Laki-laki semua sama aja,” sindir Ify. “Cuma manis di mulut, tapi hatinya lebih busuk daripada sampah.”

“Tidak semua laki-laki seburuk yang kamu pikirkan, Fy.”

“Tapi semua laki-laki yang hadir dalam hidupku malah membuat dugaanku semakin tepat.”
Oom Frans menghela napas, lalu berkata lembut, “Apa yang Oom lakukan dulu memang tidak layak untuk mendapatkan maaf. Oom telah membuat hidupmu menderita, dan Oom pula yang telah membuatmu selalu berpikir negatif tentang laki-laki.”
Ify cuma diam. Kali ini dia nggak bereaksi dengan ucapan Oom Frans.

“Kalau dulu Oom berpamitan dengan mamamu sebelum berangkat ke Pekanbaru dan mengatakan kesediaan Oom untuk bertanggung jawab, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Kita pasti akan menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Dan mungkin kamu tidak akan bersikap dingin pada laki-laki,” lanjut Oom Frans. “Tapi apalah guna sebuah penyesalan. Yang sudah terjadi tak mungkin dapat diulang kembali. Saat ini Oom hanya berusaha memperbaiki semua kesalahan Oom dulu dan memperjuangkan kebahagiaan yang sangat Oom inginkan saat ini, yaitu membahagiakan kamu dan mamamu.”

“Membahagiakan aku dan Mama?”

“Benar, itulah tujuan hidup Oom saat ini,” jawab Oom Frans. “Ify, saat kamu mencintai seseorang dengan tulus, maka bagimu yang terpenting adalah melihat orang yang kamu cintai itu bahagia. Dan itulah yang Oom rasakan saat ini.”
Ify menatap laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang sejak dulu begitu dibencinya. Entah kenapa untaian kata yang keluar dari mulut lelaki itu mengusik hatinya. Ify berusaha mencari kejujuran dan ketulusan di wajah Oom Frans. Apa kata-kata yang keluar dari mulutnya berasal dari hati? Dan Ify menemukan jawabannya. Oom Frans nggak akan menipu. Tatapannya yang lembut dan penuh kasih membuat hati Ify terasa hangat dan nyaman.

“Boleh aku bertanya satu hal?” tanya Ify pelan.
Oom Frans mengangguk sambil tersenyum.

“Jika seseorang yang Oom percaya dan cintai mengkhianati Oom, apa yang akan Oom lakukan?”

“Tentu saja Oom akan marah,” jawab Oom Frans. “Tapi dalam cinta selalu ada maaf yang tiada batasnya. Dan itu pula yang akan Oom lakukan.”

“Seperti Mama memaafkan Oom?”

“Mungkin seperti itu.”

Ify teringat percakapannya dengan Mama tadi pagi tentang alasan Mama memaafkan Oom Frans. Sekarang bia baru mengerti alasan itu. Alasan yang sederhana tapi memiliki kekuatan yang begitu dahsyat sehingga Mama dengan mudah melupakan sakit hatinya dan menerima laki-laki ini kembali. Alasan itu adalah cinta.
Ify bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Oom Frans tanpa sepatah kata pun. Oom Frans hanya diam. Dia menatap punggung Ify sambil tersenyum. Dia sadar, kesalahannya terlalu besar dan nggak mudah untuk membuat Ify mau memaafkannya. Dia telah menelantarkan anaknya selama bertahun-tahun. Terlalu muluk rasanya jika dia mengharapkan Ify dengan tersenyum lebar langsung menerimanya kembali. Meskipun sesungguhnya hatinya nggak dapat menahan rasa rindu untuk dapat memeluk anak yang terus dicarinya selama ini.

Tiba-tiba Ify menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Oom Frans. Matanya beradu dengan tatapan hangat lelaki itu.
Lalu Ify berkata, “Jangan pulang malam-malam. Bahaya, Oom...”
Suara Ify yang lembut membuat Oom Frans terbelalak kaget. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban.
Ify masih berdiri di tempatnya sambil menatap Oom Frans, lalu kembali berkata, “Aku mau tidur dulu karena besok harus sekolah...”
Lagi-lagi Oom Frans hanya mengangguk.
Ify membalikkan badannya dan kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan berbalik menatap ayahnya lagi.

“Aku memang sangat membenci Oom,” katanya pelan. Lalu dia menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Tapi aku juga sangat merindukan Papa...”
Oom Frans terdiam. Jantungnya berdetak kencang dan darahnya seakan bergolak. Perasaan bahagia perlahan meluap dalam dirinya. Senyum tersungging di bibirnya dan air mata menggenangi pelupuk matanya. Lelaki itu tak bisa menahan haru yang membungkus hatinya. Lidahnya terasa kelu dan tubuhnya terasa kaku. Saat ini ia terlalu bahagia.
Sama seperti Ify. Rasa lega memasuki kalbunya. Kehangatan dan kebahagiaan menyelimuti dirinya. Dia sama sekali nggak menyangka, lidahnya mampu memanggil laki-laki itu “Papa”. Dan panggilan itu telah menyembuhkan begitu banyak koreng yang membuat cacat hatinya. Ify nggak bisa memungkiri, jauh di lubuk hatinya dia merindukan laki-laki itu. Laki-laki yang mulai detik ini dan selamanya akan dipanggilnya Papa.

@(^-^)@

“Ify...” Suara Mama terdengar dari balik pintu kamar Ify. “Kamu sudah tidur, Sayang?”
Ify menutup catatan matematikanya dan berjalan membukakan pintu.

“Ada apa, Ma?” tanyanya begitu pintu kamarnya terbuka. “Aku masih belajar buat ulangan besok.”
Mama tersenyum. “Papamu sudah pulang.”

“Aku tau,” sahut Ify. “Aku dengar suara mobilnya.

“Papamu nggak mau mengganggu kamu,” kata Mama. “Dia takut kamu sudah tidur.”
Ify menganggukan kepala.
Mama diam. Ify juga diam.
“Fy...” Mama buka suara. “Makasih, ya.”

“Makasih buat apa, Ma?”

“Makasih karena kamu sudah memaafkan papamu.”
Ify diam. Dia menyandarkan tubuhnya di pintu kamar.

“Ma, apa sekarang Mama bahagia?” tanya Ify kemudian.

“Mama bahagia,” jawab Mama mantap. “Mama bahagia karena Mama memiliki putri seperti kamu.”

“Aku juga bahagia, Ma,” sahut Ify. “Mama nggak perlu bilang makasih sama aku karena memang sudah wajib hukumnya seorang anak mengakui ayahnya.”

Mama tersenyum lalu merengkuh tubuh Ify ke dalam pelukannya. “Mama sayang kamu, Fy, dan Mama bangga padamu.”
Ify membalas pelukan Mama. “Ma, di pesta pernikahan Mama dan Papa nanti, aku jadi pengiring pengantin wanitanya, ya?”
Mama tertawa. “Iya, Sayang.”
Ify ikut tertawa. Rasanya belum pernah ia merasa begitu bahagia seperti hari ini. Begitu hebatkah kekuatan cinta dan maaf?
Dering telepon membuat pelukan ibu dan anak itu terlepas.

“Mama angkat telepon dulu, ya.”
Ify mengangguk lalu menutup pintu kamarnya begitu Mama pergi. Ia menghela napas panjang lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Rasanya nggak percaya, dia dan Mama bisa tertawa seperti tadi. Hatinya kini terasa seringan kapas.

“Ify!” suara Mama memanggil Ify.
Ify terlonjak kaget dan langsung bangkit dari tidurnya.

“Telepon, Fy! Dari Sivia!” ujar Mama. “Katanya penting!”

“Iya, Ma!” sahut Ify lalu bergegas keluar dari kamar.
Mama menyerahkan gagang telepon kepada Ify lalu menghilang ke kamarnya.

“Halo,” sapa Ify.

“Sori, Fy, gue ganggu malam-malam gini.”

“Nggak apa-apa, Vi,” kata Ify. “Gue juga belum tidur kok.”

“Gue cuma mau menyampaikan kabar buruk.”

“Kabar buruk?” tanya Ify heran. “Kabar buruk apa?”

“Bokapnya Shilla meninggal.”

“MENINGGAL?!” pekik Ify.

“Iya, baru aja.”

“Kenapa?”

“Gue juga nggak tau,” jawab Sivia. “Terakhir kali gue jenguk bokapnya di rumah sakit, bokapnya masih bisa ngomong. Mungkin memang penyakitnya udah benar-benar parah.”

“Bokapnya Shilla masuk rumah sakit, kok lo nggak kasih tau gue?”

“Bukannya lo lagi musuhan sama Shilla?” Sivia malah balik bertanya dengan nada sinis.

“Bukannya lo nggak mau denger gue dan Agni nyebut nama Shilla?”
Ify terdiam. Sivia benar. Selama ini dia yang melarang Sivia dan Agni membicarakan Shilla. Dia yang marah-marah waktu Sivia dan Agni mempertemukannya dengan Tammy. Dia yang menutup telinganya rapat-rapat setiap kali Sivia dan Agni menyebut nama Shilla. Jadi wajar saja kalau kedua temannya ini tidak memberitahunya kabar tentang papanya Shilla.

“Vi, boleh gue tau bokapnya Shilla disemayamkan di mana?”

“Sekarang masih di rumah sakit,” jawab Sivia. “Besok baru dipindah ke rumah duka. Gue belum tau bakal dimakamkan di mana.”
Penyesalan masih merasuki hati Ify. Dia nggak tahu harus berkata apa. Sampai telepon ditutup, Ify nggak banyak bicara. Perasaannya saat ini benar-benar kacau.
Ify berjalan gontai menuju kamar Mama, lalu mengetuk pintunya pelan.
Pintu terbuka dan wajah Mama muncul dari baliknya.

“Ada apa, Fy?” tanya Mama.


“Aku boleh ke rumah sakit, Ma? Sekarang.”

“Ke rumah sakit?” Mama bertanya heran. “Ada apa?”

“Papanya Shilla meninggal.”

“Meninggal?”
Ify mengangguk. “Boleh ya, Ma?”

“Apa nggak bisa ditunda besok saja, Fy. Ini sudah malam.”

“Nggak bisa, Ma. Perasaanku nggak tenang.”
Mama menatap Ify dalam-dalam. Ia ragu memberikan izin untuk Ify. Ini sudah malam, berbahaya bagi anak perempuan pergi sendirian

Please, Ma,” mohon Ify. “Aku nggak akan lama. Aku cuma mau ketemu dan bicara sama Shilla sebentar saja.”
Mama menghela napas. “Baiklah, tapi biar papamu yang mengantar kamu.”

“Jangan, Ma,” tolak Ify segera. “Kasihan Papa. Dia baru aja pulang, masa harus balik lagi ke sini dan mengantar aku ke rumah sakit. Papa pasti capek.” “Papamu pasti bersedia,” tegas Mama, “karena ini untuk putrinya.”
Ify nggak membantah lagi. Mama langsung berjalan menuju meja telepon dan menghubungi nomor handphone Papa.

No comments:

Post a Comment