Saturday, 11 August 2012

Boy Sitter [18]


Boy Sitter [18] : Inget,Ya! Itu Pelembap Muka!
AKU mengikat rambut, rapi di belakang kepala. Kuletakkan lagi sisir di atas meja lalu mengambil pelembap muka. Kuoleskan ke wajah dan meratakannya agar wajahku terlihat bersinar. Ardhya muncul dari balik pintu dan menatapku penasaran, lalu menghampiriku dan merebut pelembap mukaku.
“jangan pake buat luluran!” seruku cepat sebelum Ardhya berbuat kesalahan lagi. Beberapa hari yang lalu, Ardhya menggunakan pelembap mukaku buat luluran. Padahal, aku baru beli. Dan dalam sekejap,isinya habis. Padahal, aku belinya yang kemasan besar.
“Ya enggaklah. Emangnya gue bodoh apa? Ini kan deodorant.” Ardhya siap mengangkat tangannya, namun aku langsung merebut pelembap mukaku dan melemparnya ke dalam laci.
“jangan sentuh barangbarangku. Kalau ingin deodorant atau krim untuk luluran, akan kubelikan nanti. Tapi untuk sekarang, jangan ganggu barang-barangku. Mengerti?”
Ardhya mengangguk. “Oke, janji ya! Pokonya, aku pengin dibeliin krim untuk luluran yang mereknya Bersih Darat Sehat Datang Bulan. Elo kan, seminggu kemaren kerja. Harusnya udah punya duit, dong. Gue pengin di-traktir.”
“Iya-iya. Sabtu nanti kita jalan-jalan.” Sungutku. Huh, untung gajiku dua belas juta. Dan rabu besok bakalan nyampe uangnya. Beli notebook lima juta nitip ke Om Jhonny, kata mama, Om Jhony masih ada di Jakarta.lalu sisanya, yaaa… ditabungin sama traktir-traktir juga deh.
“Rapi bener. Mau kemana nih?” Tanya Ardhya heran menatapku.
“Nggak kemana-mana,kok.”
“Aaah..mau ketemu Bison, ya?”
Aku ngga menjawabnya.
“Kalo gitu, pasti jawabannya iya!” Ardhya langsung lari menuju ranselnya, mengambil sebuah buku dan menyobek belasan lembar kertas kosong. “Ini untuk Afie, untuk Ade, ini untuk Uci, yang ini untuk Tety, yang ini Cika, ini Risma, ini untuk Diah, yang ini Daus, yang ini Fajar, yang ini Angga, dan yang ini untuk Roni.”
“Heh! Ngapain sih?”
“Buat tanda tangan Bison, terus gue jual ke temen-temen gue bareng fotonya. Yang ini buat Mira, yang ini buat Mumu, yang ini special buat Endih, Gasa.”
“Iiih..” desisku berteriak. Aku keluar dari kamar.
Huh, sepertinya semua orang mendadak gila. Si Rio tuh apa,sih? Selebritis aja bukan! Heran deh, kok cewek-cewek tergila-gila ama dia. modal cakep aja pake nge-fan segala sih!
Aku menuruni tangga, dan menemukan Oik, Yuni, dan Angel sedang melihat tumpukan foto.
“Yang ini lucu..eh yang ini juga.. yang ini lucu banget deh! Liat-liat yang ini lebih lucu lagi.” Gumam Oik senang.
Aku menatap foto yang bertebaran di sekitar mereka. Hah?foto Rio semua? Foto Rio dari Internet? Rajin banget deh, sampe ngeprint semuanya. Dan aku heran apasih maksud Oik dengan “Yang ini lucu..eh yang ini juga.. yang ini lebih lucu” tapi yang diliatnya adalah foto yang samaa?!
Tok-tok-tok.  Seseorang mengetuk pintu.
Aku bergegas membuka pintu dan menemukan Rio berdiri di depan pintu. Dia menggenggam sebuket bunga di depan dadanya. Macam-macam mawar.
“Selamat malam.” Sapanya tersenyum senang.
Aku berjalan ke arahnya, tersenyum manis menyambut kedatangannya. Namun, tibaa-tiba aku teringat kejadian malam kemarin ketika aku benar-benar direkam oleh sepupu-sepupu gilaku ketika aku berdebat dengan Rio. Makanya, aku meminta Rio untuk pindah.
“Hai! Selamat malam. Eh, bisa pindah nggak? Nggak aman ngobrol disini.”
Rio celingak-celinguk ke dalam rumahku, lalu kemudian menatap keluar rumah. “Ada lilin sama piring kecil, nggak?” tanyanya.
“Hah? Buat apa?”
“Kita ngobrol di sana. Di luar. Pake cahaya lilin gitu.”
So sweet. Tapi..
“Justru di sana lebih nggak aman, Rio. Nanti saudara-saudaraku pada ngerekam kita ngobrol di luar.”
“Biarin aja. Nggak apa-apa. Mumpung malem ini nggak dingin-dingin amat. Ayo, ada nggak?”
“Tapi,Yo, aku nggak mau kita direkam lagi. Aku takut, nanti rekaman kita disebarin.”
“jadi… kamu masih ogah barengan sama aku?”
“kamu nggak ngerti. Saudara-saudaraku selama ini berusaha mengambil image kamu. Mereka ngeprint foto kamu lewat internet. Mereka ngerekam kita, dan mereka  bakal ngejual foto dan rekaman itu ke  temen-temennya di Bogor, di Garut. Malu, kan?”
Rio tertawa. “biarin aja, nggak apa-apa.  Aku  kan jadi makin terkenal gitu.” Ungkapnya tersenyum manis.
“mas-mas. Tanda tangannya, dong.” Tiba-tiba Ardhya muncul dari belakangku, menyodorkan setumpuk kertas dan sebatang pulpen. “Yang ini untuk Afie, yang ini untuk Ade, yang ini untuk Uci…”
Rio tertawa kecil mendapatkan saudaraku ternyata sangat gila!
“Ya udah. Aku urus yang ini. Kamu cari lilin sama piring kecil aja. Jumlah piringnya harus sesuai sama jumlah lilinnya. Plus korek api juga.”
Aku menghembuskan napas besar. “Oke.” Kutolehkan wajahku menatap Ardhya. “Awas ya, nanti kamu jangan ganggu kita. Inget itu.” Ancamku.
“Sumpah, gue gak akan pake benda itu  buat deodorant…” balas Ardhya ketus.
Aku berbalik dan berjalan menuju dapur. Di bawah tangga, aku menemukan Oik tergeletak, dan Yuni yang mengipasinya.
“Kenapa ama si Oik, Ni?”
“Itu tuh. Ngeliat si Rio. Malah pingsan coba. Biasa aja deh ah.” Yuni kembali mengipasi Oik.
Ya iyalah, Yuni kan udah sering ngeliat Rio karna dia satu sekolah ama kita..
Aku melanjutkan langkah menuju dapur dan menemukan Angel sedang menyantap puluhan kerat nanas. “hm…enak-enak.” Ucapnya nikmat, dengan mulut manyun dibuat-buat.
Huh! Ternyata sepupuku gila semua!

Lima belas menit kemudian……
PENGGANGGU teratasi, diimingi-imingi foto bareng Rio, mereka nurut juga buat nggak akan ganggu kita selama satu jam ke depan.
Rio dengan manisnya memasang tujuh lilin, yang kutemukan beserta piring kecil berpola senada, yang kebetulan jumlahnya tujuh juga. Lilin itu dipasang di atas piring kecil. Dan ketujuh piring berlilin itu diletakkan di atas kap mobil Rio, melingkar.
“Kamu ngapain, sih?” tanyaku heran, berdiri di samping pintu mobil.
“kamu cepet naik!” Rio melompati mobil, lalu naik ke atas kapnya. Kemudian dia duduk  bersila, lalu  membantuku naik.
“Ini nggak apa-apa, Yo?” tanyaku khawatir.
“Nggak apa-apa, nggak usah cemas.”
“Ntar mobilnya jatuh ke mobil ngerusak cat, lho!”
“Alaaa.. Cuma cat ini, kok! Paling juga ngegantinya lima jutaan. Aku udah biasa mecahin guci tujuh juta, lho!”
Aku menggeleng pelan, dasar orang kaya!
HOP! Aku berhasil menaiki kap mobil dengan sekali berpijak, dan langsung duduk bersila di atasnya.
Rio duduk di hadapanku. Di antara kami, terlenggak tujuh lilin yang disimpan melingkar.
Semuanya menyala sehingga aku bisa melihat wajah ganteng Rio dalam remang-remang cahaya lilin. Apalagi bintang malam ini lagi muncul-munculnya. Sungguh sangat menambah keromantisan dan kehangatan malam ini.
Kemudian, kami menghabiskan waktu dengan ngobrol banyak hal. Rio ngomongin gimana kabar Mbok Jess, Nince, Bu Nira bahkan Pak Agus. Juga kabar tentang dirinya yang mulai berubah. Atau, aku ngomongin tentang cowok brengsek yang bernama Dino. Obrolan kami sungguh akrab dan mengasyikkan.
Kemudian, kami berdua terdiam. Kami tenggelam dalam keheningan dan kesunyian. Obrolan kami terhenti dan aku menunduk, nggak tau harus melakukan apa-apa lagi.
“Ify..” kata Rio merayu.
Aku mendongak, tersenyum menatap wajahnya.
Iih! Ganteng banget!
Adakah hal yang lebih romantic dari ini? Oke, ada. Leonardo Dicaprio di atas kapal Titanic beserta Kate Winslet. Namun, berhubung Leonardo nggak pernah meneleponku dan nggak pernah mengajakku naik kapal Titanic dan memintaku untuk merentangkan tangan di bagian depan kapal, sepertinya malam ini momen paling romantic di dalam hidupku.
Duduk berdua, berhadapan di atas kap mobil mewah aku masih nggak tau mereknya sampai saat ini, sepertinya keluaran luar negeri yang diimpor khusus oleh Rio karena bentuknya sangat canggih dan aku baru menemukan ini di Ban-dung. Dengan tujuh lilin putih menyala. Di bawah taburan bintang di angkasa, beserta bulan yang kebetulan purnama. Dan…kehangatan senyuman Rio.
“Aku punya hadiah buat kamu.” Ujar Rio manis.
“Oya? Apa?” tanyaku agak genit.
Rio turun dari mobil, mengambil sekotak besar kardus entah berisi apa, lalu duduk lagi di atas kap mobil, menghadapku. Rio mulai senyam-senyum mencurigakan.
“Ini.buat kamu..maksudnya..buat utang kamu,” ujarnya, memberikan sebuah bingkisan kado segi empat yang dibungkus menarik.
Aku mengernyitkan dahi, tersenyum janggal. “Apaan nih? utang apa?”
“Buka aja.” Pintanya.
Aku merobek pelan-pelan bungkus kado itu. Dan menemukan..ya ampun! Notebook!
Aku melongo menatap Rio, nggak percaya dengan apa yang diberikannya.
“Rio..apa ini?” tanyaku masih nggak percaya.
“Itu notebook. Masa nggak tau sih?” Tanya Rio, mengernyitkan dahi.
“Maksudku..apa-apaan ini? Kamu ngasi ini  buat aku?”
“Bukan. Sebenernya bukan buat kamu. Itu buat Angel.”
Wajahku langsung datar. Yaampun, kirain buat gue!
“Tapi tenang aja, aku punya yang lain buat kamu.” Rio mengambil lagi bingkisan kado lainnya dari kardus. Berbentuk hati-love berwarna pink dengan pita merah. Ternyata bungkusannya dari kain beludru. “Yang ini khusus untukmu.”
“Apa ini?” tanyaku, menerima sodoran kado itu.
Ya ampun, lembut banget,. Kado  ini dibungkus dengan beludru, ditambah bulu-bulu halus yang lembutnya biasa kurasakan pada boneka kucing.
Oh..bungkus kado ini harus kusimpan.
Aku mencari cara membuka kado ini. Oh, ternyata ada resletingnya! Ya ampun! Notebook lagi!  Dan..notebooknya lebih canggih, lebih manis, lebih unik, dan cewek banget!
“Rio!” aku nggak percaya.
Dia tersenyum sangat manis. Jadinya, aku ikut tersenyum manis,manja, dan penuh terima kasih.
“Ini buatku?”
“Ya iyalah, buat kamu. Buat siapa lagi? Dan bunga ini…eh mana bunganya? Ya ampun, bunganya diambil sama saudara kamu.” Rio panik, menepuk dahinya sendiri.
“Nggak apa-apa, kok.” Aku memeluk notebook baru.
Biarin aja kali….mahalan mana sih, bunga sama notebook ini?!
Rio menatapku serius, kemudian membungkuk, membuat keadaan semakin menjadi mendebarkan. Aku nggak sabar menunggu, seandainya ada kejutan lain. Tapi, senyuman Rio yang sangat manis, dan tatapannya, membuatku menyadari bahwa keadaan sedang benar-benar serius sekarang.
“Ify..” panggil Rio pelan, merayu lagi.
Aku menoleh, menatapnya, sambil memeluk notebook baruku erat.
“Kamu..mau maafin aku nggak? maafin aku, ya. Selama ini aku udah ngejek kamu..ama temen-temen kamu juga. Aku yang mungkin ngeselin kamu, nyusahin kamu..yang..pokoknya yang bikin kamu repot.”
Aku tersenyum. “Rio, aku nggak pernah marah sama kamu. Kamu ga usah minta maaf. Jujur aja..aku nggak ngerasa repot berada di dekat kamu. Kamu mau ngejek aku, mau ngeselin aku, mau ngapain juga, nggak akan ngaruh, kok. Kamu juga bisa lihat kan, aku juga Tweenies nggak pernah nanggepin ejekan kalian. Kami tuh, ngga peduli. Lagipula sebenernya, kami seneng, kamu sama temen-temen kamu mau nyoba interaksi sama kami..meskipun ngejek, tapi seenggaknya kita berinteraksi.  Nggak terlalu perang dingin amat.”
Rio mengerutkan alisnya. “Kalian nggak marah?”
Aku menggeleng,lalu tertawa kecil.
“Terus..apa..kita..bisa berteman?” lagi-lagi, Rio menanyakan hal tersebut.
Aku mengernyitkan dahi. “emangnya hubungan kita selama ini apa?”
“Ngng…hubungan antara babysitter dan baby-nya.”
Aku tertawa lepas, terbahak, mendengar pernyataan itu. Rio malah bingung. “Ya ampun…Rio, aku kan udah bilang. Aku bukan babysitter kamu lagi. Aku ini udah jadi temen kamu lagi. Temen sekolah kamu.”
Rio menunduk sedih. “hanya..teman sekolah?” tanyanya agak kecewa.
“Emangnya, kamu pengin kita temenan kayak gimana?” tanyaku, mengerutkan alis.
Rio menyeka bagian belakang rambutnya kemudian menatapku lagi penuh  harap. “Aku kan..pengin kita jadi teman dekat.”
Aku sedikit cekikikan, kemudian membuat gerakan kobaran api di atas lilin. “Oh, kamu pengin kita sobatan?”
Rio mengangguk-angguk senang. Wajahnya lebih baikan kali ini. Meskipun masih diisi olehraut wajah penuh harap.
“Yaah..kenapa nggak?” jawabku tersenyum.
Rio tersenyum riang.dia sangat senang. Kemudian berikutnya, dia memandang lilin itu penuh ide.
“Kebetulan,nih!” seru Rio. Kerutan dahinya menunjuk ke tujuh lilin di hadapan kami. “Lilinnya ada tujuh, jadi….” Rio mengatur-atur lilin-lilin itu.
Tiga lilin diletakkan di hadapanku, tiga lilin di hadapannya, lalu satu lilin yang paling besar diletakkan di tengah. “Masing-masing sebutin our wish. Lalu, tiup satu lilin, dan pindah ke lilin berikutnya. Sampe lilin di hadapan kita padam. Dan…satu lilin di tengah, kita tiup bersama, sambil ngucapin ‘semoga Tuhan mengabulkan doa kita’. Mengerti?”
“Apa-apaan, sih?”
“Ayo, dong! Nggak apa-apa, kan? Dikabulin syukur. Nggak dikabulin juga gak apa-apa. Seenggaknya, kita bisa tahu keinginan masing-masing. Sobatan kan, harus saling terbuka.”
“Nggak ah. nanti kita serasa menyembah pada lilin-lilin ini, meminta-minta pada lilin ini.”
“Ya ampun. Nggak dong, Fy. Kita kan, nggak minta lilin ini mengabulkan permintaan kita. Kita Cuma berdoa pada Tuhan, diomongin, lalu tiup lilin ini, sebagai tanda bahwa kita udah ngasih tahu keinginan kita pada dunia.”
Aku tersenyum. Oke, aku mengerti. Nggak aka nada unsure magis di sini. Nggak juga muysrik pada Allah. Ini  hanya permainan. Nggak terlalu berpengaruh.
“Oke..siapa dulu?” tanyaku.
“Kamu dulu.” Pinta Rio.
Hm..minta apa ya? Aku nggak mau minta sesuatu yang aneh. “Ng…aku pengin..adanya perdamaian di muka bumi ini. World peace. Nggak ada perang. Nggak ada persaingan yang nggak sehat.  Semua orang saling membantu dan saling menyayangi.”
Pffuuiiiihh. Aku meniup lilin itu. Dan apinya langsung padam.
“Giliranku!” rio membungkuk dan menutup matanya. “Aku pengin..semua geng di sekolahku berhenti bermusuhan. Aku pengin Mozon nggak lagi angkuh, Rebonding Galz nggak lagi galak, Kompilasi kembali berbaur sama murid lain. Aku ingin RAG nggak lagi bandel, jahil, dan ngejek-ngejek murid lain. Aku ingin semua murid di sekolahku muncul, menyalurkan kreatifitasnya buat hal yang positif, mengharumkan nama sekolah. Khususnya, aku ingin Tweenies hidup dalam keabadian,  berprestasi, rame, cantik, dan rendah hati pada setiap orang.”
Rio meniup lilin itu, lalu membuka matanya dan memandangku.
Ya ampun…permintaannya sama banget sama permintaanku dan Tweenies tadi siang di rumah Shilla.
Aku lalu memejamkan mata,dan meminta lagi. “aku ingin hari-hari berikutnya, yang semua orang di dunia di hadapi, adalah hari-hari yang hangat, indah, dan nyaman. Aku ingin hari-hari berikutnya adalah hari yang penuh cinta dan kasih sayang.”
Aku meniup lilin itu dan membuka mata. Rupanya, Rio menutup mata lagi, bersiap untuk permintaan keduanya.
“Aku ingin..cewek yang duduk di hadapanku sekarang, setiap malamnya, selalu diberikan mimpi-mimpi yang indah di setiap tidurnya. Sehingga di setiap paginya, cewek ini bangun dengan segar, dan bersiap untuk melindungi bumi ini dalam kasih sayang dan cintanya.” Rio membuka matanya, menatapku, tersenyum, lalu menutup matanya lagi. “Namanya Ify.” bisik Rio, bergumam.
Rio meniup lilin itu hingga padam, lalu membuka matanya. Aku tersenyum menatap wajahnya, juga sedikit geli dengan permintaannya barusan. Kugelengkan kepala, lalu bersiap dengan lilin terakhir.
“Ngngn… aku ingin..cowok yang duduk di hadapanku sekarang, dan aku, selalu berhubungan baik, selamanya.”
Kutiup lilin itu, dan menatap Rio. Aku bersiap mendengarkan permintaan terakhirnya.
Sampai saat ini, menurut hipotesisku, Rio selalu mengkhususkan permintaanku. Perdamaian dunia, dikhususkan menjadi perdamaian antar geng di sekolah. Hari-hari yang penuh dengan cinta, dikhususkan menjadi mimpi-mimpi yang penuh dengan cinta. Sekarang, seandainya Rio akan mengkhususkan lagi permintaan ketigaku, I’m wondering..what he will wish now….
Rio memejamkan matanya. “Aku ingin..cewek yang duduk di depanku..menjadi kekasihku..selamanya.”
Rio meniup lilin itu, kemudian tersenyum  menatapku.
Aku sedikit tersentak mendengar permintaannya barusan.
OMG! Rio menginginkanku..untuk..menjadi kekasihnya?! Ya ampyuuun! Ku kira hanya Sivia yang menerima cinta Gabriel kemudian berpacaran.  Kukira hanya Shilla yang ditembak jadian sama Alvin malam kemarin. Ternyata….sekarang Rio memintaku menjadi kekasihnya?  Hah?apa-apaan nih? Ya ampun, bisa-bisa nikah missal antara RAG sama Tweenies. Nggak kebayang deh.  Kalau di BIP sekarang nemuin, RAG berpasangan sama Tweenies.. Hihihiii…!
“Lilin terakhir, kita ucapin bareng-bareng ‘semoga Tuhan mengabulkan doa saya barusan’ oke?”
Dengan ragu, aku mengangguk. Kami pun membungkuk, dan mengucapkan kalimat permintaan kami untuk lilin yang terakhir.
“Semoga Tuhan mengabulkan doa saya barusan…!”
Pffuiiiih. Lilin itu kami tiup berbarengan.
Lilin pun padam.lalu kami berpandangan. Wajah Rio sedekat ini. Dia benar-benar di depanku. Nyata. Dia sedekat ini…
Tiba-tiba,muncul sebuah tangan, dan mencubit hidungku. “Kamu ngegemesin banget, deh!” goda Rio sambil tersenyum.
Aku yang menggeleng-geleng karna hidungku dicubit, langsung memberontak. Kubalas dengan mencubit hidung Rio pula, hingga kepalanya menggeleng dan menunjukkan wajah bodoh.
Buukk!
“heh kalian teh sedang ngapain di situ? Malam-malam begini pacaran saja. pake cubit-cubitan lagi!”
Aku dan Rio tersentak kaget mendengar suara barusan. Kami llangsung menoleh, dan mendapati Bu Lina berkacak pinggang di bawah kami.
“Kalian teh bukannya belajar, malah pacaran di atas mobil. Nggak kedinginan kalian teh? Ih, ibu mah heran, kenapa sih, baru aja pulang dari pengajian di rumah temen Ibu, malah menemukan murid-murid pacaran di atas mobil.”
Ups, ada Bu Lina.heheh..kebetulan banget. Huh, seharusnya ada lilin kedepalan untukku meminta “jangan ada yang menggangguk kami, siapapun juga, termasuk wali kelas kami.”

No comments:

Post a Comment