You’re My Best Sister
+++++
Aku bukan Kau. Dan Kau bukanlah Aku. Aku dan Kau berbeda.
+++++
Aku bukan Kau. Dan Kau bukanlah Aku. Aku dan Kau berbeda.
+++++
GADIS cantik itu duduk di tepi danau yang airnya tenang. Tempat yang sangat tepat untuk dirinya. Tempat yang tenang, untuk jiwa yang mulai sepi. Mata gadis itu tidak memancarkan sepercak kehidupan. Semua terasa datar. Semua terasa sunyi, sepi, dan hilang. Bagaikan angin yang berhembus sia-sia.
“Ify..” panggil seseorang yang saat ini keberadaannya tepat di belakang Ify, Alyssa Saufika, gadis itu. Ify bergeming. Ia masih berdiam seperti semula. Keadaan semakin hening. Merasa sedikit hopeless orang itu duduk di samping ify dan menatap Ify dengan tatapan sendu.
“Ify, ayo kita pulang. Ini sudah hampir malam.” Ucap orang itu lembut. Tangannya membelai rambut panjang ify yang kini sudah berantakan tak menentu. Ify tak merespon.
“Ify, mengapa kamu diam saja? hati-hati kesambet kamu .” Gurau orang tersebut. Tetap sama. Ify masih diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Fy…”
“Kak..” panggil Ify pelan. Ya, orang tersebut merupakan kakak Ify. Sivia, kakak Ify yang merasa terpanggil langsung menoleh ke Ify.
“Ya?”
“Boleh aku bertanya satu hal pada kakak?” Tanya Ify tanpa sedikit pun menoleh ke Sivia. Sivia mengerutkan dahinya. Bingung. Ada hal apa sampai Ify mau bertanya sesuatu? Batinnya heran sekaligus bingung.
“Tentu saja.” Jawab Sivia. Ia sedikit merapatkan duduknya ke Ify.
“Arti dari Kehidupan apa, kak?” Sivia menyentuh rambutnya lalu diselipkannya ke belakang. Otaknya berputar keras menyusun puzzle-puzzle jawaban atas pertanyaan adiknya.
“Kehidupan itu… bagai roda yang berputar. Kadang di atas, dan kadang pula di bawah. Kehidupan tidak bisa ditebak. Semuanya terlalu misterius.” Sivia terdiam sebentar. Membuat keadaan hening kembali.
“Lalu, kematian juga misterius?” Tanya Ify lagi. Kini wajahnya mengarah ke Sivia. Menatap kakaknya dengan tatapan menunggu jawaban. Sivia mengulum senyum. Lalu di pegangnya pundak adiknya yang –sedang- rapuh itu.
“Benar. Kematian juga tidak dapat di tebak kapan dia akan datang. Tidak peduli dengan usia seseorang, muda atau tua, baik atau buruk seseorang, sehat atau sakit, bahkan kaya atau miskinnya seseorang. Kehidupan ini fana, Fy.” Jawab Sivia dengan penuh keyakinan. Merasa jawabannya adalah jawaban yang terbaik dan berharap ify puas dengan jawabannya.
Tanpa diduga, air mata Ify perlahan demi perlahan mulai turun dari mata sang empu. Membuat Sivia terkejut.
“Ify? Mengapa kamu menangis?” Tanya Sivia lembut. Ify menggeleng samar.
“Aku tidak menangis..” ucap ify dengan suara sedikit serak. Sivia benar-benar yakin kalau ify menangis. Ia tahu benar sifat adiknya ini.
“Jangan bohong.” Gertak Sivia. Ify menunduk. Pelan-pelan menenggelamkan kepalanya di pangkuan tangannya yang bertumpu di atas kedua lututnya.
“Ify rindu Ayah dan Bunda..” ucap Ify lirih. Merasa berat untuk mengatakannya.
Sivia menatap ify lirih. Dan rasa bersalah sedikit demi sedikit mulai menyelimuti dirinya. Rasa bersalah karena tidak bisa mengembalikan semangat adiknya. Adik kandungnya yang sangat di sayanginya.
Sivia langsung memeluk Ify erat. Sekedar memberikan sedikit dorongan pada Ify. Berharap adiknya itu bisa kembali seperti dulu. Menjadi seorang Ify yang ceria. Bukan seperti Ify yang sekarang, suram.
“Ify, kamu jangan begini terus ya? Masih ada kakak di sini.” Ucap Sivia yang sekarang wajahnya penuh dengan air mata. Ikut menangis.
“Ify mau Ayah dan Bunda, kak.” Ucap Ify lagi-lagi dengan nada lirih.
“Fy, dengar kakak.” Sivia melepas pelukannya. Dan menghadapkan dirinya tepat di depan Ify.
“Bukan hanya kamu yang merindukan Ayah dan Bunda. Ingat, bukan hanya kamu. Kakak. Kakak juga merindukan mereka. Merindukan sikap mereka yang lembut. Tapi sekarang mereka sudah tiada. Apa yang harus kita lakukan? menentang takdir?” Ify menatap kakaknya. Lalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri pelan.
“Takdir itu tidak akan bisa ditebak, Fy. Sudah ada yang mengaturnya. Takdir itu bak awan yang terbang bebas di angkasa. Susah ditebak. Kita sebagai manusia hanya bisa menerima. Hanya bisa mendoakan Ayah dan Bunda dari sini..” jelas Sivia lembut.
“Tapi….”
“Apa?”
“Ify rindu kasih sayang mereka..” air mata Ify kembali meluncur deras. Sivia menepuk pundak adiknya pelan.
“Ada kakak disini. Kakak akan berikan kasih sayang kakak sepenuhnya untuk kamu. Karena Cuma kamu adik kakak yang paling kakak sayang.” Ify menatap Sivia yang tengah menatapnya dengan seulas senyum terukir di bibirnya. Dengan sekuat tenaga, Ify memeluk Sivia erat.
“Ify sayang kakak. Ify sayang kakak. Maaf kalau ify sering buat kakak khawatir.” Isak Ify dalam pelukan Sivia. Sivia menggerakkan kedua tangannya. membalas pelukan hangat adiknya.
“Kamu tidak salah. Hanya kakak yang salah disini. Bukan kamu.” Balas Sivia. Ify menggeleng.
“Bukan. Aku yang salah..”
“Sudahlah jangan diperdebatkan..” ujar Sivia memotong ucapan Ify. Ify melepaskan pelukannya.
“Kita mulai semua dari awal. Kita mulai semuanya dengan hal baru. Tidak ada kesedihan lagi. Tidak ada air mata lagi. Kamu mau berjanji menepati semua itu pada kakak?” lugas Sivia sambil menyodorkan jari kelingking tangan kanannya pada Ify.
“Aku tidak bisa, kak.” Ucap Ify lirih –lagi-
Sivia tersentak. Sedikit terkejut –mungkin-
“Kenapa?”
“Semua sudah terlanjur terjadi. Ify yang ceria sudah tiada. Ify yang selalu optimis sudah tiada lagi. Ify yang sekarang adalah Ify yang pemurung. Selalu pesimis dan tidak konsisten.” Jelas Ify datar. Sivia merasa emosinya melunjak saat ini.
“IFY! Apa yang kamu pikirkan? Kamu itu masih punya masa depan! Jalan kamu masih panjang. Kamu harus bisa bangkit!” Bentak Sivia tajam. merasa kesal dengan adiknya itu.
“Aku? Punya masa depan?” Tanya Ify dengan nada meremehkan.
“Iya. Jalan kamu itu masih panjang, Fy. Hidup itu akan indah kalau kamu menikmatinya dengan benar. Bukan dengan cara seperti ini.” Ucap Sivia lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit direndahkan dari semula.
“Ini caraku untuk menghabiskan hidup. Jangan kakak campuri hidup aku. Aku adalah aku. Dan kakak adalah kakak. Kita berbeda, kak,” Balas ify tajam. sivia menggeleng tak habis pikir. Ia berdiri dari duduknya.
“Terserah kamu. Kakak sudah lelah dengan kamu. Dan sebaiknya kamu pikirkan kata-kata kakak tadi.” Ujar Sivia dingin kemudian beranjak dari sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Meninggalkan ify yang masih diam terpaku menatap kepergian kakaknya.
Apa yang harus aku lakukan? Batin Ify gelisah.
GADIS cantik itu duduk di tepi danau yang airnya tenang. Tempat yang sangat tepat untuk dirinya. Tempat yang tenang, untuk jiwa yang mulai sepi. Mata gadis itu tidak memancarkan sepercak kehidupan. Semua terasa datar. Semua terasa sunyi, sepi, dan hilang. Bagaikan angin yang berhembus sia-sia.
“Ify..” panggil seseorang yang saat ini keberadaannya tepat di belakang Ify, Alyssa Saufika, gadis itu. Ify bergeming. Ia masih berdiam seperti semula. Keadaan semakin hening. Merasa sedikit hopeless orang itu duduk di samping ify dan menatap Ify dengan tatapan sendu.
“Ify, ayo kita pulang. Ini sudah hampir malam.” Ucap orang itu lembut. Tangannya membelai rambut panjang ify yang kini sudah berantakan tak menentu. Ify tak merespon.
“Ify, mengapa kamu diam saja? hati-hati kesambet kamu .” Gurau orang tersebut. Tetap sama. Ify masih diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Fy…”
“Kak..” panggil Ify pelan. Ya, orang tersebut merupakan kakak Ify. Sivia, kakak Ify yang merasa terpanggil langsung menoleh ke Ify.
“Ya?”
“Boleh aku bertanya satu hal pada kakak?” Tanya Ify tanpa sedikit pun menoleh ke Sivia. Sivia mengerutkan dahinya. Bingung. Ada hal apa sampai Ify mau bertanya sesuatu? Batinnya heran sekaligus bingung.
“Tentu saja.” Jawab Sivia. Ia sedikit merapatkan duduknya ke Ify.
“Arti dari Kehidupan apa, kak?” Sivia menyentuh rambutnya lalu diselipkannya ke belakang. Otaknya berputar keras menyusun puzzle-puzzle jawaban atas pertanyaan adiknya.
“Kehidupan itu… bagai roda yang berputar. Kadang di atas, dan kadang pula di bawah. Kehidupan tidak bisa ditebak. Semuanya terlalu misterius.” Sivia terdiam sebentar. Membuat keadaan hening kembali.
“Lalu, kematian juga misterius?” Tanya Ify lagi. Kini wajahnya mengarah ke Sivia. Menatap kakaknya dengan tatapan menunggu jawaban. Sivia mengulum senyum. Lalu di pegangnya pundak adiknya yang –sedang- rapuh itu.
“Benar. Kematian juga tidak dapat di tebak kapan dia akan datang. Tidak peduli dengan usia seseorang, muda atau tua, baik atau buruk seseorang, sehat atau sakit, bahkan kaya atau miskinnya seseorang. Kehidupan ini fana, Fy.” Jawab Sivia dengan penuh keyakinan. Merasa jawabannya adalah jawaban yang terbaik dan berharap ify puas dengan jawabannya.
Tanpa diduga, air mata Ify perlahan demi perlahan mulai turun dari mata sang empu. Membuat Sivia terkejut.
“Ify? Mengapa kamu menangis?” Tanya Sivia lembut. Ify menggeleng samar.
“Aku tidak menangis..” ucap ify dengan suara sedikit serak. Sivia benar-benar yakin kalau ify menangis. Ia tahu benar sifat adiknya ini.
“Jangan bohong.” Gertak Sivia. Ify menunduk. Pelan-pelan menenggelamkan kepalanya di pangkuan tangannya yang bertumpu di atas kedua lututnya.
“Ify rindu Ayah dan Bunda..” ucap Ify lirih. Merasa berat untuk mengatakannya.
Sivia menatap ify lirih. Dan rasa bersalah sedikit demi sedikit mulai menyelimuti dirinya. Rasa bersalah karena tidak bisa mengembalikan semangat adiknya. Adik kandungnya yang sangat di sayanginya.
Sivia langsung memeluk Ify erat. Sekedar memberikan sedikit dorongan pada Ify. Berharap adiknya itu bisa kembali seperti dulu. Menjadi seorang Ify yang ceria. Bukan seperti Ify yang sekarang, suram.
“Ify, kamu jangan begini terus ya? Masih ada kakak di sini.” Ucap Sivia yang sekarang wajahnya penuh dengan air mata. Ikut menangis.
“Ify mau Ayah dan Bunda, kak.” Ucap Ify lagi-lagi dengan nada lirih.
“Fy, dengar kakak.” Sivia melepas pelukannya. Dan menghadapkan dirinya tepat di depan Ify.
“Bukan hanya kamu yang merindukan Ayah dan Bunda. Ingat, bukan hanya kamu. Kakak. Kakak juga merindukan mereka. Merindukan sikap mereka yang lembut. Tapi sekarang mereka sudah tiada. Apa yang harus kita lakukan? menentang takdir?” Ify menatap kakaknya. Lalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri pelan.
“Takdir itu tidak akan bisa ditebak, Fy. Sudah ada yang mengaturnya. Takdir itu bak awan yang terbang bebas di angkasa. Susah ditebak. Kita sebagai manusia hanya bisa menerima. Hanya bisa mendoakan Ayah dan Bunda dari sini..” jelas Sivia lembut.
“Tapi….”
“Apa?”
“Ify rindu kasih sayang mereka..” air mata Ify kembali meluncur deras. Sivia menepuk pundak adiknya pelan.
“Ada kakak disini. Kakak akan berikan kasih sayang kakak sepenuhnya untuk kamu. Karena Cuma kamu adik kakak yang paling kakak sayang.” Ify menatap Sivia yang tengah menatapnya dengan seulas senyum terukir di bibirnya. Dengan sekuat tenaga, Ify memeluk Sivia erat.
“Ify sayang kakak. Ify sayang kakak. Maaf kalau ify sering buat kakak khawatir.” Isak Ify dalam pelukan Sivia. Sivia menggerakkan kedua tangannya. membalas pelukan hangat adiknya.
“Kamu tidak salah. Hanya kakak yang salah disini. Bukan kamu.” Balas Sivia. Ify menggeleng.
“Bukan. Aku yang salah..”
“Sudahlah jangan diperdebatkan..” ujar Sivia memotong ucapan Ify. Ify melepaskan pelukannya.
“Kita mulai semua dari awal. Kita mulai semuanya dengan hal baru. Tidak ada kesedihan lagi. Tidak ada air mata lagi. Kamu mau berjanji menepati semua itu pada kakak?” lugas Sivia sambil menyodorkan jari kelingking tangan kanannya pada Ify.
“Aku tidak bisa, kak.” Ucap Ify lirih –lagi-
Sivia tersentak. Sedikit terkejut –mungkin-
“Kenapa?”
“Semua sudah terlanjur terjadi. Ify yang ceria sudah tiada. Ify yang selalu optimis sudah tiada lagi. Ify yang sekarang adalah Ify yang pemurung. Selalu pesimis dan tidak konsisten.” Jelas Ify datar. Sivia merasa emosinya melunjak saat ini.
“IFY! Apa yang kamu pikirkan? Kamu itu masih punya masa depan! Jalan kamu masih panjang. Kamu harus bisa bangkit!” Bentak Sivia tajam. merasa kesal dengan adiknya itu.
“Aku? Punya masa depan?” Tanya Ify dengan nada meremehkan.
“Iya. Jalan kamu itu masih panjang, Fy. Hidup itu akan indah kalau kamu menikmatinya dengan benar. Bukan dengan cara seperti ini.” Ucap Sivia lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit direndahkan dari semula.
“Ini caraku untuk menghabiskan hidup. Jangan kakak campuri hidup aku. Aku adalah aku. Dan kakak adalah kakak. Kita berbeda, kak,” Balas ify tajam. sivia menggeleng tak habis pikir. Ia berdiri dari duduknya.
“Terserah kamu. Kakak sudah lelah dengan kamu. Dan sebaiknya kamu pikirkan kata-kata kakak tadi.” Ujar Sivia dingin kemudian beranjak dari sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Meninggalkan ify yang masih diam terpaku menatap kepergian kakaknya.
Apa yang harus aku lakukan? Batin Ify gelisah.
*****
Malam harinya Ify duduk di balkon kamarnya. Termenung. Kalimat-kalimat yang dilontarkan kakaknya sejak dari tadi mengusik pikirannya. Sejak ia pulang dari danau tadi, sedikit pun Sivia tidak ada menegurnya. Membuat Ify merasa bersalah.
Jika ia terus menghabiskan hari-harinya seperti ini, pasti ia akan merasa semakin kesepian. Hidupnya akan semakin muram. Lelah. Ia sudah lelah seperti ini.
“Ayah… Bunda.. Ify rindu kalian.” Lirih Ify. Sejak Ayah dan Bundanya pergi meninggalkan ia dan Kakaknya untuk selama-lamanya 1 tahun yang lalu, ify menjadi sosok yang sangat pemurung. Sangat berbeda dengan Sivia yang tegar.
“Ada kakak disini. Kakak akan berikan kasih sayang kakak sepenuhnya untuk kamu. Karena Cuma kamu adik kakak yang paling kakak sayang.”
Sepenggal kalimat yang dilontakan Sivia kembali terputar jelas di pikiran Ify.
“Kak Via benar. Kasih sayang itu masih ada. Dari seorang kakak..” gumam ify pelan.
“Maafkan Ify, kak.” Bulir-bulir butiran bening itu kembali turun membuat sungai kecil di pipi Ify.
“Kakak sudah memaafkan kamu, Fy.” Ujar Sivia tiba-tiba dari belakang Ify. Ternyata dari tadi ia mendengarkan pembicaraan Ify. Ify berbalik ke belakang. Terkejut melihat sosok kakaknya Sivia yang berdiri dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Ify sudah memikirkan semua yang sudah kakak katakan.” Ucap Ify. Sivia memiringkan kepalanya dan memicingkan matanya.
“Lalu?” Tanya Sivia.
Ify memutar bola matanya.. “Ify akan berusaha bangkit, kak. Ify sudah lelah begini terus. Ify mau mendapatkan kehidupan ify yang seperti dulu. Selalu ceria.”
“Kakak bangga punya adik seperti kamu, Fy.” Ucap Sivia tersenyum seraya merangkul pundak Ify.
“Aku lebih bangga mempunyai seorang kakak yang terbaik yang pernah ada di dunia ini.” Balas Ify. Mereka berdua tersenyum.
“Dan mulai besok dan seterusnya kakak akan membuktikan pada kamu. Bahwa kasih sayang itu akan kamu dapatkan dari seorang kakak.” Kata Sivia mantap.
“I trust you, sist.” Kembali, senyuman itu tersungging di bibir mereka masing-masing.
Kehidupan baru akan segera di mulai.
Malam harinya Ify duduk di balkon kamarnya. Termenung. Kalimat-kalimat yang dilontarkan kakaknya sejak dari tadi mengusik pikirannya. Sejak ia pulang dari danau tadi, sedikit pun Sivia tidak ada menegurnya. Membuat Ify merasa bersalah.
Jika ia terus menghabiskan hari-harinya seperti ini, pasti ia akan merasa semakin kesepian. Hidupnya akan semakin muram. Lelah. Ia sudah lelah seperti ini.
“Ayah… Bunda.. Ify rindu kalian.” Lirih Ify. Sejak Ayah dan Bundanya pergi meninggalkan ia dan Kakaknya untuk selama-lamanya 1 tahun yang lalu, ify menjadi sosok yang sangat pemurung. Sangat berbeda dengan Sivia yang tegar.
“Ada kakak disini. Kakak akan berikan kasih sayang kakak sepenuhnya untuk kamu. Karena Cuma kamu adik kakak yang paling kakak sayang.”
Sepenggal kalimat yang dilontakan Sivia kembali terputar jelas di pikiran Ify.
“Kak Via benar. Kasih sayang itu masih ada. Dari seorang kakak..” gumam ify pelan.
“Maafkan Ify, kak.” Bulir-bulir butiran bening itu kembali turun membuat sungai kecil di pipi Ify.
“Kakak sudah memaafkan kamu, Fy.” Ujar Sivia tiba-tiba dari belakang Ify. Ternyata dari tadi ia mendengarkan pembicaraan Ify. Ify berbalik ke belakang. Terkejut melihat sosok kakaknya Sivia yang berdiri dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Ify sudah memikirkan semua yang sudah kakak katakan.” Ucap Ify. Sivia memiringkan kepalanya dan memicingkan matanya.
“Lalu?” Tanya Sivia.
Ify memutar bola matanya.. “Ify akan berusaha bangkit, kak. Ify sudah lelah begini terus. Ify mau mendapatkan kehidupan ify yang seperti dulu. Selalu ceria.”
“Kakak bangga punya adik seperti kamu, Fy.” Ucap Sivia tersenyum seraya merangkul pundak Ify.
“Aku lebih bangga mempunyai seorang kakak yang terbaik yang pernah ada di dunia ini.” Balas Ify. Mereka berdua tersenyum.
“Dan mulai besok dan seterusnya kakak akan membuktikan pada kamu. Bahwa kasih sayang itu akan kamu dapatkan dari seorang kakak.” Kata Sivia mantap.
“I trust you, sist.” Kembali, senyuman itu tersungging di bibir mereka masing-masing.
Kehidupan baru akan segera di mulai.
***
Sinar matahari mulai terpancar dengan cerahnya. Pagi hari sudah datang. Pagi yang cerah untuk memulai sesuatu yang baru.
“Ify, kamu berangkat sekolah sendiri atau sama kakak?” Tanya Sivia. Sivia dan Ify baru saja selesai melakukan kegiatan rutin mereka tiap pagi. Breakfast.
“Umm… aku dijemput sama Shilla dan Agni kak.” Jawab Ify. Sivia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
“Kak, sepertinya mereka sudah datang. Aku pergi ya kak.” Ujar Ify yang mendengar suara deruan sebuah mobil dari depan rumah. Secepat kilat ia menarik tangan Sivia lalu menciumnya.
“Assalamu’alaikum, kak.” Ify sedikit berlari menuju depan rumahnya.
Sivia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan adiknya. Sesaat kemudian, seulas senyum manis di bibirnya kembali terlukis.
“Semoga kamu benar-benar bisa kembali seperti dulu. Karena kakak sangat merindukan kamu yang seperti itu.” Gumam Sivia. Secepat kilat ia menyambar tas selempang birunya lalu berjalan ke luar menuju garasi. Ia pergi sekolah dengan mengendarai mobilnya.
Sinar matahari mulai terpancar dengan cerahnya. Pagi hari sudah datang. Pagi yang cerah untuk memulai sesuatu yang baru.
“Ify, kamu berangkat sekolah sendiri atau sama kakak?” Tanya Sivia. Sivia dan Ify baru saja selesai melakukan kegiatan rutin mereka tiap pagi. Breakfast.
“Umm… aku dijemput sama Shilla dan Agni kak.” Jawab Ify. Sivia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
“Kak, sepertinya mereka sudah datang. Aku pergi ya kak.” Ujar Ify yang mendengar suara deruan sebuah mobil dari depan rumah. Secepat kilat ia menarik tangan Sivia lalu menciumnya.
“Assalamu’alaikum, kak.” Ify sedikit berlari menuju depan rumahnya.
Sivia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan adiknya. Sesaat kemudian, seulas senyum manis di bibirnya kembali terlukis.
“Semoga kamu benar-benar bisa kembali seperti dulu. Karena kakak sangat merindukan kamu yang seperti itu.” Gumam Sivia. Secepat kilat ia menyambar tas selempang birunya lalu berjalan ke luar menuju garasi. Ia pergi sekolah dengan mengendarai mobilnya.
There’s Something new in the life..
What is that?
***
SMA Taruna –Kelas XI IPA B-
“Ify, kamu kenapa semangat sekali hari ini?” Tanya Agni heran. Shilla yang duduk di sebelah Agni ikut mengangguk menyutujui pertanyaan Agni. Ify tidak menjawab. Tetapi senyum di bibirnya tetap mengembang.
“Ify.!” Panggil Shilla keras. Membuat Ify terkejut dan hampir jatuh dari kursinya.
“Aduh kamu, Shill. Ngagetin aku saja. Beruntung aku tidak punya penyakit jantung.” Omel ify pada Shilla. Yang diomeli hanya menyeringai.
“Maaf. kita heran lihat kamu terus senyum-senyum seperti itu.” Jelas Shilla.
“Soal itu.. Aku mau ubah kehidupan aku menjadi seperti semula, Shill, Ag,” ujar Ify. Shilla dan Agni saling melempar tatapan satu sama lain.
“Maksudnya?” Tanya Shilla dan Agni serempak.
Ify mengetuk-ngetukkan bolpoin di meja dengan sedikit keras. “Aku ingin menjadi Ify yang seperti dulu.”
“Oh….” Jawab Shilla dan Agni tanpa sadar. Ify mendelikkan matanya kesal ke dua temannya itu.
“Kenapa jawabannya hanya itu?” gerutu Ify sebal.
“APA? Kamu mau jadi Ify seperti dulu?” Ify mengangguk. Raut wajahnya masih terlihat kesal.
“Bagus Fy. Kamu memang harus bangkit.” Ujar Agni.
“Iya.” Jawab ify singkat.
“Kenapa jawabnya singkat sekali, Fy?” Tanya Shilla tanpa merasa bersalah. Memasang wajah innocent.
“Kalian sih tadi responnya telat.” Ketus Ify. Shilla dan Agni menyeringai.
“Maaf..” Ify hanya mendengus sebal. Tetapi dalam hati ia tersenyum. Senyum bahagia dan kelegaan.
***
SMA Taruna –Kelas XI IPA B-
“Ify, kamu kenapa semangat sekali hari ini?” Tanya Agni heran. Shilla yang duduk di sebelah Agni ikut mengangguk menyutujui pertanyaan Agni. Ify tidak menjawab. Tetapi senyum di bibirnya tetap mengembang.
“Ify.!” Panggil Shilla keras. Membuat Ify terkejut dan hampir jatuh dari kursinya.
“Aduh kamu, Shill. Ngagetin aku saja. Beruntung aku tidak punya penyakit jantung.” Omel ify pada Shilla. Yang diomeli hanya menyeringai.
“Maaf. kita heran lihat kamu terus senyum-senyum seperti itu.” Jelas Shilla.
“Soal itu.. Aku mau ubah kehidupan aku menjadi seperti semula, Shill, Ag,” ujar Ify. Shilla dan Agni saling melempar tatapan satu sama lain.
“Maksudnya?” Tanya Shilla dan Agni serempak.
Ify mengetuk-ngetukkan bolpoin di meja dengan sedikit keras. “Aku ingin menjadi Ify yang seperti dulu.”
“Oh….” Jawab Shilla dan Agni tanpa sadar. Ify mendelikkan matanya kesal ke dua temannya itu.
“Kenapa jawabannya hanya itu?” gerutu Ify sebal.
“APA? Kamu mau jadi Ify seperti dulu?” Ify mengangguk. Raut wajahnya masih terlihat kesal.
“Bagus Fy. Kamu memang harus bangkit.” Ujar Agni.
“Iya.” Jawab ify singkat.
“Kenapa jawabnya singkat sekali, Fy?” Tanya Shilla tanpa merasa bersalah. Memasang wajah innocent.
“Kalian sih tadi responnya telat.” Ketus Ify. Shilla dan Agni menyeringai.
“Maaf..” Ify hanya mendengus sebal. Tetapi dalam hati ia tersenyum. Senyum bahagia dan kelegaan.
Sepertinya
langkah yang aku ambil memang benar. Tidak hanya mendapatkan seorang kakak yang
baik, aku juga mempunyai sahabat yang
sangat mengerti aku. Maaf aku pernah berpikiran buruk tentang kalian. Dan
ternyata, kasih sayang itu juga ada pada seorang sahabat, Batin Ify berujar.
*****
Jam demi jam telah berlalu. Hari demi hari juga telah berlalu. Sekarang sosok Ify yang ceria sudah mulai timbul pada diri Ify. Membuat Sivia, serta Shilla dan Agni sangat bahagia.
“Wah, kakak dapat nilai A+ ya ulangannya?”Tanya Ify. Tangannya memegang selembar kertas hasil ulangan Sivia. Sivia yang sedang fokus dengan pr-nya hanya mengangguk tanpa menoleh sedikitpun pada Ify.
Ify menatap kakaknya tersenyum. Tetapi perlahan senyum itu memudar.
“Kak Via memang pintar. Selain pintar di sekolah, ia juga pintar dalam bidang akademis. Sedangkan aku?” batin ify gundah.
“Aku tidak memiliki bakat apapun. Aku… aku hanya bisa menyusahkan orang-orang sekitarku.” Lanjut ify, masih dibatinkan.“Ify? Kenapa kamu diam? Ada yang salah dengan kertas ulangan itu?” Tanya Sivia menyadarkan ify dari alam lamunannya.
“Tidak kak. Aku hanya kagum pada kakak. Kakak memang sangat pintar.” Puji Ify tulus. Sivia tersenyum.
“Tidak. Kamu terlalu berlebihan.” Balas Sivia merendah. “Tapi itu memang fakta, kak.” Kekeuh Ify.
“Iyaa.. terserah kamu.” Serah Sivia. Ify hanya tersenyum.
Aku ingin seperti dia…..
Jam demi jam telah berlalu. Hari demi hari juga telah berlalu. Sekarang sosok Ify yang ceria sudah mulai timbul pada diri Ify. Membuat Sivia, serta Shilla dan Agni sangat bahagia.
“Wah, kakak dapat nilai A+ ya ulangannya?”Tanya Ify. Tangannya memegang selembar kertas hasil ulangan Sivia. Sivia yang sedang fokus dengan pr-nya hanya mengangguk tanpa menoleh sedikitpun pada Ify.
Ify menatap kakaknya tersenyum. Tetapi perlahan senyum itu memudar.
“Kak Via memang pintar. Selain pintar di sekolah, ia juga pintar dalam bidang akademis. Sedangkan aku?” batin ify gundah.
“Aku tidak memiliki bakat apapun. Aku… aku hanya bisa menyusahkan orang-orang sekitarku.” Lanjut ify, masih dibatinkan.“Ify? Kenapa kamu diam? Ada yang salah dengan kertas ulangan itu?” Tanya Sivia menyadarkan ify dari alam lamunannya.
“Tidak kak. Aku hanya kagum pada kakak. Kakak memang sangat pintar.” Puji Ify tulus. Sivia tersenyum.
“Tidak. Kamu terlalu berlebihan.” Balas Sivia merendah. “Tapi itu memang fakta, kak.” Kekeuh Ify.
“Iyaa.. terserah kamu.” Serah Sivia. Ify hanya tersenyum.
Aku ingin seperti dia…..
+++++
Kau punya cara sendiri untuk membahagiakan orang lain. Cukup menjadi diri sendiri. Bukan aku, ataupun mereka.
+++++
Kau punya cara sendiri untuk membahagiakan orang lain. Cukup menjadi diri sendiri. Bukan aku, ataupun mereka.
+++++
Hari minggu. Merupakan hari yang sangat pantas di manfaatkan untuk istirahat maupun berlibur. Melepas kepenatan. Tetapi tidak dengan Sivia dan Ify. Kakak beradik itu lebih memilih stay di rumah mereka.
Sivia memperhatikan Ify yang sedang duduk di gazebo kolam renang. Sepertinya ada yang berbeda dengan dia, batin Sivia.
“Ify..” panggil Sivia. Ia berjalan mendekati Ify. Di tangannya terdapat sebuah piring yang berisikan beberapa potong kue. Sivia pun duduk di samping Ify.
“Ini, kakak ada bikin kue kesukaan kamu.” Ucap Sivia sambil memberikan piring yang berisikan kue tersebut. Ify hanya diam sambil memperhatikan kakak semata wayangnya itu.
Selain pintar dalam belajar, Kak Via juga pintar dalam memasak, batin Ify.
“Fy, ada
apa? Kamu melamun?” Tanya Sivia. Ify sedikit tersentak.
“Tidak ada apa-apa kak.” Jawab Ify. Tersenyum. Miris.
“Kamu tidak mau makan kue ini?” Tanya Sivia. Ify menoleh.
“Mau kak.” Dengan cepat Ify melahap kue itu.
“Ify, kamu ada masalah ya?” Tanya Sivia. Ify hanya diam membisu.
“Fy…”
“Aku baik-baik saja.” Jawab Ify dengan raut wajah datar.
“Benar? Kamu tidak berbohong, kan?” Tanya Sivia memastikan. Ify menoleh ke arah Sivia. Menatap kakaknya dalam diam. Lalu menunduk dalam.
“Ify kamu kenapa?” Tanya Sivia khawatir. Ify menggeleng.
“Please. Kakak mohon jangan ada yang ditutupi lagi di antara kita. Kakak masih kamu anggap sebagai kakak kamu kan, Fy?” Tanya Sivia serius. Ify mengangkat kepalanya.
“Aku… aku iri pada kakak.” Ucap ify bergetar. Sivia mengernyitkan dahinya bingung.
“Iri? Kenapa kamu iri pada kakak? Apa yang bisa kamu iri-kan dari kakak?” Tanya Sivia bertubi-tubi. Ify menghela nafas pelan.
“Aku iri dengan kepintaran kakak. Kakak sangat unggul di segala bidang. Kakak sangat pintar di sekolah. Kakak juga pintar kan di dalam hal akademis? Kakak juga pintar memasak. Aku merasa tidak cocok menjadi adik kakak. Kakak memang sempurna..” jelas ify miris. Sivia memperhatikan Ify cukup lama, kemudian tanpa diduga ia tertawa lepas. Membuat Ify yang tadinya menunduk kembali mengangkat kepalanya sambil menatap kakaknya dengan alis tertaut.
“Mengapa kakak tertawa? Kakak meledekku?” Tanya ify. Sivia menghentikan tawanya lalu menggelengkan kepalanya pelan.
“Tidak. Kamu itu terlalu lucu. Kakak tidak pantas kamu iri-kan. Kakak tidak sempurna seperti yang kamu katakan, Fy. Masih banyak orang di luar sana yang jauh lebih perfect di dunia ini. No one perfect in this world, dear, Sahabat-sahabat kamu juga berteman denganmu tidak melihat dari sisi itu, kan?”jelas Sivia. Ify menggeleng pelan.
“Tetapi setidaknya kakak lebih baik dari pada aku. Di sekolah saja, rankingku bahkan tidak masuk 20 besar. Sedangkan kakak? Kakak selalu mendapat rangking 1.” Bantah Ify keras kepala.
“Mungkin kamu saja yang kurang belajar, Fy. Semua orang juga bisa seperti kakak.” Ujar Sivia.
“Aku ingin seperti kakak.” Ujar Ify lemah. Sivia mengangkat tangannya lalu di letakkannya di pundak Ify. Merangkul adiknya yang sedang dilanda kepesimisan.
“Fy, kamu tidak harus seperti kakak. Kakak yakin, kamu punya cara kamu sendiri untuk membuat kakak serta sahabat-sahabat kamu itu senang, bahagia. Kamu tidak perlu seperti kakak. Tidak perlu juga menjadi orang lain. Kamu harus jadi diri kamu sendiri. Bukan Sivia, tetapi Ify.” Ucap Sivia. Memberikan motivasi pada adiknya.
“Tapi, kak….”
“Kamu harus yakin pada diri kamu sendiri. Menjadi diri sendiri itu lebih menyenangkan dibandingkan harus menjadi orang lain. Be your self, not other people self.” Potong Sivia langsung.
“Benar seperti itu, kak?” Tanya Ify.
Sivia mengangguk yakin, “kakak berani menjamin, Fy.”
“Kalau begitu, aku akan coba menjadi diriku sendiri.” Ucap Ify semangat. Sivia mengembangkan senyumnya.
“Nah memang begitu seharusnya. Kamu pasti bisa. ” Ucap Sivia ikut memberikan semangat.
“Terima kasih kak.” Ujar Ify tersenyum lega.
“what for, dear?” Tanya Sivia dengan sebelah alis terangkat.
“Kakak sudah memberikanku motivasi. Terima kasih banyak kak.” Ujar Ify memperjelas. Sivia menganggukkan kepalanya.
“Your welcome. I’ll always beside you..” balas Sivia tulus. Ify tersenyum.
Follow your heart’s words, to be your self. Ikuti kata hatimu, untuk menjadi dirimu sendiri.
“Tidak ada apa-apa kak.” Jawab Ify. Tersenyum. Miris.
“Kamu tidak mau makan kue ini?” Tanya Sivia. Ify menoleh.
“Mau kak.” Dengan cepat Ify melahap kue itu.
“Ify, kamu ada masalah ya?” Tanya Sivia. Ify hanya diam membisu.
“Fy…”
“Aku baik-baik saja.” Jawab Ify dengan raut wajah datar.
“Benar? Kamu tidak berbohong, kan?” Tanya Sivia memastikan. Ify menoleh ke arah Sivia. Menatap kakaknya dalam diam. Lalu menunduk dalam.
“Ify kamu kenapa?” Tanya Sivia khawatir. Ify menggeleng.
“Please. Kakak mohon jangan ada yang ditutupi lagi di antara kita. Kakak masih kamu anggap sebagai kakak kamu kan, Fy?” Tanya Sivia serius. Ify mengangkat kepalanya.
“Aku… aku iri pada kakak.” Ucap ify bergetar. Sivia mengernyitkan dahinya bingung.
“Iri? Kenapa kamu iri pada kakak? Apa yang bisa kamu iri-kan dari kakak?” Tanya Sivia bertubi-tubi. Ify menghela nafas pelan.
“Aku iri dengan kepintaran kakak. Kakak sangat unggul di segala bidang. Kakak sangat pintar di sekolah. Kakak juga pintar kan di dalam hal akademis? Kakak juga pintar memasak. Aku merasa tidak cocok menjadi adik kakak. Kakak memang sempurna..” jelas ify miris. Sivia memperhatikan Ify cukup lama, kemudian tanpa diduga ia tertawa lepas. Membuat Ify yang tadinya menunduk kembali mengangkat kepalanya sambil menatap kakaknya dengan alis tertaut.
“Mengapa kakak tertawa? Kakak meledekku?” Tanya ify. Sivia menghentikan tawanya lalu menggelengkan kepalanya pelan.
“Tidak. Kamu itu terlalu lucu. Kakak tidak pantas kamu iri-kan. Kakak tidak sempurna seperti yang kamu katakan, Fy. Masih banyak orang di luar sana yang jauh lebih perfect di dunia ini. No one perfect in this world, dear, Sahabat-sahabat kamu juga berteman denganmu tidak melihat dari sisi itu, kan?”jelas Sivia. Ify menggeleng pelan.
“Tetapi setidaknya kakak lebih baik dari pada aku. Di sekolah saja, rankingku bahkan tidak masuk 20 besar. Sedangkan kakak? Kakak selalu mendapat rangking 1.” Bantah Ify keras kepala.
“Mungkin kamu saja yang kurang belajar, Fy. Semua orang juga bisa seperti kakak.” Ujar Sivia.
“Aku ingin seperti kakak.” Ujar Ify lemah. Sivia mengangkat tangannya lalu di letakkannya di pundak Ify. Merangkul adiknya yang sedang dilanda kepesimisan.
“Fy, kamu tidak harus seperti kakak. Kakak yakin, kamu punya cara kamu sendiri untuk membuat kakak serta sahabat-sahabat kamu itu senang, bahagia. Kamu tidak perlu seperti kakak. Tidak perlu juga menjadi orang lain. Kamu harus jadi diri kamu sendiri. Bukan Sivia, tetapi Ify.” Ucap Sivia. Memberikan motivasi pada adiknya.
“Tapi, kak….”
“Kamu harus yakin pada diri kamu sendiri. Menjadi diri sendiri itu lebih menyenangkan dibandingkan harus menjadi orang lain. Be your self, not other people self.” Potong Sivia langsung.
“Benar seperti itu, kak?” Tanya Ify.
Sivia mengangguk yakin, “kakak berani menjamin, Fy.”
“Kalau begitu, aku akan coba menjadi diriku sendiri.” Ucap Ify semangat. Sivia mengembangkan senyumnya.
“Nah memang begitu seharusnya. Kamu pasti bisa. ” Ucap Sivia ikut memberikan semangat.
“Terima kasih kak.” Ujar Ify tersenyum lega.
“what for, dear?” Tanya Sivia dengan sebelah alis terangkat.
“Kakak sudah memberikanku motivasi. Terima kasih banyak kak.” Ujar Ify memperjelas. Sivia menganggukkan kepalanya.
“Your welcome. I’ll always beside you..” balas Sivia tulus. Ify tersenyum.
Follow your heart’s words, to be your self. Ikuti kata hatimu, untuk menjadi dirimu sendiri.
*****
Sore hari telah tiba. Langit senja nan indah itu tengah
menghiaskan angkasa. Pelangi yang indah berwarna-warni pun turut menghias
langit. Membuat keindahan langit di sore hari semakin terlihat. Hujan baru saja
berhenti mengguyur kota Jakarta saat ini.
Ify yang sedang duduk di teras rumahnya pun masuk ke dalam. Tetapi, di ruang tamu ia berhenti sejenak. Menatap sesuatu di sudut ruang tamu tersebut. Piano.
Ify berjalan mendekati grand piano putih tersebut. Ia duduk di kursi yang memang sudah tersedia sebelumnya. Tangannya bergerak membuka kain yang menutupi sisi atas piano tersebut. Di usapnya pelan piano itu. Dengan ragu, jari-jarinya bergerak menekan tuts tuts hitam putih piano itu. Ia memejamkan matanya perlahan. Dan tanpa sadar, ia sudah hanyut dalam alunna nada yang ia mainkan dari piano itu.
Indah, tenang, luar biasa. Mungkin rangkaian kata yang sangat tepat untuk menggambarkan alunan piano yang dimainkan Ify.
Suara tepukan tangan seseorang terdengar dari belakang Ify yang baru saja menyelesaikan permainan pianonya yang sangat indah itu. Ify memutar arah duduknya ke belakang.
“Kak Via?” kaget Ify. Sivia tersenyum, lalu melangkah mendekati Ify.
“Sepertinya itu permainan piano yang sangat bagus dari yang pernah kakak lihat.” Puji Sivia. Ify tersenyum.
“Kakak terlalu berlebihan. Aku hanya memainkannya asal.” Ucap ify.
“Tidak mungkin. Kakak yakin, kamu pasti memainkan piano itu sungguh-sungguh.” Ucap Sivia yakin. ify menyeringai.
“Memang. Tetapi itu adalah permainan terburuk, kak,”
“Ah tidak. Itu permainan yang sangat sangat bagus.” Puji Sivia –lagi-
“Kakak terlalu pintar memuji..” ujar ify sedikit mengerucutkan bibirnya membuat Sivia tertawa melihatnya.
“Fy. Sepertinya ucapan kakak benar, ya?” Tanya Sivia.
“Ucapan kakak yang mana?” Ify bertanya balik. Sivia mendengus sebal.
“Sepertinya kamu bisa membanggakan orang-orang dengan kemampuanmu bermain piano, Fy.”jelas Sivia.
“You’re kidding, right? Ini hanya permainan piano biasa, kak.” Ucap Ify keras. Sivia menggeleng tegas.
“Asalkan kamu mau terus belajar, kakak yakin ucapan kakak itu tidak salah. Itu bukan permainan biasa. Itu alunan musik Chopin, Fy. Sekarang, sudah jarang ada yang memainkannya.” Ujar Sivia.
“Hmmm… sepertinya kakak benar.” Gumam Ify pelan. Tetapi Sivia dapat mendengarnya.
“Kamu memang tidak seperti kakak. Tetapi, kamu itu bisa unggul dalam bidang musik, Fy.” Ujar Sivia meyakinkan Ify.
“Baiklah. Mencoba tidak ada salahnya, bukan?” balas ify dengan seulas senyum yang mulai menghiasi wajahnya. Sivia ikut tersenyum.
Percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu melakukan sesuatu memang hal awal yang harus dipenuhi untuk menjadi yang terbaik.
Ify yang sedang duduk di teras rumahnya pun masuk ke dalam. Tetapi, di ruang tamu ia berhenti sejenak. Menatap sesuatu di sudut ruang tamu tersebut. Piano.
Ify berjalan mendekati grand piano putih tersebut. Ia duduk di kursi yang memang sudah tersedia sebelumnya. Tangannya bergerak membuka kain yang menutupi sisi atas piano tersebut. Di usapnya pelan piano itu. Dengan ragu, jari-jarinya bergerak menekan tuts tuts hitam putih piano itu. Ia memejamkan matanya perlahan. Dan tanpa sadar, ia sudah hanyut dalam alunna nada yang ia mainkan dari piano itu.
Indah, tenang, luar biasa. Mungkin rangkaian kata yang sangat tepat untuk menggambarkan alunan piano yang dimainkan Ify.
Suara tepukan tangan seseorang terdengar dari belakang Ify yang baru saja menyelesaikan permainan pianonya yang sangat indah itu. Ify memutar arah duduknya ke belakang.
“Kak Via?” kaget Ify. Sivia tersenyum, lalu melangkah mendekati Ify.
“Sepertinya itu permainan piano yang sangat bagus dari yang pernah kakak lihat.” Puji Sivia. Ify tersenyum.
“Kakak terlalu berlebihan. Aku hanya memainkannya asal.” Ucap ify.
“Tidak mungkin. Kakak yakin, kamu pasti memainkan piano itu sungguh-sungguh.” Ucap Sivia yakin. ify menyeringai.
“Memang. Tetapi itu adalah permainan terburuk, kak,”
“Ah tidak. Itu permainan yang sangat sangat bagus.” Puji Sivia –lagi-
“Kakak terlalu pintar memuji..” ujar ify sedikit mengerucutkan bibirnya membuat Sivia tertawa melihatnya.
“Fy. Sepertinya ucapan kakak benar, ya?” Tanya Sivia.
“Ucapan kakak yang mana?” Ify bertanya balik. Sivia mendengus sebal.
“Sepertinya kamu bisa membanggakan orang-orang dengan kemampuanmu bermain piano, Fy.”jelas Sivia.
“You’re kidding, right? Ini hanya permainan piano biasa, kak.” Ucap Ify keras. Sivia menggeleng tegas.
“Asalkan kamu mau terus belajar, kakak yakin ucapan kakak itu tidak salah. Itu bukan permainan biasa. Itu alunan musik Chopin, Fy. Sekarang, sudah jarang ada yang memainkannya.” Ujar Sivia.
“Hmmm… sepertinya kakak benar.” Gumam Ify pelan. Tetapi Sivia dapat mendengarnya.
“Kamu memang tidak seperti kakak. Tetapi, kamu itu bisa unggul dalam bidang musik, Fy.” Ujar Sivia meyakinkan Ify.
“Baiklah. Mencoba tidak ada salahnya, bukan?” balas ify dengan seulas senyum yang mulai menghiasi wajahnya. Sivia ikut tersenyum.
Percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu melakukan sesuatu memang hal awal yang harus dipenuhi untuk menjadi yang terbaik.
***
Tak terasa, satu minggu telah berlalu. Hari demi hari Ify jalani dengan semangat tinggi. Dan kini, Ify yang ceria, Ify yang seperti dulu sudah kembali. Ia sudah bisa menerima kepergian Ayah dan Bundanya. Sudah bisa mengikhlaskannya.
“Agni, Shilla, nanti sore mau tidak kalian datang ke rumahku?” Tanya Ify pada dua sahabatnya. Agni dan Shilla mengangguk semangat. Mereka bertiga sedang duduk di kantin sekolah sekarang.
“Kami mau ke rumahmu, Fy. Tapi, harus disediakan banyak makanan ya?” celetuk Shilla. Agni yang duduk di sebelahnya langsung menjitak kepala sahabatnya itu. Sedangkan Ify hanya tertawa melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu.
Tak terasa, satu minggu telah berlalu. Hari demi hari Ify jalani dengan semangat tinggi. Dan kini, Ify yang ceria, Ify yang seperti dulu sudah kembali. Ia sudah bisa menerima kepergian Ayah dan Bundanya. Sudah bisa mengikhlaskannya.
“Agni, Shilla, nanti sore mau tidak kalian datang ke rumahku?” Tanya Ify pada dua sahabatnya. Agni dan Shilla mengangguk semangat. Mereka bertiga sedang duduk di kantin sekolah sekarang.
“Kami mau ke rumahmu, Fy. Tapi, harus disediakan banyak makanan ya?” celetuk Shilla. Agni yang duduk di sebelahnya langsung menjitak kepala sahabatnya itu. Sedangkan Ify hanya tertawa melihat tingkah sahabat-sahabatnya itu.
“Aduh Agni. Kepalaku bisa luka gara-gara kamu
jitak.” Ucap Shilla sesekali meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang
dijitak Agni.
“Pikiran mu itu hanya makanan saja ya, Shill. Tidak
lihat badan kamu mulai melebar?” cibir Agni. Shilla hanya menyeringai.
“Sudah, tenang saja. Aku akan sediakan banyak
makanan untuk kalian.” Ucap Ify menengahi. Shilla dan Agni mengangguk-anggukkan
kepala mereka.
***
Ify, Sivia, Shilla dan Agni sudah berkumpul di
rumah ify. Agni dan Shilla sedari tadi
berdebat hal-hal tidak penting. Sivia dan Ify yang melihatnya hanya
menggeleng-geleng kepala gemas saja. Sambil sesekali tertawa lepas.
“Fy, mau tidak kamu mainkan piano buat kita?” Tanya
Agni.
“Aku tidak mau. Permainan piano ku tidak bagus.”
Tolak Ify halus.
“Ayo lah, Fy. Permainan piano kamu itu bagus
sekali. Kamu sangat mahir memainkannya.” Sambung Shilla.
“Permainan piano ku tidak semahir yang kalian
kira..” ucap ify memberikan alasan yang sungguh sama sekali di luar
logika. Jelas-jelas ia sangat mahir
dalam memainkan alat musik melodis itu.
“Ify, ayolah..” sambung Sivia. Ify memperhatikan
sahabat dan Kakaknya. Lalu mengangguk.
“Baiklah..” ucap Ify. Lalu ia berjalan mendekati
piano itu.
Kembali, kali ini ia memainkan chopin, dan
dipadukan dengan nada lain milik Ify sendiri. Permainan yang sangat menarik.
Tidak membuat bosan bagi siapapun yang mendengarkannya. Dan seperti biasa, ify
menutup matanya. Jari-jarinya dengan lincah menari di atas tuts-tuts piano itu.
“Kalau begini, kamu bisa jadi pianist terkenal,
Fy.” Ucap Shilla setelah Ify menyelesaikan permainan pianonya dengan sempurna.
“Benar, Fy. Kamu pasti bisa jadi pianist muda
berbakat.” Sambung Agni.
“Selain berbakat, juga cantik lagi.” Sambung Sivia.
Ify hanya menyunggingkan senyumnya mendengar celotehan sahabat dan Kakaknya. Ia
berjalan kembali duduk dengan yang lain.
“Terima kasih. Dan sebelumnya, aku ingin minta maaf
pada kalian semua. Karena aku tidak pernah sadar kalau kalian itu memang selalu
ada buat aku. Maaf dan Terima kasih.”
Ujar Ify tersenyum. Shilla, Agni serta Sivia tersenyum.
“Kita akan selalu ada buat kamu, Fy.” Ucap Sivia.
Shilla dan Agni mengangguk setuju.
“Ify sayang kalian..” Ify pun memeluk Sivia, Shilla
dan Agni.
“Kita juga sayang kamu, Fy.” Balas Sivia, Agni dan
Shilla serempak. Kemudian dengan serempak juga, mereka berempat tersenyum.
Kasih sayang itu bisa kita dapatkan dari orang
sekitar kita. Seorang kakak, dan sahabat kita. Dari semuanya, aku bisa belajar
untuk mengerti hidup, menjadi diri sendiri, dan menyadari bahwa di sekitarku
masih ada orang yang memberikan kasih sayangnya untukku. Ada akhir yang manis,
jika ada awalan yang pahit. Ayah, Bunda, Ify sudah mengikhlaskan kalian. Ify
harap kalian tenang disana. Shilla, Agni, kalian sahabat ku yang paling baik.
terima kasih atas semuanya. Kak Via, You’re my best sister.
-Alyssa
Saufika-