Tuesday, 8 May 2012

Pacarku Juniorku [6] -IC Version-


Pacarku Juniorku [6] –Rahasia Terbongkar!-

KISAH Sivia dan Gabriel memang berakhir hari itu. Tapi kisah baru antara Sivia dan Alvin baru aja dimulai. Sivia  memang nggak langsung menjadikan Alvin  sebagai pacarnya. Sivia bilang dia masih butuh waktu untuk mengobati luka di hatinya. Lagi pula dia takut jika dia hanya memanfaatkan Alvin sebagai perlarian sesaat. Tapi Alvin bersikeras untuk menunggu sampai Sivia benar-benar bisa melupakan Gabriel dan membuka hati untuk menerima dirinya. Alvin baik banget ya!

Sekarang ini sudah tepat satu minggu siswa-siswi SMA Constantine 4 menghadapi ujian semester. Akhirnya masa ujian pun berlalu. Ekspresi lega mulai muncul di sela-sela wajah kusut yang sejak kemarin bertebaran di mana-mana. Apalagi bagi Ify dan teman-temannya, yang tahun ini bakal meninggalkan bangku SMA, masa-masa ujian jadi masa-masa yang paling menyiksa. Semua guru terus-menerus memberi latihan soal yang katanya sebagai persiapan buat menghadapi ujian akhir nanti plus berbagai macam wejangan, aturan, dan ocehan sebagai pelengkapnya. Anak-anak kelas tiga dibuat nggak punya waktu untuk memikirkan masalah lain selain belajar.

Ify yang udah nggak sibuk lagi di OSIS karena udah menyerahkan jabatannya pada adik kelas mulai berkonsentrasi pada ujian dan persiapannya memasuki masa kuliah.
Ify juga kini lebih tenang. Rio nggak pernah “mengganggunya” lagi. Memang, pernah beberapa kali cowok itu berpapasan dengannya. Rio paling hanya tersenyum, tapi Ify tak pernah membalasnya. Ify juga kadang-kadang merasa Rio memerhatikannya dari jauh, itu pun tetap tak dipedulikan oleh Ify.

Siang itu, Ify, Sivia, dan Agni duduk-duduk di pinggir lapangan sambil menikmati segelas es cendol. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat mendinginkan otak mereka yang udah panas gara-gara disuruh mikir terus selama seminggu ini.

“Gimana ujian Inggris tadi?” tanya Sivia mengawali percakapan. “Pada bisa nggak?”
Please deh, Vi,” sahut Agni. “Gue baru aja mau mendinginkan otak gue. Jadi jangan sebut-sebut kata „ujian‟ lagi di depan gue. Kepala gue udah mau meledak!”
Sivia tersenyum dan kembali menikmati es cendolnya.

“Eh iya, Shilla mana?” tanya Ify.

“Udah pulang duluan,” jawab Agni. “Dia bilang sih mau nganter nyokapnya ke salon.”

“Tuh anak kayaknya udah nggak pernah lagi ya, ngumpul bareng kita,” ujar Ify

“Sepertinya Shilla agak sibuk akhir-akhir ini,” sambung Sivia.

“Tapi kok gue malah merasa dia lagi menghindar dari kita,” Ify sok menganalisis. “Feeling gue mengatakan dia sedang menyembunyikan sesuatu dari kita.”

“Ah, itu pasti cuma perasaan lo doang,” celetuk  Sivia. “Shilla nggak mungkin menghindari kita. Kita kan sahabatnya.”

“Kan gue cuma feeling,” Ify membela diri.

“Nanti malam gue coba telepon dia deh,” kata Sivia. “Siapa tau dia lagi ada masalah.”
Ify dan Agni mengangguk bersamaan.

“Hei, biar otak kita jadi fresh lagi, gimana kalo habis ini kita ke MTA?” usul Sivia.
Ify dan Agni tidak langsung menjawab. Mereka mengira-ngira, berapa sisa uang di dompet mereka.
“Gue yang bayarin!” cetus Sivia.
“Setuju banget!” teriak Agni dan Ify berbarengan. Kalau ditraktir, mereka tak perlu berpikir dua kali.

@(^-^)@

Siang itu Mal Taman Anggrek nggak terlalu ramai. Ify, Agni dan Sivia menaiki eskalator menuju bioskop yang ada di lantai atas. Setelah berunding, Ify dan Agni dengan mantap memutuskan minta ditraktir nonton aja. Sivia yang terpaksa mengambil uang di ATM dulu cuma bisa mengangguk pasrah.
“Mau nonton apa nih?” tanya Sivia sesampainya mereka di bioskop.

Sky High aja deh. Gue belum nonton tuh,” usul Agni.

“Nggak ah!” Ify nggak setuju. “Skeleton Key aja. Kayaknya lebih tegang.”

Sky High aja. Bukannya ngilangin stres, Skeleton Key malah bikin gue tambah stres nanti,” Agi bersikeras.

Skeleton Key aja. Semakin tegang semakin bagus. Biar otak gue yang kusut gara-gara ujian bisa fresh lagi!”
“Stop!” Sivia menghentikan perdebatan Ify dan Agni. “Biar gue yang nentuin mau nonton apa.”
Ify dan Agni diam dan manyun.
“Kita nonton Dealova aja,” putus Sivia.
“HAH?!” seru Ify dan Agni bersamaan.
“Iya... berhubung gue lagi kasmaran, gue mau nonton yang cinta-cintaan aja. Bukan Sky High, bukan Skeleton Key.”
“Hah? Lo lagi kasmaran, Vi? Jadi, lo udah nerima Alvin nih?” goda Agni.
Sivia cuma senyam-senyum.
“Demi temen yang lagi kasmaran, gue ngalah deh,” ujar Agni.

“Tapi, Vi, lo tau kan, gue nggak suka cerita-cerita roman kayak gitu,” tambah Ify.

“Biarin. Kan gue yang traktir, jadi gue yang nentuin mau nonton apa,” kata Sivia, lalu berjalan dengan cueknya menuju loket untuk membeli tiket.

“Yah... alamat tidur di bioskop deh gue,” dumel Ify.
Agni cuma nyengir mendengar ucapan sobatnya itu.

“Ag, gue keluar dulu ya sebentar. Sivia masih lama ini beli tiketnya,” ujar Ify.
Agni yang sedang melihat-lihat poster film yang akan ditayangkan bertanya tanpa menoleh, “Ngapain?”

“Mau beli crepes dulu. Lo mau?”

“Nggak deh!”

“Ya udah.” Ify keluar dari bioskop menuju counter crepes yang ada di depan bioskop.
Ify memesan satu hot crepes untuk dirinya sendiri. Sambil menunggu pesanannya dibuat, ia mengedarkan pandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba tatapannya terhenti pada sepasang pria dan wanita yang duduk di restoran yang nggak jauh dari tempatnya berdiri. Ify merasa sosok perempuan setengah baya yang tengah dilihatnya itu mirip sekali dengan Mama. Ify berusaha menegaskan pandangannya. Perlahan dia berjalan mendekati restoran itu. Sosok perempuan itu semakin jelas, dan sekarang dia mengenali perempuan itu. Ya, itu memang Mama!
Mama sedang duduk bersama seorang pria yang sama sekali nggak Ify kenal. Mama tampak begitu ceria. Beberapa kali dia tertawa sambil menatap pria yang duduk di hadapannya. Sudah lama Ify nggak pernah melihat wajah Mama seceria itu. Wajah Mama saat ini mirip dengan wajah Sivia setiap kali berbicara dengan Alvin.
Ify nggak berani memercayai apa yang dia lihat. Tangan laki-laki itu menggenggam tangan Mama, sedangkan Mama hanya diam, tersenyum, dan menatap laki-laki itu dengan lembut. Mama benar-benar seperti anak ABG yang sedang dilanda asmara. Ify  yakin, Mama pasti punya hubungan khusus dengan laki-laki itu. Atau jangan-jangan... itu laki-laki yang sama dengan laki-laki yang sering mengantar Mama pulang ke rumah.
Ify benar-benar nggak tahan melihatnya. Dia nggak suka melihat Mama bertingkah seperti itu. Dia nggak akan rela mamanya disakiti lagi seperti ketika Papa Ivan menyakiti Mama.
Bia berjalan cepat memasuki restoran itu.
“Mama!” tegur Ify keras.
Mama Bia terlonjak kaget, “ify...”
“Siapa laki-laki ini, Ma? Punya hubungan apa dia sama Mama sampai Mama membiarkan dia megang-megang tangan Mama?” cecar Ify.
Seluruh mata yang ada di restoran itu memandang mereka. Tapi Ify nggak peduli.

“Tenang dulu, Fy... Biar Mama jelasin ke kamu.” Mama bangkit berdiri dan berusaha menenangkan Ify. Ia menarik tangan Ify untuk duduk di sebelahnya. Namun dengan kasar Ify menepisnya.

“Ify... kamu jangan salah paham,” kata Mama.

“Salah paham? Aku salah paham? Ma, tingkah laku Mama sama laki-laki ini udah aku lihat jelas, dan Mama masih bilang aku salah paham?”

“Bukan begitu, Fy...”
Ify menepis tangan Mama yang berusaha memegang bahunya, lalu ia mendekati laki-laki itu. “Gue kasih tau ya, jangan coba-coba deketin nyokap gue, atau lo akan menyesal!”
“IFY!” hardik Mama. “Jangan bicara nggak sopan sama orang tua!”

“Orang tua?” tanya Ify sambil tertawa. “Dia akan Ify anggap sebagai orang tua kalau tingkah lakunya benar-benar mencerminkan orang tua. Bukan seperti playboy yang lagi cari mangsa!”
PLAK! Tangan Mama melayang ke pipi Ify sambil berkata tajam, “Jangan bicara sekasar itu pada papamu!”
Ify terperangah. Dia nggak percaya pada apa yang didengarnya.

“Ap-apa maksud Mama?”
Wajah Mama berubah pucat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Fy, kita bicara pelan-pelan. Ada banyak hal yang harus Mama jelaskan ke kamu.”

“Apa maksud Mama?” Ify nggak memedulikan kata-kata Mama. “Siapa yang Mama sebut papaku?”

“Ify... kamu duduk dulu, Sayang,” pinta Mama penuh permohonan. Sementara laki-laki yang bersama Mama tampak kikuk. Dia mau bicara, tapi tak jadi.

Ify menggeleng. Dia nggak perlu penjelasan Mama. Kata-kata singkat Mama tadi udah menjelaskan status laki-laki yang sekarang berdiri di sebelah Mama. Laki-laki bertubuh tegap dan berjambang tipis itu adalah laki-laki yang sudah meninggalkan dirinya dan Mama. Laki-laki itulah yang telah membuat mereka menderita selama ini. Laki-laki itulah yang telah membuat Ify terlahir di dunia ini tanpa mengenal kasih sayang seorang ayah.
Ify berbalik dan keluar dari restoran tanpa memedulikan teriakan Mama. Dia berlari cepat menuruni eskalator. Dia nggak peduli dengan crepes pesanannya, Sivia, serta Agni yang tengah menunggunya di bioskop. Ify terus berlari dan berlari.

@(^-^)@

Bagi Ify ini seperti mimpi buruk. Bahkan langit yang sedang mendung seakan turut memahami sakit hatinya ini. Ify menyusuri trotoar dan berjalan tanpa tujuan. Dia nggak mau pulang ke rumah karena dia sama sekali nggak mau ketemu Mama. Hatinya sakit dan marah. Ify belum siap menghadapi semua kejadian ini.
IFY nggak percaya, laki-laki yang udah meninggalkannya selama 17 tahun tiba-tiba muncul di hadapannya dan duduk mesra bersama mamanya. Ify nggak tahu harus gimana. Dia marah, sedih, kecewa, bahkan benci dengan semua yang harus dia hadapi ini. Dia nggak mau mendengar penjelasan apa pun, dia nggak mau mendengar permohonan maaf dari mulut laki-laki itu apalagi menerimanya sebagai papanya. Ify benci mamanya, juga laki-laki brengsek itu. Ify ingin semua yang ada di dunia ini menghilang. Ify nggak mau lagi menghadapi masalah-masalah yang menyesakkan dadanya ini. Ify lelah... sangat lelah.
“IFY!”

Ify  mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh sejenak. Ada dua cowok berjaket hitam yang berboncengan di sepeda motor. Ify menghentikan langkah. Sepeda motor itu berhenti. Cowok yang duduk di boncengan turun lalu melepaskan helm yang dipakainya.
Cowok itu... RIO!

“Halo, Fy!” sapa Rio sambil menenteng helm di tangan kanannya. “Kita jodoh banget ya, di jalanan segede ini aja kita masih bisa ketemu.”

Ify nggak membalas sapaan Rio. Dia malah membuang muka lalu meneruskan langkahnya. Tapi Rio buru-buru menahannya.
“Eits, jangan pergi dulu. Lo mau ke mana, Fy? Sendirian ya? Gue temenin ya?”
Please, Yo. Jangan halangi jalan gue,” kata Ify, tapi kali ini sama sekali nggak ada nada kasar seperti biasanya.
Rio mengernyitkan dahinya. Dia merasa ada yang aneh pada gadis yang sedang berdiri di hadapannya ini. Tapi dia memilih diam dan menyingkir dari hadapan Ify.
Ify kembali berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Rio menatap Ify dan semakin yakin pasti Ify sedang ada masalah.

“Ky, lo baik aja duluan,” kata Rio pada Kiky yang masih duduk di atas motor.
Kiky membuka helmnya. “Lo mau ke mana sih? Mau ngejar tuh cewek?”
“Itu urusan gue,” jawab Rio singkat sambil menyerahkan helmnya pada Kiky dan langsung berlari mengejar Ify.
“Dasar bego. Cewek kayak gitu kok dikejar,” rutuk Kiky pelan. Dia memang nggak benar-benar setuju dengan pilihan hati Rio, tapi sebagai teman, Kiky tahu Rio benar-benar udah jatuh cinta pada cewek galak itu.
Rio berlari mengejar Ify yang tengah menaiki jembatan penyeberangan. Jaket hitam melindungi tubuhnya dari udara yang mulai dingin karena akan turun hujan. Langit mulai menghitam dan sesekali terdengar suara guntur bergemuruh.
Ify berjalan tanpa peduli pada orang-orang di sekelilingnya yang mulai berlari-lari takut kehujanan. Mendekati ujung jembatan, Ify memperlambat langkahnya dan mendekati pagar jembatan. Kepalanya ditengadahkan menatap langit. Sesaat kemudian ia kembali menatap jalan raya yang terhampar di bawah jembatan.
Rio yang sudah sampai di atas jembatan berusaha mencari sosok Ify. Pandangannya sampai pada seorang cewek yangsedang berdiri memegangi pagar jembatan sambil menatap ke bawah. Jantungnya berdetak kencang. Apa Ify mau bunuh diri?

“IFY...!” panggil Rio sambil berlari menghampiri Ify lalu menarik tangannya menjauhi sisi jembatan. “Apa-apaan si lo? Seberat apa pun masalah yang lo hadapi, lo nggak boleh berpikiran sempit apalagi kalau sampai bunuh diri. Itu dosa, Fy!” hardik Rio.
Ify menatap Rio yang menggenggam pergelangan tangannya kuat-kuat. Lalu ia tertawa. “Lo pikir gue cewek bego? Siapa yang mau bunuh diri? Gue masih sangat menghargai hidup gue.”

Rio terpana. Ternyata dugaannya salah. Dilepasnya tangan Ify dengan perasaan lega. Ify masih tertawa lalu kembali berjalan mendekati sisi jembatan. Rio mengikutinya dan berusaha menjajari langkah Ify.
“Lo nggak mau pulang, Fy?” tanya Rio. “Udah mau hujan lho.”

“Jangan peduliin gue deh. Gue nggak butuh perhatian lo,” jawab Ify ketus.
Rio diam. Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari tempatnya. Gemuruh guntur terdengar semakin kencang.

“Yo, apa sih yang elo suka dari gue?” tanya Ify tiba-tiba.
Mau nggak mau Rio kaget juga mendengar pertanyaan itu. Kemudian ia menjawab, “Awalnya ya karena wajah lo yang imut itu. Bisa dibilang, gue jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi lama-kelamaan, gue jatuh cinta sama seluruh diri lo.”
Hening sejenak di antara mereka. Hingga akhirnya Ify bertanya, “Sampai kapan lo akan menyukai gue?”

“Gue nggak tau sampai kapan,” jawab Rio. “Karena kalau gue bilang sampai selamanya, jelas banget itu gombal.”
Ify diam. Rio menatap cewek yang berdiri di sampingnya dengan sejuta tanya. Dia tahu Ify tengah dilanda masalah.

“Fy, kalau elo lagi punya masalah, cerita aja ke gue. Mungkin gue nggak bisa bantu, tapi paling nggak dengan menceritakannya pada orang lain, bisa meringankan beban yang mengimpit dada lo,” kata Rio pelan.

Ify tetap diam. Matanya menerawang jauh ke depan. Tapi sesaat kemudian, ia berkata lirih, “Gue marah sama nyokap gue. Gue benar-benar marah sama dia...”
Rio menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Mmm... boleh gue tau alasannya?”
Lagi-lagi Ify diam. Namun kemudian ia kembali menjawab, “Gue merasa ditipu nyokap gue, Yo.”
Rio diam. Dia sama sekali nggak menanggapi kata-kata Ify.
Ify menarik napas, lalu kembali melanjutkan ceritanya, “Gue lahir tanpa pernah tau siapa ayah kandung gue. Nyokap gue nggak pernah mau menceritakan asal-usul gue sebenarnya. Gue besar tanpa pernah tau siapa ayah kandung gue. Yang gue tau, gue cuma anak haram. Anak di luar nikah. Saat nyokap gue menikah lagi dengan Papa Ivan, gue pikir gue akan memiliki seorang ayah yang bisa gue banggakan, tapi ternyata Papa Ivan juga meninggalkan nyokap gue dan selingkuh dengan wanita lain.

“Gue kembali kehilangan seorang ayah. Gue emang nggak pernah layak punya ayah...”
Ify menghentikan ceritanya.
“Sori, Fy. Kalau tentang masa lalu lo itu, gue udah tau,” kata Rio pelan.

“Wajar kalau lo tau karena ini bukan cerita baru. Semua orang juga tau kalau gue cuma anak haram.”
“Jadi cuma itu masalahnya?” Rio bertanya kembali.
Ify menggeleng. “Masalahnya, laki-laki itu sekarang muncul.”

“Laki-laki itu?”

“Ya, laki-laki yang udah ninggalin gue dan nyokap gue begitu aja. Laki-laki yang udah membuat gue disebut anak haram.”

“Maksud lo, bokap kandung lo?”

“Dia bukan bokap gue!” bentak Ify. “Gue nggak akan pernah mengakui dia sebagai bokap gue. Gue nggak akan membiarkan dia kembali ke nyokap gue setelah tujuh bleas tahun dia meninggalkan gue dan nyokap gue tanpa kabar berita. Gue nggak akan pernah memaafkan dia! Laki-laki itu nggak layak gue panggil Papa. Dari dulu gue nggak punya bokap dan sampai kapan pun gue nggak akan punya bokap!”
Rio terpana. Dia nggak menyangka Ify akan seemosional ini.
“Fy, lo tau nggak... Sebenarnya... lo tuh beruntung banget.”

“BERUNTUNG?!”
“Iya, beruntung,” jawab Rio, “karena lo masih dikasih kesempatan sama Tuhan untuk bertemu bokap lo dan mempersatukan lagi keluarga lo.”
Kali ini Ify terdiam.
“Apa lo pernah berpikir, Fy, betapa beruntungnya hidup lo? Meskipun elo nggak tau siapa bokap kandung lo, lo selalu dihujani kasih sayang berlimpah dari nyokap lo. Nggak seperti gue, yang dari lahir nggak pernah sekali pun mengenal orangtua gue sebenarnya.”

Ify terkejut. Dia menoleh dan menatap Rio yang tersenyum di sebelahnya.
“Orangtua gue yang sekarang ini sebenarnya bukan orangtua kandung gue. Mereka mengadopsi gue dari panti asuhan waktu gue masih bayi. Pertama kali gue mengetahui kenyataan itu, gue hampir gila. Gue marah sama semua orang, gue marah sama Tuhan, gue juga marah sama diri gue sendiri. Gue bertanya-tanya untuk apa orangtua kandung gue melahirkan gue kalau akhirnya mereka membuang gue ke panti asuhan.”
Rio menghentikan ceritanya sesaat dan menarik napas dalam-dalam.

“Tapi kata-kata nyokap angkat gue membuat gue sadar akan arti kehidupan. Waktu itu, sambil nangis nyokap gue bilang, dia berterima kasih karena orangtua kandung gue telah melahirkan gue ke dunia ini dan menitipkan gue ke panti asuhan. Kalau itu nggak terjadi, nyokap gue nggak akan pernah bertemu dan mengadopsi gue sebagai anaknya. Maka nyokap gue nggak pernah memiliki seorang anak laki-laki yang begitu dia sayangi seperti dia menyayangi gue. Kata-kata itu yang akhirnya menyadarkan gue untuk menerima semua kenyataan ini sebagai bagian dari kehidupan gue. Gue mulai belajar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan yang pastinya indah buat gue pada waktunya,” lanjut Rio.

“Yo, apa lo bisa memaafkan orangtua yang udah membuang elo itu?” tanya Ify lirih.

“Gue nggak tau. Tapi kalau suatu hari nanti Tuhan ngizinin gue untuk bertemu dengan mereka, gue akan mengucapkan terima kasih pada mereka,” jawab Rio.

“Terima kasih?”

“Iya, terima kasih karena mereka tetap membiarkan gue lahir ke dunia ini, terima kasih karena gue dititipkan ke panti asuhan dan bukan dibuang ke jalanan, terima kasih karena mereka telah membuat gue bertemu dengan orangtua angkat yang luar biasa baiknya, terima kasih karena mereka membuat gue memiliki kehidupan yang layak, dan terima kasih karena mereka memberi gue kesempatan untuk menghirup udara hari ini.”
Ify terpana. Setiap kata yang keluar dari mulut Rio seakan menusuk hatinya. Direnunginya setiap kata itu satu demi satu.
“Apa menurut lo perginya bokap kandung gue dan perceraian nyokap gue dengan Papa Ivan juga merupakan bagian dari rencana Tuhan?”
“Ya,” jawab Rio mantap.

“Kenapa?” tanya Ify lagi.

“Karena menurut gue, tanpa semua itu nggak akan ada Ify dengan sifatnya yang keras tapi tegar, nggak akan ada Ify yang jagoan tapi berhati lembut, nggak aka nada Ify yang berdiri di samping jembatan bersama gue hari ini, dan nggak aka nada Ify yang membuat gue jatuh cinta dan tergila-gila...”
Ify terdiam. Tanpa ia sadari, pipinya memerah dan jatunya mendadak berdebar keras. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir di dalam dirinya.

Titik-titik air turun dari langit. Udara dingin terasa semakin menusuk. Tapi Ify tetap berdiri di tempatnya sambil memandang lurus ke depan. Air hujan turun semakin deras. Tapi Ify bergeming. Rio pun tetap berdiri di sebelah Bia tanpa suara. Dilepasnya jaket yang melekat di tubuhnya dan disampirkannya di pundak Ify untuk melindungi gadis itu dari hujan yang turun dengan derasnya serta angin yang bertiup kencang.
Ify melirik Rio yang masih berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada melawan rasa dingin yang kian menusuk. Ify tersenyum lalu menegadahkan kepalanya, menantang langit dengan kedua mata terpejam. Dibiarkannya air hujan membasahi wajah dan membersihkan air mata yang tanpa ia sadari mengalir dari sudut matanya.

@(^-^)@

Ify turun dari taksi tepat di depan rumahnya. Rambut dan sebagian bajunya yang nggak tertutup jaket basah kuyup karena hujan. Rio-lah yang mengantarnya naik taksi, dan Rio juga yang membayar taksinya.
Sebelum turun, tak lupa Ify mengucapkan terima kasih pada Rio, yang dibalas dengan senyum manis cowok itu.
Hujan udah reda. Ify membuka pagar dan masuk ke rumah tanpa suara.

“Ify!” pekik Agni begitu dilihatnya Ify masuk dalam keadaan basah.
Mama dan Sivia yang juga berada di ruang tamu bersama Agni tampak sama terkejutnya dengan Agni.

“Ify!” seru Mama yang langsung berlari menghampiri Ify dengan mata berkaca-kaca. Sivia dan Agni mengikuti di belakang mama Ify dengan wajah cemas.
Mama langsung memeluk Ify dengan erat dan menangis kencang. Ify tertegun. Dia nggak mengira semua akan menunggunya seperti ini. Dia juga sama sekali nggak mengira Mama akan mengkhawatirkannya seperti ini.
“Kamu ke mana, Fy?” tanya Mama di sela isak tangisnya. “Kamu benar-benar udah bikin Mama khawatir. Jangan hukum Mama dengan cara seperti ini, Fy. Mama nggak bisa kehilangan kamu. Cuma kamu yang Mama miliki.”
Ify hanya diam dan menunggu sampai tangis Mama mereda. Lalu perlahan dilepasnya pelukan Mama.

“Boleh aku mandi sekarang?” tanya Ify tanpa ekspresi. Entah kenapa, walaupun emosinya telah mereda, masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Saat ini Ify masih ingin menyendiri dulu.
Mata Mama yang merah menatap Ify. Dari mata itu terpancar kepedihan. Ify nggak berani memandang Mama. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Sivia dan Agni.

“Vi, Ag, sori udah bikin kalian cemas. Makasih banyak, tapi gue rasa sekarang lebih baik kalian pulang karena gue mau sendiri dulu,” kata Sivia.
Sivia dan Agni nggak menjawab, tapi mereka mengerti permintaan Ify.

“Ya udah. Yang penting kami tau elo baik-baik aja. Sampai ketemu di sekolah, Fy,” pamit Sivia. “Kami permisi dulu, Tante.”
Mama menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepada Sivia dan Agni. Sepeninggal mereka, Ify bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

Ify menatap wajahnya di depan cermin yang terpasang di balik pintu kamar mandi. Dia baru menyadari bahwa di badannya masih menempel jaket Rio. Ify melepas jaket itu dan menggenggamnya erat. Di hatinya menjalar perasaan hangat. Kalau saja tadi Rio nggak ada, Ify yakin dia nggak akan tahu bagaimana caranya menghadapi kejadian ini.

@(^-^)@

Ify berbaring di tempat tidurnya. Dia masih belum bicara dengan Mama. Tadi sehabis mandi dia langsung masuk kamar dan mengunci diri. Dan yang membuat Ify heran, sampai sekarang Mama belum berusaha memanggilnya dan bicara dengannya. Sebenarnya Ify nggak mau seperti ini, tapi gengsinya membuat dia bertahan untuk nggak bicara duluan sama Mama.
Tiba-tiba terdengar ketukan halus di pintu kamarnya. “Fy, boleh mama bicara sama kamu?”
“Sebentar,” jawab Ify, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu kamar.
Wajah Mama muncul dari balik pintu. Ify membiarkan Mama masuk ke kamar. Ify duduk di atas tempat tidur dan menarik guling ke dalam pelukannya, sedangkan Mama duduk di sebelahnya.

“Fy, apa kamu masih marah sama Mama?” tanya Mama pelan, mengawali pembicaraan.
Ify diam saja.
“Mama minta maaf, Fy,” kata Mama. “Mama nggak bermaksud menampar kamu. Kamu tau Mama sayang sama kamu.”
Ify tetap bungkam.
Mama menghela napas panjang lalu berkata, “Kalau kamu nggak mau Mama berhubungan dengan Oom Frans, ayah kandungmu, Mama janji nggak akan menemuinya lagi.”
Kali ini Ify menatap mamanya.

“Jadi namanya Frans?” tanya Ify.
Mama mengangguk.

“Apa dia laki-laki yang sering mengantar Mama pulang kerja?”
Sekali lagi Mama mengangguk.

“Sejak kapan dia kembali? Untuk apa dia datang lagi setelah sekian lama dia ninggalin kita?”
“Mama bertemu dia lagi tiga bulan yang lalu. Dia menghubungi Mama dan memohon untuk bertemu dengan Mama. Awalnya Mama menolak, tapi dia terus memaksa. Akhirnya Mama setuju. Dari pertemuan itulah Mama tau alasan dia meninggalkan Mama waktu itu.”

“Jadi apa alasannya? Apa alasan yang udah membuat dia meninggalkan kita selama tujuh belas tahun?”
“Fy, sebenarnya... bukan dia yang meninggalkan Mama, tapi Mama yang meninggalkan dia.”

“Maksud Mama?”

“Mama masih seumuran kamu sewaktu Mama mengandung kamu. Tapi saat itu Mama sudah lulus SMA dan bekerja membantu kakekmu menjaga warung. Waktu Mama mengatakan pada papamu bahwa Mama hamil, dia diam. Dia tidak merespons kata-kata Mama. Mama marah. Tapi dia tetap diam, seakan tidak peduli pada apa yang Mama katakan. Saat itu Mama berpikir dia tidak mau bertanggung jawab. Kemudian selama hampir satu bulan lebih dia menghilang. “

“Nenek dan kakekmu yang akhirnya mengetahui kehamilan Mama membawa Mama meninggalkan rumah dan pindah ke Magelang agar orang-orang tidak mengetahui kehamilan Mama. Mama menetap di sana sampai Mama melahirkan kamu. Mama membenci papamu dan tidak mau mendengar kabar apa pun tentang dia. Mama bahkan tidak pernah menganggap dia sebagai papamu...” Mama berhenti bicara.
“Tapi ternyata selama ini Mama salah,” lanjut Mama. “Papamu tak pernah bermaksud meninggalkan Mama. Dia diam karena saat itu dia kaget dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia menghilang selama sebulan karena dia kembali ke Pekanbaru menemui orangtuanya dan bersiap-siap ke Jakarta untuk melamar Mama. Tapi saat kembali ke Jakarta, dia tidak menemukan Mama karena Mama telah pindah ke Magelang tanpa memberitahu siapa pun. Dia berusaha mencari Mama tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya tiga bulan yang lalu dia tahu dari teman sekolah Mama di mana tempat Mama bekerja.”
Ify mengernyitkan kening. “Mama lagi ngarang cerita apa sih? Rasanya yang Mama ceritakan ini kayak sinetron aja.”
“Ini bukan karangan, Fy. Ini kenyataan!” bentak Mama.
Ify diam tanpa tahu harus menjawab apa.
“Selama ini mama tidak mau bercerita tentang ayah kandungmu karena Mama marah dan membencinya. Mama mengira dia meninggalkan Mama dan tidak mau bertanggung jawab. Mama mengikuti perintah Kakek dan Nenek untuk pindah ke Magelang karena Mama ingin melupakan dia dan melahirkan kamu dengan tenang. Mama sama sekali tidak tau bahwa ternyata pikiran Mama salah. Mama tidak tau bahwa ternyata selama ini dia terus mencari Mama, mencari kita berdua.”
“Dia... apa dia belum menikah sampai sekarang?” tanya Ify ragu.
“Sudah.”
Ify terkejut. “Tapi katanya dia terus mencari Mama. Kalau dia menikah, itu berarti dia nggak mengharapkan kita lagi.”
“Dia terpaksa menikahi gadis itu karena orangtuanya memaksa. Laki-laki seusianya jelas harus menikah, apalagi dia telah memiliki karier yang jelas. Kita tidak bisa menyalahkannya,” bela Mama. “Tapi sayangnya, istri dan anaknya telah meninggal dua tahun yang lalu.”

“Meninggal?”

“Ya, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Anaknya sempat koma selama dua minggu sebelum akhirnya meninggal.”
Ify memeluk guling erat-erat.

“Fy, papamu ingin... bertemu denganmu. Dia selalu meminta Mama untuk mempertemukan dia dengan kamu, tapi Mama menolaknya karena Mama tau kamu tidak akan bisa menerimanya begitu saja. Mama tau kamu sangat membenci dia. Tapi bisakah kamu memberinya satu kali kesempatan untuk menjelaskan semuanya padamu?” kata Mama lembut.

“Aku nggak tau, Ma. Aku nggak tau apa aku bisa bicara baik-baik dengannya meskipun semua ini bukan murni kesalahannya. Dia udah ninggalin aku selama tujuh belas tahun. Aku nggak tau apa aku bisa memaafkan dia.”

“Kalau begitu apa kamu mau memaafkan Mama? Keegoisan Mama yang membuat kamu tidak pernah mengenal ayah kandungmu. Kalau waktu itu Mama percaya pada ayahmu dan sabar menunggunya kembali, kamu tidak akan pernah disebut anak haram,” kata Mama pelan. Air mata mengalir di pipinya.
Ify melepas guling di tangannya dan memeluk Mama dengan erat. “Mama nggak salah. Nggak ada yang harus aku maafin dari Mama. Mama sama sekali nggak salah.”
Mama menangis dan membalas pelukan Ify dengan hangat.

No comments:

Post a Comment