Tuesday, 8 May 2012

Pacarku Juniorku [1] -IC Version-


Hallo saya mau nge-repost novel nih. Tapi ini IC Version ya :) Mungkin udah pernah dipost sama orang lain, tapi yaaa ini versi saya (?) lho :p Maaf kalau ada typo ;)


**

Author : Valleria Verawati
Credits : Dina Arifa
Cats :
è Bia as Alyssa Saufika
è  Egi as Mario Stevano
è Ronald as Cakka Kawekas Nuraga
è Sonny as Sion
è Leon as Dayat
è Maya as Angelica Martha pieters
è Tania as Zahra Damariva
è Victor as Riko Anggara
è Yuki as Sivia Azizah
è Tammy as Ashilla Zahrantiara
è Cha-Cha as Agni Tri Nubuwati
Dan lain-lain..


Pacarku Juniorku [1] –Pengusik?-

CAKKA berdiri di samping Ify sambil menyisir rambutnya yang berdiri kayak duri landak dengan jari-jarinya.
“Fy, pokoknya kalo anak-anak baru itu udah pada datang, lo mesti ngeluarin seluruh kemampuan lo buat bikin mereka takut,” ujarnya bak perwira yang sedang memerintah anak buahnya.

“Iya, gue tahu,” respons Ify singkat. Cewek bertubuh mungil itu berdiri tegak sambil celingak-celinguk memerhatikan gerbang sekolah.

Udara pagi itu masih terasa agak lembap. Jalanan masih basah bekas diguyur hujan subuh tadi. Tapi beberapa anak yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah SMA Constantine 4 udah pada kumpul di sekolah sejak jam 06.00 dengan semangat ‟45. Nggak ada seorang pun yang pasang tampang lemas. Apalagi Alyssa Saufika, yang lebih beken dengan panggilan “Ify cewek mungil berambut panjang yang udah hampir setahun ini memegang jabatan ketua OSIS. Dia udah tiba di sekolah sejak jam 05.30, waktu hujan masih dengan riangnya menyiram tanah pertiwi dan gerbang sekolah belum dibuka oleh Pak Kosim, si penjaga sekolah.

Hari ini adalah hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) buat anak-anak kelas 1 yang untuk pertama kali mengenakan seragam putih abu-abunya. MOS ini sebenarnya diciptakan untuk mengakrabkan para guru dengan siswa baru, kakak-kakak kelas dengan junior-juniornya, juga sarana untuk memperkenalkan siswa baru pada lingkungan sekolah dan program-program sekolah. Tapi bagi beberapa anggota OSIS, terkadang MOS disalahgunakan. Di balik tujuan baik penyelenggaraan MOS ini sering kali ada maksud terselubung, yaitu balas dendam.

Sudah menjadi tradisi turun-temurun bahwa selama MOS yang diadakan tiga hari ini, para anggota OSIS punya wewenang untuk “mengatur” adik-adik kelas mereka yang baru. Katanya sih biar para siswa baru itu punya mental kuat untuk menghadapi kerasnya dunia SMA kelak, juga biar mereka bisa menanggalkan sifat manja yang masih mereka bawa dari lingkungan SMP. Tapi sebenarnya tetap saja balas dendam menjadi tujuan utama para senior ini. Apalagi buat yang sudah duduk di kelas 3, MOS kali ini kan merupakan MOS terakhir buat mereka. Kapan lagi punya kesempatan bentak-bentak dan ngerjain orang tanpa perlu takut dibalas?
“Eh, Kka, anak-anak udah pada siap di posisi masing-masing?” tanya Ify.
Cakka menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Lo tenang aja, semua udah stand by di tempat masing-masing.”
Ify manggut-manggut. Kepalanya masih sibuk bergerak dan matanya terus memantau gerbang sekolah tanpa berkedip.
“Itu mangsa kita udah datang!” seru Ify senang. Bibirnya merekah memperlihatkan gigi kelinci yang nangkring di gusinya.
“Mana... mana...?” Cakka maju beberapa langkah sambil melihat ke arah gerbang sekolah. “Iya... benar. Mereka udah datang.”
“Siapa aja yang bertugas menjaga gerbang dan memeriksa kelengkapan atribut anak-anak baru itu?” tanya Ify.
“Mmm...  Sion, Dayat, Angel, Zahra... sama satu lagi... si Riko.”
Ify tersenyum puas. Lima orang yang baru saja disebut Goldi adalah anak buah kesayangannya. Soalnya selain bertampang sangar, mereka juga tegas, bermulut pedas, dan pantang disogok. Ify yakin lima orang itu akan melaksanakan tugas mereka dengan sangat baik.

@(^-^)@
“Woi, jalannya lelet banget sih? Keturunan siput semua, ya?!” Zahra meneriaki segerombolan anak yang berjalan kaki ke arah gerbang sekolah.
Penampilan anak-anak itu terlihat sangat unik. Mereka memakai topi yang terbuat dari batok kelapa yang dibelah menjadi dua dengan warna yang berbeda-beda. Di atas batok kelapa itu ditempeli bulu-bulu ayam yang disusun berjajar sehingga membentuk kipas. Selain itu mereka juga mengenakan kalung dari jengkol dan pada kalung itu digantung karton putih yang bertuliskan nama julukan mereka. Buat siswa perempuan, rambut mereka dikucir kecil-kecil dan diikat pita berwarna senada dengan topi mereka. Tas yang menggantung di punggung terbuat dari sarung bantal yang nggak tahu gimana caranya bisa disulap jadi ransel. Benar-benar pemandangan yang begitu menarik perhatian. Lucu banget!
“Woi, anak siput! Kalau dalam hitungan ketiga kalian belum juga sampai di hadapan saya, saya suruh kalian lompat kodok dari situ!” ancam Dayat.

“Satu...!” Dayat mulai menghitung.
Gerombolan anak-anak itu bergegas berlari menuju kakak-kakak kelas mereka dengan wajah ketakutan.

“Tiga...! Cepat lompat kodok semuanya!” bentak Dayat.
Para siswa baru itu pada bengong. Perasaan tadi baru hitungan kesatu, kok sekarang udah tiga. Duanya dikemanain? Bukannya tetap berlari, mereka malah berhenti dan pasang tampang bloon.

“Kalian ngerti lompat kodok nggak sih? Cepat lompat kodok dari situ!” Sion ikut bentak-bentak.
Suara dan tampang Sion yang nyeremin bikin anak-anak baru itu langsung jongkok dan mulai melompat kayak kodok. Mereka meletakkan kedua tangan di belakang kepala dan mulai melompat dengan kedua kaki.

“Semuanya lompat sambil ikutin nyanyian saya ya! Harus yang keras!” perintah Angel yang berdiri di depan barisan anak-anak yang mulai melompat. Angel memimpin barisan sambil bernyanyi, “Kodok ngorek kodok ngorek... ngorek di pinggir kali. Teot tet blung teot tet blung... teot teot tet blung.
Anak-anak yang melompat di belakangnya ikut bernyanyi mengikuti Angel. Warga yang tinggal di sekitar gedung sekolah serentak keluar dari rumah masing-masing karena mendengar keramaian yang terasa sangat aneh. Para pengguna jalan juga berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu. Sebagian besar dari mereka tersenyum dan berusaha mengulum tawa, tapi ada juga sekelompok ibu-ibu yang mengumpat karena merasa kegiatan ini konyol dan nggak ada gunanya.

Namun apa mau dikata, ini kan tradisi turun-temurun. Lagi pula tradisi ini, walaupun kelihatannya agak kejam, nggak pernah sampai menimbulkan korban jiwa kok. Malah biasanya membawa keuntungan tersendiri. Misalnya, pernah ada orangtua murid yang datang ke sekolah untuk berterima kasih, karena anak mereka yang pemalu dan pendiam, setelah digojlok lewat program MOS selama tiga hari, anak itu malah bisa lebih terbuka dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru.
Dan efek positif yang lain, selesai MOS, anak-anak baru bisa langsung akrab dengan kakak kelas. Malah terkadang ada yang terlibat cinlok alias cinta lokasi. Makanya sampai sekarang, di saat tradisi MOS mulai dihapus di beberapa sekolah, SMA Constantine 4 tetap mempertahankannya.

“Nyanyinya yang keras dong! Mana suaranya!” bentak Zahra. “Yang udah sampai di hadapan kakak yang rambutnya jabrik itu langsung berdiri dan buat barisan.”
Sion, yang tahu bahwa dirinyalah yang dimaksud Zahra, langsung mengambil posisi dan mengatur beberapa anak yang sudah sampai di hadapannya.

“Kalian yang baru datang, langsung lompat kodok dan ikutan nyanyi!” seru Sion kepada sekelompok anak yang baru saja tiba.

“Hei! Kamu ngapain lompat kayak gitu?” tegur Riko dengan mata melotot ke arah seorang cowok yang sedang asyik melompat dengan kedua tangan terjulur ke depan, bukan di belakang kepala.
“Saya, Kak?” tanya cowok itu dengan tampang heran.
“Iya, kamu!” Riko membaca karton nama yang menggantung di leher anak baru itu.

“KATRO, ke sini kamu!” ujar Riko ketus.

“Lho, salah saya apa, Kak?” tanya cowok itu.

“Berdiri kamu, dan ikut saya!” perintah Riko.
Cowok itu menurut dan mengikuti Riko keluar dari kelompoknya.
“Kamu nggak tau cara lompat kodok, ya?” tanya Riko berusaha sabar begitu berhadapan dengan anak baru itu.

“Tau, Kak. Bahkan saya pernah melakukan observasi khusus pada kodok-kodok yang sering numpang nginep di kolam ikan rumah saya.”

“Saya nggak minta kamu melucu! Kamu mau sok jagoan, ya?” Riko mulai kehilangan kesabaran.

“Saya kan cuma melakukan observasi aja, Kak. Kok dibilang sok jagoan sih? Emang sihs aya kurang kerjaan. Tapi saya sama sekali nggak ada maksud untuk sok jagoan kok. Nah, kebetulan tadi saya disuruh lompat kodok, ya saya terapkan aja hasil observasi saya itu. Soalnya, menurut hasil observasi saya, kodok tuh melompat dengan menggunakan keempat kakinya. Kedua kaki depannya bukan ditaruh di belakang kepala kayak teman-teman saya. Mereka salah, Kak. Yang benar ya kedua tangan kita juga harus digunakan untuk melompat supaya mirip kodok. Makanya saya melompat seperti itu. Kan disuruhnya lompat kodok,” cowok itu menjelaskan dengan tampang serius.

Riko menarik napas panjang. Dia agak bingung. Sebenarnya nih cowok memang bermaksud melawan atau memang agak tulalit. Soalnya kalau dilihat dari tampang innocent-nya, cowok ini tampaknya sama sekali nggak ada niat untuk memberontak. Riko berpikir sejenak, dan ia merasa ada baiknya kalau nih anak aneh langsung diserahkan aja ke Bia daripada dia salah mengambil keputusan.

“Kamu ikut saya!” perintah Riko.

“Ke mana, Kak? Saya jangan diapa-apain, ya. Nanti mama saya marah kalau saya melakukan hal yang berlawanan dengan agama. Lagi pula kalo boleh jujur, saya masih suka sama cewek, Kak,” kata cowok itu dengan tampang memelas.
Riko melotot memandang cowok aneh yang berdiri di hadapannya. “Lo pikir gue cowok apaan?”

“Iih, Kakak... Gitu aja kok marah sih?”
Riko benar-benar nggak tahan. Tangannya terkepal menahan marah. Dia langsung berbalik lagi dan berjalan menuju pos yang ditempati Ify dan Goldi selaku dewan pengadilan yang bertugas mengatur anak-anak aneh yang suka melanggar aturan MOS.
Si cowok aneh itu berjalan di belakang Riko, tetap dengan wajah tanpa dosa.
“Fy, ada pasien buat lo nih! Namanya Katro!” ujar Riko kesal ketika sudah sampai di pos Ify.
Cowok aneh itu berdiri agak jauh dari tempat Ify, Cakka, dan Riko. Tapi tatapan tajamnya lurus ke arah Ify. Senyumnya merekah dan memperlihatkan lesung pipi di pipi kirinya.
“Apa kasusnya?” tanya Cakka.
“Anak aneh,” jawab Riko singkat. “Cocok banget sama julukannya.”
Ify  menatap cowok yang berdiri nggak jauh dari hadapannya. Anak aneh? Apa yang aneh dari cowok itu? Bahkan menurut Ify, tampangnya oke kok. Badannya yang tinggi dan tegap bikin tu cowok jadi kelihatan keren. Mukanya yang rada oriental mengingatkan Bia pada bintang film kesayangan Mama, si Hua Ce Lei itu tuh. Ify yakin banget, nggak lama lagi nih cowok pasti bakal jadi salah satu idola sekolah. Tampangnya innocent banget, apalagi senyumnya itu. Tapi entah kenapa, Ify merasa wajah cowok itu mirip dengan orang yang dikenalnya. Mm... siapa ya?
“Memangnya dia bikin salah apa, Ko, sampai lo bilang dia anak aneh?” tanya Ify heran.

“Apa atribut yang dipakainya nggak lengkap?”

“Kalau soal atribut sih gue nggak tau ya, soalnya gue sama sekali belum periksa,” jelas Riko. “Tapi yang pasti gue serahin dia ke elo karena dia... asli banget... orang aneh.”
“Apanya yang aneh sih?” Cakka penasaran.
“Lo tanya aja sendiri,” kata Riko. “Gue mau balik ke pos gue.”
Cakka dan Ify berpandangan heran. Riko berjalan menjauh dan kembali bergabung dengan timnya yang sedang berteriak-teriak ke arah anak-anak baru.
Cakka menatap “cowok aneh” yang masih berdiri di tempatnya tadi, lalu memanggilnya,

“Heh, Katro, cepat ke sini!”

Cowok itu celingak-celinguk ke kanan dan kiri, lalu kembali menatap Cakka sambil menunjuk dirinya sendiri. Ia seperti hendak memastikan bahwa memang dia yang dipanggil Cakka barusan.
“Iya, kamu. Memang kamu kira siapa lagi? Baca dong papan nama di dada kamu!” Cakka  jadi agak sewot.

Cowok itu berjalan mendekati Cakka dan Ify.
“Kamu tahu kenapa kamu dibawa menghadap kami?” tanya Cakka begitu cowok itu udah berdiri di hadapannya.
“Mm... awalnya sih saya kira kakak yang tadi itu naksir sama saya dan punya maksud jelek sama saya, tapi sekarang saya sadar...,” jawab cowok itu menggantung kalimatnya.
“Sadar apaan?” tanya Ify tegas.

“Saya sadar... bahwa kakak tadi ternyata hanya ingin mengantar saya untuk bertemu dengan bidadari yang selama ini saya cari... yang selama ini selalu hadir dalam setiap mimpi-mimpi saya. Dan sekarang bidadari itu sudah berdiri tepat di hadapan saya,” jawab cowok itu enteng. Ia terus menatap Ify dengan sorot memuja.
“Terima kasih atas pujiannya, tapi sayang banget, saya nggak mempan sama rayuan gombal. Kamu harus tahu, ini bukan tempat pelatihan buat pelawak atau badut. Kalau kamu mau jadi pelawak atau badut, kamu salah tempat. Kamu mesti bilang sama orangtua kamu untuk segera memindahkan kamu dari sekolah ini. Sekolah ini nggak butuh manusia konyol kayak kamu!” jelas Ify dengan nada pedas.
“Saya nggak pernah berminat jadi badut atau pelawak, Kak. Saya cuma ingin jadi... pacar Kakak.”
“kamu kira kamu itu lucu, apa?!” bentak Ify.
“Sama sekali nggak lucu, Kak, tapi ada juga sih orang yang bilang kalau saya lucu dan manis,” jawab cowok itu sambil tetap tersenyum manis.

“Kalau begitu, orang-orang yang menganggap kamu lucu itu adalah manusia-manusia katro kayak kamu!” maki Ify.
“Wah, kalau itu sih saya nggak tahu, Kak.”
“Udah, Fy... periksa perlengkapannya aja dulu,” saran Cakka.
Ify menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Benar kata Riko, cowok di hadapannya ini aneh. Ify juga nggak tahu apakah cowok itu bermaksud cari-cari masalah atau bukan. Semua masih nggak jelas.

“Keluarin semua perlengkapan yang harus kamu bawa hari ini!” perintah Cakka.
Cowok itu menurut. Dia mengeluarkan berbagai macam barang dari dalam tasnya. Cakka mulai memeriksanya satu per satu. Semuanya lengkap, nggak ada yang kurang.

“Tunggu dulu! Kalung apa yang kamu pakai itu?” tanya Ify sambil menunjuk kalung yang menggantung di leher cowok itu. “Bukannya yang disuruh itu kalung dari jengkol?”

“Oh... begini, Kak, ceritanya. Saya udah suruh pembantu saya beli jengkol buat dibikin kalung. Tapi dia salah pengertian. Dia kira saya lagi pengin makan semur jengkol. Jadinya jengkolnya dimasak deh sama dia. Tapi saya nggak bisa marah, soalnya semur jengkol buata pembantu saya itu emang enak banget. Berhubung yang ada di rumah tinggal pete, ya udah saya bikin aja dari pete. Gitu Kak ceritanya.”
Cakka berdiri di samping Ify sambil berusaha mengulum tawa. Gaya bicara si Katro ini memang asli lucu. Mimik mukanya yang innocent bikin orang yang mendengar ceritanya mau nggak mau jadi percaya. Tapi itu nggak berlaku buat Ify.

“Kamu pikir saya percaya sama cerita kamu itu?” tanya Ify.

“Harus percaya, Kak, karena saya memang jujur kok. Apa muka saya kayak muka penipu? Nggak, kan? Kalau mau, Kakak boleh tanya sama pembantu saya di rumah... atau saya suruh dia bikin semur jengkol lagi buat Kakak. Saya yakin, kalau Kakak udah mencicipinya sedikit saja, Kakak juga nggak akan bisa marah sama pembantu saya itu.”
“Saya nggak peduli dan jangan coba-coba mempermainkan saya...! Sekarang juga saya minta kamu push-up tiga puluh kali!” perintah Ify.

Push-up, Kak?” tanya cowok itu.

“Iya. Cepat!” bentak Bia. Suaranya yang keras membuat semua mata memandang ke arahnya.
Cowok itu tersenyum manis lalu berkata, “Kalau Kakak yang suruh, apa pun akan saya lakukan.” Dia meletakkan tasnya di tanah dan mulai mengambil posisi push-up. Lalu perlahan dia mulai push-up di bawah hitungan Ify.

@(^-^)@
“Oke, semuanya!” perintah Sion yang menempatkan diri di tengah aula. “Bikin lingkaran besar!”
Anak-anak baru itu mulai bergerak dan membuat lingkaran sesuai perintah senior mereka.

“Woi, pada tau lingkaran besar nggak sih!” bentak Riko. “Atau masih kayak anak TK, bikin lingkarannya harus sambil pakai nyanyian baru ngerti?!”

“Yang di sana!” seru Cakka, “bikin lingkaran besar ya, bukan malah ngumpul dan ngobrol sendiri!”
Teriakan demi teriakan bergema di seluruh aula. Seandainya saja boleh, anak-anak kelas satu itu pasti akan sangat berterima kasih bila diizinkan menyumpal telinga mereka dengan kapas. Padahal mereka udah sebisa mungkin melaksanakan perintah kakak-kakak senior itu dengan baik. Tapi tetap aja ada yang salah.

“Kamu yang kecil kayak tuyul!” teriak Dayat. “Jangan malah mendem di pojok. Nanti kalau kamu ilang digondol jin bisa bikin repot, tau!”
Tawa anak-anak meledak.

“Siapa yang suruh ketawa!” bentak Angel. “Keterlaluan sekali kalian, ngetawain teman sendiri!”
Aula mendadak sunyi senyap. Nggak ada yang berani bersuara apalagi ketawa.

“Oke, sekarang semuanya dengar baik-baik!” suara Zahra memecah keheningan. “Tadi pagi kalian telah diminta untuk mengumpulkan surat cinta dan surat benci untuk kakak senior kalian kepada wali kelas masing-masing....

“Tapi ada satu surat yang rasanya aneh dan saya mau pengirim surat itu maju ke tengah lingkaran,” lanjut Zahra. “Mario dari kelas 1 D.”
Cowok yang namanya disebut itu celingak-celinguk nggak jelas. Dan setelah tubuhnya didorong oleh teman-temannya, dia pun maju ke tengah lingkaran.

“Kamu yang namanya Mario Stevano?” tanya Zahra begitu Rio sudah berdiri di hadapannya.
“Iya, Kak,” jawab cowok itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala.
“Kenapa kamu garuk-garuk kepala?” tanya Zahra ketus. “Ketombean, atau memang kamu keturunan monyet?”
Weits, kasar!

“Ih, Kakak kok ngomongnya gitu sih?” jawab Rio. “Saya kan cuma sedikit salting karena harus berdiri di tengah-tengah orang banyak gini. Kesannya kayak lagi jumpa fans gitu deh. Mmm... Kakak mau minta tanda tangan saya?”
Anak-anak kembali tertawa.

“Diam semuanya!” bentak Sion.
Ruangan kembali hening.
Dayat maju mendekati Rio. “Lo mau ngelawan ya?!”
Rio menggeleng sambil tersenyum.
Cakka buru-buru menarik Dayat. Dia nggak mau sampai terjadi keributan. “Sabar, Yat, dia emang rada aneh. Cocok sama nama julukannya: Katro. Tadi dia habis kena hukuman push-up lagi dari Ify. Tapi kelihatannya dia nggak berniat melawan kok.”
Leon menurut meski dengan setengah hati.
Kali ini giliran Angel yang maju dan mendekati Rio dengan sepucuk surat di tangannya.
“Dengar baik-baik, Mario Stevano!” seru Angel. “Kamu diperintahkan untuk menulis surat cinta dan surat benci. Tapi kenapa yang kamu kumpulkan cuma satu surat doang?”

“Ooo... itu karena di dalamnya udah lengkap terdapat ungkapan cinta dan ungkapan benci untuk bidadari yang telah menawan hati saya.”

“Oke kalau begitu,” kata Angel. “Sekarang saya minta kamu bacakan surat yang udah kamu tulis ini dengan suara lantang.”
Semua pengurus OSIS yang berkumpul di tengah lingkaran bertepuk tangan dan berteriak riuh. Cuma Ify yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan tampangnya manyun luar biasa.
“Tapi, Kak, surat ini nggak bisa saya bacakan,” sahut rio.

“Kenapa?” Angel bertanya. “Kamu malu?”

“Bukan, Kak,” jawab Rio. “Tapi surat ini harus dinyanyikan.”

“Dinyanyikan?” Angel jadi heran.
Rio mengangguk. “Karena surat ini adalah lagu cinta. Jadi akan menjadi lebih indah dan bermakna apabila dinyanyikan.”
“Kalau begitu ya nyanyikan aja,” celetuk Zahra.

“Mmm... boleh nggak kalau saya menyanyikannya sambil memainkan piano itu?” Rio meminta izin sambil menunjuk ke arah piano yang ada di depan aula.
Piano itu memang selalu berada di situ. Biasanya sih digunakan saat ada acara-acara sekolah yang membutuhkan iringan musik.

“Boleh aja kalau kamu memang bisa,” jawab Zahra.
Rio tersenyum lalu berjalan mendekati piano itu. Dia duduk dan membuka tutup piano, lalu menempatkan jemarinya di atas deretan tuts berwarna hitam dan putih itu.
Beberapa anggota OSIS berjalan mendekat dan memasang mikrofon di dekat piano. Mereka juga memberikan mikrofon kecil yang kemudian dipasang di kerah baju Rio agar suara Rio dapat terdengar ke seluruh sudut aula.

“Tes... tes... satu dua tiga...,” Rio mencoba mikrofonnya. “Oke, lagu sederhana ini saya persembahkan kepada seorang gadis yang telah membuat saya jatuh cinta. Alyssa Saufika alias Kak Ify.”

Tepuk tangan memenuhi aula. Ada yang berteriak, ada yang bersiul, bahkan ada yang melompat-lompat nggak jelas.
Ify merengut kesal. Dia beranjak hendak meninggalkan aula, tapi teman-temannya langsung mencegat langkahnya. Ify pun mengurungkan niatnya. Dia cuma bisa berdiri diam dengan tampang jutek. Jelas banget niat teman-temannya pengin ngerjain dia. Soalnya, di antara surat-surat yang diterima wali kelas satu, cuma ada satu surat cinta yang ditujukan untuk Bia. Ya surat dari Rio ini. Selebihnya Ify cuma menerima setumpuk surat benci.
Selama MOS berlangsung, ify menjadi senior yang paling ditakuti. Dia nggak terlalu suka ngomel atau ngebentak-bentak, tapi kalau udah bersuara nyeremin banget. Dia juga yang paling tega ngasih hukuman lari sepuluh kali keliling lapangan. Kalau ngomong pedesnya minta ampun. Dan sorot matanya itu lho, tajam banget. Nggak ada satu pun junior yang nggak disiplin bisa lolos dari cengkeraman Ify. Bagi Ify, nggak ada tuh yang namanya kompromi. Senior lain sih ada juga yang galak, tapi nggak ada yang semenakutkan Ify.
Nada-nada yang mengalun dari piano membuat semua orang terdiam. Rio memainkan jemarinya di atas piano sambil tersenyum menatap Ify. Ify buang muka. Tapi Rio tetap menatapnya, melantunkan lagu cinta dari bibirnya.
Ketika pagi datang
Ku tak pernah mengira
Kan bertemu denganmu
Di depan sekolahku
Jantungku pun berdetak
Sungguh sangat cepatnya
Dan ku tahu ku tlah jatuh cinta
Ketika malam datang
Sepi yang kurasakan
Tanpamu di sisiku
Galau selimuti kalbu
Ingin ku membencimu
Karna kaucuri hatiku
Dan buatku tergila-gila
Tuk mencintaimu
Reff :
Percayalah sayangku
Kan kubawa kau ke surga
Ku berjanji padamu
Takkan meninggalkanmu
Meskipun dunia tak inginkan dirimu
Ku akan slalu di sisimu

Tepuk tangan membahana di seluruh sudut aula. Sorakan riuh rendah menutup pertunjukan singkat Rio. Rio berdiri dan berjalan ke sisi kanan piano. Sambil tersenyum lebar dia membungkukkan badannya berulang kali layaknya selebriti yang habis ngadain konser. Ia melambaikan tangannya dan meniupkan ciuman ke sekelilingnya. Gelak tawa, sorakan, siulan, dan tepuk tangan terus mengalir.

“Diam semuanya!” bentakan Ify yang tiba-tiba membuat seisi aula mendadak hening. Anak-anak terdiam karena kaget.
Zahra mendekati Ify lalu berbisik heran, “Kenapa sih, Fy?”
Ify nggak menjawab. Dia malah berjalan mendekati Rio yang masih berdiri di sisi piano sambil tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Ify sinis.

“Karena Kakak cantik,” Rio langsung menjawab tanpa ragu.
Suit... suit...! Siulan terdengar dari arah anak-anak kelas satu yang sedang berdiri.

“Siapa yang bersiul?” tanya Ify dengan suara keras dan tegas. Matanya melotot ke arah asal suara.
Hening. Nggak ada yang berani ngaku.
Ify kembali menatap Rio yang masih berdiri dan tersenyum di depannya.
“Apa lagu itu kamu ciptakan buat saya?” kali ini suara Ify terdengar lebih halus.

Rio mengangguk. “Iya, lagu itu saya ciptakan khusus untuk Kakak.”

“Kalau begitu saya sarankan, jangan pernah kamu menyanyikan lagu itu di sekolah ini,”
kata Ify dengan nada mengancam. “Lebih baik kamu nyanyi di bus kota aja, itung-itung bisa dapat uang saku ekstra. Karena kalau kamu berani menyanyikan lagu itu di sekolah ini lagi, saya tidak akan memberikan kamu uang recehan, tapi air comberan!”

“Kok gitu sih, Kak?” tanya Rio. “Padahal Indra Lesmana pernah memuji suara saya loh waktu saya ikut audisi Indonesian Idol 1. Katanya suara saya khas dan unik. Teknik falseto saya juga top. Tapi sayangnya, waktu itu saya mundur gara- gara takut Delon merasa tersaingi deh saya. Maklumlah, saya ini orangnya suka nggak enakan.”
Tawa kembali meledak. Para senior alias anggota OSIS berusaha sebisa mungkin mengulum tawa. Bagaimanapun Ify kan ketua mereka. Kalau mereka ikut tertawa, itu sama aja mereka ngetawain Ify.
Ify benar-benar keki. Kalau saat ini bukan acara MOS, Ify yakin tinjunya sudah bersarang di wajah cowok jayus ini.

“Semua diam!” bentak Ify kesal. “Dan kamu... kembali ke kelompok kamu!”
Kayaknya, cowok satu ini akan benar-benar mengusik kehidupan Ify.

No comments:

Post a Comment