Pacarku Juniorku [4]
–Mungkin atau Nggak?-
“FY... gue anterin pulang ya,”
tawar Rio saat semua anak sudah meninggalkan ruang kelas dengan penuh sukacita
untuk segera pulang ke rumah.
Ify berjalan cepat menyusuri
lapangan tanpa memedulikan tawaran Rio yang berusaha mensejajarkan langkahnya
di samping Ify.
“Ifyy... jangan cuek gitu dong.
Gue anterin lo pulang ya,” rayu Rio pantang menyerah. “Kan lebih enak naik
mobil gue daripada naik angkot.”
Ify tetap nggak peduli dan
mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah yang menganga lebar.
“Ify...,” panggil Rio sambil
menahan tangan kiri Ify.
Ify berhenti dan menatap Rio
tajam. “Lepasin tangan gue!”
“Nggak mau. Gue baru mau
lepasin tangan lo kalau lo mau pulang bareng gue.”
“Gue bilang lepasin tangan gue!”
“Gue nggak mau!”
Plaakk! Sebuah tamparan keras melayang di pipi Rio. Semua mata
kontan menatap mereka. Rio melepaskan genggamannya. Dia nggak menyangka Ify
akan senekat itu. Dalam hitungan detik, di pipi Rio yang mulus dan putih
tercetak bekas tamparan jari-jari tangan Ify.
“Dengar baik-baik, ya. Tamparan
itu hadiah buat kekurangajaran lo megang-megang tangan gue. Kalau elo masih
berani ganggu gue, gue nggak akan segan menghajar elo. Jangan kira gue nggak
berani sama elo. Biarpun cewek, gue nggak takut kalau harus ribut sama elo!”
Rio terperanjat. Tapi cowok itu
memang sabar, ia nggak termakan emosi mendengar ancaman Ify.
“Fy, kenapa sih elo sewot
banget sama gue. Apa gue salah, jatuh cinta sama elo?”
“Lo kira gue bisa kemakan
rayuan gombal lo? Elo salah besar! Gue bukan cewek gampangan seperti yang lo
kira. Kalau lo mau mainin cewek, gue rasa banyak temen sekelas lo yang
bersedia!”
“Fy, gue
nggak pernah nganggap elo cewek gampangan. Gue nggak pernah berniat mainin
cewek mana pun. Gue cuma mengikuti kata hati dan debaran jantung gue yang udah
menjatuhkan pilihannya ke elo...”
“Rio, kalau elo masih coba-coba
deketin gue dan sok ngegombal, gue akan benar-benar membenci elo dengan segenap
jiwa raga gue!” bentak Ify kesal.
Anak-anak yang lagi bubaran kelas
membuat pagar lingkaran di sekeliling Ify dan Rio. Mereka membatalkan niat
mereka untuk segera meninggalkan sekolah. Tontonan gratis yang seru ini sama
sekali nggak boleh dilewatkan. Bahkan sampai-sampai ada yang nekat taruhan
siapa yang menang dalam pertarungan kali ini. Kebanyakan sih pada megang Bia.
“Ify... gue suka sama elo. Dan
gue akan membuat elo melihat ketulusan perasaan gue. Gue nggak akan mundur
begitu aja. Tamparan ini malah membuktikan bahwa elo ada perhatian ke gue,”
kata Rio lembut. Ia tersenyum manis menatap kedua bola mata Ify yang melotot
marah.
“Dasar GILA!” teriak Ify lalu
berlari meninggalkan Rio dan menembus pagar lingkaran teman-temannya.
“HIDUP RIO!!!” teriak salah
satu penonton yang kemudian diikuti sorakan teman-temannya yang lain. Ternyata
Rio yang menang.
“Ayo, lo bayar taruhannya!”
tagih Kiky, salah satu sobat Egi yang ikutan pasang taruhan untuk kemenangan
Rio.
Anak-anak mulai bubar. Yang
menang taruhan tertawa lebar, sedangkan yang memilih Ify cuma bisa mesem-mesem
kecewa.
“Gi, lo TOP banget dah! Tu
cewek bisa lo buat nggak berkutik. Hebat, hebat!” puji Kiky mendekati Rio
sambil mengantongi uang yang baru saja didapatkannya.
Rio cuma diam dan mengelus-elus
pipinya yang masih terasa agak panas.
“Weits! Pipi lo merah juga, Yo.
Tamparan tuh cewek keras juga ya?” kata Kiky. “Lo nggak serius kan naksir cewek
kasar gitu?”
“Dia bukan cewek kasar. Dia
cuma punya watak keras,” bela Rio.
“Yo... jangan bilang lo serius
naksir dia ya,” ujar Kiky curiga.
Rio nggak menjawab. Dia hanya
diam dan tersenyum. Tapi bagi Kiky, senyum Rio itu udah cukup sebagai jawaban.
“Lo gila, Yo! Segitu banyak
cewek yang naksir lo sejak hari pertama kita masuk sekolah ini, elo malah milih
cewek kasar yang jelas-jelas nggak suka sama elo,” kata Kiky heran. “Gue rasa
otak lo udah nggak waras lagi.”
“Elo salah, Ky!” bantah Rio.
“Justru karena gue waras, gue milih Ify daripada cewek-cewek sok jaim yang
ngejar-ngejar gue tiap hari itu.”
“Apa sih yang bagus dari tuh
cewek?” tanya Kiky heran.. “Cakep kagak, otaknya juga biasa aja. Udah gitu, dia
kan senior kita, galak pula, sama sekali nggak ada nilai plusnya deh.”
“Sekali lagi lo salah,” jawab
Rio. “Ify gadis paling baik yang pernah gue temui.”
@(^-^)@
Ify membanting tasnya ke tempat
tidur dengan kesal. Hari ini benar-benar hari terburuk buatnya. Ia menjatuhkan
tubuhnya ke atas kasur dan mengambil gulingnya, lalu meremasnya gemas.
Kriing...! Dering telepon
memaksa Ify untuk bangun dan segera ke bawah untuk mengangkat telepon. Ify
berlari kecil sambil ngedumel kesal.
“Halo...,” sapa Ify
ogah-ogahan.
“Halo, Fy,” sapa Sivia ramah
dari seberang. “Gue ganggu nggak?”
“Eh, elo, Vi,” jawab Ify.
“Nggak ganggu kok, ada apa?”
“Cuma mau ngobrol aja sama
elo.”
“Lho, tumben. Ada apaan sih?”
tanya Ify heran. “Nggak biasanya elo berkesan misterius gini.”
“Siapa yang misterius?” Sivia
malah balik tanya. “Gue cuma mau ngobrol biasa aja sama elo.”
“Oke. Tentang apa nih?”
“Tentang elo.”
“Gue?”
“Iya, tentang elo,” jawab
Sivia. “Gue denger, pas pulang sekolah lo rebut sama Rio di lapangan, ya?”
“Tau dari mana lo?”
“Dari berbagai sumber. Topik
itu mulai jadi pembicaraan hangat di antara anak-anak, dan gue yakin besok
berita itu pasti bakal jadi lebih heboh lagi.”
“Pada kurang kerjaan, ya! Buat
apa sih kejadian gitu aja dibesar-besarkan!”
“Fy, apa elo nggak sadar? Ini
pertama kalinya ada cowok yang benar-benar berhasil merebut perhatian lo.”
“Merebut perhatian gue?” tanya
Ify. “Apa lo nggak salah, Vi? Gue malah setengah mampus benci banget sama dia.”
“Bukankah benci itu juga satu
bukti bahwa elo merespons semua tindakan dia dan memberi dia satu perhatian
lebih?”
“Maksud lo apa, Vi?”
“Fy, hampir tiga tahun gue
kenal elo, dan gue tau siapa elo,” jelas Sivia. “Bia yang gue kenal sangat
dingin sama cowok yang berusaha mendekatinya. Ify yang gue kenal pantang
mengharapkan bantuan cowok kecuali jika ada hubungan kerja sama yang saling
menguntungkan di dalamnya. Ify yang gue kenal nggak pernah mau merespons semua
tindakan cowok yang mencoba pedekate sama dia. Ify yang gue kenal nggak akan
mau ribut sama cowok karena urusan cinta.”
Ify nggak bersuara. Dia nggak
bisa membalas semua ucapan Sivia. Dia terpaku diam.
“Tapi Ify yang sekarang mulai
berubah,” lanjut Sivia. “Ify yang sekarang marah-marah dan ngejutekin seorang
cowok yang sedang berusaha pedekate sama dia. Padahal dulu boro-boro melirik,
setiap cowok yang mencoba mendekati Ify bakal dicuekin habis-habisan. Ify yang
sekarang juga mau dianterin ke sekolah sama cowok tersebut meskipun dengan
alasan terpaksa. Bahkan Ify yang sekarang bisa ribut di depan umum sama seorang
cowok gara-gara masalah cinta.”
“Tapi gue nggak ngeributin
masalah cinta sama Rio!” bantah Ify. “Gue cuma... gue cuma... nampar dia dan
minta dia nggak ganggu gue lagi.”
“Apa bedanya, Fy?” sahut Sivia
santai. “Itu malah semakin menunjukkan bahwa elo jelas merespons semua tindakan
dia. Elo marah-marah sama dia, elo ngejutekin dia, elo bilang elo benci sama
dia, bukankah itu berarti elo memberi perhatian dan menanggapi semua tindakan
yang dia lakukan?”
“Tapi...”
“Lo masih ingat Lintar nggak,
cowok yang empat bulan lalu mencoba ngedeketin elo?” tanya Sivia.
“Lintar??”Ify malah balik
bertanya. “Lintar yang mana? Memangnya
ada cowok yang namanya Lintar yang mencoba deketin gue?”
“Tuh... benar, kan? Bahkan nama
cowok yang pedekate sama elo aja lo nggak ingat,” kata Sivia. “Lintar itu teman
kuliahnya Gabriel, Fy...! Nah, sekarang kembali ke Rio nih. Elo tuh benar-benar
merespons kehadiran cowok itu.”
“Gue nggak bermaksud gitu, Vi.”
“Jujur sama gue, Fy,” kata Sivia,
“apa elo udah jatuh cinta sama Rio?”
“Nggak... itu nggak mungkin,”
jawab Ify. “Gue nggak mungkin jatuh cinta sama cowok aneh itu.”
“Kenapa nggak, Fy? Elo nggak
salah kok kalau elo jatuh cinta sama dia.”
“Nggak mungkin! Gue nggak mau
jatuh cinta,” ujar Ify. “Cinta itu cuma bikin gue menderita, dan gue nggak akan
membiarkan diri gue merasakan penderitaan yang sama kayak nyokap gue. Gue nggak
akan membiarkan cowok mana pun menyakiti gue. Nggak akan!”
“Elo salah, Fy,” kata Sivia. “Kalau
elo sendiri takut untuk mencintai, gimana elo bisa tau apa elo bakal menderita
atau malah bahagia?”
“Gue nggak peduli! Lagi pula,
buat apa sih elo ngomongin masalah ini sama gue?”
“Gue cuma mau membantu lo untuk
jujur sama diri lo sendiri.”
“Udahlah, Vi,” kata Ify kesal.
“Gue nggak mau membahas Rio lagi. Hari ini gue udah cukup capek gara-gara cowok
rese itu. Gue sampai enek terus-terusan mendengar nama dia hari ini.”
“Oke, oke. Sori ya kalau gue
udah mengganggu elo, Fy.”
“Nggak kok, Vi. Elo nggak
ganggu gue.”
“Bohong banget!”
“Bener... Gue cuma nggak pengen
mendengar nama cowok aneh itu lagi.”
“Iya. Dia
memang cowok aneh, Vi,” ujar Sivia. “Dia cowok aneh yang udah mulai memasuki
kehidupan lo.”
“Tuh, kan? Lo mulai lagi...”
Sivia tertawa lalu berkata,
“Oke, udahan dulu ya. Gue mau nelepon Iel. Bye!”
“Bye!” Ify menutup
telepon lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Rio lagi Rio lagi. Mau nggak mau Ify
kepikiran juga sama semua ucapan Sivia barusan. Apa iya gue jatuh cinta sama
dia? tanya Ify pada dirinya sendiri. Nggak mungkin! Eits, apa iya nggak
mungkin?
@(^-^)@
Bia duduk di sofa ruang tamu
sambil membuka buku sejarahnya. Dia sedang menunggu Mama pulang kerja, sembari
mengerjakan PR sejarah. Ify membalik halaman demi halaman buku sejarahnya,
mencari jawaban untuk pertanyaan yang sedang dikerjakannya.
Jam sudah menunjukkan pukul
18.15. Tapi aneh, Mama belum juga pulang. Ify mulai nggak tenang, soalnya Mama
bilang hari ini mau pulang lebih awal. Jadi aneh kalau jam segini Mama belum
sampai di rumah. Apa jalanan macet, ya?
Deru mobil yang berhenti di
depan rumah mengalihkan perhatian Ify dari buku yang ada di tangannya. Siapa
yang berhenti di depan rumahnya? Yang pasti itu bukan Mama, soalnya biasanya
kalau Mama lagi malas jalan, Mama akan naik ojek dari muka gang sampai depan
rumah. Jadi nggak mungkin Mama naik mobil. Jadi siapa ya? Mungkin orang lewat
aja kali ya, kata Ify berusaha menenangkan batinnya.
Terdengar suara pagar depan
dibuka. Ify mengernyitkan dahi. Apa itu Mama? Suara mobil kembali terdengar
lalu perlahan berlalu pergi. Bersamaan dengan itu kenop pintu berputar dan Mama
muncul dari balik pintu dengan wajah lelah.
“Mama kok baru pulang?” tanya Ify
heran.
“Iya. Memangnya kenapa, Sayang?”
Mama ikutan heran melihat ekspresi Ify.
“Nggak. Aku cuma heran,” jawab Ify.
“Soalnya tadi aku dengar suara mobil di depan rumah.”
“Oh... itu.” Mama kelihatan
gugup dan salah tingkah. “Ng... itu... tadi Mama diantar teman kantor Mama.”
“Teman kantor?”
“Iya... mmm... teman kantor
Mama,” jawab Mama tambah gugup. “Manajer personalia di tempat Mama kerja.”
“Kok tumben
dia nganter Mama pulang?” tanya Ify, kayak polisi mengintero-gasi tersangka.
“Jangan-jangan kemarin-kemarin dia juga yang nganterin Mama pulang? Cowok atau
cewek, Ma? Apa dia punya maksud khusus sama Mama?”
“Kamu tuh apa-apaan sih, Fy?”
Mama jadi sewot ditanya bertubi-tubi gitu sama anaknya. “Mama rasa Mama nggak
perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan kamu yang aneh itu. Mama mau mandi.”
Mama membawa tas kerjanya ke
kamar lalu kembali keluar sambil membawa handuk dan berjalan menuju kamar
mandi.
Ify menghela napas panjang.
rasanya wajar aja kalau Ify curiga sama Mama. Masalahnya, selama ini Mama
selalu pulang kerja sendirian. Mama itu wanita mandiri. Tapi kok sekarang Mama
pakai acara dianterin pulang segala sama teman kantor yang katanya manajer
personalia itu? Rasanya benar-benar mencurigakan, apalagi kalau melihat tampang
Mama yang gugup waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan Ify tadi.
Ify menutup buku sejarahnya dan
membiarkan pikiran-pikirannya bekerja mencari jawaban untuk keanehan ini.
@(^-^)@
Besok siangnya, setelah bel
pulang berbunyi, Ify sedang merapikan bukunya ketika tiba-tiba Agni nongol di
kelas.
“Fy, lo harus ikut gue ke lapangan,”
ajak Agni.
“Apaan sih?” tanya Ify. “Lo kan
tadi udah mau pulang duluan sama Shilla dan Sivia, kok sekarang balik lagi
sih?”
Ify yang masih sibuk merapikan
buku-bukunya yang berserakan di atas meja memandang Agni heran. Kelas udah
sepi. Anak-anak udah pada bubar dari tadi. Tinggal mereka berdua di ruangan
itu.
“Pokoknya lo harus ikut gue
sekarang juga,” ajak Agni lagi yang kali ini lebih berkesan memaksa.
“Ada apa sih, Ag?” tanya Ify
lagi. “Lo nggak liat ya, gue lagi sibuk ngerapiin buku-buku gue.”
“So what gitu loh!”
jawab Agni asal. “Yang penting lo ikut gue sekarang juga.”
“Tapi gue lagi rapiin buku-buku
gue, Ag!” protes Ify.
“Gue bantuin,” kata Agni lalu
secepat kilat mengambil semua buku Ify yang berserakan di meja dan
menjejalkannya ke dalam tas ransel Ify.
Ify cuma bisa melotot melihat
buku-bukunya yang jadi lecek nggak keruan gara-gara ulah Agni.
“Udah, ayo jalan,” ajak Agni
sambil menarik tangan Ify meninggalkan ruang kelas.
“Shilla sama Sivia udah nunggu dari tadi.”
“Iya, iya. Tapi pelan-pelan
dong, Ag,” Ify ngedumel.
“Kita nggak ada waktu lagi.”
Memangnya
ada apa sih?
@(^-^)@
Lapangan basket tampak ramai
oleh anak-anak yang nggak jadi pulang. Mereka berdiri di sekeliling lapangan
sambil berteriak-teriak heboh.
Agni dan ify menerobos barisan
penonton dan menempatkan diri di samping Sivia dan Shilla yang juga sedang seru
memerhatikan lapangan basket.
“Ada apa sih?” tanya Ify heran.
“Lo liat aja sendiri,” jawab Agi.
Ify menajamkan penglihatannya
ke tengah lapangan. Di sana ada sebuah meja, dan di atasnya berdiri seorang
cowok cakep sambil memegang TOA. Ify melongo kaget, nggak percaya atas apa yang
dilihatnya. Cowok yang berdiri di atas meja itu... RIO! Gila! Ngapain dia di
situ? Di tengah lapangan, lagi! Dasar kurang kerjaan, tukang cari sensasi, maki
Ify dalam hatinya.
“Halo semuanya...!” sapa Rio,
mulutnya menempel di corong TOA.
“Halo juga!” balas semua anak
yang ada di situ, kecuali Ify pastinya.
“Oke. Hari ini gue spesial
tampil di depan kalian semua untuk menghibur kalian selama kurang-lebih lima
belas menit,” kata Rio. “Gue juga akan mempersembahkan lagu untuk seseorang
yang udah membuat gue jatuh cinta...”
Mata Rio tertuju pada sosok Ify
yang berdiri di pinggir lapangan. Sinar matanya menunjukkan kehangatan dan ketulusan
hatinya. Ify balas menatap Rio, tapi nggak lama kemudian dia langsung buang
muka.
“Semua siap bergoyang?” tanya Rio
kayak penyanyi profesional.
“Siap!” teriak anak-anak heboh.
“Lagu pertama gue persembahkan
untuk para RiSE yang udah banyak mendukung gue selama ini,” kata Rio. “Karena
Cinta.”
“Huuu...!” sorak anak-anak.
Rio mulai menyanyi dengan
menggunakan TOA tanpa diiringi musik. Terdengar rada aneh, tapi lumayanlah.
“Si Rio benar-benar gila!” ujar
Shilla. “Tapi gue suka cowok model gini.”
“Lo suka cowok gila, Shill?”
tanya Ify.
“Gilanya Rio kan beda, Fy,”
jawab Shilla. “Gilanya dia tuh keren banget.”
Ify mencibir. Baginya sekali
gila ya tetap gila. Apanya yang keren? Malah kayak orang kurang kerjaan banget.
“Vi, gue mau ngomong bentar sama
elo.” Tiba-tiba Alvin, teman sekelas mereka, udah nongol di sebelah Sivia
dengan tampang serius.
“Oh, ada apa, Vin?” tanya Sivia.
“Ngomong aja sekarang.”
Alvin melirik sebentar ke arah ketiga teman Sivia,
lalu kembali menatap cewek itu. “Gue mau ngomong empat mata sama elo,” jawab Alvin.
“Penting!”
Sivia
mengernyitkan dahinya heran, begitu pula ketiga temannya.
“Ya udah. Kita ngomong di
kantin aja,” tawar Sivia.
Alvin mengangguk lalu berjalan
lebih dulu menuju kantin.
“Gue ke kantin dulu bentar,” pamit
Sivia. “Nanti gue balik lagi.”
Ify, Shilla dan Agni hanya bisa
mengangguk kebingungan. Tumben banget Alvin berani ngajak Sivia ngomong
berduaan. Alvin memang udah lama naksir Sivia, ketahuan dari gerak-gerikya yang
selalu baik sama Sivia. Tapi anehnya dia nggak pernah berani ngomong berduaan
sama Via, apalagi nembak. Jadi selama ini dia cuma menyimpan rasa sukanya dalam
hati, sehingga akhirnya Sivia jatuh ke tangan Gabriel.
Makanya semua pada heran
melihat Alvin mengajak Sivia kayak tadi. Rasanya aneh aja.
Tepuk tangan meriah dari
anak-anak mengembalikan perhatian ketiga cewek itu pada Rio yang masih berdiri
di tengah lapangan.
“Oke, lagu berikutnya gue
persembahkan buat cewek yang udah menawan hati gue. Dia adalah... Ify,” ujar Rio
sambil menatap lembut Ify.
Ify melotot kaget. Semua mata
yang ada di lapangan saat itu langsung melihat ke arahnya. Tanpa Ify sadari,
mukanya memerah kayak udang rebus.
“Tidak semua laki-laki,”
Rio menyebutkan judul lagu dangdut yang akan dinyanyikannya, lalu melompat
turun dari atas meja dan mulai bernyanyi sambil perlahan berjalan dan bergoyang
mendekati Ify.
Bait demi bait dinyanyikannya
di bawah sorakan dan tepukan tangan anak-anak yang masih setia menonton
pertunjukannya. Rio nggak peduli dengan puluhan mata yang menatapnya geli atau
tawa dan teriakan mereka yang seakan melecehkannya. Dia tetap berdangdut ria
sambil menatap mata Ify, cewek pujaannya.
Sorakan dan tepuk tangan riuh
mengakhiri lagu yang dinyanyikan Rio. Ify menatap Rio yang sudah berlutut di
hadapannya. Dia benar-benar bingung nggak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Rio masih berlutut, lalu masih
dengan menggunakan TOA, dia bertanya pada Ify, “Ify, would you be my
princess?”
Mulut Ify
menganga lebar. Dia nggak percaya dengan apa yang baru aja didengarnya. Nggak
mungkin cowok gila ini benar-benar nekat ngomong gitu di depan semua orang. Ify
celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, mencari-cari sesuatu, siapa tahu ada
kamera tersembunyi yang lagi meliput kejadian ini. Bisa aja kan, ini lagi acara
reality show? Kan sekarang lagi zamannya segala sesuatu dibikin reality
show. Tapi ternyata nggak ada. Mata Ify malah tertumbuk pada tiga cewek
yang pernah ngegosipin dia di toilet sekolah. Ketiga cewek itu berdiri diam di
salah satu sudut lapangan dan memandangnya dengan sorot mata jijik.
Darah Ify bergejolak hebat, dan
tiba-tiba saja emosinya meluap-luap. Ify jadi kesal sama kelakuan Rio yang udah
memberi kesempatan pada ketiga cewek genit itu untuk memandanginya dengan
tatapan merendahkan.
Ify menatap Rio yang masih
berlutut di depannya, lalu berkata tajam, “Elo tuh benar-benar nggak punya
malu! Gue jijik sama elo!”
Kemudian Ify berlalu begitu
saja, meninggalkan Rio yang terpengarah menatapnya, bersama puluhan mata yang
juga kaget dengan jawaban yang dilontarkannya. Tapi Ify nggak peduli. Dia
berjalan cepat menerobos kerumunan dan meninggalkan gedung sekolah.
@(^-^)@
“Fy, kok lo pulang duluan sih?”
protes Sivia di telepon sore itu.
“Sori, gue males aja jadi
tontonan orang,” jawab Ify. “Lagian, siapa suruh lo ngilang lama banget.”
“Gue kan lagi ngomong sama Alvin
di kantin.”
“Oh iya, gue lupa,” kata Ify
sambil nyengir. “Kalian ngomongin apaan sih? Tumben banget si Alvin ngajakin
elo bicara empat mata...”
Terdengar suara tarikan napas
dari seberang. Sivia terdiam sesaat.
“Ah, nggak penting,” jawab Sivia
akhirnya. “Gue yang mestinya nanya sama elo, apa yang terjadi di lapangan
setelah gue ke kantin.”
“Lo pasti udah diceritain sama Agni
dan Shilla.”
“Iya sih,” lanjut Sivia. “Tapi
gue mau dengar cerita versi elo.”
“Ceritanya sama aja.”
“Lo kedengarannya bete banget
sih, Fy?”
“Masa?”
“Jutek, tau!” dumel Sivia.
“Perasaan lo aja, kali.”
“Ih, nih anak, kalo
dibilangin,” gerutu Sivia lagi. “Gue kan cuma mau ngajak lo ngobrol. Kok
respons lo ngebetein gitu sih?”
“Habis, lo ngajakin gue ngobrol
soal tadi sih. Gue keki, tau!”
“Lho memangnya kenapa?” tanya Sivia
heran. “Rio kan cuma bikin pertunjukan spesial buat lo di lapangan. Masa gitu
aja salah sih?”
“Jelas salah!”
“Apanya yang salah?”
Ify merengut karena kesal. “Vi,
Rio udah bikin gue malu. Dia bikin gue jadi tontonan anak-anak, dia bikin gue
nggak punya muka di depan teman-teman dan junior-junior gue sendiri.”
“Ya ampun, Fy...,”
ujar Sivia. “Rio nggak mungkin bermaksud kayak gitu.”
“Lo tau dari mana?” tanya Ify.
“Lo kan nggak ngeliat kejadian tadi. Anak-anak kelas satu pada ngeliatin gue
dengan pandangan menghina. Gue benar-benar kesal banget.”
“Nggak mungkin, Fy,” bantah Sivia.
“Kalaupun iya, itu cuma karena mereka iri sama elo.”
“Iri sama gue?”
“Iya, Fy,” jawab Sivia. “Mereka
iri karena elo mendapat perhatian dari Rio, cowok yang lagi naik daun di
sekolah kita saat ini. Masa lo nggak ngerti sih?”
Ify terdiam sesaat, mencoba
memikirkan kata-kata Sivia. Entah mengapa Ify malah tambah kesal.
“Siapa yang suruh mereka pake
acara iri segala!” maki Ify. “Mereka kira gue suka apa, sama hal-hal kayak
gini? Gue ngerasa kayak di sinetron-sinetron, terlalu didramatisir, cengeng
banget. Ih, gue benci banget. Dan ini semua gara-gara cowok gila itu. Gue
benar-benar sial ketemu dia!”
Sivia
menghela napas panjang. “Menurut gue bukan elo yang sial karena ketemu sama Rio,
tapi Rio yang sial karena jatuh cinta sama cewek kayak elo, Fy....”
No comments:
Post a Comment