Pacarku
Juniorku [6] –Rahasia Terbongkar!-
KISAH Sivia dan Gabriel memang berakhir hari itu. Tapi kisah baru
antara Sivia dan Alvin baru aja dimulai. Sivia memang nggak langsung menjadikan Alvin sebagai pacarnya. Sivia bilang dia masih butuh
waktu untuk mengobati luka di hatinya. Lagi pula dia takut jika dia hanya
memanfaatkan Alvin sebagai perlarian sesaat. Tapi Alvin bersikeras untuk
menunggu sampai Sivia benar-benar bisa melupakan Gabriel dan membuka hati untuk
menerima dirinya. Alvin baik banget ya!
Sekarang ini sudah tepat satu minggu siswa-siswi SMA Constantine 4
menghadapi ujian semester. Akhirnya masa ujian pun berlalu. Ekspresi lega mulai
muncul di sela-sela wajah kusut yang sejak kemarin bertebaran di mana-mana.
Apalagi bagi Ify dan teman-temannya, yang tahun ini bakal meninggalkan bangku
SMA, masa-masa ujian jadi masa-masa yang paling menyiksa. Semua guru
terus-menerus memberi latihan soal yang katanya sebagai persiapan buat
menghadapi ujian akhir nanti plus berbagai macam wejangan, aturan, dan ocehan
sebagai pelengkapnya. Anak-anak kelas tiga dibuat nggak punya waktu untuk
memikirkan masalah lain selain belajar.
Ify yang udah nggak sibuk lagi di OSIS karena udah menyerahkan
jabatannya pada adik kelas mulai berkonsentrasi pada ujian dan persiapannya
memasuki masa kuliah.
Ify juga kini lebih tenang. Rio nggak pernah “mengganggunya” lagi.
Memang, pernah beberapa kali cowok itu berpapasan dengannya. Rio paling hanya
tersenyum, tapi Ify tak pernah membalasnya. Ify juga kadang-kadang merasa Rio
memerhatikannya dari jauh, itu pun tetap tak dipedulikan oleh Ify.
Siang itu, Ify, Sivia, dan Agni duduk-duduk di pinggir lapangan
sambil menikmati segelas es cendol. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat
mendinginkan otak mereka yang udah panas gara-gara disuruh mikir terus selama
seminggu ini.
“Gimana ujian Inggris tadi?” tanya Sivia mengawali percakapan.
“Pada bisa nggak?”
“Please deh, Vi,” sahut Agni. “Gue baru aja mau
mendinginkan otak gue. Jadi jangan sebut-sebut kata „ujian‟ lagi di depan gue.
Kepala gue udah mau meledak!”
Sivia tersenyum dan kembali menikmati es cendolnya.
“Eh iya, Shilla mana?” tanya Ify.
“Udah pulang duluan,” jawab Agni. “Dia bilang sih mau nganter
nyokapnya ke salon.”
“Tuh anak kayaknya udah nggak pernah lagi ya, ngumpul bareng
kita,” ujar Ify
“Sepertinya Shilla agak sibuk akhir-akhir ini,” sambung Sivia.
“Tapi kok gue malah merasa dia lagi menghindar dari kita,” Ify sok
menganalisis. “Feeling gue mengatakan dia sedang menyembunyikan sesuatu
dari kita.”
“Ah, itu pasti cuma perasaan lo doang,” celetuk Sivia. “Shilla nggak mungkin menghindari kita.
Kita kan sahabatnya.”
“Kan gue cuma feeling,” Ify membela diri.
“Nanti malam gue coba telepon dia deh,” kata Sivia. “Siapa tau dia
lagi ada masalah.”
Ify dan Agni mengangguk bersamaan.
“Hei, biar otak kita jadi fresh lagi, gimana kalo habis ini
kita ke MTA?” usul Sivia.
Ify dan Agni tidak langsung menjawab. Mereka mengira-ngira, berapa
sisa uang di dompet mereka.
“Gue yang bayarin!” cetus Sivia.
“Setuju banget!” teriak Agni dan Ify berbarengan. Kalau ditraktir,
mereka tak perlu berpikir dua kali.
@(^-^)@
Siang itu Mal Taman Anggrek nggak terlalu ramai. Ify, Agni dan
Sivia menaiki eskalator menuju bioskop yang ada di lantai atas. Setelah
berunding, Ify dan Agni dengan mantap memutuskan minta ditraktir nonton aja. Sivia
yang terpaksa mengambil uang di ATM dulu cuma bisa mengangguk pasrah.
“Mau nonton apa nih?” tanya Sivia sesampainya mereka di bioskop.
“Sky High aja deh. Gue belum nonton tuh,” usul Agni.
“Nggak ah!” Ify nggak setuju. “Skeleton Key aja. Kayaknya
lebih tegang.”
“Sky High aja. Bukannya ngilangin stres, Skeleton Key malah
bikin gue tambah stres nanti,” Agi bersikeras.
“Skeleton Key aja. Semakin tegang semakin bagus. Biar otak
gue yang kusut gara-gara ujian bisa fresh lagi!”
“Stop!” Sivia menghentikan perdebatan Ify dan Agni. “Biar gue yang
nentuin mau nonton apa.”
Ify dan Agni diam dan manyun.
“Kita nonton Dealova aja,” putus Sivia.
“HAH?!” seru Ify dan Agni bersamaan.
“Iya... berhubung gue lagi kasmaran, gue mau nonton yang
cinta-cintaan aja. Bukan Sky High, bukan Skeleton Key.”
“Hah? Lo lagi kasmaran, Vi? Jadi, lo udah nerima Alvin nih?” goda Agni.
Sivia cuma senyam-senyum.
“Demi temen yang lagi kasmaran, gue ngalah deh,” ujar Agni.
“Tapi, Vi, lo tau kan, gue nggak suka cerita-cerita roman kayak
gitu,” tambah Ify.
“Biarin. Kan gue yang traktir, jadi gue yang nentuin mau nonton
apa,” kata Sivia, lalu berjalan dengan cueknya menuju loket untuk membeli
tiket.
“Yah... alamat tidur di bioskop deh gue,” dumel Ify.
Agni cuma nyengir mendengar ucapan sobatnya itu.
“Ag, gue keluar dulu ya sebentar. Sivia masih lama ini beli
tiketnya,” ujar Ify.
Agni yang sedang melihat-lihat poster film yang akan ditayangkan
bertanya tanpa menoleh, “Ngapain?”
“Mau beli crepes dulu. Lo mau?”
“Nggak deh!”
“Ya udah.” Ify keluar dari bioskop menuju counter crepes yang
ada di depan bioskop.
Ify memesan satu hot crepes untuk dirinya sendiri. Sambil
menunggu pesanannya dibuat, ia mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba
tatapannya terhenti pada sepasang pria dan wanita yang duduk di restoran yang
nggak jauh dari tempatnya berdiri. Ify merasa sosok perempuan setengah baya
yang tengah dilihatnya itu mirip sekali dengan Mama. Ify berusaha menegaskan
pandangannya. Perlahan dia berjalan mendekati restoran itu. Sosok perempuan itu
semakin jelas, dan sekarang dia mengenali perempuan itu. Ya, itu memang Mama!
Mama sedang duduk bersama seorang pria yang sama sekali nggak Ify
kenal. Mama tampak begitu ceria. Beberapa kali dia tertawa sambil menatap pria
yang duduk di hadapannya. Sudah lama Ify nggak pernah melihat wajah Mama
seceria itu. Wajah Mama saat ini mirip dengan wajah Sivia setiap kali berbicara
dengan Alvin.
Ify nggak berani memercayai apa yang dia lihat. Tangan laki-laki
itu menggenggam tangan Mama, sedangkan Mama hanya diam, tersenyum, dan menatap
laki-laki itu dengan lembut. Mama benar-benar seperti anak ABG yang sedang
dilanda asmara. Ify yakin, Mama pasti
punya hubungan khusus dengan laki-laki itu. Atau jangan-jangan... itu laki-laki
yang sama dengan laki-laki yang sering mengantar Mama pulang ke rumah.
Ify benar-benar nggak tahan melihatnya. Dia nggak suka melihat
Mama bertingkah seperti itu. Dia nggak akan rela mamanya disakiti lagi seperti
ketika Papa Ivan menyakiti Mama.
Bia berjalan cepat memasuki restoran itu.
“Mama!” tegur Ify keras.
Mama Bia terlonjak kaget, “ify...”
“Siapa laki-laki ini, Ma? Punya hubungan apa dia sama Mama sampai
Mama membiarkan dia megang-megang tangan Mama?” cecar Ify.
Seluruh mata yang ada di restoran itu memandang mereka. Tapi Ify
nggak peduli.
“Tenang dulu, Fy... Biar Mama jelasin ke kamu.” Mama bangkit
berdiri dan berusaha menenangkan Ify. Ia menarik tangan Ify untuk duduk di
sebelahnya. Namun dengan kasar Ify menepisnya.
“Ify... kamu jangan salah paham,” kata Mama.
“Salah paham? Aku salah paham? Ma, tingkah laku Mama sama
laki-laki ini udah aku lihat jelas, dan Mama masih bilang aku salah paham?”
“Bukan begitu, Fy...”
Ify menepis tangan Mama yang berusaha memegang bahunya, lalu ia
mendekati laki-laki itu. “Gue kasih tau ya, jangan coba-coba deketin nyokap
gue, atau lo akan menyesal!”
“IFY!” hardik Mama. “Jangan bicara nggak sopan sama orang tua!”
“Orang tua?” tanya Ify sambil tertawa. “Dia akan Ify anggap
sebagai orang tua kalau tingkah lakunya benar-benar mencerminkan orang tua.
Bukan seperti playboy yang lagi cari mangsa!”
PLAK! Tangan Mama melayang ke pipi Ify sambil berkata tajam, “Jangan
bicara sekasar itu pada papamu!”
Ify terperangah. Dia nggak percaya pada apa yang didengarnya.
“Ap-apa maksud Mama?”
Wajah Mama berubah pucat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.
“Fy, kita bicara pelan-pelan. Ada banyak hal yang harus Mama
jelaskan ke kamu.”
“Apa maksud Mama?” Ify nggak memedulikan kata-kata Mama. “Siapa
yang Mama sebut papaku?”
“Ify... kamu duduk dulu, Sayang,” pinta Mama penuh permohonan.
Sementara laki-laki yang bersama Mama tampak kikuk. Dia mau bicara, tapi tak
jadi.
Ify menggeleng. Dia nggak perlu penjelasan Mama. Kata-kata singkat
Mama tadi udah menjelaskan status laki-laki yang sekarang berdiri di sebelah
Mama. Laki-laki bertubuh tegap dan berjambang tipis itu adalah laki-laki yang
sudah meninggalkan dirinya dan Mama. Laki-laki itulah yang telah membuat mereka
menderita selama ini. Laki-laki itulah yang telah membuat Ify terlahir di dunia
ini tanpa mengenal kasih sayang seorang ayah.
Ify berbalik dan keluar dari restoran tanpa memedulikan teriakan
Mama. Dia berlari cepat menuruni eskalator. Dia nggak peduli dengan crepes pesanannya,
Sivia, serta Agni yang tengah menunggunya di bioskop. Ify terus berlari dan
berlari.
@(^-^)@
Bagi Ify ini seperti mimpi buruk. Bahkan langit yang sedang mendung
seakan turut memahami sakit hatinya ini. Ify menyusuri trotoar dan berjalan
tanpa tujuan. Dia nggak mau pulang ke rumah karena dia sama sekali nggak mau
ketemu Mama. Hatinya sakit dan marah. Ify belum siap menghadapi semua kejadian
ini.
IFY nggak percaya, laki-laki yang udah meninggalkannya selama 17
tahun tiba-tiba muncul di hadapannya dan duduk mesra bersama mamanya. Ify nggak
tahu harus gimana. Dia marah, sedih, kecewa, bahkan benci dengan semua yang
harus dia hadapi ini. Dia nggak mau mendengar penjelasan apa pun, dia nggak mau
mendengar permohonan maaf dari mulut laki-laki itu apalagi menerimanya sebagai
papanya. Ify benci mamanya, juga laki-laki brengsek itu. Ify ingin semua yang
ada di dunia ini menghilang. Ify nggak mau lagi menghadapi masalah-masalah yang
menyesakkan dadanya ini. Ify lelah... sangat lelah.
“IFY!”
Ify mendengar seseorang
memanggil namanya. Ia menoleh sejenak. Ada dua cowok berjaket hitam yang
berboncengan di sepeda motor. Ify menghentikan langkah. Sepeda motor itu
berhenti. Cowok yang duduk di boncengan turun lalu melepaskan helm yang
dipakainya.
Cowok itu... RIO!
“Halo, Fy!” sapa Rio sambil menenteng helm di tangan kanannya.
“Kita jodoh banget ya, di jalanan segede ini aja kita masih bisa ketemu.”
Ify nggak membalas sapaan Rio. Dia malah membuang muka lalu
meneruskan langkahnya. Tapi Rio buru-buru menahannya.
“Eits, jangan pergi dulu. Lo mau ke mana, Fy? Sendirian ya? Gue
temenin ya?”
“Please, Yo. Jangan halangi jalan gue,” kata Ify, tapi kali
ini sama sekali nggak ada nada kasar seperti biasanya.
Rio mengernyitkan dahinya. Dia merasa ada yang aneh pada gadis
yang sedang berdiri di hadapannya ini. Tapi dia memilih diam dan menyingkir
dari hadapan Ify.
Ify kembali berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Rio menatap Ify
dan semakin yakin pasti Ify sedang ada masalah.
“Ky, lo baik aja duluan,” kata Rio pada Kiky yang masih duduk di
atas motor.
Kiky membuka helmnya. “Lo mau ke mana sih? Mau ngejar tuh cewek?”
“Itu urusan gue,” jawab Rio singkat sambil menyerahkan helmnya
pada Kiky dan langsung berlari mengejar Ify.
“Dasar bego. Cewek kayak gitu kok dikejar,” rutuk Kiky pelan. Dia
memang nggak benar-benar setuju dengan pilihan hati Rio, tapi sebagai teman, Kiky
tahu Rio benar-benar udah jatuh cinta pada cewek galak itu.
Rio berlari mengejar Ify yang tengah menaiki jembatan
penyeberangan. Jaket hitam melindungi tubuhnya dari udara yang mulai dingin
karena akan turun hujan. Langit mulai menghitam dan sesekali terdengar suara
guntur bergemuruh.
Ify berjalan tanpa peduli pada orang-orang di sekelilingnya yang
mulai berlari-lari takut kehujanan. Mendekati ujung jembatan, Ify memperlambat
langkahnya dan mendekati pagar jembatan. Kepalanya ditengadahkan menatap
langit. Sesaat kemudian ia kembali menatap jalan raya yang terhampar di bawah
jembatan.
Rio yang sudah sampai di atas jembatan berusaha mencari sosok Ify.
Pandangannya sampai pada seorang cewek yangsedang berdiri memegangi pagar
jembatan sambil menatap ke bawah. Jantungnya berdetak kencang. Apa Ify mau
bunuh diri?
“IFY...!” panggil Rio sambil berlari menghampiri Ify lalu menarik
tangannya menjauhi sisi jembatan. “Apa-apaan si lo? Seberat apa pun masalah
yang lo hadapi, lo nggak boleh berpikiran sempit apalagi kalau sampai bunuh
diri. Itu dosa, Fy!” hardik Rio.
Ify menatap Rio yang menggenggam pergelangan tangannya kuat-kuat.
Lalu ia tertawa. “Lo pikir gue cewek bego? Siapa yang mau bunuh diri? Gue masih
sangat menghargai hidup gue.”
Rio terpana. Ternyata dugaannya salah. Dilepasnya tangan Ify
dengan perasaan lega. Ify masih tertawa lalu kembali berjalan mendekati sisi
jembatan. Rio mengikutinya dan berusaha menjajari langkah Ify.
“Lo nggak mau pulang, Fy?” tanya Rio. “Udah mau hujan lho.”
“Jangan peduliin gue deh. Gue nggak butuh perhatian lo,” jawab Ify
ketus.
Rio diam. Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari tempatnya.
Gemuruh guntur terdengar semakin kencang.
“Yo, apa sih yang elo suka dari gue?” tanya Ify tiba-tiba.
Mau nggak mau Rio kaget juga mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia
menjawab, “Awalnya ya karena wajah lo yang imut itu. Bisa dibilang, gue jatuh
cinta pada pandangan pertama. Tapi lama-kelamaan, gue jatuh cinta sama seluruh
diri lo.”
Hening sejenak di antara mereka. Hingga akhirnya Ify bertanya,
“Sampai kapan lo akan menyukai gue?”
“Gue nggak tau sampai kapan,” jawab Rio. “Karena kalau gue bilang
sampai selamanya, jelas banget itu gombal.”
Ify diam. Rio menatap cewek yang berdiri di sampingnya dengan
sejuta tanya. Dia tahu Ify tengah dilanda masalah.
“Fy, kalau elo lagi punya masalah, cerita aja ke gue. Mungkin gue
nggak bisa bantu, tapi paling nggak dengan menceritakannya pada orang lain,
bisa meringankan beban yang mengimpit dada lo,” kata Rio pelan.
Ify tetap diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Tapi sesaat
kemudian, ia berkata lirih, “Gue marah sama nyokap gue. Gue benar-benar marah
sama dia...”
Rio menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Mmm...
boleh gue tau alasannya?”
Lagi-lagi Ify diam. Namun kemudian ia kembali menjawab, “Gue
merasa ditipu nyokap gue, Yo.”
Rio diam. Dia sama sekali nggak menanggapi kata-kata Ify.
Ify menarik napas, lalu kembali melanjutkan ceritanya, “Gue lahir
tanpa pernah tau siapa ayah kandung gue. Nyokap gue nggak pernah mau
menceritakan asal-usul gue sebenarnya. Gue besar tanpa pernah tau siapa ayah
kandung gue. Yang gue tau, gue cuma anak haram. Anak di luar nikah. Saat nyokap
gue menikah lagi dengan Papa Ivan, gue pikir gue akan memiliki seorang ayah
yang bisa gue banggakan, tapi ternyata Papa Ivan juga meninggalkan nyokap gue
dan selingkuh dengan wanita lain.
“Gue kembali kehilangan seorang ayah. Gue emang nggak pernah layak
punya ayah...”
Ify menghentikan ceritanya.
“Sori, Fy. Kalau tentang masa lalu lo itu, gue udah tau,” kata Rio
pelan.
“Wajar kalau lo tau karena ini bukan cerita baru. Semua orang juga
tau kalau gue cuma anak haram.”
“Jadi cuma itu masalahnya?” Rio bertanya kembali.
Ify menggeleng. “Masalahnya, laki-laki itu sekarang muncul.”
“Laki-laki itu?”
“Ya, laki-laki yang udah ninggalin gue dan nyokap gue begitu aja.
Laki-laki yang udah membuat gue disebut anak haram.”
“Maksud lo, bokap kandung lo?”
“Dia bukan bokap gue!” bentak Ify. “Gue nggak akan pernah mengakui
dia sebagai bokap gue. Gue nggak akan membiarkan dia kembali ke nyokap gue
setelah tujuh bleas tahun dia meninggalkan gue dan nyokap gue tanpa kabar
berita. Gue nggak akan pernah memaafkan dia! Laki-laki itu nggak layak gue
panggil Papa. Dari dulu gue nggak punya bokap dan sampai kapan pun gue nggak
akan punya bokap!”
Rio terpana. Dia nggak menyangka Ify akan seemosional ini.
“Fy, lo tau nggak... Sebenarnya... lo tuh beruntung banget.”
“BERUNTUNG?!”
“Iya, beruntung,” jawab Rio, “karena lo masih dikasih kesempatan
sama Tuhan untuk bertemu bokap lo dan mempersatukan lagi keluarga lo.”
Kali ini Ify terdiam.
“Apa lo pernah berpikir, Fy, betapa beruntungnya hidup lo?
Meskipun elo nggak tau siapa bokap kandung lo, lo selalu dihujani kasih sayang
berlimpah dari nyokap lo. Nggak seperti gue, yang dari lahir nggak pernah
sekali pun mengenal orangtua gue sebenarnya.”
Ify terkejut. Dia menoleh dan menatap Rio yang tersenyum di
sebelahnya.
“Orangtua gue yang sekarang ini sebenarnya bukan orangtua kandung
gue. Mereka mengadopsi gue dari panti asuhan waktu gue masih bayi. Pertama kali
gue mengetahui kenyataan itu, gue hampir gila. Gue marah sama semua orang, gue
marah sama Tuhan, gue juga marah sama diri gue sendiri. Gue bertanya-tanya
untuk apa orangtua kandung gue melahirkan gue kalau akhirnya mereka membuang
gue ke panti asuhan.”
Rio menghentikan ceritanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam.
“Tapi kata-kata nyokap angkat gue membuat gue sadar akan arti
kehidupan. Waktu itu, sambil nangis nyokap gue bilang, dia berterima kasih
karena orangtua kandung gue telah melahirkan gue ke dunia ini dan menitipkan
gue ke panti asuhan. Kalau itu nggak terjadi, nyokap gue nggak akan pernah
bertemu dan mengadopsi gue sebagai anaknya. Maka nyokap gue nggak pernah
memiliki seorang anak laki-laki yang begitu dia sayangi seperti dia menyayangi
gue. Kata-kata itu yang akhirnya menyadarkan gue untuk menerima semua kenyataan
ini sebagai bagian dari kehidupan gue. Gue mulai belajar bahwa semua yang
terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan yang pastinya indah buat gue pada
waktunya,” lanjut Rio.
“Yo, apa lo bisa memaafkan orangtua yang udah membuang elo itu?”
tanya Ify lirih.
“Gue nggak tau. Tapi kalau suatu hari nanti Tuhan ngizinin gue
untuk bertemu dengan mereka, gue akan mengucapkan terima kasih pada mereka,”
jawab Rio.
“Terima kasih?”
“Iya, terima kasih karena mereka tetap membiarkan gue lahir ke
dunia ini, terima kasih karena gue dititipkan ke panti asuhan dan bukan dibuang
ke jalanan, terima kasih karena mereka telah membuat gue bertemu dengan
orangtua angkat yang luar biasa baiknya, terima kasih karena mereka membuat gue
memiliki kehidupan yang layak, dan terima kasih karena mereka memberi gue
kesempatan untuk menghirup udara hari ini.”
Ify terpana. Setiap kata yang keluar dari mulut Rio seakan menusuk
hatinya. Direnunginya setiap kata itu satu demi satu.
“Apa menurut lo perginya bokap kandung gue dan perceraian nyokap
gue dengan Papa Ivan juga merupakan bagian dari rencana Tuhan?”
“Ya,” jawab Rio mantap.
“Kenapa?” tanya Ify lagi.
“Karena menurut gue, tanpa semua itu nggak akan ada Ify dengan
sifatnya yang keras tapi tegar, nggak akan ada Ify yang jagoan tapi berhati
lembut, nggak aka nada Ify yang berdiri di samping jembatan bersama gue hari
ini, dan nggak aka nada Ify yang membuat gue jatuh cinta dan tergila-gila...”
Ify terdiam. Tanpa ia sadari, pipinya memerah dan jatunya mendadak
berdebar keras. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir di dalam dirinya.
Titik-titik air turun dari langit. Udara dingin terasa semakin
menusuk. Tapi Ify tetap berdiri di tempatnya sambil memandang lurus ke depan.
Air hujan turun semakin deras. Tapi Ify bergeming. Rio pun tetap berdiri di
sebelah Bia tanpa suara. Dilepasnya jaket yang melekat di tubuhnya dan
disampirkannya di pundak Ify untuk melindungi gadis itu dari hujan yang turun
dengan derasnya serta angin yang bertiup kencang.
Ify melirik Rio yang masih berdiri di sebelahnya dengan kedua
tangan terlipat di depan dada melawan rasa dingin yang kian menusuk. Ify
tersenyum lalu menegadahkan kepalanya, menantang langit dengan kedua mata
terpejam. Dibiarkannya air hujan membasahi wajah dan membersihkan air mata yang
tanpa ia sadari mengalir dari sudut matanya.
@(^-^)@
Ify turun dari taksi tepat di depan rumahnya. Rambut dan sebagian
bajunya yang nggak tertutup jaket basah kuyup karena hujan. Rio-lah yang
mengantarnya naik taksi, dan Rio juga yang membayar taksinya.
Sebelum turun, tak lupa Ify mengucapkan terima kasih pada Rio,
yang dibalas dengan senyum manis cowok itu.
Hujan udah reda. Ify membuka pagar dan masuk ke rumah tanpa suara.
“Ify!” pekik Agni begitu dilihatnya Ify masuk dalam keadaan basah.
Mama dan Sivia yang juga berada di ruang tamu bersama Agni tampak
sama terkejutnya dengan Agni.
“Ify!” seru Mama yang langsung berlari menghampiri Ify dengan mata
berkaca-kaca. Sivia dan Agni mengikuti di belakang mama Ify dengan wajah cemas.
Mama langsung memeluk Ify dengan erat dan menangis kencang. Ify
tertegun. Dia nggak mengira semua akan menunggunya seperti ini. Dia juga sama
sekali nggak mengira Mama akan mengkhawatirkannya seperti ini.
“Kamu ke mana, Fy?” tanya Mama di sela isak tangisnya. “Kamu
benar-benar udah bikin Mama khawatir. Jangan hukum Mama dengan cara seperti
ini, Fy. Mama nggak bisa kehilangan kamu. Cuma kamu yang Mama miliki.”
Ify hanya diam dan menunggu sampai tangis Mama mereda. Lalu
perlahan dilepasnya pelukan Mama.
“Boleh aku mandi sekarang?” tanya Ify tanpa ekspresi. Entah
kenapa, walaupun emosinya telah mereda, masih ada yang mengganjal dalam
hatinya. Saat ini Ify masih ingin menyendiri dulu.
Mata Mama yang merah menatap Ify. Dari mata itu terpancar
kepedihan. Ify nggak berani memandang Mama. Dia mengalihkan pandangannya ke
arah Sivia dan Agni.
“Vi, Ag, sori udah bikin kalian cemas. Makasih banyak, tapi gue
rasa sekarang lebih baik kalian pulang karena gue mau sendiri dulu,” kata Sivia.
Sivia dan Agni nggak menjawab, tapi mereka mengerti permintaan Ify.
“Ya udah. Yang penting kami tau elo baik-baik aja. Sampai ketemu
di sekolah, Fy,” pamit Sivia. “Kami permisi dulu, Tante.”
Mama menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih
berulang-ulang kepada Sivia dan Agni. Sepeninggal mereka, Ify bergegas
mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Ify menatap wajahnya di depan cermin yang terpasang di balik pintu
kamar mandi. Dia baru menyadari bahwa di badannya masih menempel jaket Rio. Ify
melepas jaket itu dan menggenggamnya erat. Di hatinya menjalar perasaan hangat.
Kalau saja tadi Rio nggak ada, Ify yakin dia nggak akan tahu bagaimana caranya
menghadapi kejadian ini.
@(^-^)@
Ify berbaring di tempat tidurnya. Dia masih belum bicara dengan
Mama. Tadi sehabis mandi dia langsung masuk kamar dan mengunci diri. Dan yang
membuat Ify heran, sampai sekarang Mama belum berusaha memanggilnya dan bicara
dengannya. Sebenarnya Ify nggak mau seperti ini, tapi gengsinya membuat dia
bertahan untuk nggak bicara duluan sama Mama.
Tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu kamarnya. “Fy, boleh
mama bicara sama kamu?”
“Sebentar,” jawab Ify, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan
menuju pintu kamar.
Wajah Mama muncul dari balik pintu. Ify membiarkan Mama masuk ke
kamar. Ify duduk di atas tempat tidur dan menarik guling ke dalam pelukannya,
sedangkan Mama duduk di sebelahnya.
“Fy, apa kamu masih marah sama Mama?” tanya Mama pelan, mengawali
pembicaraan.
Ify diam saja.
“Mama minta maaf, Fy,” kata Mama. “Mama nggak bermaksud menampar
kamu. Kamu tau Mama sayang sama kamu.”
Ify tetap bungkam.
Mama menghela napas panjang lalu berkata, “Kalau kamu nggak mau
Mama berhubungan dengan Oom Frans, ayah kandungmu, Mama janji nggak akan
menemuinya lagi.”
Kali ini Ify menatap mamanya.
“Jadi namanya Frans?” tanya Ify.
Mama mengangguk.
“Apa dia laki-laki yang sering mengantar Mama pulang kerja?”
Sekali lagi Mama mengangguk.
“Sejak kapan dia kembali? Untuk apa dia datang lagi setelah sekian
lama dia ninggalin kita?”
“Mama bertemu dia lagi tiga bulan yang lalu. Dia menghubungi Mama
dan memohon untuk bertemu dengan Mama. Awalnya Mama menolak, tapi dia terus
memaksa. Akhirnya Mama setuju. Dari pertemuan itulah Mama tau alasan dia
meninggalkan Mama waktu itu.”
“Jadi apa alasannya? Apa alasan yang udah membuat dia meninggalkan
kita selama tujuh belas tahun?”
“Fy, sebenarnya... bukan dia yang meninggalkan Mama, tapi Mama
yang meninggalkan dia.”
“Maksud Mama?”
“Mama masih seumuran kamu sewaktu Mama mengandung kamu. Tapi saat
itu Mama sudah lulus SMA dan bekerja membantu kakekmu menjaga warung. Waktu
Mama mengatakan pada papamu bahwa Mama hamil, dia diam. Dia tidak merespons
kata-kata Mama. Mama marah. Tapi dia tetap diam, seakan tidak peduli pada apa
yang Mama katakan. Saat itu Mama berpikir dia tidak mau bertanggung jawab.
Kemudian selama hampir satu bulan lebih dia menghilang. “
“Nenek dan kakekmu yang akhirnya mengetahui kehamilan Mama membawa
Mama meninggalkan rumah dan pindah ke Magelang agar orang-orang tidak
mengetahui kehamilan Mama. Mama menetap di sana sampai Mama melahirkan kamu.
Mama membenci papamu dan tidak mau mendengar kabar apa pun tentang dia. Mama
bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai papamu...” Mama berhenti bicara.
“Tapi ternyata selama ini Mama salah,” lanjut Mama. “Papamu tak
pernah bermaksud meninggalkan Mama. Dia diam karena saat itu dia kaget dan
tidak tahu harus berbuat apa. Dia menghilang selama sebulan karena dia kembali
ke Pekanbaru menemui orangtuanya dan bersiap-siap ke Jakarta untuk melamar
Mama. Tapi saat kembali ke Jakarta, dia tidak menemukan Mama karena Mama telah
pindah ke Magelang tanpa memberitahu siapa pun. Dia berusaha mencari Mama tapi
tidak berhasil. Sampai akhirnya tiga bulan yang lalu dia tahu dari teman
sekolah Mama di mana tempat Mama bekerja.”
Ify mengernyitkan kening. “Mama lagi ngarang cerita apa sih?
Rasanya yang Mama ceritakan ini kayak sinetron aja.”
“Ini bukan karangan, Fy. Ini kenyataan!” bentak Mama.
Ify diam tanpa tahu harus menjawab apa.
“Selama ini mama tidak mau bercerita tentang ayah kandungmu karena
Mama marah dan membencinya. Mama mengira dia meninggalkan Mama dan tidak mau
bertanggung jawab. Mama mengikuti perintah Kakek dan Nenek untuk pindah ke
Magelang karena Mama ingin melupakan dia dan melahirkan kamu dengan tenang.
Mama sama sekali tidak tau bahwa ternyata pikiran Mama salah. Mama tidak tau
bahwa ternyata selama ini dia terus mencari Mama, mencari kita berdua.”
“Dia... apa dia belum menikah sampai sekarang?” tanya Ify ragu.
“Sudah.”
Ify terkejut. “Tapi katanya dia terus mencari Mama. Kalau dia
menikah, itu berarti dia nggak mengharapkan kita lagi.”
“Dia terpaksa menikahi gadis itu karena orangtuanya memaksa.
Laki-laki seusianya jelas harus menikah, apalagi dia telah memiliki karier yang
jelas. Kita tidak bisa menyalahkannya,” bela Mama. “Tapi sayangnya, istri dan
anaknya telah meninggal dua tahun yang lalu.”
“Meninggal?”
“Ya, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Anaknya sempat koma
selama dua minggu sebelum akhirnya meninggal.”
Ify memeluk guling erat-erat.
“Fy, papamu ingin... bertemu denganmu. Dia selalu meminta Mama
untuk mempertemukan dia dengan kamu, tapi Mama menolaknya karena Mama tau kamu
tidak akan bisa menerimanya begitu saja. Mama tau kamu sangat membenci dia.
Tapi bisakah kamu memberinya satu kali kesempatan untuk menjelaskan semuanya
padamu?” kata Mama lembut.
“Aku nggak tau, Ma. Aku nggak tau apa aku bisa bicara baik-baik
dengannya meskipun semua ini bukan murni kesalahannya. Dia udah ninggalin aku
selama tujuh belas tahun. Aku nggak tau apa aku bisa memaafkan dia.”
“Kalau begitu apa kamu mau memaafkan Mama? Keegoisan Mama yang
membuat kamu tidak pernah mengenal ayah kandungmu. Kalau waktu itu Mama percaya
pada ayahmu dan sabar menunggunya kembali, kamu tidak akan pernah disebut anak
haram,” kata Mama pelan. Air mata mengalir di pipinya.
Ify melepas guling di tangannya dan memeluk Mama dengan erat.
“Mama nggak salah. Nggak ada yang harus aku maafin dari Mama. Mama sama sekali
nggak salah.”
Mama menangis dan membalas pelukan Ify dengan hangat.
No comments:
Post a Comment