Tuesday, 8 May 2012

Pacarku Juniorku [4] -IC Version-


Pacarku Juniorku [4] –Mungkin atau Nggak?-
“FY... gue anterin pulang ya,” tawar Rio saat semua anak sudah meninggalkan ruang kelas dengan penuh sukacita untuk segera pulang ke rumah.
Ify berjalan cepat menyusuri lapangan tanpa memedulikan tawaran Rio yang berusaha mensejajarkan langkahnya di samping Ify.
“Ifyy... jangan cuek gitu dong. Gue anterin lo pulang ya,” rayu Rio pantang menyerah. “Kan lebih enak naik mobil gue daripada naik angkot.”
Ify tetap nggak peduli dan mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah yang menganga lebar.
“Ify...,” panggil Rio sambil menahan tangan kiri Ify.
Ify berhenti dan menatap Rio tajam. “Lepasin tangan gue!”
“Nggak mau. Gue baru mau lepasin tangan lo kalau lo mau pulang bareng gue.”
“Gue bilang lepasin tangan gue!”
“Gue nggak mau!”
Plaakk! Sebuah tamparan keras melayang di pipi Rio. Semua mata kontan menatap mereka. Rio melepaskan genggamannya. Dia nggak menyangka Ify akan senekat itu. Dalam hitungan detik, di pipi Rio yang mulus dan putih tercetak bekas tamparan jari-jari tangan Ify.
“Dengar baik-baik, ya. Tamparan itu hadiah buat kekurangajaran lo megang-megang tangan gue. Kalau elo masih berani ganggu gue, gue nggak akan segan menghajar elo. Jangan kira gue nggak berani sama elo. Biarpun cewek, gue nggak takut kalau harus ribut sama elo!”
Rio terperanjat. Tapi cowok itu memang sabar, ia nggak termakan emosi mendengar ancaman Ify.
“Fy, kenapa sih elo sewot banget sama gue. Apa gue salah, jatuh cinta sama elo?”
“Lo kira gue bisa kemakan rayuan gombal lo? Elo salah besar! Gue bukan cewek gampangan seperti yang lo kira. Kalau lo mau mainin cewek, gue rasa banyak temen sekelas lo yang bersedia!”
“Fy, gue nggak pernah nganggap elo cewek gampangan. Gue nggak pernah berniat mainin cewek mana pun. Gue cuma mengikuti kata hati dan debaran jantung gue yang udah menjatuhkan pilihannya ke elo...”
“Rio, kalau elo masih coba-coba deketin gue dan sok ngegombal, gue akan benar-benar membenci elo dengan segenap jiwa raga gue!” bentak Ify kesal.
Anak-anak yang lagi bubaran kelas membuat pagar lingkaran di sekeliling Ify dan Rio. Mereka membatalkan niat mereka untuk segera meninggalkan sekolah. Tontonan gratis yang seru ini sama sekali nggak boleh dilewatkan. Bahkan sampai-sampai ada yang nekat taruhan siapa yang menang dalam pertarungan kali ini. Kebanyakan sih pada megang Bia.
“Ify... gue suka sama elo. Dan gue akan membuat elo melihat ketulusan perasaan gue. Gue nggak akan mundur begitu aja. Tamparan ini malah membuktikan bahwa elo ada perhatian ke gue,” kata Rio lembut. Ia tersenyum manis menatap kedua bola mata Ify yang melotot marah.
“Dasar GILA!” teriak Ify lalu berlari meninggalkan Rio dan menembus pagar lingkaran teman-temannya.
“HIDUP RIO!!!” teriak salah satu penonton yang kemudian diikuti sorakan teman-temannya yang lain. Ternyata Rio yang menang.
“Ayo, lo bayar taruhannya!” tagih Kiky, salah satu sobat Egi yang ikutan pasang taruhan untuk kemenangan Rio.
Anak-anak mulai bubar. Yang menang taruhan tertawa lebar, sedangkan yang memilih Ify cuma bisa mesem-mesem kecewa.
“Gi, lo TOP banget dah! Tu cewek bisa lo buat nggak berkutik. Hebat, hebat!” puji Kiky mendekati Rio sambil mengantongi uang yang baru saja didapatkannya.
Rio cuma diam dan mengelus-elus pipinya yang masih terasa agak panas.
“Weits! Pipi lo merah juga, Yo. Tamparan tuh cewek keras juga ya?” kata Kiky. “Lo nggak serius kan naksir cewek kasar gitu?”
“Dia bukan cewek kasar. Dia cuma punya watak keras,” bela Rio.
“Yo... jangan bilang lo serius naksir dia ya,” ujar Kiky curiga.
Rio nggak menjawab. Dia hanya diam dan tersenyum. Tapi bagi Kiky, senyum Rio itu udah cukup sebagai jawaban.
“Lo gila, Yo! Segitu banyak cewek yang naksir lo sejak hari pertama kita masuk sekolah ini, elo malah milih cewek kasar yang jelas-jelas nggak suka sama elo,” kata Kiky heran. “Gue rasa otak lo udah nggak waras lagi.”

“Elo salah, Ky!” bantah Rio. “Justru karena gue waras, gue milih Ify daripada cewek-cewek sok jaim yang ngejar-ngejar gue tiap hari itu.”

“Apa sih yang bagus dari tuh cewek?” tanya Kiky heran.. “Cakep kagak, otaknya juga biasa aja. Udah gitu, dia kan senior kita, galak pula, sama sekali nggak ada nilai plusnya deh.”
“Sekali lagi lo salah,” jawab Rio. “Ify gadis paling baik yang pernah gue temui.”
@(^-^)@
Ify membanting tasnya ke tempat tidur dengan kesal. Hari ini benar-benar hari terburuk buatnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan mengambil gulingnya, lalu meremasnya gemas.
Kriing...! Dering telepon memaksa Ify untuk bangun dan segera ke bawah untuk mengangkat telepon. Ify berlari kecil sambil ngedumel kesal.
“Halo...,” sapa Ify ogah-ogahan.
“Halo, Fy,” sapa Sivia ramah dari seberang. “Gue ganggu nggak?”
“Eh, elo, Vi,” jawab Ify. “Nggak ganggu kok, ada apa?”
“Cuma mau ngobrol aja sama elo.”
“Lho, tumben. Ada apaan sih?” tanya Ify heran. “Nggak biasanya elo berkesan misterius gini.”
“Siapa yang misterius?” Sivia malah balik tanya. “Gue cuma mau ngobrol biasa aja sama elo.”
“Oke. Tentang apa nih?”
“Tentang elo.”
“Gue?”

“Iya, tentang elo,” jawab Sivia. “Gue denger, pas pulang sekolah lo rebut sama Rio di lapangan, ya?”

“Tau dari mana lo?”

“Dari berbagai sumber. Topik itu mulai jadi pembicaraan hangat di antara anak-anak, dan gue yakin besok berita itu pasti bakal jadi lebih heboh lagi.”
“Pada kurang kerjaan, ya! Buat apa sih kejadian gitu aja dibesar-besarkan!”

“Fy, apa elo nggak sadar? Ini pertama kalinya ada cowok yang benar-benar berhasil merebut perhatian lo.”
“Merebut perhatian gue?” tanya Ify. “Apa lo nggak salah, Vi? Gue malah setengah mampus benci banget sama dia.”
“Bukankah benci itu juga satu bukti bahwa elo merespons semua tindakan dia dan memberi dia satu perhatian lebih?”
“Maksud lo apa, Vi?”
“Fy, hampir tiga tahun gue kenal elo, dan gue tau siapa elo,” jelas Sivia. “Bia yang gue kenal sangat dingin sama cowok yang berusaha mendekatinya. Ify yang gue kenal pantang mengharapkan bantuan cowok kecuali jika ada hubungan kerja sama yang saling menguntungkan di dalamnya. Ify yang gue kenal nggak pernah mau merespons semua tindakan cowok yang mencoba pedekate sama dia. Ify yang gue kenal nggak akan mau ribut sama cowok karena urusan cinta.”
Ify nggak bersuara. Dia nggak bisa membalas semua ucapan Sivia. Dia terpaku diam.
“Tapi Ify yang sekarang mulai berubah,” lanjut Sivia. “Ify yang sekarang marah-marah dan ngejutekin seorang cowok yang sedang berusaha pedekate sama dia. Padahal dulu boro-boro melirik, setiap cowok yang mencoba mendekati Ify bakal dicuekin habis-habisan. Ify yang sekarang juga mau dianterin ke sekolah sama cowok tersebut meskipun dengan alasan terpaksa. Bahkan Ify yang sekarang bisa ribut di depan umum sama seorang cowok gara-gara masalah cinta.”

“Tapi gue nggak ngeributin masalah cinta sama Rio!” bantah Ify. “Gue cuma... gue cuma... nampar dia dan minta dia nggak ganggu gue lagi.”
“Apa bedanya, Fy?” sahut Sivia santai. “Itu malah semakin menunjukkan bahwa elo jelas merespons semua tindakan dia. Elo marah-marah sama dia, elo ngejutekin dia, elo bilang elo benci sama dia, bukankah itu berarti elo memberi perhatian dan menanggapi semua tindakan yang dia lakukan?”
“Tapi...”
“Lo masih ingat Lintar nggak, cowok yang empat bulan lalu mencoba ngedeketin elo?” tanya Sivia.
“Lintar??”Ify malah balik bertanya. “Lintar  yang mana? Memangnya ada cowok yang namanya Lintar yang mencoba deketin gue?”
“Tuh... benar, kan? Bahkan nama cowok yang pedekate sama elo aja lo nggak ingat,” kata Sivia. “Lintar itu teman kuliahnya Gabriel, Fy...! Nah, sekarang kembali ke Rio nih. Elo tuh benar-benar merespons kehadiran cowok itu.”
“Gue nggak bermaksud gitu, Vi.”
“Jujur sama gue, Fy,” kata Sivia, “apa elo udah jatuh cinta sama Rio?”
“Nggak... itu nggak mungkin,” jawab Ify. “Gue nggak mungkin jatuh cinta sama cowok aneh itu.”

“Kenapa nggak, Fy? Elo nggak salah kok kalau elo jatuh cinta sama dia.”
“Nggak mungkin! Gue nggak mau jatuh cinta,” ujar Ify. “Cinta itu cuma bikin gue menderita, dan gue nggak akan membiarkan diri gue merasakan penderitaan yang sama kayak nyokap gue. Gue nggak akan membiarkan cowok mana pun menyakiti gue. Nggak akan!”
“Elo salah, Fy,” kata Sivia. “Kalau elo sendiri takut untuk mencintai, gimana elo bisa tau apa elo bakal menderita atau malah bahagia?”
“Gue nggak peduli! Lagi pula, buat apa sih elo ngomongin masalah ini sama gue?”
“Gue cuma mau membantu lo untuk jujur sama diri lo sendiri.”
“Udahlah, Vi,” kata Ify kesal. “Gue nggak mau membahas Rio lagi. Hari ini gue udah cukup capek gara-gara cowok rese itu. Gue sampai enek terus-terusan mendengar nama dia hari ini.”
“Oke, oke. Sori ya kalau gue udah mengganggu elo, Fy.”
“Nggak kok, Vi. Elo nggak ganggu gue.”
“Bohong banget!”
“Bener... Gue cuma nggak pengen mendengar nama cowok aneh itu lagi.”
“Iya. Dia memang cowok aneh, Vi,” ujar Sivia. “Dia cowok aneh yang udah mulai memasuki kehidupan lo.”
“Tuh, kan? Lo mulai lagi...”
Sivia tertawa lalu berkata, “Oke, udahan dulu ya. Gue mau nelepon Iel. Bye!
Bye!” Ify menutup telepon lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Rio lagi Rio lagi. Mau nggak mau Ify kepikiran juga sama semua ucapan Sivia barusan. Apa iya gue jatuh cinta sama dia? tanya Ify pada dirinya sendiri. Nggak mungkin! Eits, apa iya nggak mungkin?

@(^-^)@

Bia duduk di sofa ruang tamu sambil membuka buku sejarahnya. Dia sedang menunggu Mama pulang kerja, sembari mengerjakan PR sejarah. Ify membalik halaman demi halaman buku sejarahnya, mencari jawaban untuk pertanyaan yang sedang dikerjakannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.15. Tapi aneh, Mama belum juga pulang. Ify mulai nggak tenang, soalnya Mama bilang hari ini mau pulang lebih awal. Jadi aneh kalau jam segini Mama belum sampai di rumah. Apa jalanan macet, ya?
Deru mobil yang berhenti di depan rumah mengalihkan perhatian Ify dari buku yang ada di tangannya. Siapa yang berhenti di depan rumahnya? Yang pasti itu bukan Mama, soalnya biasanya kalau Mama lagi malas jalan, Mama akan naik ojek dari muka gang sampai depan rumah. Jadi nggak mungkin Mama naik mobil. Jadi siapa ya? Mungkin orang lewat aja kali ya, kata Ify berusaha menenangkan batinnya.
Terdengar suara pagar depan dibuka. Ify mengernyitkan dahi. Apa itu Mama? Suara mobil kembali terdengar lalu perlahan berlalu pergi. Bersamaan dengan itu kenop pintu berputar dan Mama muncul dari balik pintu dengan wajah lelah.
“Mama kok baru pulang?” tanya Ify heran.
“Iya. Memangnya kenapa, Sayang?” Mama ikutan heran melihat ekspresi Ify.
“Nggak. Aku cuma heran,” jawab Ify. “Soalnya tadi aku dengar suara mobil di depan rumah.”
“Oh... itu.” Mama kelihatan gugup dan salah tingkah. “Ng... itu... tadi Mama diantar teman kantor Mama.”
“Teman kantor?”
“Iya... mmm... teman kantor Mama,” jawab Mama tambah gugup. “Manajer personalia di tempat Mama kerja.”
“Kok tumben dia nganter Mama pulang?” tanya Ify, kayak polisi mengintero-gasi tersangka. “Jangan-jangan kemarin-kemarin dia juga yang nganterin Mama pulang? Cowok atau cewek, Ma? Apa dia punya maksud khusus sama Mama?”
“Kamu tuh apa-apaan sih, Fy?” Mama jadi sewot ditanya bertubi-tubi gitu sama anaknya. “Mama rasa Mama nggak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan kamu yang aneh itu. Mama mau mandi.”
Mama membawa tas kerjanya ke kamar lalu kembali keluar sambil membawa handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
Ify menghela napas panjang. rasanya wajar aja kalau Ify curiga sama Mama. Masalahnya, selama ini Mama selalu pulang kerja sendirian. Mama itu wanita mandiri. Tapi kok sekarang Mama pakai acara dianterin pulang segala sama teman kantor yang katanya manajer personalia itu? Rasanya benar-benar mencurigakan, apalagi kalau melihat tampang Mama yang gugup waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan Ify tadi.
Ify menutup buku sejarahnya dan membiarkan pikiran-pikirannya bekerja mencari jawaban untuk keanehan ini.

@(^-^)@

Besok siangnya, setelah bel pulang berbunyi, Ify sedang merapikan bukunya ketika tiba-tiba Agni nongol di kelas.
“Fy, lo harus ikut gue ke lapangan,” ajak Agni.
“Apaan sih?” tanya Ify. “Lo kan tadi udah mau pulang duluan sama Shilla dan Sivia, kok sekarang balik lagi sih?”
Ify yang masih sibuk merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas meja memandang Agni heran. Kelas udah sepi. Anak-anak udah pada bubar dari tadi. Tinggal mereka berdua di ruangan itu.
“Pokoknya lo harus ikut gue sekarang juga,” ajak Agni lagi yang kali ini lebih berkesan memaksa.
“Ada apa sih, Ag?” tanya Ify lagi. “Lo nggak liat ya, gue lagi sibuk ngerapiin buku-buku gue.”
So what gitu loh!” jawab Agni asal. “Yang penting lo ikut gue sekarang juga.”
“Tapi gue lagi rapiin buku-buku gue, Ag!” protes Ify.
“Gue bantuin,” kata Agni lalu secepat kilat mengambil semua buku Ify yang berserakan di meja dan menjejalkannya ke dalam tas ransel Ify.
Ify cuma bisa melotot melihat buku-bukunya yang jadi lecek nggak keruan gara-gara ulah Agni.
“Udah, ayo jalan,” ajak Agni sambil menarik tangan Ify meninggalkan ruang kelas.
 “Shilla sama Sivia udah nunggu dari tadi.”

“Iya, iya. Tapi pelan-pelan dong, Ag,” Ify ngedumel.
“Kita nggak ada waktu lagi.”
Memangnya ada apa sih?
@(^-^)@
Lapangan basket tampak ramai oleh anak-anak yang nggak jadi pulang. Mereka berdiri di sekeliling lapangan sambil berteriak-teriak heboh.
Agni dan ify menerobos barisan penonton dan menempatkan diri di samping Sivia dan Shilla yang juga sedang seru memerhatikan lapangan basket.
“Ada apa sih?” tanya Ify heran.
“Lo liat aja sendiri,” jawab Agi.
Ify menajamkan penglihatannya ke tengah lapangan. Di sana ada sebuah meja, dan di atasnya berdiri seorang cowok cakep sambil memegang TOA. Ify melongo kaget, nggak percaya atas apa yang dilihatnya. Cowok yang berdiri di atas meja itu... RIO! Gila! Ngapain dia di situ? Di tengah lapangan, lagi! Dasar kurang kerjaan, tukang cari sensasi, maki Ify dalam hatinya.
“Halo semuanya...!” sapa Rio, mulutnya menempel di corong TOA.
“Halo juga!” balas semua anak yang ada di situ, kecuali Ify pastinya.
“Oke. Hari ini gue spesial tampil di depan kalian semua untuk menghibur kalian selama kurang-lebih lima belas menit,” kata Rio. “Gue juga akan mempersembahkan lagu untuk seseorang yang udah membuat gue jatuh cinta...”
Mata Rio tertuju pada sosok Ify yang berdiri di pinggir lapangan. Sinar matanya menunjukkan kehangatan dan ketulusan hatinya. Ify balas menatap Rio, tapi nggak lama kemudian dia langsung buang muka.
“Semua siap bergoyang?” tanya Rio kayak penyanyi profesional.
“Siap!” teriak anak-anak heboh.
“Lagu pertama gue persembahkan untuk para RiSE yang udah banyak mendukung gue selama ini,” kata Rio. “Karena Cinta.”
“Huuu...!” sorak anak-anak.
Rio mulai menyanyi dengan menggunakan TOA tanpa diiringi musik. Terdengar rada aneh, tapi lumayanlah.
“Si Rio benar-benar gila!” ujar Shilla. “Tapi gue suka cowok model gini.”
“Lo suka cowok gila, Shill?” tanya Ify.
“Gilanya Rio kan beda, Fy,” jawab Shilla. “Gilanya dia tuh keren banget.”
Ify mencibir. Baginya sekali gila ya tetap gila. Apanya yang keren? Malah kayak orang kurang kerjaan banget.
“Vi, gue mau ngomong bentar sama elo.” Tiba-tiba Alvin, teman sekelas mereka, udah nongol di sebelah Sivia dengan tampang serius.
“Oh, ada apa, Vin?” tanya Sivia. “Ngomong aja sekarang.”
Alvin  melirik sebentar ke arah ketiga teman Sivia, lalu kembali menatap cewek itu. “Gue mau ngomong empat mata sama elo,” jawab Alvin. “Penting!”
Sivia mengernyitkan dahinya heran, begitu pula ketiga temannya.
“Ya udah. Kita ngomong di kantin aja,” tawar Sivia.
Alvin mengangguk lalu berjalan lebih dulu menuju kantin.
“Gue ke kantin dulu bentar,” pamit Sivia. “Nanti gue balik lagi.”
Ify, Shilla dan Agni hanya bisa mengangguk kebingungan. Tumben banget Alvin berani ngajak Sivia ngomong berduaan. Alvin memang udah lama naksir Sivia, ketahuan dari gerak-gerikya yang selalu baik sama Sivia. Tapi anehnya dia nggak pernah berani ngomong berduaan sama Via, apalagi nembak. Jadi selama ini dia cuma menyimpan rasa sukanya dalam hati, sehingga akhirnya Sivia jatuh ke tangan Gabriel.
Makanya semua pada heran melihat Alvin mengajak Sivia kayak tadi. Rasanya aneh aja.
Tepuk tangan meriah dari anak-anak mengembalikan perhatian ketiga cewek itu pada Rio yang masih berdiri di tengah lapangan.
“Oke, lagu berikutnya gue persembahkan buat cewek yang udah menawan hati gue. Dia adalah... Ify,” ujar Rio sambil menatap lembut Ify.
Ify melotot kaget. Semua mata yang ada di lapangan saat itu langsung melihat ke arahnya. Tanpa Ify sadari, mukanya memerah kayak udang rebus.
Tidak semua laki-laki,” Rio menyebutkan judul lagu dangdut yang akan dinyanyikannya, lalu melompat turun dari atas meja dan mulai bernyanyi sambil perlahan berjalan dan bergoyang mendekati Ify.
Bait demi bait dinyanyikannya di bawah sorakan dan tepukan tangan anak-anak yang masih setia menonton pertunjukannya. Rio nggak peduli dengan puluhan mata yang menatapnya geli atau tawa dan teriakan mereka yang seakan melecehkannya. Dia tetap berdangdut ria sambil menatap mata Ify, cewek pujaannya.
Sorakan dan tepuk tangan riuh mengakhiri lagu yang dinyanyikan Rio. Ify menatap Rio yang sudah berlutut di hadapannya. Dia benar-benar bingung nggak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Rio masih berlutut, lalu masih dengan menggunakan TOA, dia bertanya pada Ify, “Ify, would you be my princess?”
Mulut Ify menganga lebar. Dia nggak percaya dengan apa yang baru aja didengarnya. Nggak mungkin cowok gila ini benar-benar nekat ngomong gitu di depan semua orang. Ify celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sesuatu, siapa tahu ada kamera tersembunyi yang lagi meliput kejadian ini. Bisa aja kan, ini lagi acara reality show? Kan sekarang lagi zamannya segala sesuatu dibikin reality show. Tapi ternyata nggak ada. Mata Ify malah tertumbuk pada tiga cewek yang pernah ngegosipin dia di toilet sekolah. Ketiga cewek itu berdiri diam di salah satu sudut lapangan dan memandangnya dengan sorot mata jijik.
Darah Ify bergejolak hebat, dan tiba-tiba saja emosinya meluap-luap. Ify jadi kesal sama kelakuan Rio yang udah memberi kesempatan pada ketiga cewek genit itu untuk memandanginya dengan tatapan merendahkan.
Ify menatap Rio yang masih berlutut di depannya, lalu berkata tajam, “Elo tuh benar-benar nggak punya malu! Gue jijik sama elo!”
Kemudian Ify berlalu begitu saja, meninggalkan Rio yang terpengarah menatapnya, bersama puluhan mata yang juga kaget dengan jawaban yang dilontarkannya. Tapi Ify nggak peduli. Dia berjalan cepat menerobos kerumunan dan meninggalkan gedung sekolah.
@(^-^)@
“Fy, kok lo pulang duluan sih?” protes Sivia di telepon sore itu.
“Sori, gue males aja jadi tontonan orang,” jawab Ify. “Lagian, siapa suruh lo ngilang lama banget.”
“Gue kan lagi ngomong sama Alvin di kantin.”
“Oh iya, gue lupa,” kata Ify sambil nyengir. “Kalian ngomongin apaan sih? Tumben banget si Alvin ngajakin elo bicara empat mata...”
Terdengar suara tarikan napas dari seberang. Sivia terdiam sesaat.
“Ah, nggak penting,” jawab Sivia akhirnya. “Gue yang mestinya nanya sama elo, apa yang terjadi di lapangan setelah gue ke kantin.”
“Lo pasti udah diceritain sama Agni dan Shilla.”
“Iya sih,” lanjut Sivia. “Tapi gue mau dengar cerita versi elo.”
“Ceritanya sama aja.”
“Lo kedengarannya bete banget sih, Fy?”
“Masa?”
“Jutek, tau!” dumel Sivia.
“Perasaan lo aja, kali.”
“Ih, nih anak, kalo dibilangin,” gerutu Sivia lagi. “Gue kan cuma mau ngajak lo ngobrol. Kok respons lo ngebetein gitu sih?”
“Habis, lo ngajakin gue ngobrol soal tadi sih. Gue keki, tau!”
“Lho memangnya kenapa?” tanya Sivia heran. “Rio kan cuma bikin pertunjukan spesial buat lo di lapangan. Masa gitu aja salah sih?”
“Jelas salah!”
“Apanya yang salah?”
Ify merengut karena kesal. “Vi, Rio udah bikin gue malu. Dia bikin gue jadi tontonan anak-anak, dia bikin gue nggak punya muka di depan teman-teman dan junior-junior gue sendiri.”
“Ya ampun, Fy...,” ujar Sivia. “Rio nggak mungkin bermaksud kayak gitu.”
“Lo tau dari mana?” tanya Ify. “Lo kan nggak ngeliat kejadian tadi. Anak-anak kelas satu pada ngeliatin gue dengan pandangan menghina. Gue benar-benar kesal banget.”
“Nggak mungkin, Fy,” bantah Sivia. “Kalaupun iya, itu cuma karena mereka iri sama elo.”
“Iri sama gue?”
“Iya, Fy,” jawab Sivia. “Mereka iri karena elo mendapat perhatian dari Rio, cowok yang lagi naik daun di sekolah kita saat ini. Masa lo nggak ngerti sih?”
Ify terdiam sesaat, mencoba memikirkan kata-kata Sivia. Entah mengapa Ify malah tambah kesal.
“Siapa yang suruh mereka pake acara iri segala!” maki Ify. “Mereka kira gue suka apa, sama hal-hal kayak gini? Gue ngerasa kayak di sinetron-sinetron, terlalu didramatisir, cengeng banget. Ih, gue benci banget. Dan ini semua gara-gara cowok gila itu. Gue benar-benar sial ketemu dia!”
Sivia menghela napas panjang. “Menurut gue bukan elo yang sial karena ketemu sama Rio, tapi Rio yang sial karena jatuh cinta sama cewek kayak elo, Fy....”

No comments:

Post a Comment